
by Titikoma

Membeli Kenangan
Aku yang dulu, bukanlah yang sekarang Dulu ditendang, sekarang ku disayang Dulu… dulu kumenderita Sekarang aku bahagia Lagu Tegar berjudul Aku yang dulu, bukan sekarang. Menggambarkan kehidupanku juga. Aku masih ingat betul, perjalanan hidupku dari SD sampai sebelum jadi penulis. Penolakan dan cibiran sudah menjadi makananku sehari-hari. Namun kehidupanku yang sekarang, berbanding terbalik dengan yang dulu. Semua mata kini tertuju padaku. Aku telah berhasil menjadi motivator nomor 2 di Indonesia. Bahkan aku juga berhasil mendirikan usaha penerbitan mayor label. Bukan hanya itu saja, hasil kesuksesanku mampu membuatku membeli kenangan. Sejak kemunculanku di hitam putih, banyak teman terdekatku seperti tante, Mitha, Mom Fitria Pratnasari, dan Devi memintaku menetap di Jakarta saja. Mereka juga siap sedia mencarikan rumah untukku atau malah memberikan tumpangan gratis. Namun semua permintaan mereka kutolak secara halus. Aku lebih memilih menetap di tanah kelahiran, Solo Jawa tengah. Di Solo, aku membeli rumah sederhana yang terletak di Jalan Semen Romo Rt. 07 Rw. 16 Kec. Grogol. Kab. Sukoharjo. Gang 1, no. 14. Walaupun sederhana namun rumah ini penuh kenangan. Kenangan nonton telenovela bareng tetangga, main bersama teman SD. Kebetulan pemilik rumah ini yang baru temannya papa, jadi aku membeli dengan harga murah 100 juta saja. Dengan membeli rumah ini sama saja kan aku membeli kenangan? Jika dulu aku tinggal di rumah ini bersama papa dan mama, kini aku tinggal bersama Athiyah. Dia resmi jadi asisten pribadiku. Padahal ketika di Martapura, dia berprofesi sebagai kaur desa. Papa dan Mama nggak bisa tinggal bersamaku, karena mereka sibuk mengurus warga. Secara sejak tahun 2013 papa jadi kepala desa Keramat Baru. Eits, Pak Dhe beserta istrinya juga ikut tinggal bersamaku. Mereka disuruh papa menjagaku dengan baik. Yang mengherankan, sejak dari memasuki gang 1, rumah-rumah pada sepi. Pintunya tertutup rapat bagai kampung tak berpenghuni. Dulu itu rame banget, apalagi sore-sore seperti ini. Mereka pada nongkrong di teras. Kemana mereka? Aku BBM Mbak Nanik dulu. Mbak Nanik itu tetanggaku yang paling baik. Rumahnya tepat di depanku ini. Kulirik rumahnya, juga ikutan terkunci. Mbak Nanik aku dah nyampe rumahku yang lama nih. Mbak Nanik kemana? Aku kangen tau sama sampean. Nihil. Nggak ada balasan dari Mbak Nanik. Saat kucoba miscall nomornya aktif kok. “Rin, sampai kapan kita nunggu di sini? Sebenarnya kamu nungguin siapa sih?” Tanya Athiyah. “Ya, udah deh. Yuk, kita masuk sekarang juga. Nih, kuncinya!” aku memberikan kunci rumah baru ke Athiyah. Begitu pintu terbuka, betapa terkejutnya aku. Semua tetanggaku yang dulu ternyata sudah berkumpul di rumahku. “Selamat datang kembali di kampung ini, Ariny.” Mbak Nanik berucap ramah. Ah, sial. Aku dikerjain. Tapi aku menyukainya. Aku pun berpelukan dengan mereka, melepas rindu karena 12 tahun nggak ketemu. Banyak perubahan yang terjadi sama mereka. Terutama pada teman-temanku waktu kecil. Seperti : Huda, Via, Ana, sampai Mbak Tika. Huda tambah ganteng, Via, Ana tambah cantik. Bahkan Mbak Tika sendiri sudah punya anak cewek. Jadi pengen punya baby cewek juga. Aku membuka tas, lalu mengeluarkan hape. Dan Hape itu kuberikan ke Athiyah. “HP-nya buat gue?” “Enak aja. Gue minta tolong sama lo, buat fotoin gue sama mereka.” “Oke, deh.” Kami berjejer rapi, lalu memasang pose wajah yang paling kece sejagat raya. 1…2 Kilatan blitz di hapeku terlihat, pertanda foto sudah tersimpan. Langsung saja foto tersebut kuunggah ke facebook dengan caption, “Waktu memang bisa merubah penampilan mereka, namun ada satu yang tak bisa berubah dari mereka yaitu hati. 12 Tahun tak bertemua, mereka tetap baik dan ramah sama aku. I Miss, All tetanggaku.”