
by Titikoma

Chapter 3
Pagi-pagi sekali, Syua sudah berkemas. Bukan untuk mengikuti pelajaran,
tetapi berencana kabur dari pesantren. Sudah seminggu dia berada di
sini. Bosan! Keluhnya setiap hari. Meski menjaili ustazah dan teman
teman adalah hal menyenangkan, entah mengapa masih ada yang kurang
di hati. Syua seakan di penjara. Hari libur pun, Mama tidak menemuinya.
Apalagi menjemput putri satu-satunya.
Syua sudah menyandang ransel di punggung dan mengendap-ngendap
ke luar dari kamar. “Gawat!” bisiknya bersembunyi di balik tiang ketika
melihat Ustazah Zahra yang barusan keluar dari ruangannya.
“Kak Syua ngapain?” tanya Dini tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
Dini disuruh Ustazah Ainun untuk memanggil Syua agar dirinya bisa
mengikuti pelajaran.
Aiissh, menyebalkan nih, tuyul satu!
“Kak Syua lagi main petak umpet? Dini ikut!” serunya melonjak kegirangan.
“Diam!” ujar Syua membukam mulutnya.
Dini mengangguk pelan. Dalam pikiran bocah itu, dirinya tidak mau
ketahuan apalagi tertangkap sang penjaga.
“Carilah tempat persembunyian lain,” bisiknya ke telinga Dini.
“Bersembunyi di sana saja!” Tunjuk Syua dengan dagunya.
“Okeh,” ucap Dini pelan. Kemudian mengendap-endap ke tempat
persembunyian yang Syua tunjukan.
Syua menyeringai, dia bisa mengelabui bocah itu dengan mudah. Hanya
t
inggal melewati ruang kelas santri senior. Karena di sana ada Ustazah
Zahra yang baru memasuki kelas. Mungkin akan sedikit sulit, pikir Syua
mengambil posisi jongkok lalu merangkak. Setelah sampai di depan pintu
kelas senior, Syua menutup pintunya perlahan. Tampak seperti ditiup
angin.
“Kesempatan,” gumamnya. Secepat kilat Syua bangkit dan berlari ke arah
gerbang yang tak ada penjagaan.
***
“Akhirnya, Bebas!” teriaknya telah berada di jalan besar sembari
mengangkat kedua tinju mengarah ke langit.
Syua menaiki angkot yang barusan berhenti di depannya. Untungnya dia
punya celengan. Tanpa sepengetahuan Mama, Syua membawanya ke
pesantren. Sebagai cadangan jika suatu waktu kalau ada kepentingan.
Contohnya saat sekarang ini, kemanapun pergi ... bisa sesuka hati.
Tersesat? Syua bukan bayi lagi. Punya mulut untuk bertanya, punya otak
untuk berpikir. Seperti itulah prinsipnya.
“Panas!” Gerahnya melepaskan jilbab—memasukkan kembali ke
dalam ransel. “Kiri Pak!” seru Syua turun setelah sang supir menepikan
angkot. Syua mengambil pecahan sepuluh ribu dari kantong celana dan
memberikan pada Pak Supir. Kemudian berlari kecil ke seberang jalan.
Tujuan awalnya adalah ke taman bermain. Namun diurungkan setelah
melihat orang yang dikenal memasuki sebuah kafe.
Apakah itu Papa? Kenapa bersama perempuan cantik? Keraguan
menghampiri hatinya. Tidak mungkin Papa meninggalkan Mama karena
perempuan itu. Syua menggeleng.
“Lebih cantikkan Mama!” gumam Syua sudah memasuki kafe dan
mengendap-endap memperhatikan mereka.
“Mas!” Wanita itu merajuk.
“Menyebalkan!” Kesal Syua masih bersembunyi—menutupi wajah
dengan buku menu. Tak rela melihat Papa disentuh orang lain selain
Mama. Syua benci perempuan genit itu yang tampak seperti ondel-ondel.
“Dek, mau pesan apa?” Seorang pelayan membangunkan Syua dari
lamunan.
“Ini!” Tunjuknya asal ke buku menu, sang pelayan pergi setelah mencataan
pesanan Syua.
“Mas, apa kamu masih menyukai mantan istrimu?” Wanita itu
mengenggam mesra punggung tangan lelaki yang duduk di depannya.
Mantan istri? Syua menggeram mendengar kata mantan yang mungkin
dimaksudnya adalah sang Mama. Ingin sekali dirinya membalikkan meja
atau melempar kursi yang dia duduki ke depan wajah ondel-ondel itu.
“Lupakan, Mas! Sekarang, aku adalah istrimu. Lagi pula, wanita itu tidak
bisa memberikanmu keturunan!”
Mata Syua membola. Dadanya mendesir mencapai ubun-ubun. Otaknya
seakan berputar mencerna kata istri dan keturunan. Tanpa sengaja, Syua
menyenggol minuman yang barusan diletakkan sang pelayan kafe. Pecah.
Semua mata beralih ke arahnya.
“S-Syua?” Papa tak kalah terkejut mendapati putrinya di sana.
Syua kabur. Berlari sekencang mungkin.
“SYUA!”
Bulir-bulir air mata jatuh melewati dagu. Sakit. Syua merasa sesak di
dadanya. Panggilan Papa dihiraukan. Syua tidak mau ketemu Papa, itu
terlalu menyakitkan.
***
Setelah lama bermenung di pinggir danau. Syua kembali ke pesantren
saat petang hari. Dia masih takut akan gelapnya malam. Ketakutan
mengalahkan egonya.
Di pesantren ... semua orang khawatir, termasuk Mama yang dihubungi
ustazah.
“Syua, kamu ke mana saja?” tanya Ustazah Ainun. “Mamamu sangat
cemas, sekarang Mama masih mencari Syua di luar sana.”
Syua tak menjawab. Melangkah sedih menuju kamar. Sesampainya di
pintu kamar, Syua berkata,“Ustazah. Kalau Mama datang, bilang ke Mama,
Syua gak mau diganggu. Syua capek, mau tidur. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam,” jawab Ustazah. Tidak seperti biasanya Syua
mengucapkan salam. Apa yang terjadi dengan anak itu? Pikir Ustazah
sembari mengambil HP dari dalam saku gamisnya lalu menghubungi
Mama. Memberitahukan kabar Syua
“Ustazah. Bagaimana keadaan, Syua?” Suara di seberang sana terdengar
bergetar.
“Alhamdulillah, Bu Dina tidak usah khawatir, Syua baik-baik saja hanya
sedikit kelelahan. Mungkin letih berjalan seharian.” Sesaat ustazah
terdiam. “Tadi, Syua berpesan agar Bu Dina tidak datang menemuinya
hari ini. Katanya, dia ingin istirahat.”
“Apa terjadi sesuatu?” tanya Mama. Kalau Syua berbicara demikian, anak
perempuannya itu pasti menyembunyikan sesuatu.
“Syua tidak berbicara apa pun.”
Mama membuang napas. Saat ini mustahil dirinya bertemu Syua, yang
ada anak itu akan menolak mentah-mentah keberadaan Mama. Mungkin
besok saja Mama akan pergi ke pesantren, pikir Mama sembari memijit
pelipis.
“Terima kasih, Ustazah. Dan maaf telah merepotkan semua.”
Setelah berbincang cukup lama, Ustazah Ainun mengakhiri telepon
setelah mengucapkan salam. Kemudian masuk ke kamar untuk menemui
Syua. Bertanya, apa yang terjadi? Mata bocah itu sembab, mungkin habis
menangis? Dengan hati-hati ustazah mendekati santrinya itu.
“Syua?” panggilnya lembut.
Gadis kecil yang tomboi sudah menyelimuti diri dengan selimut hijaunya
hingga menutupi kepala. Meski tak ada suara tangisan, ustazah bisa
merasakan, Syua sedang menangis. “Syua, apa terjadi sesuatu?” Dengan
lembut, ustazah mengusap kepala santrinya.
“Itu kaki Syua, Ustazah!” protesnya parau saat kakinya dielus.
Ustazah tersenyum. “Benarkah? Bagaimana ustazah tahu kalo itu kakinya,
Syua?” Syua berdecak sembari menyibakkan selimut. Tampaklah Ustazah
Ainun yang sedang tersenyum seperti bidadari. Paling tidak, hati Syua
sudah merasa sedikit hangat dengan melihat senyuman ustazah—duduk
di depannya
“Ustazah, apa Syua nakal? Apa gara-gara Syua, Mama-Papa pisah? Kalau
Syua jadi anak yang baik, apa meraka akan bersatu kembali? Syua kangen
kebersamaan dulu,” rengeknya melingkarkan tangan pinggang ustazah.
“Hmmm, bukan. Itu bukan salah Syua.” Elusnya pada pungung santri itu.
Berusaha menenangkan. “Suatu saat, Syua akan mengerti kena—”
“Apa orang dewasa selalu ribet seperti itu?” Syua melepas pelukan,
mendongak menatap ustazah.
“Sesuatu itu ada yang bisa dijelaskan dan tidak. Mungkin saat ini ... Mama
Syua belum bisa menceri—”
“Apa karena Syua masih kecil?” lagi-lagi ucapan ustazah dipotong.
Syua menggigit bibir—menunduk lalu berkata, “Tadi ... Syua melihat
Papa bersama seorang wanita. Katanya, dia adalah istri Papa. Dan dia
juga bilang, Mama tidak bisa memiliki keturunan. Lalu Syua—” Bahunya
bergetar, naik-turun. Tak bisa melanjutkan kata-kata. Otaknya seakan
mencerna, Syua bukan anak Papa-Mama. Lalu Syua anak siapa?
Di ruangan lepas itu hanya ada Syua dan ustazah. Santri lain masih
melakukan pengajian di masjid. Kali ini, Syua tak keberatan jika merengek
sejadinya. Takkan malu. Karena tak ada orang yang mendengarnya saat ini
kecuali Ustazah Ainun.
***
Dari pagi hingga tengah hari, santri tomboi itu tidak bersemangat
mengikuti mata pelajaran. Dan beberapa hari ini, dia menolak bertemu
Mama yang sangat mengkhawatirkan dirinya. Percuma. Ustazah Ainun
sudah membujuk. berbagai cara dilakukan. Namun menolak lalu kabur
ke toilet. Pesantren yang dulunya heboh saat awal kedatangan Syua,
sekarang berubah sepi seperti kuburan.
“Kak Syua kenapa?” tanya Dini. Dia juga merasakan perubahan yang
terjadi pada diri Syua.
“Kak Syua gak mau cerita ke Dini?”
Syua berdecih dan menyentil jidat Dini pelan. “Kamu masih kecil. Tidak
akan mengerti masalah orang dewasa!”
“Sakit!” rengeknya sembari mengusap jidat. “Mang Kak Syua udah
dewasa?”
Terkadang repot juga berbicara sama Dini.
“Kenapa kamu di sini? Bukankah mereka melarangmu mendekatiku?”
tanya Syua tak peduli. Karena keisengannya, teman-teman menjauhi
dirinya. Dini pun yang polos mengangguk mengikuti ucapan santri lain.
“Tapi, Dini seneng dekat Kak Syua.”
“Apa kamu mau jadi sepertiku?” Senyum Syua sambil menaik-turunkan
alisnya.
“Hei! Kamu, kan, yang mengambil barangku!?” tuduh seseorang.
Syua meringis kesakitan—mengusap bokongnya. Entah kenapa Bunga
mendorongnya hingga terjengkang.
“Kak Bunga, kenapa dorong Kak Syua?” protes Dini tak suka.
“Dini, sudah aku bilang, jangan dekati dia!” Tunjuknya tajam. “Dia
membawa pengaruh buruk pada kita,” terang Bunga sekali lagi.
Syua berdiri. Mensejajarkan dirinya dengan Bunga. Tampak menantang.
“Ustazah bilang, fitnah lebih itu kejam daripada pembunuhan. Jadi, aku
t
idak mengerti apa maksudmu dengan mengambil apa?” balas Syua
berkacak pinggang. Meski dirinya selalu bermain, menganggu santri dalam
belajar, Syua tetap merekam materi yang diberikan ustazah. Otaknya
memang cerdas. Kenakalannya hanya pelarian semata dari kenyataan
hidup yang belum bisa dia diterima.
“Mana ada maling ngaku maling!” tuduh santri yang berdiri di samping
Bunga, namanya Putri, berumur sebelas tahun. Dua orang yang berdiri di
belakang Putri pun mengangguk setuju.
“Bukankah kemarin kamu cuma sendirian di kamar?” sambar santri di
belakang Putri.
“Kamu irikan sama Bunga? Karena Bunga memiliki HP canggih. Dan aku
yakin, kamu mencurinya,” sambung santri di sebelahnya.
Rentetan tuduhan di arahkan pada Syua.
“Aku tidak mengambilnya!” Syua meninggikan nada. Membela diri. Untuk
apa dia mencuri benda itu? Syua juga punya handpone layar sentuh
di rumah. Hanya saja, Mama tak mengijinkan untuk membawanya ke
pesantren.
“Bohong!” teriak Bunga tak mau kalah. “Kamu balas dendam, kan, karena
aku tak mau meminjamkannya padamu?”
Memang benar, waktu itu Syua ingin meminjam handpone Bunga untuk
menghubungi Mama. Karena saat itu, Mama belum juga menjemput
Syua. Sibuk. Itulah kabar yang Syua dapat setelah meminjam handpone
Ustazah Ainun.
Udara sekitar semakin panas. Keempat santri itu memojokkan Syua
dengan tuduhan dan ancaman, sedangkan Dini menjaga jarak dari
mereka. Takut nantinya kena dorong, seperti yang mereka lakukan pada
Syua. Tak mau kalah, Syua pun mendorong balik. Adu tinju pun diladenin.
“Astaghfirullah hal adzim, berhenti! ustazah bilang berhenti bertengkar!”
Segera ustazah melerai Syua dan Bunga. Jilbab mereka sudah tanggal,
habis jambakan rambut. Eh, jilbab.
“Ada apa ini, Syua-Bunga!?” Lirik Ustazah Zahra satu per satu yang ada
di sana.
“Kak Bunga nuduh Kak Syua ngambil Hp-nya Kak Bunga,” kata Dini.
Dia mencuri HP-ku, Ustazah!” tuduh Bunga menunjuk Syua.
“Bunga tidak baiklah kita berperasangka buruk apalagi pada teman kita
sendiri.”
Bunga tak terima. Dia masih bersikukuh menuduh Syua sebagai pencuri.
Mengingat apa yang telah dilakukan Syua selama di pesantren. “Ustazah
ingat? Syua mengambil sandal kita dan membuangnya ke kolam.”
Ketiga santri di belakang Bunga mengangguk membenarkan.
“Kak Syua juga pernah ambil Bear Dini dan menaruhnya di atas pohon
mangga,” sela Dini yang sedari tadi memeluk boneka beruang kecilnya.
Namun, Dini tidak marah akan perlakuan itu. Dia malahan senang.
“Dan masih banyak lagi yang Syua lakukan, Ustazah! Sebelum dia masuk
ke pesantren ini, pesantren aman-aman saja. Tak ada yang kehilangan
barang kayak gini,” sambung Putri.
Ustazah menghela napas. Syua memang nakal. “Tapi belum tentukan,
Syua yang mengambil, mungkin Bunga salah menaruhnya?”
“Tidak, Ustazah. Bunga ingat. Kemarin masih Bunga pegang dan masukin
ke dalam loker. Saat mau ngambil, eh, HP-nya udah gak ada.”
“Apa kamu tuli? Aku tidak mengambil HP-mu, BUNGA!” Syua
memejamkan mata sesaat, seperti yang pernah dilakukan Mama untuk
menahan amarah yang hampir meledak. Kata ustazah, seseorang yang
t
idak bisa mengendalikan amarah sama dengan kalah. Maka setan akan
menang. Syua menghembuskan napas pelan dan berkata, “Baiklah. Aku
akan membuktikannya, bahwa aku bukan seperti yang kamu pikirkan.
Tapi, berikan aku waktu untuk menangkan diri sejenak.”
Syua melangkah menjauhi mereka. Panggilan ustazah pun, sayup-sayup
terdengar. Ini jalan yang dia ambil. Jika dirinya masih berada di sana.
Pertengkaran Syua-Bunga, mungkin akan berlanjut. Kata orang, mengalah
bukan berarti kalah. Itulah yang dilakukannya saat ini. Menurutkan ego
akan membuatmu semakin terihat bodoh.
***
Satu per satu kerikil dilempar ke kolam ikan. Menimbulkan bunyi dan
percikan. Di kolam tampak daun teratai berukuran lebar. Bunganya pun
begitu indah berwarna merah muda. Sepertinya, Syua akan memasukkan
teratai ke daftar bunga yang disukai. Mau tahu bunga apa yang disukai,
Syua? Gadis kecil itu menyukai bunga lily putih, matahari, anggrek bulan,
mawar putih, dan ditambah dengan bunga teratai.
Syua seperti nenek yang sangat menyukai bunga (ibu dari Mama). Di
kampung, nenek dijuluki ‘Putri Bunga’ oleh Syua karena menanam
berbagai jenis bunga. Bocah itu selalu menantikan hari libur agar bisa
bertemu kakek-nenek. Namun, setelah kakek-nenek tiada, Syua jarang
pulang kampung. Mama pun menjadi super sibuk.
Raut wajahnya sendu sesaat. Karena mengingat nenek. Entah mengapa,
dia merasa tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarga Papa.
Terutama nenek (ibunya Papa) seakan menjauh. Setiap kali berkunjung,
nenek menatap dingin. Apa salahnya Syua, Nek?
Syua kembali melempar kerikil ke kolam.
“Nenek, apa Syua nakal?” gumamnya, “meski nakal, Syua tidak mencuri.”
Ingatnya pada tuduhan Bunga tadi.
Syua berdiri. Melempar jauh kerikil hingga melewati batas kolam. “Lihat
saja! Aku akan membuktikannya kalau aku bukan pencuri!”
“Dini yakin kok, Kak Syua gak ngambil HP-nya Kak Bunga,” ucap Dini tiba
t
iba. Suaranya yang imut membuat Syua tersenyum. Syua ingin punya
adik seperti Dini. Bukan saja pintar, Dini juga lincah, dan cengeng kalau
boneka beruangnya diambil. Cuma sebentar, setalah itu tertawa lagi.
“Kenapa kamu ke sini?” tanya Syua menatap sekilas lalu kembali menatap
ke tengah kolam.
“Hati-hati, nanti kamu kecebur. Ingat! Aku gak akan menolong!” tutur
Syua dingin, meski ada sedikit perhatian di dalam kata-katanya.
Syua kembali menatap Dini. Melirik pada benda yang ada dipelukan
bocah itu.
Gadis cilik itu memeluk bonekanya erat.
“Aku tidak akan melemparnya ke kolam.” Syua memang nakal, tetapi
kenakalannya cuma di depan banyak orang.
Dini mengembangkan senyum. “Kak Syua hebat! Bisa membaca pikiran
Dini.”
Syua mendengus geli, siapa pun juga bisa menebak jika raut wajahnya
seperti itu. Apalagi Syua pernah menjadikan sebelah sandal santri menjadi
kapal-kalapan.
“Hei, kenapa kamu berada di sini?” tanya Syua lagi.
“Nemenin Kak Syua,” jawab Dini polos.
“Maksudku ... kenapa kamu berada di pesantren ini? Apa kamu nakal?”
Syua masih penasaran, kenapa anak energik kayak Dini suka di tempat
seperti ini?
Dini menggeleng. “Tidak! Dini anak baik, kok.”
“Lalu kenapa kamu dilempar ke sini?”
“Dini suka aja. Di sini rame. Tidak seperti di rumah. Sepi. Papa-Mama
sibuk. Makanya, Dini minta masuk ke pesantren. Dan, Ustazahnya juga
baik-baik. Besok nih, Dini mau masuk sekolah Al-Falah saja. Sama kek Kak
Ridho,” jelas Dini panjang lebar.
“Bang Ridho?”
“Iya, Kak Ridho Abang Dini satu-satunya.”
Pancaran mata bocah itu seakan mengatakan kerinduan. Meski masih di
lingkungan Al-Falah, Dini tidak bisa terus-terusan bertemu sama abangnya.
Lagi pula areanya juga berbeda. Ada pembatas dinding tembok yang
memisahkan bangunan Madrasah (sekolah) Al-Falah dengan pesantren
khusus (kilat). Dini bisa bertemu abang cuma di Masjid Al-Falah, masjid
besar yang bisa menampung semua santri dari Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTS), dan Madrasah Aliyah (MA). Keren! Itulah
alasan kedua Dini ingin berada di sini