
by Titikoma

Tabir Yang Terungkap
5 Tahun kemudian.... “Aku hamil, Mas.” “Benarkah? Syukurlah.” “Ya.” Semenjak tahu aku hamil, aku benar-benar menjaga kehamilanku ini. Asupan gizi begitu diperhatikan betul oleh mamaku. Mereka tak mau kejadian tentang anak pertamaku terulang lagi. Pun menjauhkan dengan benda-benda yang akan membuat anakku menderita kelainan. Pepatah orang tua zaman dulu, kuikuti. Misalnya makan dengan menggunakan pisin (piring yang kecil) kuikuti, biar bayinya kecil, sehingga gampang keluarnya. Atau ke mana pun aku pergi khususnya di malam hari, peniti melekat, tak pernah lupa aku membawanya, yang katanya untuk menghindarkan dari makhluk halus. Petuah orang tua zaman dulu, yang kata orang kampungan kolot, kulaksanakan. Karena aku telah mengalami dulu. Pada masa kehamilanku aku tak pernah mengikuti perintah dan larangan yang diucapkan oleh mertuaku. Kini semua kuturuti, demi kebaikan anakku. Cucu mereka. Biarlah dalam masa modern ini aku dibilang kampungan, tidak masa kini. Yang penting bagiku jabang bayi yang kukandung sehat walafiat. Untuk menghindarkan dari hal yang tidak diinginkan, sengaja mertuaku, Bu Yuni diminta tinggal di sini menemaniku. Walaupun awalnya ia seperti sungkan untuk tinggal bersama. Menolaknya. Tapi atas permohonan mama papaku, ia akhirnya mau bersamaku juga. Kini, di rumah megah ini aku merasakan kenikmatan yang tiada terkira. Ditemani orang-orang tercinta. Walau hidup kami sudah dari cukup, tapi Raka tetap bekerja. Ia tak mau berpangku tangan menerima apa-apa dari mamaku. Sebisa-bisa ia berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab. Dan yang lebih membahagiakan, suamiku yang awalnya menolak untuk bekerja di anak perusahaan papa, akhirnya menerima. “Mau kau kasih makan apa anak cucuku nanti, kalau kau tetap bersikukuh tak mau menerima tawaran Papa?” Raka diam. “Ingat, bekerja di perusahaan milikku bukan berarti kau menjadi istimewa. Kau tetap akan diberlakukan sama dengan karyawan lainnya. Kau akan mengikuti testing. Papa tidak akan memaksa kalau ternyata hasil tesmu jelek, dan berarti kau gagal bergabung di perusahaan. Ini adalah kesempatanmu. Mohon gunakan itu.” “Baiklah Pa, akan saya coba.” “Bagus, jadilah seorang yang bertanggung jawab. Walau kau mendapat rekomendasi dari Papa. Kau tidak akan langsung diterima. Tetap akan mengikuti seleksi ketat seperti yang lain. Dan yang lebih penting, jangan kau buat Papamu malu dengan hasil tesnya. Jadi pergunakan sebaik mungkin,” Papa menepuk pundak Raka dan berlalu meninggalkannya. Lama suamiku terdiam. Membaca syarat-syarat yang tertera dalam kertas. Berisi tentang adanya lowongan pekerjaan di kantor papaku. “Mas, ikutilah. Semoga itu yang terbaik. Lagian kan itu bukan nepotisme. Ingat, tunjukkan prestasimu,” aku menyemangati suami yang kelihatannya ragu.“Ingat bayi ini,” aku menempelkan tangannya di perutku. “Yah. Semoga ini yang terbaik. Aku akan mengikutinya,” senyum mengembang dari bibir suamiku. “Tapi kalau hasilnya jelek-tak lolos, jangan kau bersedih yah, yang penting sudah berusaha.” “Iya. Pasti aku percaya. Kamu pasti bisa. Yang penting Mas sudah melakukan apa yang kami minta. Ini adalah sebuah kesempatan. Semoga Tuhan membimbingmu ke arah jalan yang terbaik.” “Sip. Pasti akan kulakukan permintaanmu,” ia mengecup keningku dan juga perut buncitku. “Rezeki untuk anakku, Alhamdulillah aku diterima kerja di perusahaan Papamu.” “Syukurlah,” aku ikut bahagia. Kini kujalani hidupku lebih sempurna. Berada di lingkungan keluarga besarku juga ditemani suami yang semakin giat bekerja. Dan yang lebih lagi, aku semakin giat mendekatkan diri pada-Nya. Kuakui selama ini aku begitu jauh dari-Nya. Tak pernah tahu tentang agama. Yang aku tahu hanyalah menikmati dunia. Kepergian Ranzani telah memberikan sesuatu yang berharga. Aku yang awalnya tak pernah peduli tentang agama, sedikit demi sedikit mulai mempelajarinya. Pun mama papaku. Setiap malam Jumat, di rumahku semarak. Semarak dengan kegiatan pengajian. Dari gaji, tak lupa kami menyisakan sebagian uang. Sebagian uang untuk derma dan memberikannya bagi yang tidak mampu. Kini kuniatkan dalam hati bahwa aku harus lebih menyayangi mereka. Orang yang betul-betul membutuhkan. Ah, kini kurasa betapa nikmatnya hidup di dunia ditemani dengan ilmu agama. Dunia menjadi lebih indah terasa. “Kenapa?” Raka cemas ketika melihatku muntah. “Nggak tau. Mas.” “Sudah kubilang kau tak usah ikut membagikan sembako untuk anak yatim itu, gini jadinya… kecapean,” gerutunya. “Ada apa, Raka?” Bu Yuni datang ke kamarku. “Ini Bu, bandel. Dari tadi muntah. Kecapean.” “Nggak apa-apa. Jangan ribut, biar Ibu balurin pake minyak kletik,” Bu Yuni ke luar mengambil minyak, tak lama kembali dengan membawa sesuatu di piring kecil. Pasti yang tadi ia sebutkan. Minyak kletik dicampur tumbukan bawang merah. “Sudah, jangan cemas. Istrimu tak apa-apa, Pasti hanya masuk angin saja,” Bu Yuni memandang pada Raka. “Ayo di sini biar Ibu usap punggungmu dengan minyak ini, pasti sembuh.” Raka diam. Ia segera ke luar. Membiarkan Ibu bersamaku. “Wah… ternyata enak diusap pake minyak kletik. Maaf ya, Bu, merepotkan.” “Nggak apa-apa. Gimana, sudah enakan?” “Lumayan, Bu. Sedikit lagi kayaknya.” Dengan telaten Bu Yuni mengusap semua badanku dengan telaten, ia olesi dengan minyak kletik. Membuat badanku semakin hangat dan enak. “Bu, tolong belakang leher ini dipijit, Bu. Pegel banget.” “Ya Ampun. Kau...?” teriakan Bu Yuni mengagetkanku. Tangannya berhenti tepat di belakang leher. Praaang. Piring yang dipegang Bu Yuni tiba-tiba jatuh. Raka yang saat itu ada di luar kamar, dengan tergesa masuk ke kamar. “Ada apa, Bu?” aku dan Raka hampir berbarengan. “Kau adalah...” “Kenapa Bu, ada apa?” aku cemas melihat Bu Yuni yang gemetar. “Tidak ada apa-apa. Ibu hanya...” ia mengusap air mata. “Tidak ada apa-apa bagaimana? Tuh lihat, piring saja sampai pecah,” Raka berkata sambil memunguti pecahan beling. “Sudahlah tidak ada apa-apa,” kulihat Bu Yuni ke luar kamar menghapus air matanya. Aku dan Raka berpandangan. “Memangnya tadi Ibu kenapa?” “Nggak tahu aku juga kaget. Aku hanya minta tolong Ibu memijit punggung dan leher belakangku yang pegel. Dan ia langsung berteriak. Memangnya ada yang aneh yah di belakang leherku? Raka melihat. Menggelengkan kepala. “Nggak ada apa-apa. Hanya ada tanda lahir, menyerupai hurup N. Tak ada yang aneh. Tapi ada apa yah? Zani, aku akan melihat keadaan Ibu.” Kulihat Bu Yuni menangis. Termenung seorang diri. “Ibu, sebenarnya ada apa? Sebaiknya Ibu cerita saja. Biar kami tenang.” Bu Yuni semakin terisak. “Tidak ada apa-apa, Nak.” “Jujurlah, Bu. Tak mungkin Ibu menangis. Tak mungkin Ibu seperti ini kalau tiba-tiba Ibu berteriak dan menangis. Apa ada sesuatu pada Zani?” Raka memandang lekat wajah ibunya. “Iya, Bu. Bicaralah,” aku ikut bicara. “Sebenarnya ini hanya masa lalu Ibu saja. Dan tidak ada kaitannya denganmu. Tapi melihat tengkuk istrimu, semua mengingatkan Ibu.” “Memangnya ada apa di tengkuk Zani? Terus Ibu menyimpan rahasia masa lalu apa?” selidik Raka. “Baiklah, karena kau sudah dewasa, Ibu akan menceritakan semuanya. Biar kau jelas. Raka kau tahu hidup Ibu, keluarga kita dari dulu senantiasa terbelenggu. Miskin. Itulah yang harus dikatakan. Dan itu pula yang menyebabkan Ibu nekat melakukan sesuatu. Nekat karena Ibu membutuhkan uang,” Bu Yuni menghela napas panjang seperti menyimpan kisah yang begitu berat. “Sebenarnya kamu mempunyai seorang adik perempuan. Dan itu tak pernah Ibu singgung. Tak pernah Ibu utarakan padamu.” “Seorang anak perempuan. Tapi Ibu nggak pernah bilang.” “Sssst. Diamlah,” aku menyenggol tangan Raka. “Ibu terpaksa berpisah dengan anak Ibu. Menjauhkanmu dari saudaramu sendiri. Dan ketika Ibu tadi melihat tanda di tengkuk istrimu. Itu semua mengingatkan Ibu pada masa lalu. Pada anak Ibu. Ciri itu mirip dengan anak Ibu. Anak yang Ibu berikan pada seorang dokter.” “Tanda apa, Bu?” “Tanda lahir berwarna biru, menyerupai hurup N. Tepat di belakang leher. Di tengkuk tepatnya.” “Kenapa Ibu melakukannya? Memberikannya pada dokter?” suara Raka tertahan. “Ibu terpaksa melakukannya. Karena saat itu adikmu-Rara, menderita sakit tak sembuh-sembuh. Entah apa yang terjadi padanya. Tapi Ibu tak mempunyai biaya untuk merawatnya. Saat itu Ibu mau minggat dari rumah sakit dengan membawa bayi itu. Tapi ketahuan seorang suster. Dan membujuk Ibu untuk tetap tinggal di rumah sakit serta membiarkan bayinya dirawat. Saat itulah Ibu berterus terang bahwa Ibu sangat kasihan pada anak Ibu yang sakit terus, tapi Ibu tak punya uang untuk berobat. Beruntung, saat itu ada seorang dokter yang sanggup merawat dan memberikan biaya gratis hingga sembuh.” “Terus?” aku tak sabar. “Ya semenjak itu, Ibu sering berkunjung ke rumah dokter atas permintaannya. Dan Ibu menjadi pembantu di rumahnya. Hingga suatu hari dokter itu bertanya tentang keadaan Rara dan memintaku untuk mau memberikan Rara agar diangkat menjadi putranya. Kebetulan dokter itu tak mempunyai anak. Karena merasa dokter itu telah begitu baik, akhirnya Ibu menyanggupi permintaannya. Pemikiran lain, karena saat itu Ibu terbelit utang. Bahagia ketika dokter itu menyanggupi segala permasalahan yang sedang Ibu hadapi. Apalagi saat itu ayahmu sudah meninggal.” “Siapa nama dokter itu, Bu?” tiba-tiba papaku sudah berdiri di ambang pintu. Kiranya ia sudah mendengarkan cerita Bu Yuni sedari tadi. “Dokter Hans.” “Apa? Dokter Hans?” “Dokter Hans?” Mama menjerit dan pingsan seketika. “Mama!” aku mendekat dan merangkul Mama. “Ma, sadarlah Ma. Sebenarnya apa yang terjadi Tuhan?” aku berguman. “Memang kenapa Pa, Papa kenal yah?” aku semakin tak mengerti. Tiba-tiba saja teriakan histeris yang mengagetkan dan membuatku lebih penasaran bermunculan di rumah ini. Bu Yuni, Mama dan Papa. Semuanya seperti terlibat di dalamnya. Membuatku bingung. Dan Mama? Ah, ia pingsan mendadak mendengar nama Dokter Hans. “Cepatlah bawa ke rumah sakit. Ayo,” komando Papa. Dengan tergesa kami sekeluarga pergi ke rumah sakit. Akhirnya ketika mama sadar, semuanya terkuak. Bahwasanya aku sebenarnya bukan anak dari keluarga Natadipraja. Aku hanyalah seorang anak pungut. Benar aku adalah anak Bu Yuni yang diberikan pada Dokter Hans. Tapi setahun kemudian dokter dan istrinya meninggal dunia akibat kecelakaan. Hingga akhirnya aku dipungut papaku. Dan dijadikan sebagai anak kandungnya sendiri. Ya Tuhan… berarti aku dan Raka? Oh tidak. “Ah, tak mungkin,” aku membela diri. Mengenyahkan segala rasa yang benar-benar sudah membuka tabir. Membuka rahasia yang selama ini terpendam. Dua puluh sembilan tahun sudah ternyata mama papaku diselimuti perasaan berdosa. Pun Bu Yuni dalam duka dan derita hidupnya, ia menyimpan sejuta rindu yang menggebu. Rindu pada anaknya. Bertahun-tahun ia diliputi perasaan bersalah karena merasa telah terpisah dari anaknya. Terpisah karena himpitan ekonomi. Tapi semua tak membuatku menyadari. Aku tak mau semua menjadi kenyataan. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Raka yang seharusnya adalah suamiku ternyata kakak kandungku sendiri. Tidak, aku tak mau itu terjadi! Tapi benarkah aku anak dari Bu Yuni? Sejatinya aku tak mau semua ini terjadi. Pasti. Semua pasti juga berpikir seperti itu. Tapi apa dikata, semua telah menjadi bubur. Tak mungkin kembali lagi dari awal. Pantaslah papa sengaja meninggalkanku seorang diri. Membiarkanku ketika akan menikah dengan Raka. Sengaja. Ia tak mau jejaknya sebagai Papa angkat diketahui. Pantas saja. Tapi mengapa kini baru terungkap. Kalau saja semua terungkap jauh sebelum kami bersatu. Tak mungkin semua menjadi dilema seperti ini. Menyimpan segala kegetiran hidup yang kini bak benalu di tubuhku. Sungguh semua seperti hidup di ujung tanduk. Apa yang harus kami perbuat? Semua bingung.