
by Titikoma

9
Miko mulai terlihat berubah memperlakukan Gladys, semenjak dia merasa tidak dihiraukan keberadaannya, justru cewek yang diidamkannya sibuk dengan Vino. Perasaannya semakin hari semakin terisolasi dengan ketakutan, karena dia sadar sekali sampai detik ini Gladys tidak pernah tahu seperti apa perasaannya. Jauh dalam lubuk hatinya, dia ingin lebih dekat dengan Gladys, bukan sebagai teman, tapi kekasih yang saling berbagi suka duka. Pagi itu, Gladys masih mencoba melempar senyum kepada Miko, tapi apa yang dia terima justru tak terbayang sebelumnya. Miko cuek, lebih sibuk dengan ponselnya di sebuah sudut taman sekolah, persis di bawah pohon rindang. Gladys mendekat, sesekali melirik wajah Miko yang nampak tidak perhatian atau merasa tidak pernah ada orang bakal mengganggu kenyamanannya. “Mik, kenapa sih lo jauhin gue akhir-akhir ini? Kalau gue punya salah sama lo, maafin napa!” pinta cewek cantik itu menyikut lengan Miko dengan lembut. Dia berharap teman akrabnya itu luluh dan menjahilinya. Miko masih diam, berpura-pura tak mendengar. “Mik, jangan gitu ah. Gue jadi serba salah nih, kalau memang gue kemarin keterlaluan banget, ya maafin napa! Gue janji nggak bakal ngulang hal itu lagi, gimana?” seraya Gladys mengangkat tangan kanannya dengan jemari lima yang mengarah ke atas. Miko hanya melirik dengan kesan santai, sementara cewek di sampingnya itu manyun sambil memoncongkan kedua bibir ke depan. “Sumpah deh, nggak bakal gue ulang,” rengeknya pelan. Ditundukkannya wajah ayunya itu menatap lekat-lekat kedua mata elang Miko, sementara Miko canggung dan merasa semakin berhasil dengan triknya. “Janji apa sumpah?” dia terlihat serius meminta jawaban Gladys. “Dua-duanya ah,” Gladys mulai merasakan hati Miko luluh dengan permintaan maafnya. Dilihatnya teman akrabnya itu mengangguk dua kali dan memukulkan buku yang dipegangnya tadi ke arah kepala Gladys. “Sakit tahu! Jahat banget sih Elo, Mik!” Gladys membalas dengan cubitan di lengan kiri Miko. Muka Miko memerah dalam hitungan sesaat. “Wey… kok balas cubit, nggak adil tahu! Sini, gue ganti cubit hidung elo, biar tahu rasa!” spontan keakraban mereka kembali pulih. Burung-burung di atas dahan pepohonan makin terdengar menyanyikan keceriaan, mungkin seperti yang dialami Gladys ketika mampu meraih hati Miko untuk bisa memaafkan kesalahannya. Entah kenapa, seiring perjalanan waktu yang membawanya semakin dekat dengan Vino, ada saja Miko menemani perjuangannya dalam meraih perhatian dan cinta Vino. “Tapi, apakah Miko menaruh perasaan ke gue ya? Ah, mana mungkin. Setahu gue, Miko itu tidak suka dengan tipe cewek seperti gue yang ceriwis dan sok ngatur,” Gladys berpikir sekaligus selalu bertanya-tanya dalam hatinya. Namun, dia tidak ingin menenggelamkan dirinya dalam jurang ketidakpastian tanpa bukti nyata dari pihak Miko sendiri. Setidaknya ada pengakuan jelas dari Bang Vino, itu baru Gladys yakin dan percaya seratus persen. Di sisi lain, Miko merasakan perhatian yang diberikan Gladys tidak lebih karena dia mengincar Vino, selebihnya bukan karena dia lebih memperhatikan siapa dia. Miko termenung dalam kesendiriannya, tidak seperti biasanya dia terlalu mengkhawatirkan perasaannya. Semakin lama, dia merasa jauh dengan sosok Gladys, meski setiap saat bersapa dan bercanda tawa. ”Iya, karena hatinya untuk Vino, bukan untuk gue. Tapi, apakah gue nggak berhak mengutarakan perasaan ini pada Gladys? Kapan? Sampai kapan? Sampai benar-benar gue udah manggil dia kakak ipar? Ah, bodoh gue, napa juga harus menyembunyikan kesakitan ini kian berlanjut hingga menguras habis isi otak ini!” Hari itu, sekolah merupakan tempat ternyaman buat Miko karena dapat bersua dengan Gladys, tapi dengan melihat perasaan taksirannya itu semakin tumbuh dan berbunga kepada abangnya, Vino, dia merasa terkalahkan. Meski, pernah Gladys menyukai pria yang berkharismatik daripada mempunyai kegantengan yang berlebihan, tapi pilihan hatinya jatuh pada sosok Vino. Miko bimbang, digigitnya bibir bagian bawahnya dengan kedua gigi depannya. Rambutnya diacak, entah bayangan apa di benaknya bila dia harus benar-benar gagal mendapatkan cinta Gladys. Suara telepon berdering, Miko masih santai menikmati makanan ringan di depan meja sambil menonton suguhan acara televisi kesukaannya. Rasa malas menjalar di sekujur tubuhnya, untuk meraih gagang telepon rumah saja masih beberapa menit lamanya. “Ya, halo… siapa dan mau cari siapa?” Miko mengunyah cepat snack kentang goreng itu dan menelannya dengan satu tegukan air coca-cola yang tak jauh dari meja. Mukanya tenang, terlihat tiada beban. “Lama amat sih angkat telepon, ini gue, Mik. Ini gue, Gladys…” terdengar suara yang tak asing lagi di telinga Miko. Matanya terbelalak dan memasang muka manis sambil mempersiapkan rayuan mautnya. “Baru sampai rumah aja udah kangen gue, ada apa? Mau kasih surprise buat gue ya?” celetuk Miko yang ternyata berhasil membuat Gladys salah tingkah. “Bukan lagi, gue tuh mau nanya Abang Vino, ada nggak?” kembali Gladys tak mau kalah, meski dia juga mengkhawatirkan Miko, karena ulahnya dia merasa dijauhkan dan terasing. Miko diam, dalam batinnya dia berkata, “Lagi-lagi yang dicari abang gue, kapan mau nyari gue sih lo, Dys.” “Masih hidup nggak nih orang?” lanjut Gladys dengan suara lebih keras. Miko terhenyak dengan lamunannya sesaat, membuat ide baru agar setiap hari bisa menyapa pemilik hatinya itu. “Iya, gue masih hidup. Ngapain sih? Nggak tahu orang lagi makan juga,” Miko beralasan, segera dimasukkannya irisan kentang kering itu dalam beberapa kunyahan, hingga suaranya terdengar jelas dari seberang. Miko mengatakan pada Gladys, kalau hari Sabtu abangnya ingin mengundangnya makan malam bersama dengan menu beef steak, tanpa tunggu pikir lagi Gladys pun menyetujuinya. Tak terbayang dalam bayangan Gladys bila malam Minggu harus duduk berdua dan makan malam bareng dengan cowok idolanya selama ini. Sudah terpikir olehnya, pasti Miko sudah membuat Vino termehek-mehek dengan kelebihan Gladys selama ini, cantik, putih, dan paling tahu banget selera cowok. “Thanks Miko, pasti hanya lo yang bisa bicara baik pada Abang Vino untuk bisa menerima kehadiran gue ada dalam kebersamaan itu. Asyik, pasti suasananya romantis dan momen ini pasti akan teringat untuk selamanya,” Gumam Gladys terbayang indah-indah, sambil menatap ke arah cermin di kamarnya. Ada bahagia tersirat di wajah imutnya. “Makasih ya, Miko. Lo tahu aje kesukaan cewek,” ucapnya. “Biasa aja kali, buat lo apa sih yang nggak buat gue.” Kenyataannya, justru semua itu ulah dan ide Miko agar dapat selalu melihat Gladys setiap saat, meski dalam hatinya dia selalu merasa sedih bila Gladys selalu memperlakukan abangnya lebih istimewa daripada perhatian terhadapnya. Malam itu, Vino baru memarkir mobilnya di depan garasi. Masuk lewat pintu samping, mendengar suara pintu terbuka, Miko menghampirinya. “Bang, gue tadi sudah bilang sama Gladys, kalau malam Minggu nanti ada acara makan malam bersama.” “Apa-apaan sih lo, Mik. Gue kan bilang cuma nraktir lo aje, tapi kalau emang terlanjur lo bawa teman, ya apa boleh buat.” “Soal menu tenang aje, gue bakal atur semua deh,” Miko meyakinkan diri dengan menepuk dadanya di hadapan Vino. Sementara, sambil melepaskan sepatunya, Vino melirik ke arah Miko dengan senyum simpul. Jempol Vino mengarah ke muka Miko, “Keren abis deh, lo tuh paling tahu aje.” Miko menganggukkan kepalanya berulang kali, yakin. Vino memasuki kamarnya, dia bersiap mandi dan istirahat. Miko masih menikmati sajian acara yang digemarinya, tanpa sepengetahuan Vino, diam-diam Miko sudah merencanakan makan malam bersama. Dia senyum-senyum sendiri, bersandar pada sofa ruang tamu berwarna abu-abu, kakinya diluruskan dengan posisi menghadap ke TV. Miko menghidupkan AC dalam ruangan itu, semilir hembusan dingin membuat dia semakin menikmati film terbaru yang sengaja dia incar selama beberapa bulan terakhir. Kegemarannya ini berharap bisa dibagi dengan Gladys, kelak bila dia sudah meyakinkan cewek pujaannya ini menjadi gelar kekasih hati. Malam semakin larut, jarum jam dinding telah menunjuk ke angka 23:30, namun Miko tidak segera beranjak ke kamarnya.