Menantimu

Reads
104
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

Menantimu

Aku berhenti di sebuah cafe. Cafe yang begitu sama namanya denganku, Zani Cafe yang kemudian akan membuatku mandiri. Mulai hari ini aku akan bekerja, meninggalkan semua kenangan masa lalu yang telah kutoreh. “Mbak Zani yah?” seorang perempuan dengan ramah menyapaku. Aku mengangguk kecil. “Silakan Anda sudah ditunggu di dalam oleh pemilik cafe ini. Masuklah ke ruangan itu!” ia menunjuk sebuah ruangan. “Makasih, Mbak.” aku masuk ke ruangan. Kudapati seorang laki-laki yang sedang tertunduk, mengerjakan sesuatu dengan serius. Aku memperhatikan sekilas laki-laki di hadapanku. Sepertinya aku begitu mengenal sosok yang ada di depanku. Tapi aku tak mau terburu dalam berprasangka. Tak mau pula mengganggu keasyikannya dalam bekerja. Hingga aku memperhatikannya terus. “Zani?” tiba-tiba lelaki itu mendongak, melihat ke wajahku. “Beno!” Terkejut aku mendapati seseorang yang sangat kukenal. Sangat kunanti dalam hati. “Akhirnya kau datang Zani, aku merindukanmu, aku menantimu!” Beno mendekat padaku. “Beno!” hanya itu yang keluar dari mulutku. Tak sanggup rasanya aku berkata dengan orang yang selama ini kurindu. Tersimpan dalam kamar hatiku. Tapi sesaat aku melangkah mundur ketika mengingat semua kenangan dan perjalanan pahit yang telah kulalui. Semua begitu pahit. Semua karena Beno. Dia telah membuat hidupku begitu menderita. Aku sendirian dalam derita, karena dia yang meninggalkanku aku menjadi terlunta dan tak tahu arah. Berjalan dalam kesendirian hingga akhirnya langkahku menubir terhempas pada jurang nista yang begitu dalam. Hingga akhirnya melesapkan harapanku. Harapan yang begitu indah yang selama ini aku ukir. “Tak kusangka kau di sini. Maaf kalau aku datang ke sini pada orang yang tidak tepat. Ternyata dugaanku salah. Mamamu yang berjanji akan menolongku untuk memberi pekerjaan, ternyata hanya akan memberiku derita kembali,” aku menelan ludah. “Salahnya aku terlalu percaya. Ternyata ia memanfaatkan kelemahanku. Maaf, aku tidak jadi bekerja di sini, Ben. Maaf, Bapak Beno!” segera aku melangkah, berniat meninggalkan ruangan terkutuk ini. “Zani! Tunggulah. Setidaknya kau dengar dulu penjelasanku. Setelah kau dengar semua, terserah padamu apakah kau mau meninggalkan aku. Aku sudah pasrah, Zani,” suara Beno melemah. Antara ingin meninggalkannya dengan rindu yang menyesaki dada, begitu menggunung. Akhirnya aku berhenti, berbalik arah. Kutatap Beno yang juga sama menatapku. Ah, sorot mata itu kenapa masih saja seperti dulu. Ada debaran indah yang bertalu dan begitu aku damba. Aku ingin segera merasakan kehangatan cintanya. Betapa diri ini sudah terlalu lelah merasakan kegetiran hidup. “Zan, maafkan aku,” Beno mendekat. “Beno...!” tak kuasa aku berlari, menghambur ke dalam pelukannya. “Kenapa kau tinggalkan aku Ben?” suaraku tertahan, karena air mata. “Zan, maafkan aku Sayang. Tidak ada niatku sedikit saja untuk meninggalkanmu. Maafkan aku sudah membuat dirimu menderita,” Beno memelukku erat. Sangat erat. Ia menangis mengusap kepalaku dengan lembut. “Tapi kenapa?” suaraku mengeras, merenggangkan pelukan. “Ayolah Sayang. Aku akan katakan semuanya,” Beno menuntunku duduk di kursi yang ada. “Kenapa saat itu aku pergi seperti yang kau tuduhkan? Aku tidak bermaksud meninggalkanmu. Aku pergi justru untuk segera menyatukan cinta kita saat itu.” “Tapi kenapa? Kata Mamamu kau pergi.” “Aku pergi tuk mencari Ayahku.” “Bohong. Apakah kau sudah lupa dengan kebohonganmu sendiri? Bukankah kau sudah bilang bahwa ayahmu telah meninggal?” “Semua baru terkuak di saat aku berterus terang bahwa aku akan segera menikahimu.” “Benarkah?” “Ya. Baru kutahu saat itu.” “Tak mungkin. Itu pasti hanya alasanmu saja untuk menghindariku.” “Aku pun tak memercayainya Zani. Mama hanya istri kedua, menikah di bawah tangan. Sebagai istri muda tentu banyak pertimbangan yang membuat Mama menutup semuanya. Aku baru percaya ketika Mama memberiku alamat lengkap dan menyuruhku untuk menemui alamat tersebut,” Beno menarik napas panjang. “Aku segera mencarinya, Zani. Yang kuharapkan hanya satu, aku ingin segera menikahimu. Mengesahkan hubungan kita dan membesarkan anak kita. Sayang, rupanya Tuhan mempunyai kehendak lain, tempat yang kucari ternyata sudah beralih pada orang lain. Beberapa lama aku mencari alamat ayahku. Nihil, alamatnya tak kutemui.”  Dalam kegalauan hati karena tak menemukan alamat ayahnya, Beno melangkah pergi. Meninggalkan sisa derita yang bergumul di dada. Harapannya untuk mempertemukan Zani dengan keluarganya tak kesampaian. Rasa lelah mendera begitu dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali. Kembali bertemu dengan Zani dan segera mengutarakan apa yang terjadi. Biar Zani tahu bahwa dia adalah lelaki sejati yang segera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Suasana kampus saat itu sunyi. Beno bergetar hatinya ketika dari kejauhan terlihat seseorang yang begitu dicinta, Zani dengan seorang laki-laki yang sangat dikenalnya. Laki-laki yang selalu membuat dadanya diburu cemburu. Arsyad, laki-laki yang selalu dipuja dan dicinta Zani. Meskipun Zani telah menjadi kekasihnya. Kecemburuan yang besar. Tapi cintanya pada Zani mengalahkan segalanya. Apalagi kini di rahim Zani tumbuh buah kasih cinta mereka yang harus menjadi tanggung jawabnya. Dengan mengendap Beno melangkah, melihat kedekatan mereka walau dari jauh. Terhalang dengan skat tembok yang memisahkan mereka, tapi Beno dapat dengan jelas mendengar cakap yang mereka perbincangkan. “Benarkah apa yang terjadi?” Arsyad menatap dengan lembut wajah Zani. “Ya. Arsyad. Ah, aku telah salah langkah.” “Lelaki terkutuk, tega-teganya ia membiarkanmu dalam masalah besar. Dasar laki-laki brengsek!” tangan Arsyad mengepal. Ia begitu marah besar. “Sudahlah, Syad. Mungkin sudah nasibku menjadi orang yang begitu terhina,” Zani menangis sesunggukan. “Aku tak bisa membiarkanmu bersedih Zani. Bersabarlah,” Arsyad merangkul Zani. Hati Beno yang menyaksikan mereka begitu panas membara. Ingin segera ia melangkah keluar. Memaki Arsyad yang dengan teganya mengambil orang yang terkasih, pujaan hatinya. Begitu tega ia menghancurkan cinta mereka. Tapi semua dikuatkan. Semua karena Zani. Ya, hanya Zani yang dicintanya. Ia tak mau Zani terluka dengan apa yang dilakukannya. Sementara dibiarkannya hatinya memanas melihat percakapan mereka, dan ingin tahu apa gerangan yang akan terjadi. Ingin tahu apa yang sebenarnya di hati Zani. “Zani. Tatap mataku. Apakah kau benar-benar mencintai Beno?” Arsyad menatap mata Zani. “Sudahlah. Jangan kau tanyakan itu Arsyad. Aku mengandung anaknya. Apakah kau tak yakin dengan semuanya?” “Maaf aku tak bermaksud menyinggungmu. Aku tahu siapa Beno. Pastilah ia hanya memperdayamu. Tapi perlu kau tau Zani. Aku masih sangat mencintaimu. Kalau kau percaya aku bersedia menjadi tempat pelabuhan terakhirmu. Menjadikan anakmu adalah anak kita juga. Aku bersedia menikah denganmu,” suaranya tertahan. Ada cinta yang membara, ada rindu yang semakin sesap dilihat Beno. Beno yakin Arsyad begitu tulus mencintai Zani. “Makasih, Syad. Kau begitu perhatian,” Zani menangis dalam pelukan Arsyad. Setelah diyakinkan dengan apa yang dilihat adalah tidak salah. Begitu panas bara hati Beno semakin mendidih. Segera ditinggalkannya tempat yang hanya membuat derita di hatinya. Dengan kesedihan yang melanda ia berjalan menjauh. Teganya Arsyad. Di saat mereka sedang dilanda masalah. Arsyad dengan tega mengungkapkan cinta pada Zani. Ah, Zani, sungguh aku terluka. Di matamu ternyata masih kulihat cinta untuk Arsyad. Dan aku tahu bahwa kalian adalah pasangan yang begitu bahagia. Aku memang brutal dan berandalan, Zan. Tapi mengapa kau tega sesapkan langkahku hingga membuat langkah menjadi terpuruk. Beno melangkah pelan dalam kesendirian. Hatinya begitu tersiksa.  “Beno... maafkan aku. Ternyata aku telah salah menilai orang. Kau ternyata begitu setia untukku. Tidak sepertiku, Ben. Aku telah menjadi... ah, aku...” aku terisak tak mampu memandang Beno yang menatap wajahku. “Zani, lihatlah mataku!” Beno menengadahkan wajahku. “Justru aku yang meminta maaf padamu. Aku terlalu cemburu saat itu hingga membiarkanmu dalam lara. Ketika kalian berpelukan aku begitu cemburu. Maafkan aku Zani.” “Ben.... tak usahlah kita bertemu kembali.” “Kenapa?” “Bukankah kau sudah tau semua?” “Mengapa kau menganggap dirimu kotor? Menganggap bahwa aku ini suci? Tak pantas mendapat cintamu? Tidak Zani, kau tetap untukku. Aku mohon. Kalau kau menyayangiku, tolong beri aku waktu. Beri aku cintamu kembali. Bertahun-tahun aku menantimu hanya untuk membuat hidupku bahagia. Dan aku mau bertanya padamu. Apakah benar kau menemui Mamaku hanya untuk mendapat pekerjaan?“ mata Beno memandangku. Tatapan yang jelas mengorek hatiku. Aku menunduk, tak mampu menjawab pertanyaan Beno. “Jawablah, aku mau tau kejujuranmu. Mengapa kau mendekati Mamaku. Apakah kau menantiku?” “Ben...” air mata yang kubendung akhirnya turun juga. “Ya. Aku menantimu, Ben.” Akhirnya dari lubuk hatiku aku berkata dengan jujur. “Dan aku ingin merasakan bahwa benar-benar ini adalah sebuah penantian yang panjang yang berujung bahagia. Penantian dari sebuah kesabaran yang berat.” “Benarkah?” “Ya. Benar, Ben. Aku pun mencintaimu.” “Zani. Ternyata kau begitu setia, tetap menantiku. Seperti halnya aku yang selalu menantimu. Terima kasih Zani, kau beri aku waktu. Kau beri rasa bahagia di penghujung penantianku.” 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices