Menolak Jatuh Cinta

Reads
85
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Pertemuan Kedua (maretha Agnia)

Seseorang mengguncang-guncang tubuhku. “Woy, bangun!” Suara cempreng Maretha mendengungkan telingaku. Buru-buru aku menutup telinga dengan guling biar tak tuli. “Apa sih lu berisik banget. Woy, hari ini itu hari Minggu. Nggak ada jadwal seminar kan? Please, jangan pisahin gue sama kasur. Gue mau menikmati masa muda. Kalau gue dah nikah nggak mungkin bisa pacaramn ma kasur lagi pagi Minggu.” Aku mendumel dengan mata terpejam. “Meskipun lu masih lum nikah, lu tetep bangun pagi! Ayo buruan mandi! Temenin gue ke butik langganan buat dateng ke acara pembukaan Oktoberfest ntar malam.” Mendengar Maretha mengucapkan kata ‘Oktoberfest’ mataku yang tadinya terpejam kini terbuka lebar. Sejak tahun 1810 Jerman punya tradisi pesta rakyat yang bertepatan dengan datangnya musim gugur. Hajat tahunan ini digelar mulai pertengahan September hingga senin pertama di bulan Oktober. Aku pernah baca di situs internet acara Oktoberfest berawal dari pernikahan Raja Ludwig dan Putri Therese pada 12 Oktober 1810. Untuk merayakan pernikahan sang raja, pihak kerajaan menggelar pesta rakyat tujuannya berbagi kebahagiaan dengan seluruh rakyatnya. Meski sistem pemerintahan telah berubah, masa telah berlalu, bahkan dua abad lamanya namun pesta rakyat ini masih berlangsung sampai sekarang. Gelaran akbar ini diselenggarakan di kota Munich. Menariknya pengunjung yang datang tak hanya warga kota Muinich saja, tapi juga diserbu wisatawan dari mancanegara. Diperkirakan dalam setiap tahunnya pesta akbar ini dihadiri 6 juta pengunjung. “Kok lu malah bengong sih? Mau nggak nemenin gue ke butik langganan buat ke acara Oktoberfest?” Aku sebenarnya sangat penasaran dengan acara Oktoberfest, namun satu sisi aku ingin melihat usaha Maretha dulu dalam membujukku datang ke acara itu. “Ogah ah. Males. Gue hari ini mau pacaran ma kasur.” “Ayolah, please. Masa lu tega liat sahabat lu yang cantik jelita pergi ke butik dan acara itu sendirian? Kalau gue diculik gimana?” Maretha terus membujukku disertai muka melas. Melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu aku jadi geli dan ngakak dalam hati. “Karena gue lagi baik hati, okelah gue temenin lu ke butik langganan dan pesta rakyat itu.” Mata Maretha berbinar bak mendapat kupon undian senilai 1 milyar. “Asyik. Gitu baru namanya sahabat gue.” “Gue mandi dulu ya.” “Buruan! Mandinya jangan lama-lama!” “Iya, bawel.”  Butik langganan Maretha ternyata butik Die Alb Ruft. Mendatangi butik ini harus menempuh perjalanan naik mobil selama satu jam dari apartement Maretha. Butik ini spesial menjual pakaian tradisional Jerman. Untuk datang ke acara Oktoberfest, pengunjung harus mengenakan pakaian tradisional Jerman. Turun dari mobil aku memandangi bangunan rumah kayu berlantai dua di pinggir jalan. Sederhana dan antik. Dua kata itulah yang sesuai dengan butik langganan Maretha. Saat memasuki halaman mataku langsung segar melihat pemandangan nampak asri dengan bunga hangende Granien yang berwarna berani semakin membuatku ingin tahu koleksi pakaian dalam butik ini. “Ret, daritadi gue liat butik ini sama sekali nggak ada pengunjung. Janganjangan harga baju di butik ini mahal selangit makanya nggak laku,” ujarku berbisik di telinga Maretha. “Hush, ngaco. Orang-orang Jerman belikan pakaian tradisional di butik ini sudah jauh-jauh hari.” Mulutku ber ‘o’ ria. Aku mengikuti Maretha masuk ke butik. Koleksi pakaian di butik ini lumayan lengkap. Aku sampai bingung mau beli pakaian tradisional yang mana. Setelah lihat dan nanya-nanya, akhirnya aku jatuh cinta pada pakaian dirndl. Pakaian itu awalnya di abad 19. Bisa dibilang versi sederhana dari kostum rakyat yang sebenarnya merupakan seragam para pelayan Austria. Pakaian ini mengenakan korset, blus, rok penuh ditambah dengan celemek. Seiring berjalannya waktu, dirndl berkembang dengan menggunakan katun tebal bahkan wol digunakan untuk rok atau celemek. Desainnya pun banyak diubah menjadi lebih modern. Aku membawa pakaian dirndl ke ruang ganti untuk dicoba. Tak sampai sepuluh menit aku kembali keluar, pakaian dirndl sudah melekat di tubuhku. Tiba-tiba karyawan butik menghampiriku. Dahiku mengernyit, pasalnya karyawan itu mengucapkan bahasa Jerman yang tak kumengerti. Untung di sini ada Maretha. Dia kan sudah lama di Jerman, pasti tahu apa yang dikatakan karyawan itu. “Ret, karyawan butik tadi ngomong apa?”  “Dia ngingetin lu bahwa lu salah meletakkan tali di baju yang lu kenain. Lu harusnya meletakkan tali di sebelah kiri, menandakan lu masih gadis. Kalau lu naruh tali di belakang, berarti lu mengaku janda.” Aku menepuk jidat sendiri. Ternyata ribet juga ya pakaian tradisional Jerman. Salah meletakkan tali aja bisa membuat orang salah paham. Sedangkan Maretha pilihannya tertuju dengan pakaian Tracht. Gaya tracht tradisional bahkan memberi kesan seperti landhausmode, pengaruh kostum yang biasa dipakai para e petani. Tracht menggunakan bahan linen dan loden. Harga baju yang kami beli lumayan terjangkau oleh dompet yang sedang dilanda tanggal tua. Aku pun bayar ke kasir. Setelah semua beres kami pulang dengan wajah bahagia dan siap datang ke acara Oktoberfest.  Aku baru tahu ternyata Oktoberfest seperti pasar malam yang dimeriahkan aneka acara, atraksi, wahana, hiburan, sajian makanan dan minuman khas Jerman. Sebelas dua belaslah sama Sekaten di Solo. Bedanya Oktoberfest digelar di lahan yang sangat luas, 40 kali lapangan sepak bola. Tak heran jika pesta rakyat ini berlangsung selama tiga minggu berturut-turut. Tak banyak orang tahu bahwa aku sebenarnya lahir dan pernah tinggal di Solo selama 12 tahun. Oktoberfest semakin membuatku rindu akan tanah kelahiranku itu. Kapan ya aku kembali ke sana? “Gue ke sana dulu ya, di sana banyak jual obral baju. Mau ikut?” tawar Maretha memecahkan lamunanku. Aku menggeleng cepat. Aku bukan tipikal cewek yang suka belanja apalagi berburu obralan. “Nggak deh. Gue mau lihat atraksi, wahana dan hiburan di sekitar sini aja.” “Ya udah, kalau gitu kita pisah ya. 2 atau 3 jam lagi kita ketemu di sini! Gimana?” “Oke deal.” Tak sampai hitungan ke lima, Maretha sudah menghilang dari pandanganku. Entah mengapa kakiku enggan beranjak dari tempat ini. Mungkin karena niat ke Oktoberfest hanya menemani Maretha, makanya malas jalanjalan. Aku berdiri tepat berhadapan dengan toko jualan boneka. Di sebelahku ada pria membelikan boneka ke pacarnya. Pipi pacar itu merah merona karena tersipu. “Coba aja ada cowok yang beliin gue boneka, pasti gue juga ngerasain kebahagiaan seperti dia,” gumamku dalam hati. “Kau mau aku beliin boneka?” terdengar suara cowok di sebelahku. Aku menoleh untuk memastikan siapa pemilik suara itu. Seketika mataku berbinar. Orang yang kucari selama tiga hari ini ada di sebelahku. “Kau itu penata rias wajah dki seminar kemarin kan?” tanyaku memastikan. Takut salah orang. “Aku pikir kau sudah melupakanku.”  “Aku boleh minta pin BB atau nomor whatsapp?” tanyaku. Mumpung dia ada di sebelahku, takut lupa lagi atau insiden yang membuatnya pergi. “Boleh.” Dia mengeluarkan ponsel pintar dari sakunya. Lalu memperlihatkan nomor whatsapp. Buru-buru aku mennyimpan nomor itu di buku telepon ponsel pintar. “Aku nggak nyangka loh, novelist internasional masih sudi minta nomor WA penata rias wajah,” ucapnya. “Jadi gini, waktu kamu merias wajahku tiba-tiba muncul ide buat novel baru. Tokoh utama jatuh cinta dengan penata rias wajah. Makanya aku minta pin BB atau nomor whatapp kau, biar gampang kalau mau bertanya soal jenis makeup. Secara aku orangnya cuek. Pengetahuanku tentang makeup sangat sedikit. Oh ya namaku Maretha Agnia, namamu siapa?” Aku mengulurkan tangan. Dia menerima berjabat tangan denganku. “Gerhard Errando.” Obrolan demi obrolan masih terus berlanjut. Dia ternyata asyik, bisa mencairkan suasana. Tak ada kecanggungan lagi di antara kami. Sudah seperti kenal lama. Hingga akhirnya perpisahan itu terjadi. Dia pamit pulang, karena ditelepon sahabatnya. Baru beberapa detik kepergian Gerhard, tiba-tiba Maretha muncul. “Ciyee ... di Oktoberfest ketemu jodoh.” Maretha jahil meledekku kumat. Akibat ledekannya aku tersipu malu.Seraya aku menyenggol tangannya. “Apaan sih lu, orang kami baru kenal. Eh, lu tumben belanja cepet. Lum juga nyampe sejam dah balik ke sini, biasanya lu belanja sampe lima jam.” “Duit gue dah ludes. Hehehe.” Dia cengengesan. “Tempo hari kan lu nyari penata rias buat minta nomor WA atau pin bb tapi nggak sempet, nah sekarang kalian dipertemukan lagi. Apa coba namanya kalau bukan jodoh?” “Jodoh nggak mungkin secepat ini juga kali.” “Mau taruhan sama gue nggak?” “Kalau lu sekali lagi dipertemukan sama penara rias wajah itu, berarti dia memang jodoh lu. Dan lu harus memperjuangkan dia.” “Kalau ternyata gue nggak dipertemukan lagi dengannya, lu harus siapsiap relain gaji nggak gue bayar selama dua bulan. Gimana? Deal?”  “Oke. Siapa takut! Gue yakin lu dan dia akan ada pertemuan selanjutnya dan pertemuan terakhir kalian di pelaminan sebagai pengantin.” Aku terdiam. Benarkah yang dikatakan Maretha, jika sekali lagi dipertemukan sama penara rias wajah itu, berarti dia memang jodohku? Memikirkan jodoh tak ada habisnya. Aku pasrahkan semua pada takdir aja lah.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices