cicak di dinding ( halusinada )
Cicak Di Dinding ( Halusinada )

Cicak Di Dinding ( Halusinada )

Reads
26
Votes
0
Parts
1
Vote
by Titikoma

Cicak Di Dinding

Terlihat Cica yang sedang terkulai lemas dengan tatapan mata kosong. Tatapan seolah mengatakan. “Kenapa Ayah melakukan ini padaku?”

Datanglah Ayah mendekat Cica. Sang Ayah mencium kening putri semata wayangnya seraya mengusap rambut dan berlinang air mata. “Maafkan Ayah yang sudah gagal menjaga kamu.”

Cica hanya terdiam dengan tatapan kosong. Lalu, memejamkan mata.

Bayangan pertumbuhan Cica dari lahir hingga sekarang terpampang nyata di pikiran Ayah Cica bak adegan demi adegan film yang diputar di bioskop.

***

Tampak seorang bayi cantik, lucu dan menggemaskan berada dalam gendongan hangat sang Ayah. Wajah Ayah yang tadinya sedih karena istri tercinta tidak berhasil diselamatkan berubah cerah ketika bayi itu menangis kencang. Ayah mengazani bayinya.

“Ayah akan selalu menjagamu, Sayang. Hidup mati Ayah hanya untukmu. Mulai sekarang namamu Cica.”

Sebagai Ayah tunggal, tentu repot merawat bayi sendirian. Ayah harus aktif berperan sebagai Ibu dan Ayah sekaligus. Namun, Ayah ikhlas melakukan semua demi Cica.

***

Hari demi hari terus bergulir. Terlihat Cica mengenakan seragam SD berlari menuju ayahnya yang baru turun dari mobil. Ayah memeluk Cica dengan mata berkaca-kaca. Ia terharu melihat Cica sudah besar.

“Ayah.”

“Halo, Sayang. Tadi ada cerita seru apa di sekolah?”

Ayah, tadi di sekolah Cica kepilih jadi dokter kecil. Kalau udah gede Cica mau jadi dokter. Boleh, kan?”

Ayah hanya tersenyum. “Boleh dong. Kamu akan jadi dokter yang hebat dan cantik

Ayah menggandeng Cica masuk ke galeri lukisnya. Yup, Ayah Cica seorang pelukis ternama. Setiap pulang sekolah, Cica ke galeri dulu agar Ayah bisa bekerja sekaligus mengasuh Cica.

Di galeri ini Cica punya ruangan khusus bermain. Mendadak telepon Ayah berbunyi. Dia meninggalkan Cica bermain sendirian. Saat urusan selesai, Ayah membuka pintu ruangan. Terlihat Cica sedang asyik bermain dengan boneka teddy bear kesayangannya.

“Kamu aku operasi dulu ya biar cepat sembur,” ucap Cica berbicara dengan boneka kesayangannya.

Ayah di samping pintu hanya tersenyum melihat tingkah putri kecilnya.

***

Umur Cica terus bertambah. Kini Cica memasuki usia 15 tahun. Sebelum berangkat kerja, Ayah menyiapkan kue ulang tahun untuk putri kecil yang kini sudah remaja. Cica keluar kamar dengan mengenakan seragam putih abu-abu.

“Surprise, selamat ulang tahun, Sayang. Sebelum berangkat sekolah make a wish dan tiup lilin dulu.”

“Ya ampun, Ayah sempet-sempetnya bikin kue dulu,” ucap Cica dengan ekspresi berkaca-kaca. Ia langsung memeluk dan mencium pipi ayahnya. Ia juga menelungkupkan kedua tangannya seraya memejamkan mata saat berdoa.

“Ya Tuhan, tolong selalu jaga ayahku agar tetap sehat dan ganteng. Aamiin.”

Cica meniup lilin bersama sang Ayah. Mereka tertawa bersama-sama.

***

Cica kini memasuki usia 20 tahun. Ia kuliah di kedokteran sesuai dengan cita-citanya waktu kecil. Biaya kuliah kedokteran sangat mahal, Ayah lebih tiap hari lembur karena menerima orderan lukisan yang sangat banyak.

Ayah selalu pulang jam 11 malam. Ayah terkejut mendapati Cica yang juga baru pulang.

“Malam, Yah.”

“Baru pulang kamu? Ke mana aja?”

“Ayah kan tahu aku kuliah jurusan kedokteran. Banyak tugas ini itu. Udah ah, aku capek.”

Cica ngeloyor gitu aja masuk ke kamar meninggalkan sang Ayah yang mematung sedih melihat putri semata wayangnya berubah.

Hari demi hari Cica melakukan hal yang sama. Pulang larut malam. Alasannya tugas kelompok lah, belajar bareng dan ulang tahun teman. Akhirnya Ayah curiga ada tidak beres dengan putrinya.

Ayah sengaja pulang cepat. Ia membuka pintu kamar dan mendapati putrinya sedang sibuk berdandan.

“Mau ke mana lagi kamu malam-malam seperti ini?” tanya ayahnya dengan nada tinggi.

“Mau ngerjain tugas kelompok, Yah.” Cica masih sibuk mengoles lipstick ke bibirnya.

“Tugas kelompok make baju seksi kayak gini?” Ayah Cica menunjuk baju Cica. “Cepat ganti baju sana!”

“Emang kenapa kalua udah malem dan make baju kayak gini? Cica udah gede, Yah. Udah ah Cica pergi dulu.”

Lagi-lagi Cica pergi tanpa menghiraukan ayahnya yang sedang marah. Ayah terpukul melihat perubahan sikap anaknya. Ayah mengintip jendela. Terlihat Cica masuk mobil bersama teman-temannya. Seketika dahi Ayah berkerut. Dalam mobil ada dua laki-laki seolah mereka berpasangan.

Ayah langsung bergegas ambil kunci mobil untuk mengikuti Cica.

Ayah terus mengejar mobil yang dikendarai Cica bersama temannya. Mobil itu berhenti bukan di tempat bimbingan belajar. Namun, sebuah kafe mewah. Dari dalam mobil Ayah bisa melihat Cica turun mobil sambal bergandengan dan berciuman dengan seorang lelaki. Emosi Ayah memuncak. Ayah turun dari mobil dan melabrak Cicak.

“Oh, jadi ini belajarnya? Belajar ciuman sama cowok?” ujar Ayah dengan nada tinggi seraya menunjuk-nunjuk cowok yang digandeng Cica.

Eksperesi Cica memucat ketika melihat kedatangan Ayah. “Yah, Cica udah gede. Ngapain sih Ayah ngikutin Cica?”

“Pulang sekarang!”

Ayah menyeret tangan Cica. Dan memaksa Cica masuk mobil. Ayah langsung tancap gas mengendarai mobil menuju pulang.

Sesampai di rumah Ayah masih memarahi Cica.

“Udah berani bohong sama Ayah ya. Ngakunya belajar kelompok, nyatanya mesra-mesraan sama cowok di kafe! Hari ini ciuman, besok-besok kamu ditiduri laki-laki berengsek!”

“Harus berapa kali Cica bilang, Cica udah gede. Cica udah punya kehidupan sendiri. Wajar dong Cica punya pacar!”

“Kamu harus lulus dan jadi dokter dulu baru boleh pacaran! Mulai sekarang kamu nggak boleh keluar rumah dan Ayah akan antar jemput kamu ke kampus!”

“Dih, apa-apaan coba. Emang Cica binatang peliharaan yang mesti dikurung di rumah? Kalau Ayah kesepian, cari perek sono!”

Emosi Ayah memuncak. Spontan Ayah menampar pipi Cica. Cica menangis seraya memegangi pipinya. Cica berlari ke kamar. Ayah tertuduk lemas menyesali perbuatannya yang menampar Cica. Perasaan Ayah campur aduk. Sedih, marah, bingung dan kalut menjelma jadi satu.

***

Sebulan kemudian. Hubungan Ayah dan Cica semakin dingin. Mereka sama sekali tidak bertegur sapa. Ayah merasa bersalah telah menampar Cica maka dari itu ia membiarkan Cica menjalani kehidupannya.

Waktu telah menunjukkan pukul 19.00. Cica terlihat pulang lebih awal. Lalu, buru-buru masuk kamar mandi. Dahi Ayah berkerut. Dalam hati merasa curiga. Tak lama kemudian Ayah mendengar Cica muntah-muntah di kamar mandi.

Ayah langsung menyusul Cica ke kamar mandi.

“Cica, kamu nggak papa?”

Taka da jawaban. Ayah coba buka pintu kamar mandi. Terkunci. Terpaksa Ayah mendobrak pintu. Terlihat Cica menangis seraya memegangi tes kehamilan. Ayah merampas tes kehamilan itu.

Ayah menjambak rambut dan membenturkan kepala ke dinding. Ayah frustrasi melihat tes kehamilan Cica menunjukkan garis dua warna merah.

***

Terlihat Cica yang sedang terkulai lemas dengan tatapan mata kosong. Tatapan seolah mengatakan. “Kenapa Ayah melakukan ini padaku?”

Datanglah Ayah mendekat Cica. Sang Ayah mencium kening putri semata wayangnya seraya mengusap rambut dan berlinang air mata. “Maafkan Ayah yang sudah gagal menjaga kamu.”

Cica hanya terdiam dengan tatapan kosong. Lalu, memejamkan mata.

Ayah mundur dari hadapan Cica. Lalu, Ayah mengambil pisau cincang. Ayah menatap tubuh Cica bagian lengan dan pinggang ditempel di dinding sedangkan kaki dan tangan Cica telah dipotong. 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices