2r

Reads
209
Votes
0
Parts
13
Vote
by Titikoma

Chapter 8

Rizki berjalan menyusuri koridor sekolah di bawah tatapan dan kasak-kusuk semua orang yang dilewatinya. Berita tentang ia dan Rasky yang terjebak di dalam gudang semalaman, telah menyebar ke seantero sekolah. Menurut laporan Meta kemarin saat menghubunginya melalui telepon, kebanyakan dari mereka berpikiran negatif mengenai yang terjadi selama dua orang itu terjebak di sana. Kepala gadis itu tertunduk. Ingin rasanya tak masuk sekolah hari ini.
Terlebih Rasky memberinya kabar kalau cowok itu sakit dan memilih absen ke sekolah. Membuat dirinya menjadi satu-satunya orang yang akan menjadi pusat perhatian dari isu paling hangat tersebut. Rizki sangat membenci hal itu. Ia mempercepat langkah. Mengabaikan sindiran serta ucapan sinis Ralin yang sengaja diucapkan keras-keras ketika ia melewati Ralin bersama gengnya.
Setibanya di kelas, Rizki langsung dikerubuti teman-temannya. Seperti kumpulan lebah, pertanyaan-pertanyaan para penghuni kelas terdengar seperti dengungan di telinga gadis itu. Ia memejamkan mata dan menutup kedua telinga rapat-rapat. Berusaha meredam suara-suara di sekitar dari pendengaran. Meta yang baru saja masuk, buru-buru menyeruak kerumunan di bangkunya. Melirik Rizki sekilas lalu berseru, “bisa diam nggak, sih?! Gimana Rizki mau ngomong kalau kalian ngoceh semua?”
Kelas mendadak senyap. Hanya terdengar bunyi detak jam dinding di muka kelas. Meta melepaskan tangan Rizki dari telinga lembut. Rizki membuka mata. Memandang sekeliling kemudian menghela napas berat.
“Jelaskan apa yang terjadi kemarin biar nggak ada lagi kesalahpahaman,” saran Meta.
Rizki menatap sahabatnya sebentar. Kembali menghela napas lalu mulai membuka suara. Ia menceritakan persis seperti yang dikatakan Rasky pada Kepala Sekolah. Membuat sebagian orang mendesah kecewa karena tak mendengar sesuatu yang seru seperti harapan mereka.
“Kalian ngapain aja selama ada di dalam sana?” Seorang siswi berambut ikal bertanya penasaran. Yang lain juga memasang telinga baik-baik penuh rasa ingin tahu.
“Kami cuma ngobrol, sholat, tidur. Udah itu aja.”
“Yakin cuma itu?” desak si siswi berambut ikal.
“Kalian tidur bersebelahan, ‘kan? Gimana rasanya tidur bareng cowok sekeren itu?” Seorang siswi berwajah oval yang kali ini bertanya dan disambut keriuhan suara teman-temannya.
Rizki melotot. Kata ‘tidur bareng’ memiliki makna negatif dalam pikirannya. Begitu pula dalam benak teman-temannya.
Bunyi bel disertai langkah Pak Hendra, langsung membubarkan kerumunan tanpa dikomando. Para penghuni kelas tunggang langgang menuju bangku masing-masing. Menggerutu dalam hati karena cerita seru yang mereka tunggu mendadak terpotong begitu saja akibat kedatangan guru itu.
***
“Dia bilang begitu?” Bima tertegun mendengar cerita Fajri. Keduanya duduk di salah satu bangku taman. Ia bisa melihat kegelisahan di raut wajah sang keponakan.
“Maafkan aku sudah membuatmu terlibat dan terlihat buruk di mata Mas Irfan.” Fajri mendesah berat. “Tapi hal ini membuatku semakin takut untuk mengakui semuanya.”
Mata Fajri menerawang menembus kumpulan awan berarak di langit cerah. Tatapannya gusar. Jari-jari lentiknya memilin ujung jilbab putih yang dikenakan.
“Aku tidak masalah dengan semua itu. Dianggap sebagai perebut warisan, sudah terjadi sejak enam belas tahun lalu dan aku tak pernah pusing memikirkannya,” ujar Bima enteng. “Dan tentang pengakuanmu, katakan saja. Jangan takut! Pengorbananmu selama ini lebih dari cukup untuk menebus semuanya. Kamu sudah membantu mereka lebih dari enam belas tahun. Bukan hanya urusan rumah tangga dan merawat keluarga mereka, tapi kamu juga yang membuat Irfan bisa bekerja di perusahaan.”
Fajri menoleh menatap Bima yang memandanginya dengan mata berbinar memberinya semangat. “Tapi, Bim ....”
“Segera selesaikan! Setelah itu, kamu bisa kembali ke tempatmu dengan tenang. Melanjutkan impian tanpa ada lagi beban dan perasaan bersalah.”
***
“Yakin nggak terjadi sesuatu di antara kalian?”
Rizki menyantap siomay sebal. Penjelasannya di kelas tadi pagi, ternyata belum cukup memuaskan. Teman-temannya, kebanyakan yang perempuan, membuntuti gadis itu hingga ke kantin.
“Sudah berapa kali kubilang, nggak ada apa-apa!” Rizki menjawab ketus. Menyuapkan sesendok penuh siomay ke mulut dengan gerakan kasar.
Di bangku sebelah, Meta yang memilih menyingkir begitu Rizki dikerubuti, tersenyum geli mendengar suara kesal sahabatnya. Meta geleng-geleng kepala. Tak habis pikir melihat teman-temannya terus mendesak meski berulang kali Rizki membantah.
“Masa, sih? Biasanya kalau ada dua orang lawan jenis berada di satu ruangan sampe semalaman, pasti terjadi sesuatu.” Seorang siswi berponi berspekulasi diiringi anggukan setuju teman-temannya. “Minimal ... ciuman, gitu?”
Suara di sekitar Rizki terdengar ramai setelah siswi itu mengucapkan kalimat terakhir. Beberapa siswa yang duduk agak jauh menoleh mendengar keriuhan itu lalu kembali menyantap makanan seolah tak terjadi apa-apa. Rizki menghentikan kunyahan. Mengangkat kepala dan membelalak lebar. Menggebrak meja dengan wajah merah padam.
“Jangan ngomong sembarangan, ya! Kami nggak mungkin ngelakuin hal itu,” tukasnya cepat dengan nada tinggi.
“Kami kan ....” Rizki menghentikan kalimatnya sendiri begitu menyadari dirinya hampir saja mengatakan kalau ia dan Rasky saudara kembar. Suasana mendadak hening. Seluruh gerakan tiba-tiba terhenti. Seisi kantin menatap Rizki. Semua menunggu ucapan gadis itu selanjutnya. Rizki menelan ludah. Mengutuk diri sendiri yang hampir saja keceplosan. Dalam kebingungan ia berpikir cepat mencari kalimat yang tepat. Tangan kirinya mengusap tengkuk di balik jilbab.
“Kami kan bisa menjaga diri,” ucapnya kemudian. Suaranya melunak.
Teriakan ‘huuu’ serta desahan kecewa terdengar. Meta yang baru saja selesai makan, menyeruak kerumunan. Berdiri di sebelah Rizki ia berujar, “Rizki sudah bilang semua dan nggak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Sekarang bubar!”
***
Rizki, Meta, serta Satria menatap bangunan besar di balik gerbang yang menjulang tinggi usai berbincang dengan satpam beberapa saat lalu melalui interkom di sisi kiri gerbang.
“Ini beneran rumah Rasky?” Meta tak mengalihkan tatapan takjubnya dari bangunan berlantai dua itu.
“Dari alamatnya sih, bener. Lagipula satpam tadi kan juga bilang ini rumah Rasky,” jawab Satria polos.
Meta melirik Satria sebal. “Bukan gitu. Maksudku, beneran rumah segede ini punya Rasky?”
“Kamu lihat sendiri, ‘kan?” timpal Satria.
Meta hendak menanggapi ucapan Satria namun urung karena tiba-tiba gerbang di hadapan mereka terbuka otomatis. Satpam yang berbicara dengan mereka tadi berlari-lari kecil ke arah tiga remaja SMU itu setelah menekan tombol di posnya yang membuat gerbang itu terbuka.
“Silakan masuk,” sambutnya ramah.
Ketiga remaja itu memasuki halaman luas yang di tengah-tengahnya terdapat kolam air mancur dan rerumputan hijau di sekitarnya.
Mereka berjalan memutar di atas paving yang tertata rapi sebelum akhirnya tiba di pintu utama di bagian tengah depan bangunan. Pintu ganda menjulang itu terbuka begitu mereka menginjakkan kaki di keset besar bertuliskan ‘Welcome’. Ketiganya terkejut. Mengira pintu itu juga terbuka otomatis seperti pintu gerbang. Namun, sesosok wanita cantik yang menyembul dari balik pintu sambil memegang gagang pintu, membuat mereka menyadari perkiraan tersebut salah.
“Teman sekelasnya Rasky, ya? Silakan masuk.” Wanita cantik yang tak lain mama Rasky, membuka pintu lebih lebar. Senyum meneduhkannya membuat kecanggungan Rizki dan kawan-kawan perlahan memudar.
“Saya Kania. Mamanya Rasky,” Kania mengulurkan tangan setelah tiga tamunya masuk. Satria menyambut uluran tangan Kania sembari menyebutkan nama. Disusul Meta lalu terakhir Rizki.
“Rizki Ravinza.”
Kania tertegun menatap Rizki yang selama ini hanya dikenalnya melalui cerita Rasky. Gadis kurus itu berwajah biasa. Hidung berbentuk sedang, sepasang mata kecil dinaungi bulu mata jarang, warna kulit kuning langsat sama seperti Rasky, dan sepasang alis itu ... bentuknya persis! Meski milik gadis itu ketebalannya tidak rata serta cenderung lebih tipis. Rizki memandang wajah cantik di hadapannya.
Wanita yang menjadi alasan Ryan untuk mengambil Rasky dan memisahkannya dengan keluarga selama lebih dari enam belas tahun. Semua orang pasti mengira ketampanan Rasky diwariskan oleh wanita itu karena sekilas mereka terlihat mirip. Rizki pernah mendengar kalau seseorang akan terlihat mirip satu sama lain dengan orang yang hidup bersamanya.
“Ehm.” Suara deheman Satria memecah kesunyian. Kania dan Rizki tergeragap. Mereka saling tersenyum kikuk. “Bisa ketemu Rasky sekarang nggak, Tante?”
“Oh, iya. Ayo ikut Tante!” ajak Kania. Ia memandu mereka menuju lantai atas.
***
“Kamu harus mengaku segera. Kalau bisa sekarang.”
Ryan menoleh memandang Rafi yang berdiri di sampingnya—di balik pagar tembok setinggi dada orang dewasa—sambil mengamati bangunan-bangunan sekitar rumah sakit. Begitu Ryan keluar dari ruang operasi beberapa waktu lalu, tanpa berkata-kata Rafi langsung menyeretnya ke atap. Bibir pria berkumis tipis itu bungkam dengan rahang mengeras meski berkali-kali Ryan bertanya.
“Maksudmu?”
Rafi tak mengalihkan pandangan. “Tentang si kembar.”
“Tentu. Tentu aku akan segera mengakuinya,” ujar Ryan, menyedekapkan kedua tangan di dada santai.
“Kapan?” Kali ini Rafi menoleh. Menatap Ryan tajam tepat di manik matanya.
Ryan tergeragap. Refleks kedua tangannya terurai dan terkulai di sisi tubuh. Dengan gugup ia membetulkan letak kacamatanya yang mendadak merosot. “Itu ....”
“Aku tidak mau Fajri terus berada di rumah itu.”
“Sejak kapan kamu mempedulikannya?”
Rafi mengalihkan pandangan ke bangunan-bangunan di bawah dengan tatapan menerawang. “Dia adik tiriku. Putri Wisnu Mahendra dengan istri keduanya.”
Ryan terperanjat menatap Rafi. Meski telah bersahabat puluhan tahun, Ryan tak pernah mengetahui apalagi bertemu dengan orangtua Rafi. Ia hanya tahu papa Rafi yang bernama Wisnu Mahendra, bercerai dengan istri pertamanya ketika Rafi berusia satu tahun.
Usai bercerai, mama kandung Rafi—yang tak Ryan ketahui namanya—menghilang dan meninggalkannya bersama sang papa. Selebihnya, Rafi tak pernah mau terbuka tentang masa lalunya pada siapa pun termasuk Ryan.
***
Rizki duduk di kursi samping ranjang sambil menatap Rasky yang memejamkan mata usai meminum obat setelah beberapa saat ia serta kedua temannya memasuki kamar. Sementara Meta dan Satria asyik mengelilingi kamar luas Rasky.
Satria memandang takjub deretan action figur yang tertata rapi dalam sebuah lemari besar, sedangkan Meta berjalan ke balkon dan terpana melihat pemandangan di luar. Tak pernah terlintas sebelumnya dalam pikiran Rizki bahwa kembaran yang selama ini dianggap telah berkalang tanah, ternyata masih hidup.
Selama enam belas tahun mengira dirinya menjadi anak tunggal—setelah kematian sang saudara kembar—seperti ayah dan ibunya. Sempat tak percaya bahwa cowok yang digilai banyak gadis itu pernah berbagi tempat dengannya dalam ruang ajaib bernama rahim. Namun kini ia sepenuhnya yakin bahwa itu adalah kenyataan.
Mata Rasky perlahan terbuka. Mendapati sang kembaran tengah memandanginya. Ia tersenyum. “Aku ganteng banget ya? Sampe kamu nggak bosan ngelihatin aku terus.”
Meta dan Satria menoleh mendengar suara Rasky. Serempak berjalan menghampiri ranjang sambil tersenyum simpul di belakang Rizki.
“Kamu lemah banget, ya? Baru nggak makan semalaman saja, udah K-O,” cibir Rizki. Sama sekali tak menggubris ucapan Rasky.
Rasky tertawa. Perlahan bangkit lalu duduk bersandar. Tangannya terulur hendak mengambil segelas air putih di meja samping ranjang dekat Rizki duduk. Tapi dengan sigap, Rizki mengambilkan gelas itu kemudian menyodorkannya pada Rasky. Meta dan Satria berdehem melihat adegan itu—yang ditanggapi Rasky dengan senyum simpul serta pelototan Rizki—disertai ‘cie, cie’ menggoda.
Satria berjalan menuju sofa di sisi kiri ruangan tak jauh dari pintu. Ia mengambil kudapan. “Sebenarnya hubungan kalian apaan, sih? Kadang kayak orang pacaran, kadang kayak musuh bebuyutan.”
Rizki menoleh. “Kalau aku bilang kami ini saudara kembar, kamu percaya?” tanyanya santai.
Punggung Rasky menegak. Mata elangnya melebar. Ia berharap Rizki menoleh ke arahnya dan menangkap isyarat peringatan melalui mata.
Akan tetapi, gadis kurus itu tak mengalihkan tatapan dari Satria yang tertegun sesaat dengan tangan kanan menggenggam kacang, menggantung di udara.
Meta tertawa memecah keheningan. “Kembar dari mana? Kalian tuh nggak ada mirip-miripnya. Nggak cuma secara fisik, tapi orang tua kalian juga beda, ‘kan?” ujarnya menganggap ucapan Rizki sekadar candaan yang diucapkan dengan serius. Ia melangkah menyusul Satria duduk di sofa.
Satria ikut tertawa. “Nggak bakalan ada yang percaya kalian itu saudara, apalagi kembar. Kalian cuma mirip di nama doang,” timpalnya lalu melempar kacang ke mulut.
“Aku sudah bilang yang sebenarnya. Kalian mau percaya atau tidak, terserah,” gumam Rizki. Suaranya tak tertangkap pendengaran Meta dan Satria saking pelannya. Terlebih ia menghadapkan pandangannya ke Rasky. Membuat kedua orang itu mengira dirinya tengah berbicara pada Rasky.
Wajah Rasky kian memucat. Ia menelan ludah menatap ekspresi dingin Rizki. Entah mengapa tiba-tiba merasa seperti pencuri yang sedang tertangkap basah.
Banyak hal yang ingin dikatakan untuk mencegah gadis itu berbicara lebih banyak. Akan tetapi, kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia menyadari kalau masih ada orang lain di ruangan tersebut yang tak boleh mendengar apa yang hendak diucapkannya. Rasky mengalihkan pandangan pada Meta serta Satria.
Rupanya sepasang remaja itu sedang sibuk berbincang dan seolah tak menganggap serius pernyataan Rizki tentang kenyataan bahwa dirinya dan Rasky saudara kembar. Mereka asyik bercanda hingga tak menyadari ketegangan yang sempat menyergap. Rasky mengembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan. Kembali memandang Rizki yang masih melihatnya dengan tatapan dingin.
Ia mendekatkan wajah sembari berbisik, “tolong jangan katakan apa pun tentang hubungan kita sebelum kuminta. Aku mohon ....”
Rizki bergeming. Sama sekali tak merasa risih berada sedekat itu dengan Rasky. Tatapannya masih lekat ke wajah memohon saudara kembarnya.
Semenjak bertemu Kania beberapa waktu lalu, entah mengapa sisi lain hatinya tiba-tiba begitu kuat mendorong agar kebenaran yang terpendam lebih dari enam belas tahun segera diungkapkan. Ada perasaan tak rela melihat wajah berseri wanita itu yang tak menyadari telah menjadi salah satu penyebab penderitaan ibunya selama ini.
Sempat terlintas dalam benak untuk langsung mengatakan hal tersebut pada Kania ketika mereka menaiki tangga menuju kamar Rasky—sesaat melupakan kesepakatan yang telah dibuat bersama sang adik kembar. Akan tetapi, ia berhasil menahannya. Dan pertanyaan Satria tentang hubungannya dengan Rasky tadi, membuat gadis itu tak sanggup lagi menahan diri.
***
“Bagaimana keadaan Rasky?” tanya Ryan. Kania mengambil alih tas di tangan Ryan dan mengikuti langkah sang suami menaiki anak tangga ke lantai dua.
“Sudah baikan,” ujar Kania. “Tadi teman-teman sekelasnya ke sini, termasuk gadis yang disukai Rasky itu.”
Ryan berhenti. Dengan cepat memutar kepala menatap Kania yang berada dua anak tangga di bawah. “Siapa?”
“Siapa lagi? Gadis yang selama ini diceritakan Rasky kan cuma Rizki.” Kania tersenyum. “Kondisi anak itu mendadak jauh lebih baik setelah dijenguk gadis itu.”
Tangan kanan Ryan mengepal. “Kamu yakin Rasky menyukainya?” Pria itu melanjutkan langkah.
“Sangat. Apalagi setelah melihat langsung bagaimana mereka berinteraksi.” Kania kembali mengikuti langkah Ryan. Masih tersenyum dengan mata berbinar mengingat hal yang terjadi saat teman-teman Rasky masih berada di rumah itu.
“Aku cuma sebentar melihatnya, tapi dari cara mereka saling menatap, ngobrol, dan bercanda, terlihat sekali kalau ada kedekatan tak biasa di antara mereka. Meski secara fisik terlihat berbeda, entah kenapa aku merasa keduanya sangat mirip. Mungkin karena mereka jodoh kali, ya? Tak disangka bisa bertemu calon menantu secepat ini.”
“Mereka tidak akan punya hubungan seperti itu.” Ryan membuka pintu kamar.
“Kenapa tidak?” Kania mendahului Ryan masuk.
“Aku tidak akan setuju,” ucap Ryan tanpa memandang istrinya. Ia duduk di tepi ranjang sambil melepas sepatu.
Kania tertawa. “Kamu ini lucu, Mas. Ketemu saja belum pernah, sudah bilang tidak setuju. Mas harus lihat dia dulu, baru memutuskan.” katanya.
“Aku akan mengundangnya makan siang hari Minggu ini. Aku yakin, setelah melihatnya nanti, Mas akan berubah pikiran.” Kania mengerling jenaka sebelum beranjak keluar kamar.
Ryan menghentikan gerakannya. Menatap punggung sang istri iba. Melihat keceriaan Kania barusan, ia merasa semakin sulit membayangkan hal yang akan terjadi nanti jika wanita itu mengetahui yang sebenarnya.
***
Irfan mendorong kursi roda Hasna sambil berjalan perlahan menuju bagian tengah taman kota. Senyumnya terkembang melihat indahnya pemandangan sekitar serta lalu-lalang orang-orang yang berada di sana Minggu pagi menjelang siang yang cerah itu.
Bukan hal mudah mengajak Hasna yang kini mulai bisa berjalan meski hanya sekadar menyeret langkah perlahan dengan berpegangan erat pada sesuatu, pergi berdua saja dengannya. Melalui bujukan Rizki dan Fajri—karena ia yakin sang istri takkan merespon jika mengajaknya secara langsung—Hasna akhirnya menerima tawaran itu setelah Rizki berpura-pura ngambek serta mengancam tidak mau lagi tidur sekamar dengannya.
Irfan benar-benar berterima kasih pada keduanya karena rencana yang ia susun untuk mendapatkan kembali kepercayaan Hasna, sejauh ini berjalan lancar. Tinggal menunggu seseorang yang Irfan yakini dapat meluruskan kesalahpahaman di masa lalu.
Irfan mengunci kursi roda Hasna di samping salah satu bangku panjang kosong. Duduk di bangku itu lalu memandang sekeliling. Di sampingnya, Hasna mengatupkan bibir rapat-rapat dengan tatapan kosong. Hal yang dilakukan wanita itu semenjak keluar rumah. Mengabaikan kehadiran Irfan yang mencoba mencairkan suasana dengan mengajaknya mengobrol.
“Kamu masih ingat, tidak, saat terakhir kali kita ke sini enam belas tahun lalu?” Irfan menatap Hasna.
Wanita itu bergeming. Tetap dengan ekpresi datar dan posisi tubuh yang tak sedikit pun berubah. Irfan tersenyum getir. Memalingkan wajah ke depan memandang kupu-kupu berwarna kuning yang hinggap di salah satu kelopak bunga mawar.
“Waktu itu kamu sedang hamil. Kamu bilang, akan sangat menyenangkan jika setelah mereka lahir, kita datang ke sini tiap akhir pekan. Duduk di atas rerumputan sambil mengawasi si kembar kecil yang asyik berlarian ke sana kemari. Aku masih ingat senyummu saat membayangkan hal itu.”
“Sayangnya, impian kecil itu tak pernah terwujud. Dan itu karena dirimu.”
Irfan menoleh cepat. Menatap Hasna yang—untuk pertama kalinya setelah lebih dari enam belas tahun—merespon ucapannya. Meski kalimat itu cukup menyakitkan, tapi kebahagiaan karena Hasna akhirnya mau berbicara dengannya, membuncah dan segera menghapus rasa sakit itu.
Mata Irfan berkaca-kaca. Lidahnya kelu meski begitu banyak kata berhamburan dalam benak. Sekali mengerjap, tetesan bening yang menggenang, luruh dan mengalir deras. Hasna balas memandang. Bukan pandangan penuh cinta seperti dirinya, melainkan sorot penuh kebencian serta amarah.
Bayangan kejadian menjelang kelahiran si kembar berputar dalam benak Hasna. Malam itu dirinya berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan perut membuncit, menunggu kedatangan sang suami yang tak kunjung pulang.
Wanita itu melirik jam dinding dan semakin cemas melihat jarum jam nyaris menunjukkan pukul dua belas malam. Irfan tak pernah pulang selarut itu sebelumnya.
Kecemasan kian menghantui setelah mendapati nomor sang suami tidak aktif ketika untuk kesekian kali ia menelepon Irfan. Telepon rumah tiba-tiba berdering. Hasna sempat terlonjak, tapi buru-buru menghampiri dan mengangkatnya. Ia mengernyit mendengar suara mendesah seorang wanita di seberang telepon.
“Ini Mbak Hasna, kan? Istri Mas Irfan?”
Hasna meng-iya-kan dengan suara bergetar. Pikiran jelek mulai berkelebat dalam benak. Membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada sang suami.
“Mbak tidak perlu menunggu Mas Irfan. Malam ini dia tidak akan pulang. Dia akan bermalam dengan saya.”
Seperti disambar petir, Hasna terperanjat mendengar informasi itu. Hal yang baginya jelas menggambarkan apa yang dilakukan sang suami di luar sana. Namun, sebuah pertanyaan tetap meluncur meski mengetahui jawabannya. “Maksudnya?”
Tawa manja terdengar di seberang. “Masa tidak mengerti sih, Mbak? Kalau laki-laki dan perempuan bermalam berdua saja di kamar yang sama, apa lagi yang dilakukan?”
Mata Hasna memanas. Genggamannya di gagang telepon tanpa sadar kian mengerat. “Saya mau bicara dengan suami saya,” ujarnya berusaha bersikap tenang.
“Sayang sekali, dia ketiduran. Sepertinya capek setelah main dua ronde dengan saya.” Wanita di seberang cekikikan.
Hasna memejamkan mata. Tubuhnya limbung, tapi ia berusaha keras agar tak terjatuh dengan bersandar di dinding dekat tempatnya berdiri. “Di mana ... kalian sekarang?”
“Mbak tak usah repot-repot datang ke sini. Sudah larut malam, lho. Lagipula Mbak sedang hamil besar. Kalau terjadi apa-apa di jalan, bagaimana?” Suara di seberang terdengar simpatik, tapi Hasna tahu kalau hal itu hanya dibuat-buat. “Tenang saja. Besok Mas Irfan akan pulang, kok.”
“Di mana kalian sekarang?!” teriak Hasna. Ia sudah tak sanggup menahan diri. Dadanya terasa sesak.
Wanita di seberang menyebutkan nama sebuah hotel setelah beberapa saat berpura-pura kembali membujuk Hasna agar tak jadi pergi ke sana. Sengaja mengulur-ngulur waktu.
***
Rizki mengernyit memandangi Rasky yang berdiri di depan pintu dari ujung kaki hingga rambut. Tangan kanan masih memegangi gagang pintu yang terbuka separuh.
“Kenapa datang sekarang? Bukannya acaranya nanti?”
“Aku bukan mau jemput kamu sekarang. Mau main dulu sebentar di sini sebelum kita ke rumahku,” ujar Rasky. “Semenjak kejadian di rumah sakit itu, aku belum pernah ketemu Ibu lagi. Kangen.” Rasky nyengir.
Rizki tertegun sejenak. Ada perasaan aneh mendengar Rasky menyebut ‘ibu’ tanpa embel-embel ‘mu’ saat mereka tengah membicarakan Hasna berdua saja.
“Ibu lagi ke luar,” kata Rizki singkat.
“Ayah?”
“Nemenin ibu.”
“Kalau begitu pasti yang ada di rumah selain kamu, ada Mbak Fajri. Ya, kan?” tebak Rasky.
“Iya. Tapi Mbak Fajri lagi sibuk.”
“Sibuk bikin kue kan, bareng kamu?”
“Kok tahu?” Rizki mengerutkan kening. Rasky melirik celemek yang dipakai kembarannya.
“Sekarang boleh masuk, kan? Aku juga mau bantu.”
Rizki melangkah mundur sembari membuka pintu lebih lebar enggan. Membiarkan Rasky berjalan masuk sebelum menutup pintu kembali. Ia berbalik dan mendapati Rasky berdiri di hadapannya dengan senyum terkembang. Tangan kanan cowok itu terulur mencubit pipinya. “Jangan cemberut gitu, dong! Jelek, tahu!”
Rizki hendak menanggapi ketika tiba-tiba ekor matanya menangkap sosok Fajri berdiri mematung dan menatap tertegun tak jauh dari keduanya. Refleks ia menepis tangan Rasky lalu mundur selangkah terkejut. Bergegas menghampiri Fajri sambil tersenyum kikuk.
“Orang ini mau bantu bikin kue, katanya.” Rizki menunjuk Rasky sekilas.
Berusaha menjaga agar suaranya terdengar wajar. Mempercepat langkah ketika melewati Fajri. Wanita itu berkedip kaget. Tersenyum canggung pada Rasky. Merasa seharusnya tak berada di sana saat itu.
“Ayo, masuk!” ajaknya kemudian. Masih dengan sisa-sisa kecanggungan. Rasky mengangguk. Melangkah santai seolah tak ada hal salah yang terjadi.
***
“Mas Irfan!” Sebuah suara dari kejauhan memecah keheningan di antara Irfan dan Hasna. Sepasang suami istri itu serempak menoleh. Irfan mengerjap untuk mengusir genangan air yang menjelma kabut di matanya. Bergegas bangkit sembari mengusap lelehan air mata begitu mengetahui siapa yang memanggil. Sementara Hasna terkesiap dan terbelalak lebar.
Sosok yang memanggil nama sang suami itu baru saja terlintas dalam pikirannya. Seseorang yang membuat rumah tangga mereka di ambang kehancuran. Wanita penggoda itu!
“Santi!”
Irfan melambaikan tangan menyambut wanita berambut ikal sebahu yang memakai blazer warna cerah dan dalaman tank top berwarna hitam, bercelana jins, serta flat shoes sewarna dengan blazer. Wanita bermata bulat itu tersenyum. Berjalan cepat mendekati Irfan dan Hasna. Irfan pun melangkah menghampirinya.
Hasna mengepalkan kedua tangan erat. Rahangnya terkatup rapat dan gigi-gigi bergemeletuk. Ia tak percaya Irfan begitu tega menyapa serta menyalami wanita itu hangat di depan matanya. Berbincang santai kemudian membawa Santi ke hadapan Hasna seolah-olah tidak pernah ada hal buruk yang terjadi di antara mereka. Dengan panik, Hasna meraba benda yang mengunci kursi roda. Bersiap melarikan diri saat Irfan dan Santi semakin mendekat.
***
“Kue buatan Mbak Fajri memang paling enak. Mama perlu belajar sama Mbak deh, biar jago kayak Mbak Fajri,” puji Rasky dengan mulut penuh. Kembali mencomot kue kering yang tersaji di atas meja ruang tamu.
Fajri tersenyum meletakkan minuman ke atas meja. Sementara itu, Rizki tengah membersihkan diri di kamar mandi. Bersiap memenuhi undangan makan siang Kania.
“Mamamu suka bikin kue juga?”
“Nggak juga, sih.” Rasky nyengir. “Kadang-kadang aja bikin, tapi rasanya kalah jauh sama buatan Mbak.”
“Kamu bisa saja.” Fajri tertawa. “O ya, kamu berapa bersaudara?” Fajri mengalihkan pembicaraan.
Menyadari dirinya tak mengetahui apa pun tentang cowok itu meski nyaris setiap hari Rasky datang berkunjung.
Selama ini setiap Rasky datang, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Hasna. Tak pernah sempat berbincang dengan yang lain seperti saat ini. Fajri memandang Rasky saksama. Mulai merasakan ada kedekatan tak biasa antara remaja laki-laki itu dengan Rizki.
“Aku anak tunggal, Mbak,” jawab Rasky tanpa menatap Fajri. Tangannya bergerak mengambil minuman di atas meja.
Ia meneguknya hingga tersisa separuh gelas, lalu kembali berucap, “di rumah sepi banget. Pengen sih, punya saudara, tapi Mama udah nggak mungkin lagi punya anak.”
***
Hasna menatap nanar wanita yang bersimpuh di hadapan. Perasaan campur aduk hingga tak bisa menentukan perasaan mana yang lebih dominan. Santi menceritakan semuanya dengan berlinang air mata. Kenyataan yang selama ini tak pernah sempat diketahui Hasna.
Enam belas tahun lalu, Santi muda sangat tergila-gila pada Irfan, rekan sekantornya di tempat kerja. Ia mencoba segala cara untuk merayu pria itu meski tahu Irfan telah beristri dan sebentar lagi punya anak. Namun, Irfan bergeming. Ia tetap menganggap Santi sebatas rekan kerja meski penampilan wanita itu begitu menggoda.
Santi tak pernah menyerah. Hingga suatu malam sepulang kerja, ia berhasil membuat Irfan meneguk minuman yang dibubuhi obat tidur setelah berpura-pura ingin membicarakan sesuatu dengannya.
Gadis itu membawa pria itu ke hotel dengan taksi kemudian menelepon Hasna ketika tengah malam tiba. Rencananya nyaris berhasil menghancurkan rumah tangga mereka. Membuat Hasna yang hamil besar, pergi dengan marah usai menyaksikan sang suami tertidur pulas di ranjang hotel dengan bertelanjang dada saat Santi membukakan pintu untuknya. Namun pada akhirnya, Santi menyadari bahwa ia tak akan pernah memiliki Irfan. Bahkan ketika sang istri mengalami kondisi seperti itu hingga bertahun-tahun, Irfan tetap tak pernah berpaling sedikit pun.
Santi sempat meminta maaf ketika telah menyadari kesalahannya belasan tahun lalu. Akan tetapi, kondisi Hasna yang tak merespon apa pun, membuat permintaan maaf itu sia-sia belaka. Santi pindah keluar kota tiga tahun berikutnya. Meminta Irfan untuk menghubungi jika kondisi Hasna membaik. Dan di sinilah dirinya kini. Bersimpuh di hadapan wanita yang pernah disakitinya di masa lalu.
***
“Menurut kamu, Rasky itu orangnya gimana?”
Rizki menghentikan gerakan tangan yang hendak menyuap makanan ke dalam mulut. Mengangkat wajah lalu mengembalikan sendok ke atas piring sambil tersenyum.
Rasky menyikut lengan Kania, memberi isyarat lewat mata atas ketidaksukaannya mendengar pertanyaan sang Mama pada Rizki. Untuk pertama kalinya protes setelah sebelumnya hanya diam mendengarkan berbagai pertanyaan Kania dan Oma Wijayanti semenjak gadis itu tiba. Oma Wijayanti senyum-senyum menggoda, sementara Ryan nampak tak peduli. Tetap tertunduk menikmati makan siang.
“Dia baik, tampan, dan lucu. Ya ... walaupun sedikit manja. Beruntung banget perempuan yang bisa mendapatkan hatinya.” Rizki melirik ke arah Ryan yang langsung mengangkat wajah menatapnya. Dengan cepat gadis itu menunduk. Seketika wajahnya kelihatan tersipu malu.
Rasky ternganga. Sedetik kemudian menelan ludah ketakutan.
Ada apa dengan Rizki? Kenapa dia kelihatan seolah-olah suka sama aku? Ini bukan Rizki yang biasanya.
Cowok itu mengalihkan tatapan pada sang papa. Wajahnya pucat seolah baru saja melihat hantu. Rasky kembali memandang Rizki. Menendang kaki gadis yang duduk di seberang. Namun, gadis itu tetap menunduk menikmati makanan seolah tak merasakan tendangan kaki Rasky.
Senyum Kania dan Oma Wijayanti semakin lebar. Keduanya berdehem. Melirik ke arah Rasky sekilas lalu kembali menekuri makanan masing-masing. Sama sekali tak menyadari perubahan raut wajah dua laki-laki di ruangan itu.
***
Irfan menatap Hasna dan Santi dari seberang jalan dengan senyum terkembang. Menyaksikan dua wanita itu tengah berbincang setelah akhirnya menyelesaikan masalah di antara mereka di masa lalu.
Butuh waktu lama untuk meyakinkan Hasna bahwa yang terjadi saat itu tak seperti yang dipikirkannya.
Berkali-kali Santi memohon hingga akhirnya Hasna percaya kemudian memaafkan wanita itu.
“Ini gorengannya, Pak.” Suara pedagang gorengan yang berdiri di sampingnya, membuyarkan lamunan Irfan. Ia bergegas mengambil dompet dalam saku celana dan menukar bungkusan berisi gorengan dengan selembar uang kertas.
Santi menggenggam erat tangan Hasna yang membalas genggamannya. “Saya benar-benar minta maaf, Mbak.”
“Sudahlah. Kamu sudah puluhan kali mengatakan itu.”
“Tapi kesalahan saya begitu besar, Mbak. Gara-gara saya, Mbak kehilangan putra dan belasan tahun waktu berharga yang seharusnya Mbak miliki.”
Hasna mengerutkan kening. “Apa maksudmu dengan kehilangan putra?”
“Kalau saja malam itu saya tak melakukan hal menjijikkan itu, mungkin Mbak tidak akan mengalami kecelakaan yang membuat anak laki-laki Mbak meninggal.”
Hasna tersentak. Kebingungan mendengar informasi yang tak masuk akal baginya. Tiba-tiba kelebatan bayangan dokter yang menyampaikan kematian salah seorang anak kembarnya muncul dalam benak. Ia menggeleng tak percaya.
“Anakku masih hidup, dia tidak mati ...,” ceracaunya dengan napas memburu serta gerakan bola mata liar.
Santi menatap Hasna khawatir. Memegang lengan Hasna dan mengguncangnya. “Mbak? Mbak kenapa?”
***
Rasky menepikan motor di pinggir jalan. Rizki mengernyit heran sebab tempat itu masih jauh dari rumahnya.
“Apa maksudmu bersikap kayak gitu?” tanya Rasky begitu keduanya turun dari motor.
Rizki membalas tatapan Rasky dengan ekspresi datar. Langsung mengerti arah pembicaraan cowok itu.
“Kenapa? Apa itu salah?” tanyanya tenang.
“Jelas saja salah! Kamu nggak tahu ‘kan kalau Mama ngarep banget kita jadian?” sembur Rasky.
“Aku tahu,” sambar Rizki cepat.
Rasky kaget. Semakin tak mengerti jalan pikiran gadis itu. “Lalu kenapa kamu ngelakuin hal itu?” geramnya. “Kamu tuh sudah ngasih harapan palsu sama Mama.”
Rizki tertawa sumbang. “Bukannya kamu dan Papamu juga ngelakuin hal yang sama? Aku cuma mengikuti permainan kalian dan membuatnya jadi lebih meyakinkan.”
Rasky tertegun. Tak mampu membantah kebenaran yang diungkapkan kembarannya. Sejenak keheningan melingkupi hingga handphone Rizki berbunyi.
Gadis itu merogoh saku rok. Menekan tombol jawab tanpa mengalihkan tatapan dari Rasky yang masih mematung. Ia meletakkan ponsel ke telinga dan menjawab salam dari seberang. Raut wajah Rizki seketika berubah khawatir setelah mendengar kabar dari lawan bicaranya di telepon. “Apa? Ibu pingsan? Sekarang di mana?”
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices