
by Titikoma

Kejutan Dari Penerbit
1 Desember 2015 Aku bangun tidur lebih awal dari biasanya. Namun tetap saja hal pertama yang kulakukan adalah ngeck HP. Ada satu sms masuk, datang dari editor Wahyu Qolbu. Rin, kamu masih di Jakarta kan? Kamu datang ke kantor WQ jam 10 nanti ya, aku beserta penerbit Wahyu Qolbu ingin ngasih kejutan buat kamu? Aku tunggu kedatanganmu. See you. Buru-buru aku keluar kamar, aku ingin memberitahu mama tentang sms dari Editor Wahyu Qoblu. Begitu di luar kamar aku malah disambut tatapan heran. “Ma, kenapa sih natap aku gitu banget? Ada yang salah gitu sama penampilanku?” “Gue cuma heran aja, tumben banget lo bangun pagi. Biasanya kan tengah hari.” “Aku nggak bisa tidur nyenyak, Ma. Makanya bangun cepet.” Si tante ngikik. Aku sendiri nggak tau penyebabnya apa. “Oh iya Ma, hari ini kayaknya jadwal kita shoping harus diundurin dikit deh. Soalnya kita harus ke kantor Wahyu Qolbu dulu. Tadi Mas editor Wahyu Qolbu sms aku, katanya mereka pengen ngasih kejutan buat aku.” Aku memperlihatkan sms Mas Editor Wahyu Qolbu ke mama. Ekspresi wajah mama kali datar aja. Nggak seperti biasanya, dengar kata ‘kejutan’ langsung heboh. “Jadwal lu hari ini bukan cuma ke Wahyu Qolbu aja, tapi masih banyak lagi yang kamu datangin.” Dahiku berkerut. Aku sama sekali nggak ngerti apa maksud mama. “Hah? Emang aku artis? Banyak jadwal segala?” “Iya, lu sekarang dah jadi artis,” celetuk tante. Mama menyodorkan kertas HVS ke aku. “Ini jadwal lo dari hari ini sampai tiga hari ke depan. Semuanya dah gue susun rapi. Lo baca sendiri gih.” Oke, kubaca kertas yang diberikan mama. 26 November 2015. Pukul 10.00 wib ke kantor Wahyu Qolbu Pukul 13.00 wib talk show di kick andy. Pukul 15.00 interview di I-Radio Pukul 17.00 syuting iklan special memperingati hari difabel international. 27 November 2015. Pukul 08.00-13.00 ngisi pelatihan menulis di sekolah Sherina Salsabilla. Pukul 15.00 interview di Jakarta Selatan. Pukul 18.00 pemotretan special hari buku nasional. 28 November 2015. Pukul 08.00-17.00 ngisi motivasi di 3 SLB yang ada di Jakarta. Tuing. Jadwalku banyak banget. Ngalahin jadwal Briptu Norman aja. Sanggupkah aku menjalani job-job yang sudah tertulis. Ada satu hal yang bikin aku heran. “Ma, kenapa mama nerima job-job di atas tanpa persetujuan aku dulu? Aku takutnya nih, nggak sanggup jalanin job-job di atas.” “Sayang nolak rezeki. Job-job di atas fulusnya gede loh. Lagian tadi pagi gue nggak tega bangunin lo yang tidur pules. Gue yakin lo pasti sanggup jalanin job-job di atas.” Mendadak lemas. Kalau jadwalku di Jakarta sebanyak itu, kapan coba jadwalku shoping ke mall dan ke lokasi syuting 7 Manusia Harimau. Dari Martapura aku sudah berniat kalau ke Jakarta, pengen mampir ke lokasi syuting 7 Manusia Harimau. Nasi sudah jadi bubur. Mau nggak mau ya aku tetap harus jalanin jobjob itu. Disyukuri aja deh. Siapa tau job-job itu kalau dikumpulin hasilnya mampu mewujudkan impian-impianku yang lain seperti : Mendirikan penerbit mayor label dan membeli kenangan. “Yeee … nih anak malah bengong. Ayo buruan lo mandi! Ntar telat loh ke Wahu Qolbu.” “Iya, Ma. Ini aku mau ke kamar mandi.” Pukul 10.15. Aku tiba di kantor Wahyu Qolbu telat lima belas menit. Ya, makmulah namanya juga di Jakarta. Kalau datang telat, sudah bisa dipastikan garagara terjebak macet. Aku berharap tim redaksi memakluminya. “Selamat datang di Wahyu Qolbu, Rin.” Mas Editor menyambut kedatanganku dengan ramah. “Maaf, ya kami telat. Tadi kejebak macet.” “Iya, nggak apa-apa. Yang penting kamu dah nyampe. Tuh, kejutannya ada di dalam. Tapi sebelum kamu lihat kejutannya, mata kamu harus ditutup dulu.” Tadinya aku pikir yang memakaikan tutup mata ke aku itu Mas Editor sendiri. Tahunya bukan. Mbak karyawan Wahyu Qolbu yang memakaikan tututup mata itu ke aku. Aduh, kenapa pakai ditutup segala sih? Pikiranku melayang kea rah tahun 2007 lalu. Saat dimana Mas Adit menyatakan perasaannya ke aku. Sebelum menyatakan perasaan dia juga menutup mataku dulu. Usai memakaikan tutup mata, dia mendorong kursi rodaku. Baru lima menit jalan langkahnya terhenti. “Loh, kok berhenti?” tanyaku heran. “Ya, karena kita sudah sampai di tempat kejutan.” “Berarti aku boleh buka tutup mata dong?” “Bentar, biar aku aja yang bukain tutup matamu.” Dengan lembut dia membuka tutup mata. Sumpah, perlakuan dia sama persis seperti yang dilakukan Mas Adit. Hiks … jadi kangen dia. “Nah, sekarang coba buka matamu pelan-pelan,” ucapnya begitu selesai melepas tutup mataku. Jreng! Hal pertama yang kulihat adalah di depanku ada 5 orang cowok. Salah satunya aktor yang kemarin aku disebut-sebut namanya saat interview sama Kompas tv. Siapa lagi kalau bukan Dude Harlino? Berulang kali aku mengucek mata, berharap salah lihat. Namun ternyata hasilnya tetap sama, yang di depan mataku Dude Harlino. “Mas, dia Dude Harlino asli atau KW?” tanyaku ke Mas Editor. Si Dude Harlino hanya tersenyum manis. “Ya, asli dong. Mana ada Dude Harlino KW?” “Kalau asli ngapain Mas Dude ke sini?” “Mau mewujudkan keinginanmu.” “Perkenalkan saya Roxcy Soraya, saya produser Soraya Intercine film.” Seseorang pria mengajukan tangannya. Dan senang hati aku menjabar tangannya. “Kemarin saya liat kamu di kompas tv, terus saya tertarik mengadaptasi novel KBS ke layar lebar. Dan pemeran utamanya Dude Harlino.” Aku cengo. Ini mimpi atau nyata sih? Kucoba cubit pipi sendiri tapi ternyata sakit. Berarti nggak mimpi dong? “Kamu nggak mimpi kok, ini kontrak kerjasama adaptasi novel ke layar lebar.” Jadi ini kejutan dari penerbit? Gila, keren. Sama sekali di luar dugaanku. Mas Roxcy menyerahkan kontrak itu ke aku. Tapi aku serahkan lagi ke mama. Biar mama aja yang baca isi kontraknya. Palingan berisi perjanjian dan harga karya. Aku nggak memedulikan harga. Yang penting bagiku novel difilmkan. “Gimana mama setuju nggak aku nandatangi surat kontrak ini?” tanyaku meminta pendapat mama. “Mama setuju kok. Lagian dikontrak ini sama sekali nggak merugikan penulis.” Kalau mama sudah setuju, aku tinggal tanda tangan aja di kolom yang telah disediakan. Usai tanda tangan mereka berpamitan, katanya ada urusan lain. “Mas Dude tunggu!” aku menahan kepergian Dude Harlino. Langkah Dude Harlino terhenti. “Ada apa?” “Boleh foto nggak? Ketemu artis kalau nggak foto itu nggak afdol.” “Boleh banget.” Aku memberikan hape ke Mas editor, biar dia aja yang motoin. Mas Dude sampai jongkok, biar sejajar denganku. Gaya yang kupakai sekarang, senyum manis sambil megang novel Kau Begitu Sempurna. 1…2 Kilatan blitz di hapeku terlihat, pertanda foto sudah tersimpan. Langsung saja foto tersebut kuunggah ke facebook dengan caption, “Allah itu baik banget dan selalu tahu apa yang diinginkan umatnya. Baru kemarin aku ingin novel KBS difilmkan dengan PU Dude Harlino, eh hari ini keinginan sudah dikabulkan Allah. Makanya guys, kalo doa kalian belum terwujud jangan berburuk sangka dulu. Yakinlah, Allah akan mewujudkan keinginanmu di waktu yang tepat. Nungguin aja novel KBS versi film!” Kata-kataku di facebook sekarang jadi bijak euy. Mungkin karena habis ketemu Mas Dude Harlino kali ya makanya ketularan alim. Hehehe.