
by Titikoma

Cuaca Buruk
Cuaca lembah Kerici gelap. Kabut tebal menutup seluruh akses matahari yang hendak memenuhi tugasnya menyiram cahaya. Hujan sejak subuh belum berhenti juga, membuat suara gemericik dan menghasilkan genangan air di beberapa jalan setapak yang tidak rata. Kara sedang bercakap-cakap dengan Rega di beranda rumah, sementara Key sedang asik mendengarkan musik sambil membaca komik. Tiga teman lelakinya yang lain sedang tertawa-tawa bermain Uno[1] di sisi lain beranda. Wajah Iqbal penuh dengan coretan pulpen lantaran berkali-kali kalah bermain. Ya, begitulah aktivitas mereka hampir seharian itu. Sudah menjelang sore, hujan belum juga reda. Jadilah, rencana mereka mulai meneliti hari itu harus ditunda karena cuaca yang kurang bersahabat. Tidak ada yang bisa memprediksi cuaca dengan tepat. Kemarin, saat hari kedua mereka di Kersik Tuo cuaca begitu sangat cerah dan bersahabat. Mereka menikmati pagi dengan berjalan sebentar, menikmati hamparan kebun teh yang sungguh sangat luas terhampar sepanjang mata memandang bagai permadani, dengan latar Gunung Kerinci setinggi 3.805 meter menyangga langit. Asal tahu saja, kebun teh itu merupakan kebun teh terluas di dunia dalam satu hamparan. Hari itu kabut pagi menyeruak saat sinar matahari bebas mengakses dan memberi kehangatan pada Kersik Tuo yang terletak diketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Desa itu berhawa sejuk, atau mungkin lebih tepatnya dingin bagi mereka yang notabenenya tinggal di Jakarta yang panas. Namun begitu, tidak menyurutkan antusiasme mereka berkeliling kebun teh, membuat dokumentasi serta tertawa-tawa riang. Tak lupa, mereka juga menyempatkan berfoto bersama di depan tugu Simpang Macan yang berjarak hanya 100 meter dari tempat menginap mereka. Pemandangan unik lain adalah ketika mereka bisa menyaksikan banyak pegiat alam yang hendak mendaki ke puncak Kerinci. Sungguh pemandangan yang tidak akan bisa ditemukan di Jakarta, di mana orangorang berjalan—ada juga yang naik mobil—menggendong tas yang tinggi menjulang di atas kepala. Kara menikmati dan menatap takjub pemandangan itu. Dia malah berandai, suatu hari nanti dia harus juga mencicipi Kerinci hingga puncak tertinggi. Menjelang siang, mereka kembali berkumpul untuk membicarakan perlengkapan pengamatan untuk besok, dan beberapa hal teknis lainnya dan diakhiri makan siang. Sorenya mereka diberi waktu untuk kembali menikmati kaki bukit Kerinci dan melihat-lihat suasana sekitar Kersik Tuo nan sejuk. Kara menyempatkan diri melamun di pinggir jalan, menikmati hamparan pemandangan di depannya, sambil sesekali membidik lensa kameranya ke arah gunung. “Gue mau minta maaf, Ra.” Kara terkejut saat sebuah suara tiba-tiba mengaung di gendang telinganya. Adalah Venus yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di sebelahnya. Venus menatap Kara, kemudian berkata lagi. Sama persis dengan apa yang dia katakan sebelumnya. Kara masih diam, tangannya mengarahkan kamera pada kebun teh, sementara Venus sabar menunggu reaksi. Rupanya si bule itu benar-benar melaksanakan niatnya yang sejak semalam sudah dia pikirkan masak-masak. Agaknya kesal juga sejak kemarin dia selalu didiamkan padahal mereka satu kelompok dalam penelitan ini. “Paling enggak cuma di sini, Ra. Kita satu kelompok, gimana mau kompak dan dapat nilai bagus kalo lo masih diemin gue?” katanya. Lengang begitu terasa setelah Venus menyelesaikan ucapannya. Kara masih diam. “Paling enggak di sini, Ra. Please ….” Kara bereaksi, dia memalingkan pandangannya dari layar kamera ke arah Venus, lantas menatapnya tajam. “Jadi lo mau minta maaf cuma karena lo takut dapet nilai jelek. Iya?” Kara bertanya dengan intonasi menusuk. “Bu, Buk...” Venus tergagap. “Harusnya lo ngaca waktu lo bilang gue aneh! Lo tuh, yang aneh!” Kara memaki. Selanjutnya dia segera bangkit dari posisinya dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Venus. Si bule bermata cokelat itu merutuki dirinya sendiri, mengapa tidak bisa berbicara dengan jelas sehingga kemudian menjadikan ini lebih rumit dari yang seharusnya. Dalam hati dia berharap, saat penelitian dimulai esok, badai dalam hati Kara akan segera enyah. Venus bersungut-sungut hari itu. Alih-alih badai segera enyah dari hati Kara, justru yang terjadi adalah badai yang sesungguhnya datang, membuat agenda penelitian hari ini terpaksa ditunda. Cuaca mendadak tidak bersahabat, hujan tidak berhenti-berhenti sejak subuh. Venus masih bermain Uno bersama dengan Faris serta Iqbal yang menjadi bulan-bulanan keduanya—lantaran selalu kalah dalam bermain. Sesekali matanya mengekor ke arah gadis kuncir kuda, yang entah sedang mentertawakan apa bersama gadis lain yang umurnya lebih tua. Menjelang Magrib Geo tergopoh-gopoh berjalan melewati hujan berbalut jas hujan pelastik berwarna biru. Dia berkunjung ke home stay Rumah Panjang dan membawa serta informasi dari Bu Olive untuk mereka. “Demi menjaga stamina, hari ini full tidak ada agenda,” kata Geo. “Tetap persiapkan perlengkapan pengamatan untuk besok, mudah-mudahan cuaca lebih bersahabat,” tambahnya lagi. Jadilah kegiatan mereka hari itu hanya terpusat di Rumah Panjang, lantaran cuaca buruk yang terus terjadi sepanjang hari. Karena tidak ada briefing malam itu, setelah makan makan malam bersama tuan rumah, mereka langsung tertidur berselimut di kamar masing-masing yang terasa lebih hangat ketimbang cuaca di luar yang dingin menusuk tulang. Malam itu mereka tertidur membawa harapan agar esok hari cuaca cerah, supaya penelitian mereka dapat segera dimulai. [1] Uno adalah sebuah permainan kartu yang dimainkan dengan kartu dicetak khusus (Permainan ini hampir sama dengan kartu remi biasa)