Menantimu

Reads
114
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

Hidup Baru

Kujalani masa berkeluarga dengan hidup seadanya. Aku tak mau membebani semua orang yang dulu pernah merawatku. Mereka adalah kenangan yang terindah bagiku. Kini semua akan kujalani sendiri. Mencoba merangkak dari nol, berjalan sendiri dari kepedihan dan kegetiran hidup. Walau aku akui kegetiran dan jalan onak berduri seringkali kutemui dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi aku ingin membuktikan pada semua orang bahwa aku mampu menanggulanginya. Mampu mengatasi segala masalah. Karena cinta. Ya, cinta telah menguatkan hatiku agar mampu berdiri kokoh di antara kerikil tajam. Aku tak mau menjadi pribadi yang cengeng yang hanya menengadahkan tangan dan meminta. Kukuatkan diriku untuk menjadi kebanggaan yang lain. Terutama mama dan papaku. Aku ingin mereka bangga bahwa aku anaknya mampu menjalani rumah tangga tanpa uluran tangannya. Sengaja aku lakukan itu. Walau papa dan mamaku kerap menelpon dan memintaku untuk memakai uang yang sering kali mereka transfer ke rekeningku. Tapi aku bertahan. Aku mau mandiri tanpa bantuan dan uluran tangan mereka. Walau bukannya sekali, seringkali aku kehabisan uang. Tapi aku tak sedikit pun tergiur untuk menikmati uang transferan dari orang tuaku. Maafkan aku Ma, maafkan aku, Pa. Bukannya aku tak menerima balas budi kalian. Bukannya aku tak memerlukan bantuan kalian. Tapi untuk saat ini aku menginginkan sesuatu yang lain dari yang lain. Aku ingin benar-benar menikmati kehidupan baru. Menikmati indahnya rumah tangga tanpa ada pasokan dana dari siapa pun. Pun itu dari kalian, orang tuaku sendiri. Berat memang mengawali perjalanan di awal kali. Aku yang dulu bergelimang harta, tinggal meminta ini dan itu, kini semua berbalik. Aku harus mengurus semuanya, mengatur keuangan yang sedemikian rupa. Yang sudah sangat cukup. Cukup untuk sekedar hidup pas-pasan. Terlalu cukup untuk menangani semua. Pertama kali aku mengatur keuangan, keuangan dari penghasilan Raka yang hanya pegawai biasa seringkali habis di tengah jalan. Ujung-ujungnya Raka marah tak karuan. Menganggapku seorang istri  yang tak bisa mengatur keuangan rumah tangga. Aku menangis ketika Raka memarahiku. Tapi itu tak berlanjut lama, aku harus bangkit dari keterpurukan, aku harus membuktikan pada Raka bahwa aku, Anzani Astuti, seorang anak gedongan yang ayahnya pengusaha dan sangat kaya, mampu hidup sederhana dan tegar menghadapi hidup. Aku tak boleh cengeng. Kuhapus air mataku, aku tak mau bayi dalam kandunganku ikut menangis, melihatku bersedih. Beruntung kuliahku dapat kuselesaikan atas dukungan Raka. Walau terkadang ia sangat galak, dan memarahiku. Tapi di balik semua itu ia menyimpan cinta dan perhatian yang begitu besar. Ia menginginkan agar aku bangkit dan senantiasa melihat dunia nyata tanpa pernah mau tahu dan tanpa pernah ada rasa. Bahwa aku dulu adalah seorang anak mama yang begitu manja dan bergelimang harta. Di balik kemarahannya, Raka menyimpan sejuta cinta yang mendayu. Ia sengaja membuatku seperti itu untuk mengajariku. Untuk membuka mataku lebar-lebar. Agar aku tak pernah berkhayal. Berkhayal dengan semua mimpi yang dulu pernah menyelimuti hati dan mataku. Rindu bahwa suatu saat aku akan menjadi seorang yang besar di bawah bayangbayang orang tuaku. Pengalaman orang tuaku yang bergelimang harta tapi tak mempunyai cinta senantiasa menjadi pandangan dan bangkitnya diriku bahwa aku harus mandiri. Aku harus membuktikan bahwa cinta mampu mengubah semuanya. Dengan cinta mampu melampaui sagara kepedihan. Kan kubuktikan pada dunia dengan cinta aku mampu mengusir kegundahan dan kemelut yang kerap datang dalam bilik hatiku. Bilik rumah tanggaku. “Apakah kau tak menyesal menikah denganku?” Raka menatap lekat wajahku. Kujawab dengan senyum. Senyum terindah untuknya. Dan dengan pasti kugelengkan kepala. “Justru aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Apa kau tidak menyesal menikahiku? Aku kan...” “Sudahlah, jangan kau lihat ke belakang. Aku sangat mencintaimu, Zani.” “Yakin?” “Sangat yakin. Maafkan aku tak bisa memberimu harta yang bergelimang,” ia merengkuh badanku. Membenamkan wajahku ke dadanya. “Aku yang berterima kasih padamu. Berkatmu aku mampu hidup. Berkat cintamu aku mampu mengusir senyap yang seringkali mampir dan singgah di hatiku,” aku tersenyum. “Mudah-mudahan kau diberi kesabaran. Dan anak kita juga sabar serta menerima hidup ini dengan iklas, digampangkan rezekinya,” ia mengecup keningku. “Gimana, Raka… pekerjaannya lancar?” “Alhamdullilah lancar. Moga-moga bulan ini banyak orderan. Karena sebentar lagi ujian sidang. Dan itu berarti akan banyak mahasiswa yang mem-photocopy skripsiya. Doain yah Sayang.” “Pasti.” “Yah, walau keuntungan sekarang tidak seperti dulu. Penerima jasa photocopy di depan kampus semakin banyak saja. Dulu kan cuma ada satu tempat, photocopy-an ini. Tapi kini sangat banyak. Hem, tapi aku akan tetap semangat. Demi bayi kita,” ia mengusap perutku. “Iya dong harus semangat. Mamanya saja semangat. Boleh aku membantu sesuatu di tempat jualanmu?” “Membantu apa? kamu kan sedang hamil. Justru kamu harus banyak beristirahat.” “Membantu jualan. Aku bosan di rumah terus, tanpa ada kegiatan.” “Kamu kan sedang hamil. Lagian...” Raka tak melanjutkan perkataannya. “Lagian apa?” “Aku tak mau kau mendapat perkataan yang tidak-tidak dari teman sekampusmu dulu. Terutama bekas pacarmu. Aku tak mau kau menjadi down karena pembicaraan mereka yang mungkin akan menyudutkanmu.” “Memang, teman-temanku dulu masih suka nongkrong di kampus?” selidikku. “Ada. Beberapa. Terutama Arsyad, cowokmu dulu. Nangkring tiap hari di basecamp Seni.” “Wah, masa? Mau ngapain ia nongkrongin kampus. Kaya nggak ada kerjaan saja.” “Halah kayak yang nggak tau saja. Mana mungkin mereka mikir masa depan. Dalam pikirannya yang ada hanya kesenangan. Kumpul-kumpul  sampai tua. Hehe...” Aku tersenyum membayangkan masa kuliahku dulu. Nongkrong di sanasini, menghambur-hamburkan uang. Tiba-tiba bertemu dengan temanku dalam suasana lain. Suasana yang begitu berbeda. Karena aku menjadi istri dari suami seorang penjual jasa fotokopi. Hem… benar, walau aku sanggup menerimanya, tapi aku juga belum siap kalau ada perkataan temanku, yang akan menyinggung perasaan Raka. “Ya aku nggak ikut ah. Tapi aku benar-benar bosan di rumah terus.” Raka terdiam. “Bolehkah aku bisnis?” “Bisnis apa bisnis?” “Serius. Aku pengen usaha sendiri, Mas. Tenang, aku akan tetap di rumah.” “Maksudmu?” “Aku akan mencoba membuat bros, merangkai bros sendiri. Nanti aku titip di fotokopianmu.” “Memang kamu bisa?” “Dulu pernah bisa. Tapi akan kucoba lagi. Ada bukunya kok. Kamu beliin dong...” “Yakin?” “Yakin. Asal...” “Asal apa?” “Kamu modalin aku dulu yah?” “Baiklah kalau itu maumu, tapi ingat jaga kesehatanmu. Aku tak mau terjadi apa-apa denganmu. Pun bayi ini. Bayi kita,” Raka mencium perutku. “Dede bayi, kau harus bahagia punya Mama yang cantik. Tapi ingat, jangan cerewet seperti Mamamu yah.” “Apaan sih, Mas,” aku merajuk. Bahagia melihat polah Raka.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices