
by Titikoma

Kucing Emas
Malam itu Kersik Tuo begitu hangat. Di rumah panjang Ki Eten dan istrinya sedang kedatangan tamu. Para pelajar dari SMA Kartini Jakarta, yang dibawa oleh seorang guru perempuan nan cantik. Mereka sedang membicarakan hewan dan tumbuhan endemik Jambi yang semakin lama semakin berada di ambang kepunahan. Bersama dengan murid-murid SMA yang duduk takzim mendengarkan cerita Ki Eten yang umurnya sudah bertambah empat tahun, seorang pemuda tampan berambut pirang duduk di salah satu sudut Rumah Panjang. Dia ikut mendengarkan, pikirannya mengawang ke empat tahun lalu, saat hujan turun sepanjang hari dan akhinya dia serta kawankawannya yang lain, dibawa mendengarkan cerita kakek tua pemilik Rumah Panjang. Deja vu. “Kemudian yang terakhir adalah Kucing Emas atau Pardofelis temminckii,” ucap Ki Eten. “Kalau Harimau Kijang, Ki?” Seorang murid laki-laki berkacamata yang bertanya. “Saya pernah dengar dari saudara, di Kerinci ini juga ada Harimau Kijang. Apa benar?” “Nah, ini. Anakku yang satu ini juga pertanyaannya bagus,” kata Ki Eten, seraya kembali tersenyum—bersahaja. “Sebenarnya Harimau Kijang itu sebutan dari penduduk lokal untuk Kucing Emas ini. Jadi ya, sama saja. Itu hanya panggilan lokal saja,” terang Ki Eten. “Jadi ini jenis kucing atau harimau, Ki?” Seorang lagi yang bertanya. Dia murid perempuan, matanya sipit dan hidungnya agak pesek. Lagi, Ki Eten tersenyum. “Harimau jenis kucing, kan, Nak?” Tawa pecah ketika itu. “Begini, begini. Biar orang tua ini luruskan,” kata Ki Eten. “Jadi, Kucing Emas ini memang ukurannya lebih besar dari ukuran kucing rumahan yang mungkin kalian pelihara. Namun, ukuran Kucing Emas tidaklah lebih besar dari Harimau.” “Ada yang bilang ini hewan mitos, Ki. Apa itu benar?” Siswa laki-laki berkacamata lagi yang bertanya. Sepertinya pembicaraan tentang Kucing Emas semakin menarik untuk diikuti. “Ada yang percaya kalau kucing ini memang hewan bertuah. Namun orang tua ini pikir, tidaklah elok kemudian, kepercayaan itu justru secara tidak langsung telah mengancam keberadaan Kucing Emas ini. Sangat tidak bagus kalau karena kepercayaan, mereka diburu, lalu dijadikan jimat. Sudah seharusnya tidak ada kepercayaan begitu-begitu. Sudah bukan jamannya. Bukan begitu, Bu Guru?” “Benar, Ki.” Guru Cantik yang mendampingi siswa SMA Kartini Jakarta itupun mengangguk membenarkan. “Sekarang adalah bagaimana menumbuhkan kecintaan kita pada alam, menjaga ekosistem di dalamnya untuk generasi kalian, serta generasi yang akan datang,” ucap Ki Eten Bijak. “Oya, apa kalian tidak ingin kenalan dengan alumnus SMA kalian yang di sana itu?” Ki Eten bertanya kemudian. Siswa-siswi itu lantas melihat siapa gerangan yang dibicarakan Ki Eten. Beberapa Siswi menjerit tertahan melihat rupa orang yang dimaksud Ki Eten, pemuda itu amat tampan. “Namanya Venus, baru tiba di sini tadi sore. Tapi sayang, dia tidak bisa ikut kalian cari Paok Schneider, besok. Karena dia hendak ke puncak Kerici untuk penelitian,” ucap Ki Eten. “Boleh ikut, Kak Ven?” Tanya seorang siswa perempuan yang dandanannya terlihat berlebihan. Ucapannya itupun dapat sorakan dari teman-temannya. “Ya boleh, tapi nilaimu untuk penelitian enol,” Bu Guru cantik menanggapi. Sekali lagi sorakan dan tertawaan pecah. Suasana Rumah Panjang itu terasa hangat karena tawa dan kebersahajaan si empunya rumah. Venus hanya tersenyum. Walau begitu, perasaannya tidak benar-benar hanyut dalam gelak tawa di Rumah Panjang malam itu. Perasaan yang sebenarnya telah menerawang jauh, menembus tiap jengkal ingatannya di Kersik Tuo yang kerap diselimuti kabut tipis yang membuat damai itu. Ingatannya tertuju pada seorang gadis … Kara Swandara, yang sampai saat ini masih menempati hatinya yang terasa kosong. Di hari berikutnya, semburat matahari telah memunculkan sinarnya. Rona biru merekah membelah Gunung Tujuh di seberang Gunung Kerinci. Kabut tipis seperti tidak ada habisnya menyelimuti Pegunungan Bukit Barisan. Terasa indah … syahdu. Akhirnya Venus dan rombongan bisa sampai di puncak gunung api dengan ketinggian 3.805 meter itu. Salah satu teman Venus—Bram—bahkan bersujud di tanah tertinggi di Pulau Sumatera itu. “Terima kasih, Tuhan!” katanya lirih. Jauh di seberang, Venus dapat melihat keindahan Danau Gunung Tujuh nan indah, juga hamparan kebun teh luas terlihat samar dari atas gunung. Awan putih bersih berarak menutupi barisan Pegunungan Bukit Barisan. Keindahan itu tidak hanya milik mereka hari itu, karena mereka mendaki di musim pendakian. Jadi banyak juga para pendaki dengan kegembiraan yang sama, tengah bersujud atas pencapaian mereka yang sangat kecil itu di mata Tuhan. Beberapa terlihat menangis haru, berfoto, ada juga yang diam, menatap damai pemandangan luar biasa Bukit Barisan. Yang merasakan damai yang luar biasa salah satunya Venus. Ini impian besar baginya, perjalan panjang baginya, juga sebuah perjalanan menelusuri masalalunya empat tahun lalu di Kersik Tuo. Maka puncaknya dia berdiri sendirian, menjauh dari keramaian, mencoba menikmati nirwana satu lagi yang bisa dia rasakan. “Venus ….” Seseorang memanggilnya. Suara itu … suara itu begitu akrab dan amat dia ridukan. Venus berpaling ke sumber suara. Betapa terkejutnya dia saat melihat seorang gadis berkuncir kuda dan berbalut jaket tebal tengah menatap ke arahnya. “Kara …,” ucap Venus lirih. “A—aku … menyukaimu.” Entah bagaimana caranya, kalimat singkat itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Kedua anak manusia itu saling berhadapan dengan pandangan yang luar biasa intens. Suara angin di puncak Kerinci bagai dawai yang indah dan maha megah. Alam seolah mengelu-elukan keduanya untuk bertemu. Venus meyakini, semesta tengah berpihak padanya. Tanganya mulai merentang, memberanikan diri untuk mengambil kedua tangan Kara yang terkulai. 111 109 Gadis yang sekarang sudah tumbuh dewasa itu masih menatapnya dalam, dan tidak percaya. Tangan itu semakin dekat. “Kara.” seorang laki-laki langsung merangkul gadis itu, lantas tatapannya tertubruk pada sosok Venus. “Lho, Venus … kamu ada di sini juga?” “I—iya, Kak Mikha.”
-SELESAI-