
by Titikoma

Pedekatenya Ke Mamanya Dulu
19 Maret 2016
Acara reunian sama Khusnul, Navis, Nisa, Iska, Nurdin, dan Taufiq di acara
wisuda Arizal belum puas. Maka dari itu kali ini aku mengundang mereka
untuk datang ke rumahku. Sekalian aku mau minta saran dari mereka
tentang bagaimana caranya mendapatkan hatinya Arizal. Bedanya mereka
datang bersama keluarga kecil, kecuali Taufiq. Dia masih single.
“Wah, rumahmu nggak berubah ya. Sama seperti tiga belas tahun yang
lalu.” Khusnul terkagum-kagum melihat rumahku.
“Ya, dong. Makanya aku beli rumah ini lagi,” jawabku.
“Terus ada apa nih kamu ngundang kita-kita ke sini?” Nurdin angkat
bicara.
“Ya, sekadar ngumpul-ngumpul aja. Jalin silaturrahmi setelah tiga belas
tahun terputus. Sekalian pengen kenal juga sama keluarga kecil kalian.”
“Yakin nih cuma itu tujuanmu? Bukan karena ingin nanyain sesuatu gitu?”
celetuk Taufiq.
Glek!
Aku menelan ludah. Aish, si Taufiq tau aja tujuan utamaku. “Iya, sih. Aku
sebenarnya pengen nanyain sesuatu sama kalian.”
“Jangan bilang kamu nanyain tentang Arizal.”
Aku hanya nyengir kuda. Lagi-lagi tebakan Taufiq benar. “Tau aja kamu,
Fiq.”
“Kan dah aku bilang, kalau mau tau tentang Arizal jangan nanya sama aku.
Aku nggak pernah ngobrol lagi sama dia sejak SMA,” ujar Taufiq.
“Apalagi aku, sejak lulus SD nggak pernah komunikasi sama Arizal lagi.”
Nisa menyahut.
“Kalau kamu mau nanya Arizal, noh Tanya sama lakinya Navis. Dia sohibnya
Arizal dari SMA sampe kuliah.” Khusnul memberikan pencerahan. Pandangan mataku ke arah suaminya Navis. “Mas, bocorin tentang Arizal
dong. Kamu pasti tau kan tipe cewek idaman Arizal kek gimana, terus cara
dapetin cinta Arizal kek gimana.”
“Arizal itu tipe cowok yang sayang banget sama mamanya. Jadi kalau
kamu pengen dapetin cinta Arizal, kamu pedekatain mamanya dulu.”
Aku diam sejenak memikirkan kata-kata suami Navis ada benarnya juga.
Jadi ingat Mas Adit, mungkin mamanya Mas Adit nggak merestui karena
dari awal aku nggak pernah pedekate sama beliau. Tapi ya sudahlah.
Sekarang sudah nggak penting lagi.
Khusnul mengibaskan tangannya ke mataku. “Hello, kok kamu malah
bengong?”
Seketika aku tersadar dari lamunan. “Eh, nggak kok. Aku lagi mikir aja
yang dikatain suaminya Navis ada benarnya juga. Thanks, ya sarannya.”
“Nah, pertanyaan kamu kan sudah terjawab, gimana kalau kita karaokean?
Udah lama nih kita nggak nyanyi-nyanyi bareng.” Celetuk Iska.
“Setuju.” Khusnul, Navis, Nis, Nurdin dan Taufiq menjawab ide Iska
serentak.
Aku hanya geleng-geleng kepala. Mereka dari zaman SD sampai sekarang
nggak berubah. Walaupun suara mereka pas-pasan bahkan bisa dibilang
bikin kuping tetangga pecah tapi tetap saja hobi karaokean.
Karena semua setuju, aku nggak ada pilihan lain selain menuruti
permintaan mereka. Tiga belas tahun lalu, kami karaokean lewat VCD,
berhubung tahun 2016 zaman makin canggih jadi kali ini karaokeannya
aplikasi smule. “Guys, kita nyanyi make lagu apa nih?” tanyaku.
“Lagu kenangan kita waktu SD aja. Sheila on 7.” Navis angkat bicara.
Ya, aku masih ingat lagu kenangan waktu SD itu Sheila on 7 berjudul Kita.
Aku sibuk mencari sibuk mencari lagu tersebut di aplikasi smule. Begitu
menemukannya langsung klik play.
Dan kau bisikkan kata cinta
Dan kau telah percikkan rasa sayang Pastikan kita seirama
Walau terikat rasa hina.
Sejenak kebimbangan hati dan kegalauanku terangkat ketika menyanyi
bersama mereka. Ah, mereka memang sahabat sejatiku. Aku bersyukur
mengenal mereka. Aku berharap persahabatan ini akan terus terjalin
sampai maut yang memisahkan.