
by Titikoma

Welcome To New World
Hampir dua bulan sudah Seruni berada di Kota Kisaran ini. Ya, apalagi jika bukan untuk merampungkan administrasi pernikahan dirinya dengan Pras. Target dua minggu selesai sudah terlewati jauh. Rasa jenuh, lelah dan nyaris menyerah mendera di hati Seruni. Kendala yang dialamainya lebih banyak karena seringnya pejabat yang harus mereka datangi tugas keluar, belum lagi diselingi kegiatan persiapan Pras berangkat ke daerah operasi membuat urusan tertunda beberapa kali.
Terakhir mereka harus menghadap Panglima Kodam (Pangdam), hampir sebulan mereka menunggu kesempatan itu karena padatnya agenda kegiatan panglima. Sekali dapat panggilan mereka harus menunggu dari jam tujuh pagi hingga jam empat sore. Tapi mereka berdua saling menguatkan ketika saat-saat yang begitu nyaris hilang kesabaran hati bisa tetap tabah menjalani.
Suatu hari yang cerah kabar bahagia itu datang pada mereka yang memberitahukan jika surat izin menikah mereka sudah ditandatangani Pangdam. Rasa haru dan bahagia mendera keduanya. Mereka segera menyampaikan kabar bahagia ini kepada orang tua masing-masing di Yogya. Dan kedua keluarga besar di Yogya menyambut dengat suka cita, dan menginginkan agar mereka berdua segera pulang untuk menyelenggarakan pernikahan.
Namun kebahagiaan itu sedikit terusik, saat keesokan harinya Pras menghadap Danyon untuk meminta izin menikah di Yogya. Pras ternyata tidak bisa mendapatkannya karena waktu pemberangkatan pasukan ke daerah operasi sudah dekat, sehingga seluruh personil di batalyon tidak bisa keluar dari kesatuan. Sementara di surat izin menikah menghendaki agar pernikahan segera dilaksanakan maksimal tiga bulan setelah surat ditandatangani Pangdam, dan apabila dalam tiga bulan tidak terjadi pernikahan maka surat itu tidak berlaku lagi! Keadaan semakin rumit karena seperti pengalaman dari batalyon lain, yang mendapat tugas operasi militer di Papua bisa lebih dari satu tahun.
Setelah melalui pembicaraan panjang dan juga mendengar saran dari berbagai pihak, akhirnya diputuskan jika mereka akan menikah di sini. Dan orang tua kedua belah pihak akan
datang kemari.
***
Dari sore Pak Mahmud dibantu Pras, Doni dan Pak Brata sudah mengeluarkan kursi dari dalam ruang tamu dan ruang keluarga ke teras rumahnya, ruangan tengah juga sudah dibentangkan beberapa tikar sebagai alasnya. Di tengah ruang diletakkan sebuah kasur kecil yang di atasnya diletakkan kain yang sudah dihias. Di dekat tilam kecil itu diletakkan sebuah meja tamu yang rendah. Rupanya itu perlengkapan untuk akad nanti malam, dimana mempelai pria akan duduk di atas tilam itu berhadapan dengan calon bapak mertuanya. Sedangkan mempelai wanita menunggu di dalam biliknya menunggu ijab qobul selesai diucapakan
. Bu Mahmud sudah sedari pagi dengan dibantu Seruni, Reni dan juga Bu Brata membuat beberapa hidangan spesial untuk makan malamnya. Mereka begitu sibuk hari ini, karena rencananya Seruni dan Pras akan melangsungkan akad nikah di kediaman Pak Mahmud yang dihadiri oleh atasan dan beberapa teman dekat Pras.
Tepat pukul tujuh malam ba’da isya, beberapa teman Pras sudah hadir di rumah Pak Mahmud. Rencananya akad akan dilaksanakan pada pukul setengah delapan. Penghulu yang bertugas juga sudah hadir dan sekarang sedang menyiapkan berbagai berkas sebagai administrasi pernikahan.
Pras nampak gagah malam itu, dengan mengenakan pakaian koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana panjang hitam dan dilengkapi peci hitam membuat wajahnya tampak bersinar, bersih. Raut wajahnya tampak sedikit tegang menunggu saat-saat yang paling bersejarah dalam hidupnya saat itu. Seruni tak kalah nervou-snya, di kamarnya ia ditemani oleh Reni. Berkali-kali ia mondar mandir di dalam kamar untuk menenangkan diri.
Malam itu Seruni mengenakan kebaya khas Melayu yang terbuat dari bahan broklat berwarna putih, dipadukan dengan kain batik tulis bernuansa kecokelatan yang dibawakan dari Yogya oleh ibunya. Jilbab yang ia kenakan senada dengan bajunya, memberikan kesan anggun dan ayu. Make up wajah yang dikenakannya sendiri membuat wajahnya kian menawan.
Dalam adat setempat, saat pelaksanaan akad nikah, mempelai wanita dipisahkan dari pengantin putra. Setelah akad nikah selesai, kedua mempelai baru diperbolehkan bertemu. Tepat pukul setengah delapan, pelaksanaan akad dimulai di ruang tengah. Pras duduk berhadapan dengan Pak Brata yang bertindak sebagai wali pernikahan, di sisi meja lainya tampak duduk Pak Mahmud dan Pak Yanuar selaku saksi pernikahan, Bu Mahmud dan Bu Brata duduk di deretan paling depan tepat di belakang Pras.
Sayangnya Bapak dan Ibu Sumantri, orang tua angkat Pras tidak bisa hadir dikarenakan Pak Sumantri mengalami stroke ringan, sehingga harus terapi rutin di rumahnya. Winda adik satu-satunya Pras yang hadir, bersama dengan keluarga Pak Brata.
Suasana yang tadinya penuh canda tawa tiba-tiba hening, hanya suara Pak Haji Amran yang terdengar mengomandoi prosesi akad nikah. Pras masih tampak tegang, berkali-kalli dibetulkannya peci hitam yang sebetulnya sudah pas pada tempatnya. Berkali-kali juga ia terlihat menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan, ini ia lakukan untuk mengurasi nervous-nya. Dan, berhasil tepat saat pengucapan ijab qobul antara ia dan Pak Brata bisa berjalan dengan sangat baik. Pengucapan akad nikah cukup lancar diucapkan, sehingga dinyatakan sah oleh penghulu.
Usai ijab qobul barulah Seruni dengan digandeng oleh Reni dan Winda keluar dari kamar untuk duduk bersanding dengan mempelai pria. Seruni menjabat tangan dan mencium tangan Pras yang kini sudah menjadi suaminya. Dan begitulah acara malam itu berjalan dengan sangat khidmat dan sakral. Malam itu malam yang tidak terlupakan sepanjang hidupnya. Malam dimana ia secara sah di mata Allah dan hukum menjadi seorang istri Prasetyo, lelaki yang sudah sekian lama mengisi relung hatinya.
Dalam hatinya yang paling dalam Seruni bertekad menjadikan dirinya satu-satunya perempuan yang ada di hati Pras, ia berjanji akan mendampingi Pras dalam segala situasi dan kondisi apapun. Dia harus mampu mengendalikan dirinya untuk bisa berbakti kepada suaminya.
Dan ia sadar betul bahwa ini adalah babak baru dalam kehidupannya. Kehidupan berumah tangga dan juga kehidupan di lingkungan keluarga besar militer. Sekarang otomatis menjadi ibu Persit karena bersuamikan Pras yang anggota TNI, dan mau tidak mau ia terikat oleh kode etik yang ada di dalamnya. Suatu dunia yang dia sendiri belum bisa membayangkan seperti apa isinya. Tapi Seruni ingat pesan dari Bu Diyah yang selalu membuatnya optimis.
“Persit itu nggak ada sekolahnya Dik. Semua melalui proses belajar dan banyak bertanya kepada seniornya,” kata Bu Diyah suatu sore kepada Seruni.
“Aku pasti bisa, aku harus belajar. Tidak ada kata tidak bisa bagi yang mau belajar dan bertanya. Mereka seperti diriku juga, kalau mereka bisa, aku juga bisa!” ujarnya dalam hati.
Esok paginya Seruni beserta orang tuanya dan Winda, adik Pras berangkat menuju kompi di mana Pras ditugaskan, dengan menggunakan mobil sewaan. Inilah kali pertama ia menginjakkan kaki di kompi yang terletak jauh dari kota, jalan aspalnya sangat buruk karena sering untuk transportasi mobil-mobil pengangkut sawit milik perusahaan maupun milik pribadi. Setelah terguncang-guncang hampir 30 menit di atas jalan yang lebih mirip sungai kering itu, akhirnya mereka sampai di kompi. Suasana agak terasa “berbeda” saat Seruni memasuki kompi ini, entah apa dia sendiri tidak tahu.
Memasuki area kompi langsung dihadapkan dengan pos jaga, di belakangnya hamparan rumput hijau yang sangat luas, yang merupakan tempat mereka berkegiatan dari apel, upacara, olahraga untuk personil kompi maupun ibu-ibu Persit. Di ujung lapangan terdapat mushola kecil berwarna putih. Pohon beringin besar yang tumbuh mengitari bagian depan dan lapangan, membuat suasana menjadi sedikit seram.
Deretan rumah-rumah dengan model yang sama menunjukkan bahwa itu adalah asrama atau tempat tinggal personil kompi yang sudah berkeluarga. Di deretan paling depan ada 5 buah rumah, dengan satu buah rumah paling besar yang menjadi rumah dinas Komandan Kompi (Danki), dan dua rumah di sisi kanan kirinya adalah rumah Komandan Peleton (Danton). Di belakang rumah perwira tersusun rapi rumah-rumah anggota kompi dari pangkat bintara hingga tamtama.
Mobil berhenti di sebuah rumah deretan depan paling ujung luar, dekat lapangan tembak. Ya, itulah rumah yang akan ditempati oleh Seruni, sebelumnya Pras tinggal bersama dengan salah anggota yang menjadi ajudannya. Tapi sejak Pras bakalan punya istri, ajudan kembali ke barak lajang.
Rumah itu nyaris kosong, hanya ada satu stel sofa hijau, dalam ruang tidur pun hanya ada sebuah rusbang (istilah mereka menyebut ranjang besi yang biasa digunakan di barak lajang), di dapur hanya ada sebuah kompor dan beberapa alat makan. Jendela rumah tanpa gorden. “Ya, beginilah rumah lajang,” batinnya dalam hati.
Malam itu kedua orang tua Seruni berencana menginap di rumah dinas Pras, mereka ingin memastikan semuanya baik-baik saja, karena mereka sebentar lagi akan meninggalkan Seruni, anak perempuan kesayangan mereka di tempat yang jauh dan dalam waktu yang lama.
“Nah, Nak Pras. Bapak sama Ibu menyerahkan tanggung jawab atas diri Seruni kepadamu, karena sekarang Nak Pras lah yang paling berhak pada diri Seruni. Bimbing dia, arahkan jika dia berbuat kesalahan, sayangi dia seperti kamu menyayangi dirimu. Bapak dan Ibu sangat yakin Nak Pras bisa melakukannya dengan baik. Jika ada apa-apa yang perlu Bapak dan Ibu lakukan, jangan pernah sungkan untuk menghubungi kami, bagaimanapun kami sekarang orang tuamu juga,” nasihat Pak Brata kepada Pras malam itu saat mereka usai makan malam di ruang tengah.
“Insya Allah. Siap. Saya berterima kasih dan merasa terhormat mendapat kepercayaan Bapak dan Ibu karena telah memberikan izin untuk menjadikan Seruni menjadi pendamping hidup saya. Saya berjanji, selama Allah masih memberikan umur kepada saya, saya akan melaksanakan amanah dari Bapak dan Ibu,” balas Pras dengan mantap, yang membuat Bapak dan Bu Brata merasa sangat lega.
“Dan kamu Nduk, sekarang kamu sudah menjadi istri Pras. Dari sekarang dialah yang jadi imammu. Patuhi apa yang disampaikan Pras selama tidak melanggar ajaran agama kita. Jalani semuanya dengan legowo, dengan berjiwa besar, sabar, ikhlas dan diniati ibadah kepada Allah, Insya Allah semua akan berjalan sesuai yang diharapkan. Bicarakan masalah kalian berdua dengan sebaik-baiknya. Ikuti peraturan yang ada dengan sebaik-baiknya. Jangan mengeluh atas situasi yang nanti akan kamu hadapi, ingat bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Cobaan itu justru akan menjadikan kita lebih kuat, tabah dan makin cinta kepada Allah,” nasihat Pak Brata kepada Seruni.
“Nggih. Bapak dan Ibu, matur nuwun sudah mendidik, merawat dan membesarkan seruni hingga kini. Insya Allah Seruni akan ingat dan melaksanakan pesan Bapak sama Ibu,” ujar Seruni dengan takdzim atas nasihat orang tuanya itu.
Besok paginya usai salat subuh berjamaah di rumahnya, Pras mengajak orang tuanya, Widya dan Seruni jalan-jalan mengelilingi asrama dari depan hingga bagian belakang. Seruni dan kedua orang tuanya menanyakan banyak hal, tetang kondisi situasi dan masyarakat di situ, dan dengan sabar Pras menjelaskan semua pertanyaan itu dengan baik.
Usai apel pagi, Pras membawa Seruni dan orang tuanya bersilaturahmi ke kediaman Danki yang letaknya hanya beberapa langkah dari rumahnya. Di sana mereka diterima dengan ramah dan hangat, meski beliau orang Batak namun tutur bahasanya sangat halus. Istri Danki banyak memberikan nasihat kepada Seruni sebagai bekal menjalani kehidupan barunya sebagai istri seorang prajurit.
Sorenya, Pras kembali mengantar kedua orang tua Seruni kembali ke Kota Kisaran dengan menggunakan kereta api. Karena besok paginya harus kembali ke Yogya, dengan menggunakan penerbangan siang dari Medan.
Pagi-pagi buta Pak Brata dan istrinya berpamitan kepada keluarga Pak Mahmud untuk kembali ke Yogya dan menitipkan seruni kepada keluarga itu. Bu Mahmud tak lupa membawakan oleh-oleh untuk Bu Brata berupa teri medan yang terkenal itu. Usai berpamitan mereka segera meluncur ke Medan dengan menggunakan taksi carteran.
Ada rasa yang sangat tidak nyaman saat melepas kepergian kedua orang tuanya tadi di Bandara Polonia Medan, rasanya berbeda saat ia melepas kepergian Pras. Ini lebih dari itu, sedih yang teramat sangat. Seruni menyadari bahwa babak baru dalam hidupnya baru saja dimulai. Hidup baru karena kini menjadi istri dari seseorang, yang berarti hidupnya tidak bisa bebas seperti sebelumnya, kini di sisinya ada Prasetyo yang menjadi imam baginya. Hidup baru karena kini ia harus hidup di lingkungan dengan situasi yang sedikit “unik” dibanding hidup di lingkungan warga masyarakat biasa, kehidupan dengan norma tersendiri. Semua harus ia lalui dari nol. Welcome to the new world...