cahaya menembus senesta
Cahaya Menembus Senesta

Cahaya Menembus Senesta

Reads
59
Votes
0
Parts
3
Vote
by Titikoma

Chapter 3

Pergulatan batin yang Khadijah terima bukanlah perihal yang mudah. Ia harus berjuang melawan arus kehidupan, hingga sang buah hati mampu meraih cita-cita yang ia impikan, agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

"Ya Tuhan, Jika Engkau telah menghendaki kemurahan rezeki bagi hamba-Mu ini, maka curahkanlah sederas-derasnya dari langit-Mu yang gagah, dan tumbuhkanlah dari bumi-Mu yang subur, bersihkan dan halalkan bagi kami," Khadijah waktu itu bersimpuh di atas sajadahnya, ia berharap bahwa Tuhan yang Maha Kuasa terus memberikan keluasan dan kemurahan rezeki sehingga ia mampu menjalani hidup dan memberikan arah yang baik bagi Hasnah. 

"Diriku bukanlah perempuan suci, bukan juga perempuan yang banyak penghambaan kepada-Mu. Tapi diri ini ingin menjadi suci dari air wajah-Mu," sambungnya.

Sesaat wajahnya menunduk, ia tak mampu menahan bendungan air mata, akhirnya butiran cair itu menetes perlahan, isak tangis pun pecah sesaat.

Dalam lamunan yang panjang, malam itu bukanlah malam yang mencekam. Sebelum kedua perempuan itu memejamkan mata, taburan bintang masih berkelip indah di angkasa, cahaya sang rembulan juga nampak lembut dari sebelumnya. Malam itu adalah malam yang bersahabat.

Sambil menggosok kedua bola mata, gadis kecil itu pun terjaga dari tidurnya yang panjang. Hasnah duduk sambil menepis kain pembalut tubuhnya ke arah sebelah kanan.

"Ma!" panggilnya penuh harap.

Kaki ia langkahkan, pandangannya masih sayu, rambutnya acak-acakan. Tak ubahnya bagaikan anak-anak perempuan yang lain setelah terjaga dari tidur panjangnya.

"Ma," panggilnya yang kedua.

Khadijah menyapu wajahnya, ia tidak memperlihatkan kelemahannya di hadapan sang anak, ia berpikir hal tersebut akan melemahkan semangat anaknya yang ingin menaklukkan dunia melalui jalan pendidikan yang ia tempuh sekarang.

"Sayang."

"Ma," sahut Hasnah, kemudian ia duduk di samping perempuan muda itu, matanya sedikit merah, bajunya yang lusuh dan rambutnya berantakan.

"Sana, cuci muka!" Khadijah menyuruh sambil merapikan mukena yang ia kenakan.

"Malam masih panjang." jawab Hasnah dengan suara serak. Senyum simpul Khadijah perlihatkan. 

"Kalau begitu, berikan hak untuk matamu. Besok kau akan sekolah. Tapi, sebelum itu salat dulu," sambil menggosok mata yang kesekian kalinya, Hasnah beranjak dari tempatnya menuju kamar mandi. Sambil berjalan pelan, langkahnya pasti menuju kamar mandi.

Setelah keluar dari kamar mandi, wajahnya terlihat sedikit lebih segar.

"Ma, bagaimana ya keadaan Inem?" pertanyaan yang keluar dari mulut gadis cilik itu.

Khadijah tersenyum, "Insya Allah baik," jawab Khadijah meyakinkan.

usai mendengar jawaban itu, gadis kecil yang sudah siap untuk melaksanakan salat malam yang syahdu itu pun memulai ritualnya, meski tak setenang pelaksanaan salat sang mama, akan tetapi ia sukses melaksanakannya.

Usai melaksanakan salat tahajud malam itu, Hasnah kembali ke tempat tidurnya, sedangkan Khadijah masih merapikan peralatan salat yang telah digunakan sang anak. Sampai akhirnya waktu subuh pun tak lama lagi akan tiba. 

***

            Pagi itu hari Minggu, hari di mana seluruh anak-anak di tempat itu bebas. Orang tua mereka memberikan waktu panjang agar mereka mampu mengekspresikan tumbuh kembang yang mereka jalani, tidak membebankan dengan pernyataan dan pekerjaan yang tidak layak mereka kerjakan. Meskipun tempat itu jauh dari kota besar, akan tetapi pemikiran sebagian warga di tempat itu tidak kalah dengan pemikiran manusia yang ada di kota, hanya nasib yang memisahkan mereka. Sebagian masyarakat di tempat itu tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, salah satunya adalah Khadijah.

            “Ma, kami pergi dulu ya,” ucap Hasnah. Inem sudah berdiri di depan rumahnya, terlihat gadis kecil itu sudah sehat dan ceria. Seperti biasanya, jika tiba hari Minggu, mereka bermain di lapangan yang tidak jauh dari rumah Inem, akan tetapi sedikit lebih jauh dari rumah Hasnah.

            “Jangan pulang sore!” sahut Khadijah khawatir jika anak semata wayangnya pulang sore hari. Meskipun Hasnah tidak pernah telat pulang, namun sebagai antisipasi dan kembali mengingatkan bahwa pulang sore itu tidak baik. Dan bukan perilaku anak gadis. Khadijah selalu meyakinkan dan mengingatkan tentang hal itu.

           “Iya Ma,” sahutnya. Kemudian mereka berdua berjalan pelan menuruni anak tangga yang menghubungkan rumah itu dengan jalan utama.

            “Ayo kita ke rumah Alif,” ajak Hasnah. Ia ingin mengajak Alif, anak dari Paman Karim, si pengusaha di tempat itu. Hanya anggukan kepala yang diperlihatkan oleh Inem, menandakan setuju.

            “Bagaimana kalau teman-teman yang lain juga kita ajak bermain?” tambahnya lagi.

Lagi-lagi hanya anggukan kepala yang ia perlihatkan menandakan setuju.

“Kalau begitu, aku yang ke rumah Alif, dan kamu yang ke rumah Salim.”

“Baik,” sahut Inem, kemudian mereka berdua berpisah di tempat itu. Meskipun antara rumah teman-teman mereka tidak jauh, namun saat itu mampu memisahkan langkah mereka berdua.

Setibanya di rumah Alif, Hasnah tidak langsung memanggil. Ia hanya berdiri melihat beberapa aktivitas perempuan-perempuan muda di tempat itu. Ada yang mengupas bawang dan ada juga yang memasukkan bawang yang sudah dikupas itu ke dalam kantong, sepertinya mereka sangat jenuh dengan pekerjaan seperti itu. Masih dalam keadaan berdiri, Hasnah terus memandangi aktivitas para perempuan yang ia pandangi itu tanpa berkedip.

“Apakah seperti itu yang Mama rasa dan kerjakan?” bisiknya dalam hati. Ternyata ia mengingat kondisi Khadijah, saat melihat perempuan yang ada di depannya.

“Suatu saat Mama tidak akan bekerja lagi, ia akan kubahagiakan selayaknya ia membahagiakanku dalam kondisi seperti ini,” bisiknya dalam hati meyakinkan. Hasnah begitu yakin suatu saat nanti hidup mereka akan berubah dan terus menjadi lebih baik dibanding dengan hari itu. Selang beberapa saat, tiba-tiba seseorang menyentuh bahunya.

“Anak Paman kok ada di sini?” seseorang mengagetkan Hasnah, badannya berbalik dan mengarahkan pandangan persis ke arah sosok yang mengagetkannya ketika itu, ternyata Paman Karim.

“Paman,” sahut Hasnah tersenyum.

“Kenapa kamu ada di sini. Mau bekerja?”

Hasnah tersenyum, ia langsung membalikkan badannya dari arah perempuan-perempuan itu. “Kalau Paman kasih kesempatan,” tuturnya serius.

Lelaki itu tersenyum, kemudian memegang kepala gadis kecil itu, “Pekerjaanmu bukan seperti ini, Paman yakin kalian akan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik dibandingkan pekerjaan seperti ini,” Karim meyakinkan dan memberikan semangat kepada Hasnah, yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri.

“Paman percaya, kalian akan mendapatkan pekerjaan yang mulia, dan jika waktu itu telah tiba, jadilah kalian yang dibanggakan oleh orang tua,” tambahnya lagi.

“Oh ya Paman, apakah ada Alif?”

“Ada,” Karim menganggukkan kepala. “Ayo sini,” ajaknya sambil memegang tangan gadis kecil itu. Sambil berjalan pelan, Hasnah tidak canggung di dalam rumah Alif, selain sebagai temannya, Khadijah juga adalah karyawan Paman Karim, dan Hasnah juga sudah terbiasa datang ke tempat itu.

“Alif, lihat siapa yang datang…” teriak Karim sedikit lebih keras.

“Siapa Ayah?” suara lelaki itu terdengar jelas.

“Lihat ke sini!” Karim meyakinkan dan berharap anak lelakinya datang menghampiri. Tanpa menunggu lama, Alif pun keluar dari dalam. Melihat kedatangan Hasnah ia sungguh bahagia, terlihat di raut wajahnya sangat senang.

“Apakah kami bisa bermain di sana Ayah!”

“Silakan,” Karim tersenyum.

“Ayo,” ajak Alif tanpa menunggu lama. Hasnah hanya tersenyum. Sambil mengulurkan tangan mereka berdua keluar dari dalam rumah, kemudian menemui Inem dan teman-temannya yang lain. Ternyata Inem hanya sendirian, jadi yang akan pergi ke lapangan hanya mereka bertiga. Melihat tingkah laku Alif yang begitu senang, Paman Karim tersenyum, kemudian menggelengkan kepala. Tiba-tiba sosok perempuan keluar dari dalam kamar.

“Sungguh bahagianya jika kita punya putri seperti Hasnah,” tutur perempuan itu. Karim mengelus pundaknya.

“Allah sudah mengatur semuanya.”

“Tapi, rasanya belum bahagia.”

Allah telah mengganti anak perempuan kita dengan harta. Harus kita syukuri apa adanya,” Karim meyakinkan istrinya, hingga tidak ada keluhan yang membuatnya lebih resah dan jauh dari rasa syukur atas pemberian Tuhannya Yang Esa.

Hari itu Alif, Hasnah, dan Inem habiskan waktu untuk bermain. Mereka sangat bahagia dan begitu ceria. Mereka bertiga melepaskan dan memanfaatkan waktu mereka yang tersisa, sebab esok hari mereka akan menempuh ujian di sekolah. Tidak lama lagi mereka akan menginjakkan kaki di sekolah lain, dalam artian telah duduk di bangku kelas satu SMP.

“Alif, lihat itu!” teriak Hasnah, Inem juga dengan cepat mengalihkan pandangan. Ternyata ada seorang Kakek yang jatuh dari atas sepedanya. Mereka bertiga dengan cepat berlari, dan sepertinya ingin sekali membantu kakek yang sedang dalam kesusahan itu.

“Kakek!” teriak Hasnah, hatinya sangat terenyuh dengan kondisi kakek yang sedang jatuh itu.

“Pelan-pelan Kek,” ucap Hasnah sambil memapah Kakek tersebut, sedangkan Alif dan Inem mencoba mendirikan sepeda yang kakek tumpangi. Hingga akhirnya mereka berhasil membantu kakek itu sampai kembali berdiri dan siap untuk melanjutkan perjalanannya.

“Terima kasih, kalian bertiga memang anak-anak yang baik. Jangan lupakan hal seperti ini, sebab perilaku yang kalian lakukan ini adalah perilaku terpuji dan Allah sangat menyukainya,” sang kakek memberikan nasihat kepada mereka.

“Ibu guru telah mengajari kami Kek, jika ada orang yang kesusahan, wajib dibantu,” tutur Hasnah.

“Subhanallah…” jawab sang kakek sambil tersenyum.

“Jadi, apa yang harus Kakek lakukan untuk membalas kebaikan kalian bertiga ini?”

“Mama mengajarkan kami agar tidak meminta imbalan Kek. Hanya Allah yang akan membalas apa yang kami lakukan, yang penting kita ikhlas. Iya kan?” Hasnah menjelaskan sekaligus bertanya kepada kedua temannya.

“Iya Kek, benar apa yang dikatakan Hasnah. Papa juga mengatakan seperti itu,” timpal Alif.

“Kalian memang anak-anak yang baik. Kalau begitu Kakek akan mendoakan kalian agar menjadi anak-anak yang sukses, dan setelah kalian mendapatkan apa yang kalian cita-citakan, bantulah orang yang membutuhkan,” sahut kakek itu kemudian mengadah tangan. Ia mendoakan ketiga anak itu menjadi anak yang sukses dan bermanfaat kepada orang lain.

“Kalau begitu Kakek pergi dulu,” ketiga anak itu hanya menundukkan kepala, sedangkan sang kakek berlalu pergi dengan perasaan yang sangat bahagia melihat tingkah laku anak-anak itu telah membantunya.

Tanpa pikir panjang mereka bertiga kembali bermain, dan kali ini mereka memainkan permainan tradisonal. Seolah Hasnah masih mengingat penjelasan bu guru bahwa permainan tradisional itu sungguh mengasyikkan dan sangat menyenangkan.

“Ayo lompat,” teriak Hasnah.

“Hahahhahaha!” sesekali terdengar Alif tertawa.

“Bukan begitu, tapi begini!”

“Bagaimana?” sahut Alif.

“Harusnya kamu lompat!”

“Hahhahahahha!”

Kebahagiaan mereka saat itu tidak terlepas dari rasa bahagia bersahabat, berharap di kemudian hari permainan yang mereka mainkan akan terus dikenang dan menjadi penyemangat mereka, meskipun dunia sudah berubah, lingkungan telah mengubah fisik mereka. Akan tetapi, hasrat dan kebersamaan tetap menyatu dalam kenangan masa lalu yang tidak akan berubah, meskipun lingkungan memaksa mereka untuk melupakan segalanya dan membentuk pribadi baru.

“Ayo, saatnya pulang,” ajak Hasna.

“Aku sangat senang sekali. Kapan lagi kita akan bermain seperti ini?” tanya Alif.

“Kita akan tetap bermain seperti ini,” Inem menjawab.

“JIka Yang Maha Kuasa memberikan kita kesempatan. Dan jangan lupa besok kita ujian,” Hasnah kembali meyakinkan. Hanya anggukan kepala yang diperlihatkan oleh Alif dan Inem, hingga akhirnya mereka kembali ke rumah masing-masing. Di antara mereka, rumah Hasnah yang paling jauh. Kali ini ia pulang ke rumah sendirian.

“Sampai ketemu besok,” sahut Alif sambil melambaikan tangan, dan akhirnya masuk ke dalam rumah. Begitu juga dengan Inem. Kini tinggallah Hasnah sendirian tegap dan santai berjalan menuju rumahnya.

****

Pagi hari itu mendung, sepertinya ingin turun hujan, akan tetapi gerimis pun belum juga jatuh. Hari itu adalah hari pertama Inem ujian di sekolah. Setelah berpamitan dengan sang Mama, Hasnah dengan sigap berjalan pelan berhati-hati menuruni anak tangga sampai ia ke jalan utama. Di ujung sana Alif dan Inem sudah menunggu seperti biasanya, mereka akan berangkat ke sekolah bersama-sama. Sebenarnya perasaan Khadijah ketika itu tidak seperti biasa, ia terus memikirkan almarhum suaminya, akan tetapi ia tidak bisa katakan dan ceritakan kepada anaknya. Namun dari raut wajahnya sedikit terlihat berbeda, ia benar-benar tak sanggup untuk menyembunyikan itu.

“Dah Ma, assalamu alaikum…” ucap terakhir Hasnah kemudian berlalu pergi. Lambaian tangan Hasnah seakan membuktikan hari itu adalah hari yang akan menentukan perjuangan sampai nanti batas yang ia cita-citakan bisa tercapai. Setelah di dekat Alif dan Inem, mereka pun berangkat ke sekolah bersama-sama. Perjalanan ke sekolah pun mereka tempuh berjalan kaki, semua siswa di tempat itu tidak ada yang menggunakan transportasi, meskipun di antara mereka orang tuanya sudah banyak yang bisa beli.

“Bagaimana pelajaranmu semalam?” Hasnah bertanya.

“Baik,” kali ini Alif yang menjawab.

“Semoga kita bisa menyelesaikan ujian seperti yang Bu guru inginkan,” tegas Hasnah. Inem tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Hingga akhirnya lebih fokus berjalan sampai tiba di sekolah. Tidak berapa lama mereka beristirahat, bel berbunyi seakan memberikan tanda jika waktu ujian sudah bisa dimulai, dan ini adalah penentu mereka untuk meniti masa depan.

Di rumah, Khadijah memang gelisah. Perempuan itu tak tahu apa yang harus ia kerjakan. Khadijah hanya duduk di kursi, di depannya ada sebuah mangkok berisi sup yang ia buat tadi pagi. Namun sup itu pun sudah dingin dan belum dimakan sama sekali.

Lain halnya dengan Hasnah, anak itu asyik dengan butir soal yang ada di depannya, yang ada dalam pikirannya, bagaimana soal itu bisa ia kerjakan sesempurna mungkin.

“Sudah Bu guru,” sahut Hasnah. Teman-temannya yang lain juga pada menyusul, tak ketinggalan Inem dan Alif. Ternyata mereka berhasil mengisi dan menjawab pertanyaan yang ada di depan mereka. Bu guru tersenyum simpul setelah memeriksa sebagian ujian yang dikerjakan oleh Hasnah.

“Hati-hati di jalan,” sahut bu guru sebelum mereka meninggalkan sekolah.

“Baik Bu guru. Assalamu alaikum…” ucap mereka bertiga, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dan kembali ke rumah masing-masing.

Di tengah perjalanan, Hasnah melihat seekor kambing yang kesakitan, seolah kambing itu tengah terjerat sesuatu, kakinya berdarah.

“Hasnah, mau ke mana?” tanya Inem.

Hasnah menunjuk ke arah kambing itu. Alif berhenti dan menatap Inem.

“Hasnah… hati-hati!” teriak Inem sambil memegang tangan Hasnah. Sepertinya kambing yang berada di depan mereka kaget, sekaligus mengerang kesakitan, tiba-tiba kaki kambing tersebut menendang lutut Hasna.

“Aduh, sakit!” sahutnya mengerang kesakitan. Sebelumnya Hasnah telah berhasil mengambil tali yang melilit kaki kambing tersebut, hingga kambing itu pun dengan cepat berlari.

“Aduh, sakit!” Hasnah menangis sambil duduk dan memegang lututnya. Alif dan Inem saling bertatapan. Hasnah masih saja memegang lututnya. Akhirnya Alif berlari sendirian kembali ke sekolah, sepertinya ia ingin memanggil bu guru. Sedangkan Inem menjaga Hasnah yang masih tersedu menahan rasa sakit yang ia derita.

“Hasnah,” sendu Inem. Selang beberapa lama, bu guru datang dengan dua guru yang lainnya mendekati Hasnah dan Inem.

“Hasnah… apa yang terjadi?” tanya bu guru sambil memeriksa lutut gadis kecil itu. Lutut Hasnah membengkak.

“Ya, Allah. Ada apa ini?” Bu guru kembali bertanya.

“Ayo, kita bawa-angkat,” pinta bu guru kepada teman-temannya, hingga akhirnya Hasnah digendong sampai rumahnya.

Sampai di rumah Khadijah sadar, bahwa kegelisahannya ternyata membawa ujian dan cobaan untuknya saat ini. Ia tidak bertanya kenapa ini terjadi, melainkan perempuan itu hanya muhasabah diri, dan menyikapi dengan dewasa apa yang telah terjadi. Akan tetapi sebagai seorang ibu, nalurinya tak bisa dibohongi. Melihat anaknya mengerang kesakitan, ia tak bisa menahan tangis, air matanya pun jatuh saat itu. Hasnah hanya bisa terbaring di tempat tidur, sambil ditemani oleh Inem dan Alif.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices