Menolak Jatuh Cinta

Reads
91
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Penata Rias Wajah Anti-mainstream (maretha Agnia)

Tiga hari yang lalu ada pihak komunitas literasi Jerman memintaku mengisi seminar menulis. Uniknya aku dibebaskan memilih tempat seminar. Berhubung aku suka tempat anti mainstream dan memiliki sejarah, aku memilih kastil tua yang bernama Neuschwanstein. Bahasa Inggrisnya disebut New Swanstone Castle. Kastil itu sudah ada awal abad ke 19. Keunikan lain berdiri di atas lahan seluas 800 meter, berada di dataran tinggi dan lokasinya strategis di kaki pegunungan Alpen yang berbatasan dengan Austria. Ditambah lagi arsitektur bangunan kastil sarat akan gaya Neo Romanesque. Jadi aku bisa sekalian menikmati pemandangan indah padang rumput luas sekaligus pepohonan hijau di sekeliling kastil. Mobil yang kutumpangi tiba-tiba berhenti. “Warum aufhren?1” tanyaku pada sopir dalam bahasa Jerman. Sebagai novelist internasional harus menguasai berbagai bahasa kan? “Es war das ziel zu platzieren,2” jawab sopir dengan ekspresi datar. Maretha membuka pintu mobil. Lalu dia turun duluan. Setelah itu baru dia membukakan pintu mobil untukku. Di pintu kastil aku disambut ramah oleh panitia seminar yang kebetulan orang Indonesia. “Selamat datang Mbak Maretha, perkenalkan saya Cicilia. Yuk, kita langsung ke ruang makeup saja. Waktu kita tidak banyak, hanya satu jam.”  1 = Kenapa berhenti? 2= Sudah sampai di tempat tujuan “Oke.” Aku mengikuti langkahnya menuju ruang makeup. Sesampai di ruang makeup, ada seorang pria berusia sekitar 27 tahun menghampiriku. Aku memerhatikan dia dari ujung kaki ke ujung kepala. Dia sungguh memesonaku. Memiliki wajah tampang, rahang keras, rambut lurus hitam, tidak gondrong namun juga tak terlalu pendek, bodi tegap dan sixpack. Dilihat dari wajahnya, dia seperti pria asli Jerman. Aku rasa pria di depanku ini host terkenal di Jerman yang direkrut panitia menjadi MC seminar. “Apa benar anda Maretha Agnia?” tanya pria itu. Aneh, biasanya jika orang Jerman berbicara dengan orang lain pasti menggunakan bahasa Jerman atau Inggris. Kenapa dia menggunakan bahasa Indonesia? Apakah dia tahu bahwa aku orang Indonesia. “Iya, benar. Apakah kau host seminar ini?” Dia menggeleng cepat. “Bukan. Saya hanya penata rias wajah di sini.” Spechless. Tebakanku salah total. Sungguh, aku malu sekali. Dia pasti mengataiku cewek sotoy alias sok tau. Aku dipersilakan duduk di kursi berhadapan dengan meja rias. Dengan cekatan dia mulai mempermak wajahku. Pertama-tama dia memoles pipi, dagu, dan hidungku dengan primer yang fungsinya untuk memberikan tampilan pori-pori yang kecil sehingga wajah terasa sangat halus dan lembut saat disentuh. Dia memoleskan fondation warna kulit langsat ke tangannya sambil menatap wajahku. Ditatap olehnya aku jadi grogi sendiri. Foundation sendiri berfungsi untuk menutupi, noda, bekas dan flek hitam akibat jerawat yang pernah tumbuh di wajahku. “Mbalk, tolong liat ke atas ya!” ucap pria itu sebelum memakaikan Conclealer di bawah mataku agar mata panda tertutupi. Tahu sendiri kan seorang penulis bedagang tiap malam, menyelesaikan naskah. Mustahil bisa menghindari mata panda. Aku pun menuruti permintaannya. Sepanjang dia mempermak wajahku, aku senyum-senyum sendiri menatapnya di cermin. Aku sudah ratusan kali berhadapan dengan penata rias wajah pria, dia benar-benar penata rias wajah anti mainstream. Pria tulen. Sedangkan penata rias yang kutemui lainnya itu gemulai. Setengah cowok, setengah cewek.  Cling! Tiba-tiba muncul ide buat novel baru. Tokoh utama jatuh cinta dengan penata rias wajah. Terbesit ide buat minta pin BB atau nomor whatapp dia, biar gampang kalau mau bertanya soal jenis makeup. Secara aku orangnya cuek. Pengetahuanku tentang makeup sangat sedikit. Urung kulakukan. Takut ganggu pekerjaannya. Akhirnya kuputuskan minta kontaknya sehabis selesai makeup wajahku saja. Waktu terus bergulir. Tak terasa wajahku kini di cermin terlihat jauh lebih cantik daripada saat pertama kali masuk ke ruang makeup ini. Terakhir dia memoles lipstik warna fuschia senada dengan warna baju yang kukenakan. Tak lupa dia menyempot sesuatu ke rambutku. “Nah, sudah selesai. Makin cantik kan?” Senyum semringah terlukis di bibir sexyku. Harus kuakui dia penata rias yang hebat. Berkat sentuhan tangannya, aku yang berusia 25 tahun kini terlihat seperti remaja 17 tahun. Menakjubkan bukan? “Mas, saya boleh min ...” belum sempat mengutarakan niat minta pin BB atau nomor whatsapp ke penata rias, dari cermin aku melihat Cicilia muncul di depan pintu. “Mbak Maretha sudah selesai makeup?” tanya Cicilia. “Sudah,” jawab Mas penata rias ganteng. “Good. Jadi sekarang bisa naik ke panggung, audiens sudah penuh.” Dalam hati aku mengumpat. Kenapa kamu mesti datang di saat tak tepat. Sesaat kemudian aku mencoba berpikir positif. Mungkin waktu yang tepat minta pin BB atau nomor whatsapp ke penata rias, begitu acara seminar selesai. Aku berharap pria itu masih ada di ruangan ini.  Seperti acara-acara seminar menulis lainnya, aku selalu menyampaikan cara mencari ide, membuat outline, memperkuat karakter, dan solusi yang biasa dialami oleh penulis pemula. Peserta seminar begitu antusias mendengarkan apa yang aku katakan. Aku memang sudah menunaikan kewajibanku sebagai pembicara seminar. Ntah kenapa seminar kali ini aku merasa ada yang berbeda. Aku kurang fokus. Hati dan pikiranku tertuju pada seseorang. Kesekian kalinya aku melirik jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Sudah satu jam lebih empat puluh lima menit acara seminar berjalan, tinggal lima belas menit lagi maka selesailah tugas. Sayangnya jarum jam terasa begitu lambat. “Wah, nggak terasa ya acara kita sudah hampir berakhir. Sekarang waktunya sesi tanya jawab. Ada yang ingin bertanya ke Mbak Maretha Agnia?” Cicilia selaku panitia di seminar ini dia juga merangkap sebagai host. Seorang remaja berseragam SMA mengangkat tangannya. “Oke, adik yang di sana mau nanya apa?” tanya Cicilia. “Tips jitu biar bisa jadi novelist internasional ala Mbak Maretha gimana ya?” Hening. Sama sekali tak ada satu patah kata yang mampu keluar dari mulutku. Bukan karena aku bingung menjawab pertanyaannya, melainkan lagi-lagi pikiranku tertuju ke pria itu. Cicilia menyenggol tanganku. “Woy, ditanyain tuh. Ayo dong dijawab.” Dia berbisik di telinga. Sesaat kemudian aku tersadar dari lamunan. “Maaf, bisa diulang pertanyaannya?” “Tips jitu biar bisa jadi novelist internasional ala Mbak Maretha gimana ya?” Seorang remaja berseragam SMA kembali mengulang pertanyaannya. “Tipsnya hanya dua. Usaha dan doa. Impian besar itu ada bukan untuk ditaruh di angan-angan saja, melainkan untuk diwujudkan jadi nyata. Tidak ada cita-cita yang ketinggian, yang ada hanyalah usaha tak setinggi cita-cita.” Seluruh peserta bertepuk tangan. “Ada yang mau bertanya lagi? Mumpung masih ada waktu lima menit,” ucap Cicilia. Mataku terpaku ke arah peserta seminar. Di antara mereka tak ada yang mengangkat tangan. “Baiklah, jika tak ada yang ingin bertanya lagi maka acara seminar cukup sampai di sini. Terima kasih atas kedatangannya, sampai jumpa lagi di acara-acara seminar kami berikutnya.” Cicilia menutup acara seminar. Aku bernapas lega. Akhirnya acara seminar ini berakhir juga. Beberapa peserta seminar maju menghampiriku. Mereka ingin berfoto denganku. “Maaf banget semuanya, aku nggak bisa foto sama kalian soalnya lagi nggak enak badan.” Aku terpaksa berbohong pada mereka. Kalau tak cara itu, sampai dua jam pun acara foto-foto takkan selesai. Aku meneloyor pergi menuju ruang makeup. Sesampai di tempat tujuan, pria yang mengusik hati dan pikiranku sepanjang acara seminar tak kunjung kutemukan batang hidungnya. Dia kemana? Apa sudah pergi? Kebetulan di ruang makeup ini ada seorang pria. Dilihat dari seragamnya, dia seperti panitia rekan kerja Cicilia. “Maaf, saya mau nanya, penata rias wajah kemana ya? Kok nggak kelihatan lagi?” “Dia buru-buru pergi, Mbak. Katanya harus makeup penyanyi internasional di tempat lain.” Panitia itu menjawab pertanyaanku dengan santai. Aku terduduk lemas di kursi berhadapan dengan meja rias. Sudah buruburu ke ruang makeup, pria yang kucari malah sudah pergi. Penyesalan terdalam pun menyelinap di relung hati. “Harusnya gue minta pin dia pas dia lagi makeup-in gue. Kalau dah gini kapan lagi coba gue ketemu dia?” gerutuku dalam hati. Tiba-tiba Maretha muncul dan duduk di sebelahku. “Lu sebenarnya kenapa sih? Beneran nggak enak badan? Terus lu ngapain nyari penata rias wajah?” Aku mendelik ke arahnya. “Buset. Itu pertanyaan atau gerbong kereta api? Oke, gue jawab satu-satu. Jadi gini, pas gue makeup tiba-tiba muncul ide bikin novel yang tokoh utamanya penata rias wajah. Nah, gue buruburu ke ruang makeup buat nanyain pin bb atau nomor WA penata rias wajah gue tadi. Biar gampang kepoin soal makeup.”  “Alah, itu mah paling alesan lu doang. Aslinya mah lu naksir penata rias itu. Terus lu nanya pin bb atau nomor WA buat modus pedekate sama dia kan?” Aku menggetok kepalanya dengan sisir. “Sok tau lu. Nggak mungkin gue naksir dia. Cinta itu butuh waktu.” Maretha mengusap kepalanya. “Sakit tau. Yang sok tau itu lu. Nih, gue kasih tau yang namanya cinta itu bisa tumbuh kapanpun dan dimanapun. Yang susah itu moveon. Kayak lu ke Gibriel Alexander.” Aku terdiam memikirkan kata-kata Maretha. Benarkah aku naksir penata rias wajah? Mendengar dia menyebut nama Gibriel Alexander, raut wajahku berubah jadi murung. Bayangan masa lalu kembali menari-nari di pelupuk mataku.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices