melepasmu untuk sementara
Melepasmu Untuk Sementara

Melepasmu Untuk Sementara

Reads
96
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Syuting Hitam Putih

 30 November Pukul 17.00 

Aku dan mama sudah tiba di bandara Soekarno Hatta. Aku merentangkan kedua tangan. “Jakarta, I’m Coming!” teriakku sekencang-kencangnya. Semua mata tertuju padaku. Mama menyeggo tanganku. “Please deh, Rin. Nggak usah ndeso gitu. Malu-maluin aja,” ujar mama berbisik di telingaku. “Biarin weee.” Mobil mewah bertulisan Trans 7 berhenti tepat di depanku. Sesaat kemudian kaca mobilnya terbuka lalu kepala si sopirnya muncul. “Kamu Mbak Ariny sama mamanya bukan?” Tanya si sopir. “Iya. Mas sendiri siapa?” tanyaku balik. Si sopir itu pun turun dari mobil. “Perkenalkan saya Andi, sopir hitam putih. Saya ditugaskan jemput Mbak Ariny berserta mamanya,” ucapya ramah. Dia juga mempersilakanku sama mama masuk ke mobil. “Rin, kamu yakin dia sopir hitam putih? Mama takutnya dia itu culik kita,” mama berbisik di telingaku. Alamak, gini nih kalau mama demen nonton Sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Mama jadi ketularan Haji Muhidin, salah satu tokoh di sinetron itu yang suka su’udzon sama orang. “Kalau dia mau culik kita kenapa coba bisa tau namaku dan hitam putih? Lagian apa untungnya coba nyulik kita? Yuk, ah masuk ke mobil.” Mama naik duluan ke mobil. Si sopir membantuku naik ke mobil. Kursi roda beserta barang-barangku yang lain ditaruh di bagasi. Setelah semua beres, dia langsung gas. Mobil melaju kencang. Dari bandara si sopir terus saja nyerocos ngajakin mama ngobrol. Sedangkan aku hanya jadi pendengar. Malas ikut ngobrol. Baru lima menit di mobil ber-ac kepalaku sudah pusing. Ini tanda-tanda mau muntah. Aku itu nggak biasa naik mobil soalnya. “Mas, berapa lama lagi ya nyampe di studio hitam putih?” “Kalau nggak macet sih, setengah jam juga nyampe.” Setengah jam lumayan buat tidur. Siapa tau dengan tidur bisa meghilangkan sakit kepala. Jadi saat sampai di studio hitam putih aku sudah segar lagi. Aku mencoba memejamkan mata. Dalam hitungan detik sudah terlelap dalam balutan mimpi. Pukul 19.00 Studio hitam putih, penonton ratusan, sampai om Deddy Corbozier yang biasanya aku lihat di televise kini nyata di depan mataku. Waw, amazing. Ini bagai mimpi. Bahkan aku dari SD nggak pernah membayangkan bakal diundang jadi bintang tamu di acara talk show terkenal di Indonesia. Peluh mulai membanjiri keningku. Sumpah, aku grogi banget. Di depanku penuh dengan kamera. Aku belum terbiasa berhadapan dengan kamera. “Ariny, kayaknya kamu tegang banget. Santai aja kali. Anggap aja kita lagi ngobrol biasanya.” Tim cameramen serentak mengacungkan jari telunjuk ke arah om Deddy Corbuzier, tanda acara talk show dimulai. “Pemirsa hitam putih, kembali lagi bersama saya Deddy Corbuzier. Kali ini hitam putih edisi special dalam rangka memperingati hari disabilitas international.” Om Deddy membuka acara. “Di studio sudah kedatangan tamu luar biasa, Ariny Nurul Haq. Dia seorang difabel yang memiliki bakat menulis. Karyanya sudah mencapai 40-an, sebab dia satu bulan sanggup melahirkan satu novel. Mari berkenalan dengannya.” Pertama-tama tim cameramen menyorot buku-buku karyaku dulu. “Ariny, bisa nggak jelasin karya-karyamu ini terdiri dari apa aja? Novel semua kah?” “Karya-karyaku itu terdiri 9 novel kroyokan, 7 novel solo, sisanya buku antologi cerpen.” “Terus rata-rata karyamu itu tentang apa?” “Ya, tentang cinta dong.” “Kenapa memilih tentang cinta?”  “Karena cinta paling disukai semua orang. Tanpa cinta kita nggak akan pernah lahir ke dunia.” Om Deddy lanjut mengajukan pertanyaan hampir sama seperti wartawanwartawan lainnya. Mulai nulis dari tahu berapa? Sejak kapan menyadari bakat nulis? Novel pertama judulnya apa? Genre karya-karyaku itu genrenya apa? Kendala menulis apa? Alhamdulillah, semua pertanyaan sudah berhasil kujawab dengan lancar. “Apa sih tujuan utama Mbak Ariny jadi penulis?” Deg! Lagi-lagi aku berhadapan dengan pertanyaan itu. Huft, jadi dilemma deh. “Tujuan utamaku ingin menunjukkan bahwa penyandang disabilitas itu bukan lemah, bisa sukses dengan caranya sendiri. Aku ingin masyarakat nggak memandang kaum disabilitas dengan sebelah mata lagi.” Aku menjawab pertanyaan Om Deddy dengan jawaban yang sama seperti saat interview dengan tim kompas tv. Om Deddy menaikkan satu alis. “Yakin Cuma itu tujuanmu? Bukannya tujuan utamamu itu biar dipertemukan lagi sama cinta pertamamu, Arizal Ridwan Maulana?” Aku cengo. Terbongkar deh rahasiaku. “Loh, kok Om Deddy tau tujuanku itu?” “Ya iyalah saya tau. Jangankan tentang cinta pertamamu, isi hati dan pikiranmu aja saya tahu.” Huft, baru ingat Om Deddy ini mantan magician mentalis. Jadi bisa membaca pikiran orang. “Iya, sih tujuanku itu.” Ujarku tersipu. Aku berharap Arizal sama pacarnya nggak nonton acara ini. “Terus ketika kamu jadi penulis, kamu sudah ketemu belum sama cinta pertamamu itu?” Yang tadinya ngebahas novel, sekarang Om Deddy mengorek-ngorek tentang percintaanku. “Sudah. Tapi ketemunya Cuma di facebook.” “Seandainya nih, ada kesempatan ketemu sama Pasha Ungu, Ammar Zoni, dan cinta pertama kamu milih ketemu sama siapa?”  Kedua kalinya Om Deddy melempar pertanyaan yang bikin aku galau. “Aku nggak bisa milih. Aku pengen ketemu sama ketiga orang itu.” “Nggak boleh. Kamu harus milih salah satu dari mereka bertiga.” Aku berpikir sejenak. “Hmmm … kayaknya aku bakal milih bertemu dengan cinta pertama aja deh.” “Kenapa coba kamu pengen ketemu sama cinta pertamamu itu? Bukannya biasanya cewek pengen banget dipertemukan sama artis idolanya?” “Karena aku pengen mengatakan sesuatu sama dia. Sesuatu itu pengen banget aku katakan sejak SD tapi sampai sekarang belum kesampaian.” “Emang kamu mau ngatain apa sih, Rin?” Terdengar suara asing di belakang. Walaupun aku baru dengar suara itu pertama kalinya, hatiku merasa sudah kenal betul si pemilik suara itu. Suara siapa sih? Untuk memastikannya aku membalikkan badan. Surprise. Ternyata tim hitam putih juga mengundang Arizal. Oh, my god. Benar-benar di luar dugaanku. Arizal dipersilakan duduk sama Om Deddy di sebelahku. Bisa mati kutu aku, berada di dekat Arizal. “Arizal, sejak kapan kamu kenal Ariny?” “Sejak SD kelas 1, Om?” Pandangan Om Deddy beralih ke arahku. “Jadi Arizal ini cinta pertamamu sejak kelas 1 SD, Rin?” Aku tersipu malu. Andai saat ini aku bisa melihat wajah, pasti wajahku sudah seperti kepiting rebus. “Ya, gitu deh.” Aku menjawab sekenanya. “Apa sih yang membuat kamu suka sama Arizal?” “Cinta kan tanpa alasan, Om. Dulu Arizal itu baik banget sama aku, selalu berbagi bekal, dan suaranya pas ngaji beuh bikin adem hati. Mungkin itu kali ya yang bikin aku suka sama dia.” “Nah, Arizal kan dah ada di sebelah kamu, katanya tadi mau ngatain sesuatu sama Arizal? Buruan katain!” “Hah? Harus sekarang dan di sini ya Om aku mengatakannya?”  “Ya iyalah. Habis dimana dan kapan lagi coba kamu mengatakannya?” “Ya, di belakang aja gitu aku ngatainnya.” “Kenapa harus di belakang?” “Karena dia sudah puna pacar. Kalau aku mengatakan ini, yang ada ntar pacarnya marah. Bahkan minta putus. Nggak keren banget kan calon penulis kece merusak hubungan orang?” “Udah, katain aja, Rin. Pacarku pengertian kok,” sahut Arizal. “Katain…Katain.” Sorak-sorai penonton meminta aku mengatakan sesuatu itu ke Arizal. Gini ceritanya, terpaksa deh aku ngatain juga. “Zal, 13 tahun kita nggak ketemu tapi namamu masih bertahta rapi di lubuk hatiku terdalam. Aku sukses seperti ini juga karena kamu. Aku benerbener mencintaimu. Kamu adalah tujuan dan penyemangat hidupku.” Aku bernapas sejenak. “Buat pacarnya Arizal, kamu jangan cemburu apalagi minta putus ya. Aku nggak akan merebut dia dari kamu kok. Aku sadar diri siapa aku dan siapa Arizal. Kami terlahir bagai langit dan bumi. Kebahagian Arizal bersama orang yang lebih sempurna, dan orang itu kamu. Jaga baik-baik Arizal ya. Kalau kamu nyakitin dia, aku yang akan kembali memperjuangkan Arizal.” Tes! Air mataku akhirnya jatuh juga. Walau mulutku berkata demikian, lubuk hatiku terdalam sakit. Aku ingin memilikinya. Aish, acara hitam putih benar-benar keren. Bisa bikin perasaanku campur aduk, antara malu, sedih dan lega. Lega karena kata-kata yang kupendam selama belasan tahun berhasil aku ucapkan di depan Arizal langsung. Pukul 21.00 “Wuih, gila Rin yang lo ucapin di hitam putih tadi keren banget. Gue sampe nangis dengernya,” ujar tante memujiku. Sebenarnya tim hitam putih menawarkan aku sama mama menginap di hotel. Tapi aku tolak, karena pengen menginap di rumah tante aja. Kebetulan rumah tanteku dekat sama studio hitam putih. Sebagus apapun tempat tidur di hotel, tetap lebih enak tidur di tempat keluarga kan?  “Kok gue nggak pernah tau ya tentang cinta pertama lo.” “Kalau soal cinta mah, itu privasi. Orang tua nggak boleh tau.” “Oh iya Rin, tadi dapet bayaran nggak di hitam putih?” celetuk om iparku. Untung Om iparku ngingetin. Buru-buru aku ambil amplop putih dari dalam tas. Dalam sekejap amplop itu lenyap, diambil mama. Aku coba mengintip isinya, uang ratusan ribu. “Seratus dua ratus, tiga ratus,” ujar Mama menghitung lembar demi lembar uang di amplop. “Ya, totalnya 7 juta, Bo.” Pekik mama. Mataku membulat. “Serius? Hasilnya 7 juta?” “Kalau lo nggak percaya coba hitung sendiri, nih!” Mama menyerahkan uang di amplop itu ke aku. Aku mencoba hitung ulang. Benar. 7 juta. “Pantesan artis cepet kaya, wong tiap interview acara talk show aja dibayar 7 juta.” Mata mama berbinar. “Asyik, lumayan buat shoping plus beliin oleh-oleh warga kampung.” Benar juga sih kata mama. 7 juta lumayan buat shoping. Sudah lama aku nggak shoping. Terakhir shoping bulan April 2014. “Hoaaam.” Aku menguap lebar. Mataku ngantuk berat. “Tan, kamar kami dimana nih? Dah disiapin belum?” “Sementara make kamar Sofie aja ya. Tuh, kamarnya di sana.” Tante menunjuk kamar dekat ruang tamu. Aduh, aku jadi nggak enak. Sofie ngerelain kamarnya buat aku. “Emang lo mau tidur sekarang? Biasanya kan lo tidur abis subuh.” “Mungkin karena kecapekan kali, Ma. Dari bandara kan angsung talk show. Ya, udah yuk kita tidur biar besok bangun, badan sudah segar lagi. Jadi kita shopingnya enjoy.” “Setuju.” Aku sama mama ngacir ke kamar Sofie. Di luar tadi mataku berat banget buat melek, pas rebahan di kamar Sofie malah nggak bisa tidur. Bayangan Arizal terus menari di pelupuk mataku. Pengen banget teriak, “Arizal, lo nyebelin banget sih. 18 tahun tahun bikin gue jatuh cinta dan sekarang lo bikin gue nggak bisa tidur.” Tapi berhubung sudah malam, takut ganggu orang tidur terpaksa deh teriaknya dalam hati saja. 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices