Menantimu

Reads
113
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

The Harlequin Baby

 Puluhan benang, bahkan ratusan benang kuuntai saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Membuat suatu kreasi. Rangkaian benang kutarik ke sana kemari. Berbagai warna, Mempercantik buatanku. Ratusan benang bertali, benangnya terlihat jelas menyembul dari bilik kreasiku. Membayang dari balik kacamata para pembeli. Memikat. Deg... ada yang menikam ulu hatiku. Aneka buatanku. Rangkaian kreasi yang kucipta kini terbayang jelas dalam ingatan. Bagaimana aku memasukkan benang pada jarum. Jarum yang begitu runcing yang terkadang melukai tanganku hingga berdarah. Lukaluka yang sampai kini terlihat di tanganku. Luka yang memberi kenangan bahwasanya itu adalah perbuatanku dulu. “Tidak...” Aku berteriak. Rangkaian benang yang kuuntai, terkadang darah menempel di benang. Darah karena kelalaianku dalam bekerja. Darah akibat jarum. Darah karena aku yang berbuat. Semua tergambar nyata. Jelas. Semua itu seperti sebuah bayangan. Layar yang dibukakan kembali, menari-nari dalam ingatanku. Harus aku akui itu perbuatanku. Benang. Jarum. Darah. Mengapa tergambar nyata? Semua perbuatanku pada saat merangkai bros dulu. Nampak jelas pada anakku. Bayiku. Tubuhnya dipenuhi bercak. Benang berwarna menyembul dari permukaan tubuhnya. Terkadang di sana sini kelihatan darah menggumpal. Seperti siap mengucur jika saja jarum itu menusuk tubuhnya yang tipis. Untaian benang menyembul dari tubuh anakku. Terlihat jelas. Walau kata dokter itu adalah urat kecil dari bayi yang belum tumbuh sempurna. Tapi menurutku itu adalah jelmaan perbuatanku. “Tidak...” Kulempar semua peralatan yang dulu pernah menjadi kebanggaan. Dari jarum, benang dan aneka manik-manik aku memulai hidup untuk mandiri dulu. Membuktikan pada keluarga besarku. Mama papaku, bahwa berkat kemampuanku aku tak lagi meminta-minta padanya. Dan yang terlebih lagi aku mampu membuktikan pada suami. Bahwa aku menjadi sosok yang mandiri. Tidak kolokan dan manja. Kubuktikan pada mereka bahwa  aku menjadi sosok yang tegar. Yang tidak hanya mampu menangis ketika didera kesulitan. Keadaan yang timbul dari ekonomi semrawut. Dari aneka bros, aneka kreasi yang kubuat aku mampu meningkatkan perekonomian dan membanggakan suami. Karena tanpa pernah aku sadari aku telah membantu meningkatkan keuangan dalam keluarga kecilku. Pun ketika aku melahirkan. Diam-diam. Aku mampu membuat suamiku berdecak kagum. Karena dari kegigihanku aku mampu menyimpan uang. Menyisipkan sebagian uang dan memberikan padanya. Bangga. Mungkin itulah pertama aku memberi. Memberitahukan pada suami bahwa aku mempunyai sejumlah uang. Tanpa bantuan orang lain. Bangga. Itu pula yang terjadi ketika aku menyerahkan ATM berisi sejumlah uang yang lumayan besar untuk membiayai persalinanku. Walau secara jujur, sampai saat ini aku tidak tahu berapa jumlah uang yang dikeluarkan untuk biaya persalinan bayiku. Ditambah lagi dengan perawatan ekstra anakku yang membutuhkan biaya banyak. Setidaknya aku mampu membuktikan bahwa aku benar-benar telah menjadi sosok yang berubah. Tapi semua kebanggan itu kini kutepis. Jijik. Benang, darah dan jarum menari-nari di pelupuk matakku. Menjelma menjadi sosok bayi yang menakutkan. Bayiku. Yang menurutku seperti jelmaan dari kreasiku. Ada banyak benang di tubuhnya. Ada banyak darah yang siap menyembur kapan saja. Ada banyak bercak jarum. Puluhan ribuan bahkan ratusan jarum yang pernah kupakai. Semua seperti tergambar jelas dalam tubuh anakku. “Tidak. Buang semua.” Aku histeris. Melemparkan semua barang yang sengaja aku bawa ke rumah mama-papaku. Sengaja kusimpan untuk aku perlihatkan pada mereka, kenapa selama ini aku menolak pemberiannya. Mandiri. Terampil. Itu semua permulaanku membawanya ke sini. Tapi kini semua seolah berbalik. Aku meracau. Menjelma seperti liar dan menghamburkan, melemparkan segala kebanggaan. Semua keluarga panik.  “Zani. Sabarlah.” “Zani… nyebut, Nak,” suara mama-papaku, Raka, menuntunku. Saling berganti menyelusup ke setiap labirin waktu. Untuk senantiasa bersabar dan menerima kenyataan. “Buang seamua peralatan itu, Mas!” “Tapi kenapa? Bukankah itu semua kebanggaanmu?” “Tidak. Itu adalah awal kehancuran. Anakku cacat karena aku yang berbuat. Perhatikan wajah tubuh anakmu. Semua penuh dengan gumpalan darah yang menyembul. Benang-benang itu. Benang yang kuuntai untuk bros itu ada di sana. Saling berseliweran. Lihat. Mas, lihat! Ada jarum, benang, darah. Buang. Aku jijik...” “Bi Jumi,” Mama berteriak. “Ada apa, Bu?” dengan membungkuk ia masuk ke kamarku. “Simpan semua peralatan ini di gudang.” “Jangan disimpan. Buang... buang sejauh mungkin,” aku menendang ke sana ke mari. “Ya. Buang saja,” Mama memperjelas pada Bi Jumi. “Tapi ini kan barang...” “Buang. Cepat!” Mama membentak. “Ke mana?” “Terserah. Yang pasti jangan terlihat ada di rumah ini.” Dengan tergopoh perempuan tua itu menuruti perintah mama. Perempuan yang sedari dulu menjadi temanku. Menemaniku dalan segala duka dan tawa. Penghibur lara ketika mama papa tak pernah ada di rumah. Meninggalkanku dalam senyap. Maafkan aku Bi, karenaku kau kena bentak mama, hatiku berujar. Harlequin baby! Itulah kata dokter tentang penyakit anakku. Kondisi kulitnya melepuh  penuh dengan guratan dan cakaran. Guratan seperti benang-benang dan cakaran dari kukuku yang mengena. Warnanya memerah di sana sini, seperti darah yang siap ke luar. Kulit-kulit halus melepuh. Begitu menakutkan. Dan yang paling menyedihkan kondisi matanya. Kelopak matanya terbalik ke luar. Kelopak dari manik-manik brosku yang kadang sengaja kelopaknya aku balikkan. Supaya menarik pembeli. Menjelma pada mata anakku. Dengan telinga yang sedikit memerah, menyedihkan. “Tidak!” Aku berteriak melihat kondisi bayiku seperti itu. “Itu bukan anakku, Mas. Itu bukan anakku,” tangisku menjadi. Melihatnya. “Anakku kau tukar yah?” tudingku di sela isak tangisku. Entah apa yang terjadi. Perempuan dan seorang ibu mana yang tak akan histeris melihat kondisi bayinya. Anak kandungnya sendiri yang selama ini dikandung. Melihat keadaannya. Jauh dari sangkaan hatiku. “Tidak. Aku tidak mau menerimanya Mas,” isakku. “Ssst... sudahlah Sayang. Terimalah ini adalah takdir kita. Jangan pernah kau menyalahkan anak itu. Anak kita tak berdosa. Apa pun itu harus kita terima dengan ikhlas,” Raka memeluk erat. Berulang kali ia, keluarga meredakan amarahku. Menenangkan tangisku yang tiada berkesudahan. Dalam tangis dan ketakberdayaan aku terus memaki, mencerca semua orang yang berada di dekatku. Memaki bayi mungil yang sering diperlihatkan suamiku. Untuk sekedar aku susui. “Tidak!” aku bergidik. Membalikkan tubuhku. Ketika suami meminta, memohon padaku untuk segera menyusui bayi yang menangis. Tapi permintaan suami kutolak. Aku nggak mau. Tak rela memberinya ASI. “Ayolah Sayang. Aku kasihan padamu. Badanmu sakit. Panas dingin. Berikan ASI-nya pada anakmu. Lihat juga anak kita. Kasihan anak ini dari tadi menangis.“ “Tidak!” aku menjerit.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices