
by Titikoma

12. Epilog
Enam belas tahun yang lalu ....
Ryan memeluk erat mayat bayi dalam pelukannya dan melangkah ke luar ruangan operasi dengan tatapan kosong. Dua orang suster yang ditugaskan Rafi—yang belum selesai menangani Kania—untuk mengikuti pria itu, berjalan di belakangnya tanpa berani bicara. Ryan merasa dunianya runtuh. Sesaat setelah selesai membantu kelahiran bayi kembar melalui operasi caesar, ia mendapat kabar jika istrinya yang tengah hamil tua, jatuh di kamar mandi dan harus segera dibawa ke rumah sakit.
Ia bergegas masuk begitu mengetahui sang istri sedang menjalani operasi di ruang sebelah. Tertegun ketika mendapati kenyataan kalau di saat bersamaan, sang istri harus kehilangan rahim juga bayi yang dinanti-nanti selama empat tahun.
Ia pun bingung. Tak tahu bagaimana harus menjelaskan hal tersebut pada sang mama yang waktu itu tengah berada di luar negeri menemani suaminya berobat. Mamanya begitu over protektif pada bayi yang dikandung Kania. Ia mewanti-wanti semua orang untuk menjaganya dengan ketat supaya tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Bagi Ryan, bayi itu adalah satu-satunya harapan agar Kania bisa sepenuhnya diterima keluarganya—yang sebelum kehamilan, sama sekali tak diakui sebagai menantu.
Seorang pria berkulit coklat menghampiri Ryan dengan langkah terseret begitu dokter itu melewati pintu keluar ruang operasi. Mengabaikan rasa sakit pada luka di kepala dan kakinya yang diperban.
“Bagaimana keadaan istri dan bayi saya, Dok?” Pria berkulit coklat yang tak lain adalah Irfan itu bertanya panik. Ryan bergeming. Menatap bayi yang terpejam dalam gendongannya. Irfan mengikuti pandangan Ryan. “Dia ....”
“Sudah meninggal,” gumam Ryan tanpa sadar.
Irfan terkesiap. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun ....” Tubuhnya mendadak limbung namun ia berusaha keras agar tak terjatuh. Ia menguatkan diri kemudian meminta izin pada sang dokter untuk menggendong bayi itu. Dengan linglung Ryan menyerahkan bayinya.
“Anakku .... Maafkan Ayah, Nak!” Irfan menangis sembari menciumi bayi dalam dekapannya.
Ryan tersentak. Sepenuhnya sadar dari kelinglungan. Melihat yang terjadi di hadapan, ia seakan menemukan jalan keluar dari kebuntuan yang sempat mendera. Ryan menatap nanar bayi dalam dekapan Irfan. Mengucapkan kata-kata yang sama dengan pria itu dalam hati.
***
Beberapa jam sebelumnya ....
Seorang gadis berambut setengkuk melajukan mobil kencang. Menembus kesunyian jalanan malam dengan air mata yang mengaburkan pandangan. Kehilangan orang tua secara mendadak dalam kecelakaan pesawat, membuatnya hancur. Ia tak bisa menerima kenyataan pahit yang harus dialaminya di usia muda.
Setelah menyaksikan mayat orang tua yang baru saja tiba, dengan kalap, gadis bernama Fajri itu berlari keluar lalu melajukan mobilnya tanpa tujuan. Mengabaikan panggilan sang paman dan orang-orang yang bergegas mengikuti dengan kendaraan masing-masing. Fajri teriak semakin keras. Menyembunyikan wajah di atas kedua tangan yang terlipat di atas setir dalam mobil yang masih melaju kencang.
Mobil yang dikendarainya berzig-zag membelah jalanan. Tak lama kemudian, ia mengangkat wajah tatkala mendengar suara klakson dari arah depan. Gadis itu terkesiap melihat cahaya lampu dari sebuah truk mendekat.
Refleks ia menginjak rem dan tangannya membanting setir ke trotoar di sebelah kiri mobil sambil mengernyit dan nyaris terpejam menghindari cahaya menyilaukan mata.
Brak! Benturan keras menghentikan laju mobil Fajri. Perlahan gadis itu mengangkat kepala yang sempat terbentur dan jatuh menimpa setir. Ternganga dengan tubuh bergetar hebat menyaksikan dua orang tergeletak berlumuran darah tak jauh dari mobilnya.
Dan dari sinilah kisah ini dimulai ....
Finally, Ending is the Beginning.