mozarella bukan cinderella
Mozarella Bukan Cinderella

Mozarella Bukan Cinderella

Reads
16
Votes
0
Parts
1
Vote
by Titikoma

Chapter 1

 “Selamat ulang tahun, Moza.” Ucapan selamat berdatangan kepada seorang gadis cantik jelita bernama Moza. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang kedua belas. Gadis bermata bulat itu tersenyum menerima ucapan dan hadiah dari teman-temannya. “Terimakasih, Bunda,” bisik Moza pada Bu Kezia, si ibu panti. Ya, Moza tinggal di Panti Asuhan Muara Kasih Ibu sejak ia pertama kali melihat dunia. Seseorang meletakkannya di depan gerbang utama panti, saat semua orang sedang tertidur lelap. Nama Moza diberikan oleh Ibu Kezia, sang pemilik panti. Nama yang sangat menggemaskan, bukan? Bu Kezia membesarkannya seperti anak sendiri sampai ia tumbuh menjadi seorang gadis cilik yang selalu rendah hati. Moza memiliki mata indah dengan manik hitam pekat, rambut panjang bergelombang dan selalu terurai, dan juga kulit putih bersih yang bercahaya. Semua orang selalu memuji kecantikannya. Tidak hanya itu, sahabat-sahabat Moza pun menyanyanginya karena sifat Moza yang baik hati dan suka menolong. Gadis itu selalu memberikan bantuan kepada teman-temannya yang sedang berada dalam kesulitan. Banyak orang datang ke panti untuk mengadopsi Moza sebagai anaknya, tapi Bu Kezia tidak mengizinkannya. Moza hanya boleh diadopsi ketika usianya sudah menginjak dua belas tahun, padahal anak lainnya boleh 3 diadopsi pada usia berapapun. Hanya saja Bu Kezia tak ingin secepat itu melepaskan Moza dari asuhannya. “Tahun ini adalah tahun kedua belasmu di panti ini, Nak,” ujar Bu Kezia lembut seraya mengusap kepala anak asuh kesayangannya itu. Moza menatap Bu Kezia dalam-dalam. Ia tahu apa maksud ucapan Bu Kezia barusan. Dua belas adalah usia dimana ia diizinkan untuk memilih tinggal di panti lebih lama atau pergi dari panti itu jika ada yang berniat untuk mengangkatnya sebagai anak. Sebenarnya, Moza sudah menganggap Bu Kezia sebagai ibu kandungnya. Tapi kadang Moza tak dapat membendung keinginannya untuk memiliki keluarga sungguhan di luar sana. Selama ini ia selalu bersabar dan diam-diam mengidamkan hidup di sebuah rumah dengan ayah dan ibu sungguhan, juga adik atau kakak seperti keluarga normal lainnya. Namun setiap kali ia menatap mata teduh Bu Kezia, keinginannya tersebut selalu padam begitu saja. Ia begitu menyanyangi Bu Kezia seperti orang tua kandungnya sendiri. “Bunda,” lirih Moza. “Iya, Nak?” “Nggak jadi deh,” ujar Moza, nyengir. Ia selalu seperti itu ketika ingin menyampaikan sesuatu yang ada dalam hatinya. Ia takut ucapannya akan menyakiti hati orang lain, sehingga ia t idak jadi mengutarakannya. “Kamu tu selalu deh begitu. Ayo, makan kuenya,” ujar Bu Kezia seraya mencolekkan krim kue ke pipi Moza yang selalu bersemu merah muda. “Iiih, Bunda, iseng banget,” rajuknya. Tangan mungil Moza sibuk mengusap krim yang belepotan di pipinya. “Selamat ulang tahun, Moza,” seru anak-anak lainnya memberi selamat. “Terimakasih, teman-teman,” sahut Moza semringah. “Happy bestday, Mozarella!” seru Meisya, sahabat Moza. Meisya memeluk Moza kesayangannya dengan erat sampai Moza agak susah bernapas. 4 “Terimakasih, Meisyarella,” sahut Moza tersengal, “jangan erat-erat gini, sesak tau,” protes Moza. Meisya melepaskan pelukannya sambil tertawa. “Maaf, hehe,” katanya. “Ayo, traktir aku makan ice cream,” todong Meisya. “I scream? Oke, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” jerit Moza. “Ssssssst...,” Meisya buru-buru membekap mulut Moza dengan telapak tangannya agar Moza berhenti menjerit. “Bukan I screaaaaam, tapi ice cream,” sungut Meisya. Gantian Moza yang terkekeh melihat sahabatnya cemberut seperti itu. “Sudah, sudah. Biar Bunda yang traktir ice cream hari ini,” ujar Kezia menengahi. “Beneran, Bun? Asikkk...,” sorak Moza, Meisya, dan anak-anak lainnya. *** 5 Setiap pagi masing-masing anak penghuni panti memiliki tugas rutin. Ada yang bertugas menyapu lantai, mengepel, membersihkan debu-debu, menyiram tanaman, membereskan kamar-kamar, ada juga yang bertugas di dapur seperti membantu menyiapkan sarapan dan lainnya. Moza dan Meisya bertugas membersihkan kamar-kamar sebelum berangkat ke sekolah. Ada banyak sekali kamar di panti ini. Beberapa kamar ditempati oleh anak anak remaja seperti Moza dan Meisya, juga kakak-kakak asuh mereka yang berusia lima belas sampai delapan belas tahun, ada juga kamar yang khusus diisi oleh bayi dan balita, sisanya dihuni oleh anak-anak kecil. Semuanya terdiri dari laki-laki dan perempuan, tapi anak laki-laki tinggal di rumah yang terpisah dengan anak-anak perempuan. Panti ini juga hanya menampung bayi sampai remaja berusia delapan belas. Umumnya, setelah tamat sekolah, mereka diizinkan keluar dari panti untuk bekerja atau kuliah. Ada juga beberapa dari mereka yang memilih tetap tinggal di panti dan menjadi pendamping pengurus panti. “Za,” ujar Meisya di sela-sela kesibukannya melipat selimut. “Hmm?” “Enak kali ya kalau punya ibu?” renung Meisya. Moza menoleh sejenak pada sahabatnya tersebut, menarik napas dalam, lalu menyahut, “Kita kan udah punya ibu, Sya.” “Maksudku ibu sungguhan,” kata Meisya penuh semangat. “Ibu sungguhan?” tanya Moza dengan mata berbinar. Meisya mengangguk cepat, sementara Moza menjadi lesu. “Kenapa?” tanya Meisya. “Tapi siapa yang mau mengadopsi kita?” Moza balik bertanya. “Pasti akan ada keluarga yang mau mengadopsi kita,” ucap Meisya penuh harap. “Kuharap begitu. Eh, sudah jam setengah tujuh tuh. Kita terlambat ke sekolah,” pekik Moza histeris. Keduanyapun segera melompat ke kamar 6 mandi untuk bersiap ke sekolah. Semua anak asuh panti mendapatkan fasilitas pendidikan di sekolah yang sama, dari mulai TK sampai SMA. Mereka bersepeda bersama sama menuju sekolah. Anak-anak TK dibonceng oleh kakak-kakak asuh mereka yang berusia SD, SMP, atau SMA. Sungguh pemandangan yang membahagiakan ketika melihat anak-anak itu bersepeda bersama untuk masa depan. Moza selalu pergi dan pulang bersama Meisya. Mereka bergantian mengayuh sepeda menuju sekolah yang jaraknya mencapai dua kilometer dari panti. Kalau Moza lelah, Meisya yang mengayuh, begitu sebaliknya. Meisya dan Moza duduk di kelas enam SD. Hari ini mereka terlambat tiba di sekolah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Padahal bel berbunyi tepat pukul delapan. Telambat lima menit merupakan masalah besar bagi Moza dan Meisya. “Dari mana kalian?” interogasi Pak Darman, guru piket hari ini. “Dari rumah lah, Pak,” sahut Meisya santai. Moza menginjak kaki Meisya sehingga gadis kecil itu mengaduh. “Maaf, Pak. Kami terlambat lima menit,” ujar Moza buru-buru. “Kami boleh masuk ya, Pak?” lanjutnya memelas. “Terlambat lima menit, berarti mengambil sampah di lapangan sebanyak lima puluh buah,” hukum Pak Darman. Meisya sudah ingin protes saat Moza cepat-cepat menarik tangannya agar segera melaksanakan hukuman tersebut. “Nggak adil. Masa telat lima menit aja lima puluh sampah?” omel Meisya. “Udah, kerjain aja biar cepet. Pahala lagi, pagi-pagi ngumpulin sampah begini,” kekeh Moza. Meisya pun terpaksa mengikuti sahabatnya dengan wajah cemberut. 7 TAMU BESAR Seluruh penghuni panti gempar oleh kabar tentang seorang wanita kaya raya yang berniat untuk mengadopsi salah satu dari mereka. Namanya Ibu Theresia. Ia sedang mencari seorang anak perempuan berusia sepuluh sampai lima belas tahun untuk ia angkat sebagai anak. Beberapa anak perempuan yang menghuni kamar Moza mulai kasak kusuk tentang Bu Theresia. Ada yang ingin sekali diadopsi olehnya, ada juga yang tak mau. Tampaknya Meisya juga sangat tertarik dengan berita bahagia ini. Ia mulai berkhayal tentang menjadi seorang anak orang kaya. “Aku sangat berharap bahwa aku yang diangkatnya jadi anak,” ujar Meisya penuh harap. Sentak teman-temannya menyorakinya. “Enggak. Pasti aku yang akan diangkat sebagai anaknya,” sambar Nindya. “No. Lihat aku,” sambung Lidya. “Aku yang paling cantik di sini,” ujarnya penuh percaya diri. Moza hanya terkekeh-kekeh mendengar ocehan teman-teman sekamarnya. Ia sendiri tidak tahu apakah ia ingin diadopsi atau tidak. Dalam hatinya yang paling dalam, Moza masih menginginkan untuk bertemu orang tuanya walaupun ia tahu hal tersebut tak mungkin terjadi. Moza cepat-cepat menghapus keinginan tersebut dalam benaknya setiap kali keinginan tersebut muncul. “Kalau aku sih nggak mau diadopsi.” Diana yang baru masuk ke dalam kamar tiba-tiba nimbrung dalam obrolan teman-temannya. Semua mata langsung tertuju padanya. “Kenapa?” tanya Lidya dengan nada penasaran. “Kau tahu? Ibu angkat itu bukanlah ibu kandung kita. Bisa jadi mereka mengadopsi kita hanya untuk menjadikan kita pembantunya. Kayak yang di film Candy itu lho,” tuturnya. “Alah..., Kak Diana tu kebanyakan nonton sinetron,” Nindya menahan tawa mendengar penuturan Diana. “Tau nih kamu..., lagian Bu There itu orang baik kok,” imbuh Lidya. 8 “Pokoknya ibu angkat itu sama aja kayak ibu tiri. Selain Bu Kezia tentunya,” ujar Diana memutuskan. “Udah ah, aku mau bobo.” Ia lalu menarik selimutnya dan tenggelam di dalam sana. “Za, emangnya kamu nggak mau gitu diadopsi sama Ibu There itu?” tanya Lidya mengalihkan pembicaraan. Moza mengangkat kedua bahunya. “Kalaupun Moza yang dipilih, Moza pasti bakal ngajak aku. Ya kan, Za?” ujar Meisya. “Iya dong, sahabatku,” kekeh Moza sambil mencubit gemas pipi Meisya. Sedang asik-asiknya berbincang, tiba-tiba lampu kamar padam, tanda waktu tidur sudah tiba. Bu Kezia memang selalu disiplin atas waktu t idur anak asuhnya. Tepat jam sepuluh malam, lampu kamar akan mati otomatis. Itu tandanya semua anak harus menghentikan semua aktifitas mereka dan tidur. “Za, Moza,” bisik Meisya dalam gelap. “Apa?” Moza balas berbisik. “Aku pengen banget jadi anaknya Bu Theresia.” *** 9 Keesokan paginya Bu Theresia datang lagi ke panti. Kehadiran beliau disambut baik oleh seluruh penghuni panti. Semua anak perempuan berkumpul di aula untuk berkenalan dengan Bu There. Wanita itu adalah seorang wanita paruh baya yang cantik jelita. Penampilannya jauh dari tampilan ibu tiri seperti apa yang dibayangkan oleh Diana semalam. Bu Theresia memiliki tinggi tubuh semampai, berkulit putih, dan berambut hitam pekat. Kedua pipinya selalu tampak kemerahan saking putihnya. Darah dalam pembuluh darahnya seakan berebut menyemburat di kedua pipinya, membuatnya tak harus repot membubuhi wajahnya dengan perona pipi buatan. “Halo, semua,” sapa Bu Theresia ramah. Ia tersenyum pada semua anak yang berkumpul mendekatinya. “Halo, Bu,” sahut mereka kompak. “Tebak, Ibu bawa apa?” katanya sembari menyembunyikan kedua tangan di belakang tubuhnya, membuat anak-anak penasaran. “Cokerat,” ucap Nayna, balita yang baru bisa bicara. “Kok, kamu tau?” tanya Bu Theresia tertawa. Nayna sudah mengikuti Bu Theresia sejak ia turun dari mobilnya. Balita itu sangat tertarik dengan cokelat yang dibawa oleh Bu Theresia. Ia pun tak sabar untuk mencicipinya. “Siapa namanya?” tanya Bu Theresia pada Nayna. Nayna menjawab dengan nada menggemaskan, “Nayna.” Sebenarnya namanya adalah Nayla, tapi ia belum dapat menyebutkan namanya sendiri dengan benar, sehingga ia setiap ditanya siapa namanya, ia pasti menjawab ‘Nayna’. Bu Theresia dengan gemas mengangkat Nayna ke dalam gedongannya. Balita mungil itu pun mencium pipi Bu Theresia, membuatnya terkejut. Tanpa menunggu reaksi Bu Theresia, Nayna kembali bertanya, “Mana cokeratnya?” Wanita muda itu terkekeh dan menyodorkan sebatang cokelat pada Nayna. Gadis kecil itu tampak sangat bahagia menerima cokelat yang 10 diidamkannya tersebut. “Ada lagi yang mau cokelat?” tanya Bu Theresia. Satu per satu anak menerima cokelat dari Bu Theresia kecuali Moza. Gadis itu hanya berdiri mematung di ambang pintu. Bu Theresia yang menyadari kehadiran Moza penasaran dengannya, lalu mendekati Moza setelah selesai membagikan cokelat dan permen-permen. “Kamu kenapa?” tanya Bu Theresia lembut. “Kamu nggak suka cokelat atau permen?” tanyanya lagi. Moza menggeleng pelan. “Bukan begitu, Bu. Moza udah cukup bahagia melihat mereka makan cokelat,” jawab Moza polos. Jawaban Moza membuat Bu Theresia tercengang sejenak. “Kamu takut sakit gigi?” tanya Bu Theresia lagi. Kali ini Moza mengangguk, membuat Bu Theresia tertawa. “Kamu boleh makan cokelat atau permen, dan nggak akan sakit gigi asal kamu menggosok gigi setelah makan,” jelas Bu Theresia lembut. “Benarkah, Bu?” Mata Moza membulat. Bu Theresia mengangguk sambil tersenyum. Moza sangat senang menerima cokelat pemberian Bu Theresia. Selama ini ia memang anti makan cokelat atau permen karena takut giginya akan rusak seperti teman-teman sebayanya. Ini adalah pertama kalinya Moza makan cokelat tanpa rasa takut. “Enak, ‘kan?” tanya Bu Theresia seraya mengusap lembut pucuk kepala gadis itu. Moza lagi-lagi mengangguk sambil tersenyum. Tiba-tiba Meisya datang menghampiri Moza. “Kenapa aku nggak diberi cokelat?” tanyanya cemberut pada Bu Theresia. Wanita muda itu tertawa, lalu mengulurkan sebatang cokelat pada Meisya. “Terimakasih,” ujarnya singkat. Meisya buru-buru menarik tangan Moza dan membawanya menjauh dari hadapan Bu Theresia. 11 “Ada apa, Sya?” tanya Moza bingung. “Kamu nggak boleh terlalu dekat sama ibu itu. Kita kan belum mengenal baik siapa dia. Siapa tahu dia orang jahat,” ujar Meisya. “Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Sya. Bu There itu orang baik kok. Sudah, kamu jangan berpikir macam-macam, ya,” kata Moza menenangkan sahabatnya itu. Meisya mengangguk. “Tapi, apa benar berita bahwa Bu There itu akan mengadopsi seorang anak perempuan dari panti kita?” tanya Meisya serius. “Yang kudengar sih begitu,” ujar Moza. Tak lama kemudian, suasana di luar panti terdengar heboh. Moza dan Meisya berlari ke luar untuk melihat apa yang terjadi. “Enggak. Aku nggak mau diadopsi sama ibu itu!” jerit Lidya. “Lidya, tenang, Nak. Tenang dulu,” ujar Bu Kezia sabar. “Tapi Lidya nggak mau diadopsi sama nenek sihir itu,” ujar Lidya histeris. “Emm, Bu, maafkan Lidya ya, Bu,” ujar Bu Kezia kepada tamu mereka. Bu Naura adalah ibu tiri Lidya. Ia akan mengambil Lidya kembali setelah ia menitipkannya selama bertahun-tahun di panti Bu Kezia. “Ayo kita pulang, Lidya. Maafkan Mama,” ujar Bu Naura pelan. “Mama? Mama mana yang membuang anaknya ke panti asuhan? Lidya lebih baik tinggal di sini selamanya daripada tinggal sama orang jahat yang mengaku-aku sebagai Mama Lidya. Lagian Ibu itu cuma ibu tiriku, bukan mamaku!” sentak Lidya, lalu berlari ke dalam kamar. “Lid..., Lidyaa... tunggu!” “Bu, maaf, Bu. Nanti biar saya yang bicara dengan Lidya,” ujar Bu Kezia menahan langkah Bu Naura. “Baiklah kalau begitu saya undur diri dulu. Terimakasih.” Bu Naura mengalah. Ia pun pulang dengan berat hati. 12 Meisya menyikut lengan Moza seraya berbisik, “Emangnya itu ibu tirinya?” “Kudengar begitu. Tapi Lidya nggak pernah mau kembali ke rumahnya,” Moza balas berbisik. “Bodoh sekali Lidya nggak mau kembali ke rumah orang tuanya yang kaya raya,” sesal Meisya pelan. “Tapi kan itu bukan ibu kandungnya, Sya,” ujar Moza. Meisya terdiam. Siapa yang peduli itu ibu kandungnya atau bukan, yang penting kan dia kaya raya, batin Meisya. “Hei, kamu kok malah bengong. Ayok kita kerjakan PR matematikanya,” Moza menepuk pundak Meisya pelan. “Moza...,” “Hmm?” “Apa bedanya ibu tiri sama ibu angkat?” tanyanya lirih


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices