
by Titikoma

Perjalanan Berliku
Cahaya matahari pagi itu terasa hangat menyelimuti Kota Gudeg, seakan begitu ramah menyapa pagi para penghuninya. Angin sejuk seakan membuat damai rasa setiap orang yang disentuhnya. Burung-burung gereja bernyanyi dengan riangnya meloncat kesana-kemari dengan lincahnya seakan mewakili keceriaan pagi itu. Tapi sayangnya keindahan tidak sepenuhnya dirasakan Seruni yang pagi itu untuk kedua kalinya harus berpisah jauh dari Pras, orang yang selalu mengisi relung hatinya. Pagi itu Seruni kembali mengantar Pras ke Bandara Adi Sutjipto untuk menuju tempat tugasnya di Pulau Sumatera, karena izin cuti Pras yang sepuluh hari itu sudah terlampaui.
Sepuluh hari bersama Pras dihabiskan untuk kesana kemari mengurus administrasi pernikahan yang begitu pelik dan njlimet menurut Seruni, setidaknya jika dibandingkan dengan administrasi yang disiapkan oleh calon pengantin pada umunya. Dari urusan mencari 6 orang saksi yang tinggal di sekitar rumahnya, yang lahir sebelum tahun 60-an sebagai penguat bahwa Seruni, kedua orang tuanya tidak terlibat Gerakan 30 September 1965 atau jadi anggota/simpatisan PKI. Padahal kakek Seruni dari pihak bapak dan ibunya adalah Anggota Veteran Pejuang Kemerdekaan RI, tapi toh surat pernyataan itu tetap harus dibikinnya.
Surat keterangan yang jumlahnya sampai belasan poin itu harus ia selesaikan dalam waktu delapan hari agar ia bisa ikut Pras ke tempat tugasnya untuk melanjutkan administrasi pernikahan di sana. Dan ternyata target itu belum bisa terpenuhi, hingga hari ini masih ada beberapa surat yang belum selesai. Padahal hampir tiap hari mereka mengupayakannya. Berbagai kendala mereka hadapi seperti pejabat yang berwenang untuk menandatangani tidak di tempatlah, atau kantor instansi tersebut sedang ada kegiatanlah sehingga tidak bisa melayani masyarakat.
Waktu Seruni semakin sempit karena ia baru bisa mengurus surat itu saat kantor jam kedua (setelah istirahat siang), karena ia tidak bisa meninggalkan tugas pentingnya di sekolah karena sedang mempersiapkan kelulusan sekolah. Sehingga tidak enak rasanya jika terlalu banyak meninggalkan tugas.
“Runi... sabar ya... istri-istri temanku juga begitu. Pasti nanti ada akhirnya juga kok. Memang untuk menjadi istri tentara harus menjalani Litsus supaya tidak ada penyusup dalam keluarga militer sehingga dipastikan semuanya aman,” suara Pras memecah keheningan di ruang tunggu bandara.
“Iya, Mas Pras. Runi selama ini berusaha memahami semuanya dan mencoba mengambil hikmah dari setiap yang kita lalui. Maaf ya Mas, kalo saat pengurusan administrasi pernikahan kemarin Runi sempat kesal dan marah-marah sama Mas,” kata Runi sambil menjabat tangan Pras.
“Nggak apa-apa Runi, Mas ngerti kok. Mas tahu jika Runi bukan marah pada Mas, tapi kondisi yang berbelit-belit, kondisi yang lelah seharian nunggu membuat kita berdua jadi merasa sedikit tertekan. Dan jika dengar cerita dari abang angkatan, mereka juga mengalami hal yang sama, kejenuhan dan kadang rasa putus asa.”
“Mas Pras jadi ndak refreshing nih, gara-gara ikut menemani Runi mengurus ini semua.”
“He… he... Siapa bilang nggak refreshing. Kita bisa bersama beberapa hari ini saja sudah refreshing buat Mas. Lagian setelah semua urusan ini selesai kita bisa segera menikah dan refreshing setiap hari. Nanti Mas akan ajak Runi jalan-jalan ke Danau Toba. Di sana pemandangannya sangat indah. Mau kan?”
“Enggak...!” jawab Runi sempat membuat Pras terkejut.
“Ya... mau dong Mas Pras...” kata Runi segera menimpali jawabannya tadi begitu dilihatnya wajah Pras berubah.
“Ohh... kirain...” kata Pras sambil meremas tangan Runi kuat-kuat yang membuat Runi menjerit kesakitan.
Dan mereka pun tertawa, sedikit melupakan kesedihan karena akan berpisah.
Tak lama kemudian panggilan agar masuk boarding room bagi penumpang pesawat tujuan Medan terdengar. Pras beranjak dari tempat duduknya, sebelum pergi dipandanginya wajah ayu wanita di hadapannya, seakan enggan untuk meninggalkannya untuk sekian kalinya.
“Runi. Mas pergi dulu ya, jangan cepat menyerah. Runi pasti bisa menyelesaikannya. Sesekali ke rumah Bu Diyah, untuk sharing dengan beliau. Jaga diri baik-baik ya,” usai mengatakan itu, Pras mencium lembut kening Runi dengan penuh kasih.
“Iya, Mas Pras. Semoga lancar perjalanannya nanti ya Mas, Runi akan ingat pesan Mas Pras. Selamat jalan, Mas jaga diri baik-baik juga ya,” ujar Runi lirih. Rasa perih di hati kembali dirasakannya, tanpa terasa butiran bening meleleh dari kedua ujung matanya.
“Assalamu’alaikum…” pamit Pras pada Runi.
“Waalaikumsalam… kalau sudah sampai, kasih kabar ya Mas!” kata Seruni.
Ya... pagi itu kembali Runi merasakan rasa perih di hati, seakan separuh hatinya ikut bersama Pras, air matanya sudah berhenti mengalir.
Tapi rasa kehilangan begitu terasa, padahal dia tahu jika mereka akan segera bertemu kembali. Dipandanginya hingga bayangan Pras hilang dari tatapannya masuk ke boarding room. Runi tidak segera pulang, dia kembali duduk di kursinya, ia hanya ingin memastikan jika Pras sudah benar-benar tinggal landas.
***
Besok paginya Runi kembali meneruskan surat-surat persyaratan administrasi pernikahannya, hari itu ia harus ke kantor Polres untuk mengambil sidik jari. Dengan mengendarai sepeda motor kesayangannya ia meluncur ke sasaran. Sebenarnya bapaknya menawari untuk mengantar, tapi dengan halus ditolaknya karena Runi tahu benar jika bapaknya hari itu sangat sibuk. Lagi pula Runi sudah terbiasa mengurus segala urusannya sendiri, keberadaannya sebagai anak tunggal pengusaha batik yang sukses tidak menjadikan dirinya anak kesayangan yang manja dan tidak mandiri. Didikan orang tuanya yang keras, tegas namun penuh kasih sayang membuat Runi kecil menjadi sosok yang mandiri.
Sesampainya di kantor Polres, segera Runi menuju ruangan yang sudah ditunjukkan oleh petugas resepsionis di depan. Setelah pemeriksaan berkas, Runi diajak ke ruang sidik jari, di sana dia dilayani oleh dua orang anggota polisi berpangkat Sersan Satu. Di sinilah Runi masih ingat betul salah seorang dari mereka tiba-tiba berkata pada Runi,
“Kok ribet banget sih Mba, mau nikah sama Tentara aja kok masih pake urusan bersih diri yang beginian. Mendingan nikah sama Polisi saja Mbak, gak repot. Nih saya masih lajang juga,” kata Bintara Polisi yang kelihatan masih muda.
Seruni agak terkejut juga dengan sikap oknum polisi itu yang agak tidak sopan padanya, lagian apa urusannya dengan mereka, mau ngurus ini itu yang melakukan juga bukan dia. Begitu pikir Runi. Karena tidak suka komentar si polisi tadi, Runi pun berkata, “Maaf ya Pak. Apa urusan Bapak kok bilang seperti itu? Saya justru bangga ternyata untuk menjadi istri tentara itu memang harus terjaga dari hal-hal yang membahayakan negara. Orang pilihan. Terus terang saya tidak suka dengan kata-kata Bapak tadi,” kata Runi berusaha tenang.
Kedua Polisi muda itu agak terkejut dengan perkataan Runi. Takut dilaporkan ke atasannya mereka buru-buru minta maaf kepada Runi.
“Hmm... ujian apalagi ini?” gumam Runi dalam hati sambil bergegas meninggalkan ruangan sidik jari menuju ruangan lain demi mendapatkan surat keterangan dari Polres.
Setelah seharian menunggu akhirnya surat keterangan dari Polres selesai. Runi segera kembali ke rumahnya.
Akhirnya berkas administrasi pernikahan selesai setelah menunggu hampir satu bulan, tapi Runi belum bisa menyusul Pras, karena tanggung jawabnya sebagai Ketua Panitia Penerimaan Siswa Baru belum selesai. Hingga suatu siang Pras meneleponnya dari Pulau Seberang, Runi merasakan ada sesuatu yang tidak biasa saat Mbok Darmi memanggil dari luar kamar tidurnya kalau Pras meneleponnya, pasti ada sesuatu yang penting untuk disampaikan.
“Ada apa?” begitu tanyanya dalam hati.
Ternyata betul saja, Pras menyampaikan bahwa ada informasi jika Batalyonnya akan dikirim ke daerah operasi di perbatasan Papua, beberapa bulan ke depan. Sehingga komandannya mengingatkan agar segera menyelesaikan urusan pernikahan kami. Itu artinya Runi harus segera ke sana sesegera mungkin. Tak bisa ditawar lagi, Pras meminta Seruni segera menyusulnya ke Sumatera minggu ini!
“Hah! Ke Sumatera? Sendirian, Oh... beranikah aku? Sanggupkah aku?” begitu pertanyaan yang berkecamuk di dalam hari Seruni usai menerima berita dari Pras.
Dia terduduk lemas di dekat meja telepon. Ya, dia memang harus ke sana menyusul Pras, tapi tidak secepat dan semendadak ini. Ibunya yang kebetulan melintas di ruang tengah segera menghampiri Runi yang masih terduduk lemas di kursi. Runi menyampaikan kabar dari Pras. Ibunya pun terkejut tapi tetap berusaha tenang dan berjanji akan membicarakannya pada bapaknya sesegera mungkin.
Malam itu, di gazebo yang berada di taman belakang rumah keluarga Pak Brata, kembali mereka bertiga berkumpul untuk membicarakan hal penting tentang Runi. Mbok Darmi dengan cekatan membawakan tiga gelas wedang jahe yang masih panas, ditemani ubi goreng yang juga masih panas buatannya ke tempat mereka duduk.
“Ya, kalau memang itu perintah atasan Pras, ikuti saja Nduk. Tapi sepertinya Bapak sama Ibumu tidak bisa mengantarmu ke sana. Bapak minggu ini harus berangkat ke Bali karena ada pertemuan Pengusaha dan Pengrajin Batik Nusantara selama satu minggu, sementara ibumu harus tinggal mengurus perusahaan selama Bapak pergi. Gimana, sanggup kan kamu pergi sendiri?” tanya Pak Brata pada Runi anak semata wayangnya.
Seruni tidak segera menjawab, ditundukkannya kepalanya dalam-dalam, seolah mencari kekuatan untuk menjawab dari sana, matanya terasa mulai hangat, tanda air matanya sudah menggenang di sana. Melihat putrinya diam, Bu Brata merapatkan duduknya ke arah Runi, direbahkannya kepala Runi ke pundaknya, dibelainya dengan lembut kepala putrinya yang kini sudah dewasa. Sebagai seorang ibu, ia tahu benar apa yang sedang dirasakan oleh putrinya itu.
“Nduk, Ibu tahu apa yang kamu rasakan saat ini, Ibu sama Bapakmu itu yo juga sedih, berat melepasmu ke sana seorang diri. Lha wong kamu kan selama ini ndak pernah pergi sendirian sejauh itu, paling jauh Jakarta. Seandainya bisa ditunda, Ibu dan Bapakmu akan mendampingimu di sana. Tapi Ibu sama Bapakmu juga tidak bisa menahanmu. Seruni kamu sekarang bukan anak kecil lagi. Ibu yakin kamu bisa melakukannya sendiri, nanti Ibu sama Bapak akan menyusulmu ke sana,” begitu Bu Brata memberi semangat kepada Runi, yang sekarang betul-betul tidak bisa menahan tangisnya.
Suasana di gazebo yang terbuat dari bambu itu menjadi sangat sunyi, hanya isak tangis Seruni dan ibunya yang sesekali terdengar. Suara jangkrik nyaring terdengar dari sela-sela tanaman bunga di sekitar gazebo, seakan ikut merasakan kesedihan keluarga itu. Pak Brata hanya terdiam, hatinya pun sebetulnya sangat sedih harus melepas putrinya pergi seorang diri ke tanah seberang.
“Nggih Bu... Runi harus berani. Insya Allah Runi berani,” akhirnya keluar juga kata-kata itu dari bibir Seruni.
“Bagus Nduk! Bapak bangga dengan keberanianmu itu. Kebetulan ada kenalan Bapak yang nanti bisa dimintai bantuan untuk menjemputmu di Bandara Polonia, untuk mengantarmu ke tempat tugas Pras. Tadi Bapak telepon Pras, katanya dia tidak bisa menjemputmu karena sedang naik piket di Batalyon. Kata Pras dia sudah menyiapkan tempat tinggalmu selama di sana bersama keluarga angkatnya,” kata Pak Brata, yang ternyata sudah mengantisipasi segala keperluan Runi di sana.
“Matur nuwun Bapak ternyata sudah menyiapkan semuanya buat Runi,“ ujar Runi sudah lebih tenang.
“Kapan rencananya berangkat? Mumpung masih sore biar Bapak pesankan tiketnya. Bawa kebutuhanmu seperlunya saja, biar nggak berat bawaannya,” kata Pak Brata sedikit lega.
“Trus kerjomu piye Nduk? Opo sudah diurus?” tanya ibunya
“Sampun Bu, kebetulan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab Runi sudah selesai. Kemarin Runi juga sudah ceritakan masalah ini kepada Pak Hamdan. Beliau mengerti posisi Runi dan beliau juga tidak keberatan jika Runi mengundurkan diri. Jadi besok Runi akan menyampaikan surat pengunduran diri dan sekaligus pamitan dengan seluruh warga sekolah. Rencananya dua hari lagi, hari Sabtu Runi berangkatnya Pak,” kata Seruni menjawab pertanyaan Bapak dan Ibunya.