
by Titikoma

Puisi Cinta
“Belum tidur Zani?” “Belum. Ngak bisa tidur.” “Hehe. Pasti ada yang dipikirin yah? Mikirin apa nih...?” “Kuliah padat and memusingkan ” “Usah dipikirkan. Nikmati saja.” “Nikmati apaan? mumet ya tetep mumet. Apalagi besok bertemu MK yang menjemukan.” “Siapa dosennya?” “Pak Nas. Mana pernah ia menerangkan tentang angka yang berderet. Dari mana asal muasalnya. Tau-tau hasilnya sudah didapat. Tanpa proses.” “Tanya dong.” “BT. Tiap mahasiswa yang nanya pasti jawabannya ‘cari sendiri jawabannya, kalian bukan lagi anak SMA yang disuapin’. Rese kan? Kamu enak sih bisa bersastra melulu. Bisa mengkhayal. Buat puisi yang aduhai. Oh, ya. Thanks ya puisinya, aku suka.” “Beneran suka puisiku?” “Pasti dong.” “Untukmu pasti akan selalu kubuat puisi.” “Ciyus?” “Beneran. Di dekatmu, proses berpuisi serasa mudah. Biasanya lama juga buat puisi.” “Wah, aku sumber inspirasi dong. Hihi.” “Pasti... Kau sumber inspirasiku.” “Tersanjung 2000. Kayaknya asyik deh bisa berpuisi. Suatu hari pasti aku bisa.” “Sering ke perpus dong...” “Ngapain?” “Ya baca dong. Emangnya pacaran. Haha.” “Haduh malu ih. Ketahuan aslinya?” “?” “Ketahuan bahwa aku jarang banget ke perpus. Jarang banget baca buku. Wkwk.” “Lihat-lihat saja dulu. It’s oke. Tidak semua orang ke perpus tuk baca buku juga. Yang penting mengenal dulu perpus.“ “Ya, moga aku bisa belajar. Lagi sibuk ngapain sekarang, Syad?” “Nyari bahan tuk persentasi besok. Belum kelar nih.” “Ehm. Oke deh. Met kerja ah. Met malam. Aku off dulu yah.” “Jangan lupa baca inbox-ku yah.” “Sip!” Aku memutus chatting-an dengan Arsyad. Cara yang mungkin jitu untuk mengakhiri supaya tidak berlanjut. Begitulah selalu, Arsyad yang memulai dan aku yang mengakhiri. Walau selalu merasa bahagia bila ada yang menemani. Apalagi di saat aku susah untuk tidur. Bermain dalam dunia maya sendirian. Pastilah Arsyad akan selalu menemani. Tapi aku selalu membatasi diri. Aku tak mau Arsyad banyak berharap padaku. Kendati mulai ada yang bermekaran di hatiku, tapi aku tak mau terlarut. Tak mau secepatnya berubah. Mungkin itu hanya permulaan saja. Aku begitu menyukai tulisan-tulisan Arsyad yang kerap dikirim padaku. Isinya begitu romantis dan berbunga-bunga. Selalu membuat anganku melambung terbang entah ke mana. Bukan hanya aku yang pastinya akan merasa terpesona dengan tulisan Arsyad, pun yang lain. Jika membaca, pastilah akan sama denganku. Tersanjung. Maka aku tak mau terlarut dalam pesona Arsyad yang semu. Mencampurbaurkan pesona tulisan dalam pribadi Arsyad. Arsyad semakin gencar mendekatiku. Berbagai cara ia lakukan agar ia dapat menarik perhatianku. Hem. Perjuangan yang benar-benar tangguh. Aku sebenarnya tertarik pada Arsyad. Kulitnya putih, menarik dan satu lagi, ia pintar. IPK tiap semester yang diperolehnya pastilah akan membuat decak kagum semua orang. Pantaslah kalau kemudian Arsyad senantiasa mewakili kampus untuk mengikuti perlombaan di bidang sastra yang diadakan tingkat Perguruan Tinggi. Sebagai anak sastra yang menyukai dunia tulis menulis, cukup banyak prestasi yang diraihnya. Senjata itu pulalah yang kemudian gencar ia serangkan padaku. Puisi cinta yang puitis, di wall, inbox, BBM atau chat. Hampir tiap hari nyangkut padaku. Puisi yang begitu puitis, yang terkadang sulit kuterjemahkan. Namun aku tahu bahwa Arsyad mendambaku. Tak lelah sapaan pagi ia tag-kan di wall. Tiada henti dan tiada jenuh. Tak lelah memberi kata indah untukku. Dan hati ini sepertinya sudah terbiasa menunggu gerangan kata indah yang akan Arsyad sampaikan. Kangen tiba-tiba akan datang tak diundang jika sehari saja Arsyad tak menyapaku di dunia maya. Kata-kata puitisnya mampu membuat getaran rindu di dada. Ada kangen yang datang dan merangkul hati ketika sebait kata cinta mulai bermekaran dan mengujungi taman hati ketika membaca Facebook. Maka kesepian yang kerap datang padaku sedikit terobati dengan adanya kata indah dari Arsyad. Puisi dari Arsyad ibarat obat yang mampu menawarkan kegersangan yang merambati labirin hati. Ketika kembang cinta mulai bermekaran di hatiku. Mulai menyapa tiap waktu, menghantarkan kehangatan yang sulit kubendung. Asmara mulai hadir menyentuhku perlahan. Aku semakin terlena, tapi aku tak mau membuat suatu keputusan untuk menerima cinta Arsyad. “Wanita itu adalah dewi bagiku. Kembang cinta yang selamanya akan bermekaran dan mewangi di tubuhku. Tak pernah beranjak. Dan takkan lelah hati menunggu, sang dewi ke dalam pelukanku. Usah ucapkan cinta. Lewat mata, bibir dan senyum. Aku tau kau pun merindu.” “Ketika kembang itu sempat layu, ketika benih lain menyeruak di hatiku. Sejenak terlupa dan kemudian harummu kembali mewangi, menjerjak pijakan, menggenapkan langkah, untuk senantiasa yakin. Kau adalah milikku.” “Ada luka yang diam-diam hadir menemani, ketika pucuk kembang yang dirindu dikelilingi kumbang. Ada banyak kumbang di sana yang sama ingin menghisap sarimu. Luka yang begitu menganga. Tapi aku tak mau membuat bungamu lusuh dan kuyu. Cukup sudah mata ini melihatmu, bahwa sarimu tetap terjaga. Cukup sudah, ketenangan masih tetap terjaga.” “Yakinkan diriku. Bahwa rindu begitu menggebu. Menyemangati untuk terus maju dan maju. Dan harum wangimu masih tersesap, terasa olehku. Kau masih mewangi, dan tetap untukku.” Berulang aku baca tag di wall FB-ku. Entahlah siapa sebenarnya dia. Profilnya adalah bunga krisan merah yang menarik. Bunga kesayanganku. Kenapa kali ini aku begitu tertarik meneliti siapa orang di balik semuanya. Adalah profil bunga krisan merah yang membawa petualanganku untuk membuka profil dirinya. Krisan merah. Mengingatkanku pada seseorang yang dulu pernah kuberi. Ketika masa orientasi akan berakhir. Sebagai ajang pendekatan dan bermaafan, pun sekaligus bersilaturahmi antara mahasiswa baru dengan kakak-kakaknya. Maka setiap orang harus memberikan setangkai bunga dan memberikan pada kakak idolaya. Pilihanku jatuh pada seseorang. Belum tahu namanya. Hanya kulitnya yang putih bersih serta sempat berpuisi di depan aula untuk kami. Itulah yang sempat kuingat. Aku terpesona dengan puisi yang dibacanya. Begitu haru dan penuh makna. Nama laki-laki yang kemudian sering kuingat bersamaan dengan sering munculnya kata-kata indah di wall FB-ku. Puisi dan krisan merah adalah perpaduan yang unik. Aku bisa menebak siapa dia. Arsyad Handika. Puisi yang selalu di-tag untukku, asalnya tak kuhiraukan. Tapi semakin lama aku mulai membuat comment, karena rasa tak enak saja. Apalagi kemudian aku tahu siapa Arsyad sebenarnya. Maskotnya Fakultas Sastra, yang mempunyai seabrek prestasi. Comment yang kubuat semakin membuat Arsyad sekarang ini begitu gencar mengirimiku pesan-pesan yang romantis. Salahkah aku jika kemudian membandingkan Arsyad dengan beberapa laki-laki yang pernah jalan bareng denganku? Arsyad yang pendiam tapi aku tahu bahwa ia pandai merangkai kata. Menyematkan abjad-abjad terselubung menjelma puisi indah nan menawan. Kurasakan dari puisinya yang selalu terkirim untukku. Membacanya saja sudah membuat melambung jauh. Merasakan perasaanku yang terbang melayang. Aku mulai merasakan debaran indah di dada ketika puisi Arsyad menemani, menghilangkan kesenyapan. Dan kemudian kami menjadi begitu akrab di dunia maya. Dan sesekali terlihat jalan bareng di kampus. Tak ayal teman-teman di kampusku mulai mengendus ada kedekatan di antara kami. Aku? cuek saja dengan semua omongan yang diberikan orang. Karena bagiku Arsyad adalah tetap temanku, tak ada yang spesial, walau diam-diam dalam hatiku nama Arsyad mulai bermain dan bermekaran di hatiku. Dan aku tak tahu apakah aku jatuh cinta pada Arsyad? Atau hanyalah bentuk rasa bangga dan kagum pada karya Arsyad? Arsyad? Kiranya malah lebih senang dengan pendapat teman di lingkungan kampus. Terbukti ia malah dengan setia dan lebih rajin melontarkan puisi indah di wall-ku. Tak ayal lagi teman-teman yang melihat Fb-ku berkata bahwa aku dan Arsyad sedang jatuh cinta. Dan Arsyad seperti mendapat angin, seperti mendapat dukungan dari teman-teman kampus yang seolah mendukung untuk mendapatkanku, maka tak hentinya ucapan indah mengalir deras untukku. Semakin membuat list panjang cerita orang tentang kami. Bahwa di antara kami ada kedekatan yang lebih spesial. Tak lagi sebatas persahabatan yang selama ini sering kukatakan pada teman-teman. Setiap puisi atau kata yang disematkan padaku. Selalu kubalas, tak pernah ada yang terabaikan. Pastilah Arsyad semakin mengira bahwa aku terbuka untuknya. Memberikan ruang untuk segera disinggahi. Sulit untuk dimengerti tentang hubungan kami. Kami saling membutuhkan, tanpa perlu ada ucap cinta. Yang pasti kedekatan kami cukup membuat aku bahagia, walau tanpa perlu menjadi seorang pacar. Cukup sudah, yang penting bagiku Arsyad tetap dapat menyemarakkan hatiku. Beberapa hari ini Arsyad tak lagi mengunjugi FB-ku, pun di dunia nyata. Ia seolah menjauh dariku. Entah tersinggung atau apa. Yang pasti semenjak di kampus santer terdengar bahwa Beno telah nembak padaku. Sialan. Beno anak PA yang cenderung berandal dan sedikit urakan itu. Siapa yang berani menebarkan gosip tak sedap ini? Hem, rupanya Beno CS sudah menebar gosip ini. Menggertak Arsyad dengan cara yang licik. Diam-diam aku mulai menyesal. Kenapa tidak kuberi keputusan pada Arsyad, bahwa aku sebenarnya juga mencinta. Beginilah pada akhirnya. Arsyad mungkin termakan gosip murahan. Mengira bahwa aku dan Beno benar-benar sudah jadian. Dalam kesendirian, seringkali kubaca puisi dari Arsyad yang senantiasa kusimpan rapi. “Di sana di kampus biru. Namamu berada paling nomor satu. Kampus dan hati adalah suatu penautan tentang kita. Di antara deretan bunga–bunga yang selalu kulihat. Kau selalu penuh pesona menebar ke setiap waktuku. Ingatkah, bunga krisan terselip hanya untukku?” “Ada jejak rindu yang semakin rimbun. Cinta itu begitu luar biasa selalu datang di kala hati merindu. Dan aku tau bahwa rinduku begitu sombong dalam kesendirian. Bunga krisan yang bermekaran begitu indah berteman di hati. Ibarat hati yang tumbuh semerbak dalam naungan buah kasmaran. Hanya kau yang kurindu, untukmu puisi cintaku. Sementara kau? Tetap membisu dan tiada desis pun yang terdengar... Aku harus melangkah, menjauh. Demi kebebasanmu mendapat cinta.”