
by Titikoma

13
Sore yang basah oleh air hujan mengalir di taman, harum wewangian bunga dihirup hidung Gladys. Sambil membuka-buka halaman majalah remaja yang kebetulan tergeletak di meja taman rumah kediaman Singodiningrat, dia mencari-cari artikel tentang bagaimana cara menguji seorang gebetan. “Uuuh, kayaknya kok susah-susah gampang begini sih, perasaan gue kalau lihat di sinetron-sinetron tuh teorinya gampang banget dehh cara mau menguji cinta cowok gebetan,” gerutu Gladys. Tiba-tiba terdengar suara deru mobil memasuki perumahan elite yang penghuninya adalah para konglomerat sekaligus lingkungan tempat pilihan para petinggi negara. Suara pagar otomatis terbuka nyaris tak terdengar. Volvo hitam masuk ke dalam, melewati taman patung pancuran penuh bunga dan pepohonan asri yang sedang dinikmatinya sekarang. Memasuki area rumah, mobil berhenti. Pilar-pilar berornamen klasik, serba putih menghiasi rumah itu. Berdecak kagum Gladys saat itu tersadar jika selama ini dia berhadapan dengan keluarga konglomerat, Singodiningrat. Pintu mobil terbuka, mama dan papa gebetannya turun, menaiki tangga marmer. Di belakangnya seorang gadis mengikuti, cantik dan elegan. “Hei, siapa itu yaa?” tanya Gladys sedikit penasaran. Belum juga Gladys menghampiri untuk menyapa mama dan papa gebetannya, si gadis itu melangkah ke arahnya. “Hai, lu temennya Miko dan Vino ya. Kenalin gue sepupunya, Salma.” “Eeh, iya. Gue Gladys.” “Gue juga temennya Dhanar loh.” Buat Gladys rada keheranan. Ini cewek kayaknya tahu banyak tentang gue. Sok kenal sok dekat lagi, curiga nih, pasti ada maunya. Wuahh, jadi buyar ancang-ancang gue buat taktik menguji gebetan. “Woii, enggak usah bengong gitu juga kalee.” “Hee, maaf… abisnya lu tiba-tiba dateng trus nyerocos aja.” Salma duduk dan mengambil majalah. Terus dengan mimik muka jahil, dia godain Gladys yang masih bengong juga. “Ciee, lu naksir sepupu gue yaa, si Vino. Dia emang lebih ganteng dari Miko, tapi dua-duanya keren lah yaa,” katanya sembari promosi. “Vino suka curhat loh ma gue,” bangga Salma. “Gue dukung lu deh, buat jadi calon bininya. Aaiihh, pipi lu merah banget, hayooo… lu ngebet banget sama si Vino. Secara dari penampilan dan gaya lu cocok sama dia, lu cantik, putih, pokoknya selera Vino banget deehh, lu bisa menaklukkan hatinya Vino padahal ia rada susah loh jatuh cinta kecuali sama… ehem ada deh temen kuliahnya yang dewasa banget tapi susah ngedapatinnya dan ama lo yang lucu,” ceplos Salma. “Ehm gitu? Vino ada suka ama teman kampusnya?” tanya Gladys dengan mata membulat. “Iya, tapi tenang aja… Vino gak bisa taklukin cewek dewasa itu, jadi sepertinya milih lo yang menurut Vino cantik, imut dan lucu. Dan gue mendukung kok lo jadian ama Vino daripada dengan cewek angkuh di kampusnya itu!” kata Salma bersemangat. “Makasih yaa buat dukungan lo ke gue,” kata Gladys lega. Merasa dekat dan nyaman dengannya, ngobrol kesana kemari. Salma, meski dari keluarga bangsawan tapi gaul, enggak kuno dan enggak gengsian. Gladys pikir bakal minta tolong Salma buat taktik jitu menguji cintanya Vino dan Miko. “Salma, gue percaya sama lo. Boleh dong gue curhat nih?” “Hmm, apa? Nyantai aja kali Gladys. Lo, boleh curhat sama gue. Bebas, lo kan calonnya Vino,” kata Salma sok yakin. “Mmmh, gini. Lo kenal Dhanar juga kan? Dulu dia sempet bilang kalau ternyata Miko juga suka ma gue dan itu emang benar. Beberapa waktu yang lalu Miko nyatain juga sama gue. Gue jadi bingung gitu loh.” “Aah serius loh? Busyeet Miko juga suka sama lo. Gaswat nih, bisa perang saudara.” “Addduuuhhh, kaget sih kaget tapi jangan injak kaki gue juga kali,” keluh Gladys sambil mengusap dan menekan jari-jari kaki sepatunya. Saking terkejutnya Salma, ia melompat sampe kaki Gladys keinjak sepatu I-nya enggak sengaja. “Sakit, Sal. Mana sepatu baru gue cobain nih, sebel.” Salma melirik, “Ups! Aduuh, sorry sorry, sambil menepuk-nepuk sepatu high heels-nya Gladys. “Hmm, cinta dua saudara ke satu cewek yang sama, seru nih,” girang hati Salma tanpa bermaksud menertawakan kisah rebutan cinta sepupunya itu. “Bantuin Gladys buat ngebuktiin siapa yang lebih berjuang buat dapatin gebetannya, Uuuh, So sweet, coba kalau gue yang direbutin ma cowok-cowok ganteng,” lamun Salma. “Sal, woii, huss... huss, kenapa lu jadi ngelamun begono?” “Apa lo bilang tadi?” teriak Salma sambil melotot. “Oooh, iyaya...”, sahut Salma sambil duduk lagi. “Busyet, ada juga yang suka teriak-teriak macam cewek macan, manis dan cantik kayak gue,” tapi klop deh ma watak gue, heehee...” gerutu Gladys. Dalam sekejap mereka berdua terlihat begitu serius berdiskusi merencanakan, bagaimana caranya mengetahui siapa di antara mereka yang paling mencintai Gladys, dialah yang akan dipilih jadi kekasih hatinya. Saking seriusnya, sampai suara derap langkah Vino tak terdengar oleh mereka. Vino ikut nimbrung. “Wuah, dua cewek cantik sudah saling kenal nih,” berat suara Vino. Keduanya langsung terdiam. Salma beranjak dari duduknya dan langsung mengalihkan pembicaraan. “Eeh, ada Vino, habis dari mana ja? Kok, baru nongol. Gladys nunggu nih. Yang mau nge-date sudah datang.” Handphone Salma berdering. Diangkat dan didengarnya suara merdu Andre. Setelah itu tanpa kata-kata namun dengan bahasa tubuhnya ia berpamitan, melambaikan tangan, kekasihnya telah menjemputnya. Music Cafe, Kencan Kedua Gladys memutar-mutarkan garpunya, slurrrpp... menghisap spaghetti pesanannya. “Ups! Jaim dikit dong. Kalau sampai tersedak, malulah”, bisiknya dalam hati. Dia berusaha makan dengan manis dan sopan, santai juga elegan biar hati gaduh sambil memikirkan taktik jitunya dengan Salma tadi sore. Biar yang di hadapannya makanan western tapi ingat makanan favoritnya, semur jengkol, meski makanan lain juga dia suka namun itu adalah makanan terlezat yang disukainya. Vino makan dengan gayanya yang cool dan tentu elegan. Gladys memperhatikannya diam-diam. “Vino, bener-bener keren abis! cool man!” Merasa diperhatikan, Vino melihat ke arahnya. Gladys tersipu lalu buruburu menyambar lemon tea-nya. Glek-glek diminumnya, hampir saja tersedak. “Uhuk... uhuk... duh asam banget! “ “Belum kamu aduk sepertinya, sini aku bantu,” Vino menghampiri Gladys lalu mengusap punggungnya dengan lembut, sementara Gladys mengaduk minumannya. Salah tingkah, dia menjatuhkan sendok. Keduanya canggung, berusaha saling mengambil sendok yang jatuh namun malah beradu kepala. Dug!! Semua terasa slow motion, hampir saja Gladys pun terjatuh namun dengan sigap Vino menggandengnya hingga tidak terjatuh. “Aaaaahhh...” Gladys menjerit kecil. Mukanya memerah, jantungnya semakin berdegup. “Ma- maaf.” “Ups! Hampir saja, kamu enggak apa-apa kan Gladys?” kata Vino sambil membantu Gladys berdiri. Belum juga Gladys berdiri, di belakang Gladys ada seorang pelayan bertubuh pendek sedang berjalan terhuyung-huyung karena terlalu banyak membawa pesanan, pandangannya terhalang, terpeleset. Gubrak! Mereka saling bertabrakan, Prang Pring... piring-piring, gelas pesanan pun berhamburan. Vino dengan sigap kembali membantu menopang keseimbangan Gladys, Vino tak sengaja memeluk tubuhnya, saling bertatapan. Mereka larut dalam suasana dan tak menghiraukan pelayan yang ditertawakan banyak orang. Orang-orang di sekitar mereka menertawakan tingkah pelayan yang malah bertambah panik dengan menarik taplak meja, tumpahan makanan dan minuman kena seragamnya seperti kencing di celana lalu dengan megap-megap ia melap mukanya dan mengedipkan matanya yang terkena tumpahan. Suara tawa yang semakin nyaring di sekitarnya menyadarkan keduanya. Mereka membenahi diri dan perlahan melepaskan tawa.