
by Titikoma

Memikirkan Dia (gerhard Errando)
Pukul sebelas malam aku baru pulang ke apartement. Hari ini dapat jatah merias wajah 4 artis internasional. Melelahkan memang tapi sekaligus asyik. Lewat kerjaan ini kecantikan mereka ada di tanganku. Terlebih aku tadi sore dipertemukan dengan wanita yang selama tiga aku kagumi. Siapa lagi kalau bukan Maretha Agnia? Awalnya aku tak menyangka pembicara seminar di event yang ditangani Franco adalah Maretha. Mungkin ini namanya kebetulan. Aku selalu yakin di dunia tak ada kebetulan. Semua sudah diatur oleh Tuhan. Daun jatuh pun juga diatur Tuhan kan? Sudut hatiku mengatakan Tuhan menyelipkan kisah indah di balik pertemuan kita. Aku merebahkan diri ke pulau kapuk tercinta untuk sejenak merenggangkan otot-otot dan melepas penat seharian beraktivitas. Posisi favoritku adalah tungkerep sambil memainkan ponsel pinter. Tanganku menari lincah membuka album foto berjudul ‘My Angel’. Album foto itu berisi kumpulan foto-foto Maretha Agnia. Kebetulan tadi petang di acara seminar sempat memoretnya beberapa kali. Di mataku kecantikan Maretha di atas rata-rata. Pacarku lewat. Jangankan pacarku, bidadari di Kahyangan pun tak ada yang bisa melebihi kecantikan Maretha. “Mas, saya boleh min ...” Ucapan Maretha di ruang makeup kembali terngiang di telingaku. Aku jadi berpikir, apa jangan-jangan dia tadi mau minta pin BB atau nomor whatsapp-ku? Sesaat kemudian aku menggelengkan kepala. Rasanya mustahil seorang novelist internasional mau minta pin BB atau whatsapp penata rias wajah. Buat apa coba? Hoammm! Mata ini sudah terasa berat sekali buat melek. Dalam lima menit ponsel pintar terlepas dari genggaman dan aku berkelana ke alam mimpi. Jika hari libur aku selalu menyempatkan diri mengunjungi Holstentor yang merupakan salah satu dari dua gerbang kota yang adalah sisa dari kota Lubeck. Gerbang kota ini jelas sudah sangat tua karena diketahui bahwa pembangunannya saja dilakukan di tahun 1464 dan kini sudah beralih fungsi menjadi sebuah museum. Obyek wisata di Jerman yang layak untuk disambangi adalah museum Holstentor. Dijamin para pengunjung akan puas setelah melihat arsitekturnya yang unik. Bila mencermatinya, akan tahu bagian mana yang dianggap begitu unik, yakni dua menara berbentuk bulat dan melengkung masuk. Bagian tersebutlah yang menjadi simbol kota Lubeck. Pada bahasa Jerman, arti dari Holstentor sendiri adalah gerbang Holsten dan sesampainya di sini. Siapapun boleh mengabadikan gerbang besar yang didirikan dari batu bata merah ini. Holstentor memang disebut sebagai gerbang, namun sebenarnya bangunan bergaya gothic ini bisa juga dianggap sebagai benteng. Selain itu tempat ini juga menyimpan kenangan bersama Gibriel Alexander. Kami berdua lahir dan besar sampai 12 tahun di Jerman. Papa bahkan kakek kami asli Jerman yang kecantol dengan gadis Indonesia. Bedanya Gibriel kini menetap di Indonesia usai menikah dengan Restyani Ananda Putri. Aku merindukan waktu kecil saat bermain bola atau sekadar berlarian di halaman Holstentor. “Gibriel, lu kapan balik ke Jerman? Gue kangen lu.” Bruk! Seseorang menjotos wajahku. Aku terhuyung akibat jotosan itu. Darah segar mengalir dari sudut bibir kiriku. Emosiku naik ke kepala. Berani sekali dia menjotosku. Memangnya dia siapa? Ketika aku ingin membalas menjotosnya, mataku terbelalak. Orang yang menjotosku tadi itu tak lain dan tak bukan adalah orang yang aku rindukan. “Gibriel, lu apa-apaan sih dateng ke Jerman nggak bilang-bilang anehnya lagi langsung jotos gue? Maksudnya apa? Salah apa gue sama lu?” teriakku sambil mendorong tubuh Gibriel. Aku tak peduli teriakanku menjadi pusat perhatian pengunjung Holstentor. Gibriel tak terima, dia balik mendorong tubuhku. “Harusnya gue yang nanya, lu tuh apa-apaan. Udah tau Anindya Maharani itu orang yang dah bunuh Vindy dan mencelakai Resty eh lu malah mencintai dia.” Gibriel berucap dengan nada berapi-api. Dahi mengernyit. Tak mengerti apa maksud ucapan Gibriel. “Jangan asal nuduh lu. Siapa coba yang mencintai pembunuh Vindy?” “Emang lu pikir gue gak tau dengan apa yang lu lakuin? Gue tau semuanya tentang lu. Lu pengkhianat.” Gibriel mengepal tangannya, siap menjotos hidungku. Dia tahu anggota tubuh yang paling aku sayangi adalah hidung mancungku. “Arrrrggh ... jangan!” teriak gue sekenceng-sekencangnya. Seketika mataku terbuka. Aku mendapati diri di kamar tidur. Hal pertama yang aku lakukan adalah menyentuh hidung dan bibir. Barulah aku sadar bahwa tadi itu hanya mimpi. Aku merenung, apa maksud mimpi tadi? Aku memang lagi mengagumi wanita bernama Maretha Agnia, aku berani menjamin Maretha bukan Anindya Maharani pembunuh Vindy. Manager sekaligus asisten Maretha walau namanya sama tapi wajahnya sangat berbeda. Mungkin mimpi tadi cuma bunga tidur. Aku berusaha meyakinkan diri. Ting! Ada pesan whatsapp masuk ke ponsel pintarku. Dari kekasih hati. Sayang, kita ketemuan di tempat biasa yuk! Mmupung hari libur, aku kangen sama kamu tauuu. Aku mengetik balasan untuknya. “Oke. Setengah jam lagi aku ke sana ya.” Ya sudahlah. Daripada memikirkan mimpi tak jelas lebih baik aku siapsiap mandi untuk menemui kekasih hati. Terlambat semenit saja dia bisa mengambek selama berhari-hari lebih parah minta putus. Tempat biasa yang dimaksud Cicilia, kekasih hatiku adalah Restoran Baggers. Keunikan restoran ini tidak adanya pelayan, tapi menggunakan konsep pesanan yang otomatis. Di sinilah aku pertama kali bertemu dengan Cicilia bahkan sampai menyatakan cinta. Cicilia sudah standby di meja langganan kami. Sepasang kekasih jika lama tak bertemu, pastilah cium pipi kanan cium pipi kiri dan saling menanyakan kabar dulu. Baru setelah itu aku duduk. Perutku sudah keroncongan sedari tadi karena belum sempat sarapan di apartemen. Aku memasukkan menu makanan favoritku Gulashchcuppe dan apfelstrudel melalui monitor layar sentuh yang disediakan di atas meja untuk memesan makanan. Sekarang tinggal menunggu makanan itu datang sendiri melalui rel yang terhubung dari dapur ke seluruh meja. “Honey, nunggu makanan lama kan agak lama, aku ke toilet dulu ya,” ucap Cicilia. “Oke. Mau aku temenin?” tawarku. “Nggak usah. Cuma bentar kok. Kamu tunggu di sini aja ya.” Dia menolak tawaranku secara halus. Sepeninggal Cicilia, aku memanfaatkan waktu dengan main sosial media di ponsel pintar. Ting! Indera pendengaranku menangkap bunyi pesan BBM masuk. Bunyi itu bukan berasa dari ponselku, melainkan ponsel Cicilia yang tergetak di atas meja. Ingin sekali aku membuka ponsel Cicilia namun keraguan menyelimutiku karena takut mengganggu privasi Cicilia. Rasa penasaran tingkat dewa berhasil mengalahkan keraguanku. Maka akhirnya kuputuskan membuka ponsel Cicilia. Kugeser layar smartphone, untung Cicilia tidak memakai pola atau kata sandi jadi aku gampang mengecek ponselnya. Ada satu pesan BBM dari Franco, sahabatku di Jerman sekaligus rekan kerja Cicilia juga. Pesan itu pulalah yang membuat emosiku naik ke ubunubun. Siapa pria yang marah jika kekasih hatinya dikirimi pesan mesra oleh pria lain? Terlebih pria itu sahabat karib kita? Aku scroll chat mereka di bagian atas. Dari sana aku menemukan fakta mereka sudah melakukan perselingkuhan selama enam bulan. Lebih menjijikkan lagi mereka tiap malam melakukan chat sex. Selang lima menit Cicilia kembali. “Sayang, tadi ada telepon buat aku nggak? Aku lupa bawa HP.” Cicilia berkata dengan santai. “Tolong jawab dengan jujur, ada hubungan apa kamu dan Franco?” “A.... anu ...” “Kamu selingkuh sama dia sejak enam bulan lalu kan? Ini buktinya.” Aku mengacungkan ponsel ke wajah Cicilia. “Kamu apa-apaan sih buka-buka HP-ku! Itu kan privasiku!” Dia malah marah. “Karena aku nggak pernah buka privasi kamu, makanya aku nggak pernah tau perselingkuhanmu dengan Franco.” “Alah, kayak kamu bersih dari perselingkuhan aja. Kamu pikir aku nggak tau bahwa di HP-mu penuh dengan foto-foto Maretha Agnia?” “Aku hanya mengagumi Maretha. Nggak kayak kamu, selingkuh.” “Terus mau kamu apa?” “Aku mau kita putus!” “Oke. Fine. Aku juga capek berhubungan sama cowok banci kayak kamu.” Dia berlalu meninggalkanku dengan hati yang ancur. Ah, sial. Apa yang aku rasakan saat ini sama persis dengan yang dirasakan Gibriel sebelum dipertemukan dengan Restyani Ananda Putri. Mungkin benar apa kata orang, sebelum dipertemukan dengan orang yang tepat hati kita harus melalui 7 hati yang salah dulu. Singgah di satu hati yang salah saja sudah menyakitkan bagaimana bisa singgah di 7 hati yang salah?