Menantimu

Reads
113
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

Ketika Cinta Bersemi

Hampir satu bulan bayi itu ada di rumah ini. Bersama dengan keluarga besarku. Hanya mereka yang mengurusnya. Kini keluargaku tak pernah membicarakan. Tak pernah memaksaku untuk mendekati dan memberi ASI padanya. Aku tak tahu bagaimana keadaannya kini. Tapi kuyakin bayi itu baik-baik saja. Itu kukenal lewat tangisnya yang kerap kali menghiasi rumah ini. Dan ketika tangisnya ada. Bi Jumi akan segera membuatkan susu untuknya. Itu pasti. Karena ketika bayi itu menangis. Suara Bi Jumi akan segera terdengar. “Ya...ya, bentar nanti Bibi buatkan susunya yah.” Kubayangkan pasti Bi Jumi tergopoh-gopoh membuatkan susu. Menyeduh dan menggendong supaya anak itu tak rewel. Bi Jumi pasti memberikan yang terbaik untuk anakku. Penuh kasih dan cinta. Itu pasti. Karena setiap bayi itu menangis. Suara nyanyian Bi Jumi, senandung dalam bahasa Jawanya akan ke luar menenangkan bayi, menenteramkan hati, hingga tangis tak lagi terdengar. Sama halnya dengan menenangkanku dulu. Di tangannya, dalam asuhan Bi Jumi, kerewelanku sebagai anak kecil mampu ia tandingi. Tak akan sangsi aku dengan kepiawaian Bi Jumi menenangkan bayiku. Di tangannya, aku yang kata mama papa bandel, cengeng, gampang menangis. Patuh. Bertekuk lutut pada Bi Jumi yang penuh kasih. Ia menganggapku seperti anak kandungnya sendiri. Ia begitu tulus padaku. Pun pada anakku. Lengkingan tangis bayi itu kini kerap mewarnai rumah besar ini. Tapi sampai saat ini hatiku tak pernah tergerak untuk sekedar melihat atau menyapanya. Apalagi memberikan ASI.  Pagi yang cerah. Kusingkap gorden kamarku. Cericit burung segera terdengar. Terlihat jelas dari kamar rumahku. Bernyanyi ke sana ke mari. Kubawa roti dan susu ke pintu depan kamarku. Pintu kamar yang membawaku langsung menuju sebuah taman. Taman yang berhadapan langsung dengan sebuah kolam. Kolam yang luas. Kududuk di kursi santaiku. Menatap hamparan kolam dan langit yang bertebar luas. Maha besar Tuhan yang menciptakan langit dan bumi begitu luasnya. Memberikan naungan ini hanya untuk umat. Kucicipi roti buatan Bi Jumi. Cream bertabur strowberry. Hmm, nikmatnya. Gigiku mulai mengunyah. Membiarkan lidahku menari-nari. Menjilati taburan dan aneka rasa dalam mulutku. Kakiku kuselonjorkan. Menikmati pagi yang begitu menyenangkan. Kuperhatikan di langit seberang sana. Segerombolan burung mendekat. Mengeluarkan bunyi yang ceria. Terkadang mereka hinggap di pohon depanku. Pohon yang tertata dari taman mini bersebelahan dengan kolam. Mata ini tak beranjak memandang mereka. Riuh bernyanyi. Kadang berpencar tapi kemudian kembali bergerombol. Kuhitung semuanya ada enam. Hem, keluarga yang harmonis. Batinku tersenyum. Melihat kebahagiaan dan kemesraan burung itu begitu menenangkan hati. Sesekali induknya menghampiri anaknya yang sedang mencari makanan di pepohonan. Anaknya. Yang kupastikan itu. Kulihat dari postur badannya. Mungil, bulunya masih halus dan badannya tak sebesar induknya. Berbulu putih bercampur cokelat. Ada dua anaknya. Yang satu lincah, terbang ke sana ke mari. Berjalan lincah di pinggir kolam. Tapi yang satu tidak begitu. Kulihat ia lebih menyendiri, menjauh. Hanya burung lainlah yang sering mendekat, mengajaknya berjalan. Ketika kuperhatikan jalannya pincang. Burung itu sesekali bertengger di atas pohon. Kadang turun berjalan di sisi kolam. Mematuk ke sana kemari. Berharap ada makanan yang bisa dipatuknya. Hhm, begitu pintarnya, mencari makanan. Kadang kala si induk datang menghampiri anaknya. Terutama kepada si pincang, begitu memperhatikan. Memberikan seekor cacing yang ada di mulutnya. Ibu yang bijak dan bertanggung jawab. Tak membiarkan anaknya kelaparan mencari makanannya sendiri. Induknya terbang kembali. Membiarkan untuk sementara kedua anaknya berjalan menyusuri kolam.  Kuhirup kembali susu. Membayangkan Bi Jumi yang sedari subuh sudah bangun menyiapkan segala kebutuhan untuk kami. Cericit suara burung terdengar jelas. Aku melihatnya. Dan terkejut. Ketika melihat anak burung pincang itu terpeleset. Jatuh ke kolam. Badannya menggelepar. Berusaha menarik sayapnya yang kuyup. Berusaha menggelepar, mengepakkan sayapnya. Tapi semakin ia bergerak, badannya semakin terseok ke dalam. Kulihat burung kecil yang sempurna, terbang. Mungkin memanggil orang tuanya. Karena sesaat kemudian segerombolan burung itu datang. Tepat di atas anak burung malang itu. Seperti dikomando mereka menyelamatkannya. Dengan cara mematuk. Mengigit bulunya bersamaan. Saling bekerja sama. “Syukurlah,” mulutku berguman. Ikut bahagia menyaksikan perjuangan segerombol burung dalam menyelamatkan anaknya. Anak burung yang pincang itu dapat terselamatkan. Kulihat induknya menyelimuti. Memberikan kehangatan pada buah hatinya. Hem, bahagia sekali anak burung itu. Kendati kondisinya cacat, ia begitu dicinta induknya. Cacat? Aku kaget. Fragmen keluarga burung yang kulihat seperti menyadarkanku. Bukankah anakku cacat? Tapi mengapa aku begitu buta. Lihatlah apa yang barusan dilihat. Seekor burung saja begitu telaten, begitu cinta. Dan ia memperjuangkan anaknya yang mengalami celaka untuk menyelamatkannya hingga kembali ke pangkuannya. Sedangkan aku? Mengapa begitu tega. Lalai dengan sengaja, membiarkan bayi sendirian. Tak pernah ada sedikit pun kasih dan tanggung jawab untuk meraihnya. Bukankah manusia makhluk yang paling mulia? Tapi mengapa perbuatanku begitu jauh dengan sang burung sebagai binatang. Yang dengan cintanya merawat anaknya. Si pincang yang malang menjadi tenang. Wajahku dihimpit duka. Seketika air mata jatuh membasahi pipi. Dengan tergesa aku berdiri dari kursi nyamanku. Menutup pintu dengan tergesa, berlari menuju kamar bayi yang berada di kamar Bi Jumi. Kosong. Tak ada siapa pun. Hanya tempat bayi saja yang kutemui. Ke mana bayiku? Hatiku dipenuhi tanda tanya. Baru kusadari. Sedari tadi rumah ini begitu sepi. Tangis bayi yang biasanya nyaring. Tak terdengar.  “Bi... Bi Jumi.” “Mas... Mas.” Sepi tak ada yang menjawab. Kubuka kamar mama-papaku. Sepi tak ada orang. Ah, ke mana mereka? Mengapa dengan teganya pergi tanpa memberiku kabar. Kutelepon suamiku. Tak diangkat. Pun ketika aku memijit ponsel, menelepon mama papaku. Semuanya tak ada yang mengangkat. Sibuk. Pasti mereka semua pergi. Itu kulihat dari garasi mobil yang kosong. Tapi ke mana mereka? Ranzani. Anak itu? Ah, jangan-jangan ada sesuatu dengan anakku. Bodohnya aku kenapa membiarkan ini terjadi? Sebagai seorang ibu yang harusnya ada di samping menjaga anakku. Tapi mengapa aku tak tahu apa pun. Bahagia ketika Hp-ku berbunyi. Nama Raka muncul di layar Hp. “Ada apa tadi menelepon?” “Mas di mana? Mana bayiku? Apakah ia baik-baik saja?” pertanyaan bertubi ke luar dari mulutku tanpa aku sadari. Lama tak ada jawaban. “Mas... Mas.” “Ya, bawa ICU saja,” terdengar dari seberang sana suatu kecemasan. Riuh. Tak jelas. “Zani, aku nanti telepon lagi. Darurat,” ia menutup HP-nya. Gaduh. ICU. Mungkin mereka sedang ke rumah sakit. Tapi siapa yang sakit? Mengapa anakku dibawa serta? “Kenapa lama. Di mana ini?” tanyaku tanpa sabar ketika suamiku menelepon kembali. “Di rumah sakit. Ranzani deman tinggi.” “Demam tinggi? Kenapa kau tak bilang dari tadi? Aku ke sana sekarang.” “Maaf, tadi Ranzani kejang. Tapi sekarang sudah ditangani dokter. Benarkah kau mau ke sini?” “Ya iyalah. Dia anakku. Aku harus mendampinginya.” “Kok kamu cemas?” “Emangnya aku Ibu macam apa...” “Oh iya baiklah. Sekarang aku jemput kamu.” “Nggak usah, aku naik taksi saja. Supaya cepat.” “Di mana bayiku? “Di ruang ICU,” Raka menjawab. “Ibu siapa? tanya penjaga di ICU. “Saya ibunya.” “Oh,” nada keheranan terlihat jelas dari matanya. Pasti ia aneh. Karena sudah hampir sebulan anakku menjadi pengunjung tetap rumah sakit. Ibunya baru saja nongol. “Silakan masuk.” Antara sadar dan tidak sadar aku mengamati bayi itu. Bayi darah dagingku. Kuusap tubuhnya dengan halus. “Ea... ea...” suara tangisnya melengking. Usapanku ternyata menyakitkan tubuhnya. Begitu sakit. Wajarlah. Mungkin aku merupakan makhluk asing baginya. Sebulan lebih ia berada di dunia. Dan sepertinya ia menganggapku akan mengganggunya. Tangisku pecah melihat keadaannya. Bayi aneh yang malang. Bayi mungil itu dipenuhi dengan selang di sana-sini. Ya Tuhan, selamatkanlah ia. “Sus, bolehkah ia disusui?” “Jangan dulu ya, Bu,” suster berkata. “Mas, mengapa kau tak beri tahu aku tentang bayi kita?” “Aku tak mau mengganggumu.” ”Maafkan aku, Mas. Aku baru menyadarinya. Aku memang bukan Ibu yang baik. Semoga anak kita baik-baik saja.” “Semoga,” kata suamiku singkat.  Kulihat bayiku terbaring di sebuah ranjang mungil dipenuhi dengan peralatan selang ke sana ke mari. Kutatap matanya dan wajahnya. Dalam wajahnya yang mengelupas, kulihat sesuatu. Sesuatu yang menyejukkan hatiku. “Maafkan Ibu, Nak. Ayo menyusu pada Ibu.” Dengan bantuan suster, bayi itu menyusu padaku. Kuusap badan dan wajahnya dengan penuh kasih sayang. Selama menyusui tak hentihentinya air mata ini berderai. Tak henti-hentinya aku menatap bayiku. Bayi yang sedari awal kubilang aneh. Tidak. Jangan takut, Nak. Ibu akan tetap melindungimu. Ibu tak mau beban dosa bertambah karena membiarkanmu dalam lara, membiarkanmu dalam derita. Akan kuberikan cinta dengan segenap jiwa raga hanya untuk membela dan mengasuhmu. Setiap helaannya begitu menenangkankan. Tangisnya begitu mencubit dan menusuk-nusuk urat hatiku. Setiap helaan napasnya mengingatkan perjalanan hidupku. Ya Tuhan, selama ini aku begitu jauh dari-Mu.  Ranzani. Hanya satu bulan lebih menghirup udara di dunia ini. Ia seperti enggan untuk menerima cemooh dari yang lain. Tak mau menyusahkan orang tuanya. Ia pergi di saat hati ini sudah siap menerima dengan segala kekurangannya. Siap menjadi seorang ibu dan siap mencurahkan segala kasih untuk dirinya. Tapi bayi mungil itu telah menerima jalan lain. Ingin hidup ketenangan di alam lain, tanpa pernah mau ada siksa dan derita untuk dirinya. Ia memilih menenteramkan dirinya di kehidupan yang lebih langgeng, di sana untuk selamanya. Kembali kesedihan melanda hatiku. Sedih dan senyap menjadi tamuku kembali. Betapa hati ini merasa tersiksa. Aku merasa bersalah yang teramat dalam. Penyesalan tak henti-hentinya menderaku. Kematian Ranzani seolah menyadarkanku betapa ia begitu berharga. Kelucuan dan kepolosan yang ia berikan padaku membuat hati ini mereda dari sedih, dari gundah yang mencekam. Tapi kini? Ia tiada. Tuhan kenapa Kau ambil dia di saat hati ini mulai menyemaikan cinta. Memberi kasih dan kesungguhan hati untuk lebih memberi cinta dan harapan. Mengapa Kau ambil dia di saat hati ini mulai bahagia? Melihatnya mampu menenteramkan hati. Tuhan mengapa Kau buat aku derita yang tiada akhir? Apa Kau anggap aku belum tulus menerimanya dan memberinya cinta. Apa Kau pikir cintaku hanyalah berpura-pura. Tuhan, secara jujur aku mulai menyadari, aku adalah ibu yang sanggup menemani anakku dalam derita.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices