Ablasa

Reads
160
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

5. Astral Projection

Samuel.
“Rebeca!” Aku berlari menuju sesosok tubuh yang tergeletak di buritan kapal. Kuperiksa denyut nadi dan napasnya. Nihil. Perempuan paruh baya itu telah meninggal.
“Samuel, kemarilah!” Pamela yang juga ikut turun ke geladak memanggilku dengan wajah panik. Meski remang—karena pencahayaan hanya dari sesuatu di balik kabut—aku masih bisa melihat ekspresi Pamela. Apalagi jarak kami tak terlalu jauh. Ia berdiri di depan sebuah pintu ruang mesin yang terbuka. Wajahnya pucat.
“Ada apa?” Aku arahkan pandangan ke arah yang sama. Samar-samar, di antara tumpukan mayat-mayat penumpang yang tak keruan, kami menemukan tubuh laki-laki berambut ikal, Aksa. Tubuh Aksa tak kalah mengenaskan.
“Siapa yang melakukan semua ini?” gumamku.
Pamela bergerak dua langkah dari posisi semula. “Sepertinya benar apa yang dikatakan Airin. Ini semua adalah ulah makhluk gaib. Kutukan atau semacamnya.” Ia berujar.
“Kalaupun benar, lalu apa yang diinginkan mahkluk ini?”
“Aku juga tak tahu.”
Kami berdua masih diliputi berbagai macam pertanyaan yang mengawang.
“Kenapa Hans belum juga kembali,” ujar Pamela sembari memandang tubuh kapal berukuran besar yang menjulang di depan kami. “Semoga di sana tidak terjadi hal-hal aneh.”
“Apa aku perlu menyusul mereka?” tawarku.
Tanpa berpikir, Pamela berujar, “Tidak perlu. Di sini kehadiranmu jauh lebih diperlukan untuk menjaga keselamatanku dan penumpang wanita yang lain. Apalagi kau lihat sendiri, kan, kondisi Aksa saat ini. Jelas ada yang tengah mengincar kita.”
Aku mengangguk. Perkataan Pamela jelas ada benarnya.
Pamela berjalan mendekat ke arah badan kapal pengangkut kontainer yang kami tabrak. Meletakkan kedua telapak tangannya di sekitar bibir—membentuk semacam toa—ia lantas berteriak.
“Hans, apa kau bisa mendengarku?!”
Anehnya, suara gadis itu bahkan seperti tidak mampu menembus jarak yang tidak terlalu jauh ini. Kapal Pengayoman dan kapal besar pengangkut kontainer di depan kami ini seperti dipisahkan oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Seperti dugaanku, tak ada jawaban.
Baru saja Pamela hendak berteriak untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah bunyi yang cukup kencang yang berasal dari arah lambung kapal. Kapal Pengayoman yang kami naiki mendadak oleng. Sepertinya bunyi tadi adalah bunyi lambung kapal yang bocor akibat benturan kecelakaan sebelumnya. Retakan akibat benturan tadi sepertinya tak lagi mampu menahan tekanan air.
“Sepertinya kita harus menyelamatkan diri. Kita harus segera pindah ke atas sana sebab kapal ini bisa tenggelam kapan saja,” usulku seraya menunjuk ke arah bangkai kapal besar di depan kami. “Kau tunggulah di sini. Aku akan memanggil Airin dan Nindya di atas,” lanjutku.
Tanpa menunggu waktu, aku berlari sekuat yang aku mampu kembali ke ruang kemudi. Anak tangga kudaki dengan terburu. Setibanya di ruang kemudi, kulihat Nindya sedang mengguncang-guncang tubuh Airin.
“Ada apa dengan Airin?” tanyaku.
“Entahlah. Sepertinya ia pingsan. Sejak tadi aku sudah berusaha membangunkannya tapi ia tak kunjung sadar.”
“Kita harus segera meninggalkan kapal ini. Sebentar lagi kapal ini akan tenggelam. Kita akan mendaki ke kapal pengangkut kontainer di depan.” Aku mencoba menjelaskan situasi. Terdengar suara bagian kapal yang berderit disusul posisi kapal yang oleng tak beraturan.
“Lalu Airin?” Nindya tampak kebingungan. Ia mencoba membenahi posisi kacamatanya yang kendur.
“Aku akan menggendongnya.”
Aku lalu meminta bantuan Nindya untuk memposisikan tubuh Airin di belakang punggungku dan menggendongnya sesegera mungkin.
“Apa kapal ini tidak menyediakan jaket pelampung?” Nindya bertanya ketika kami mulai menuruni anak tangga menuju geladak.
“Entahlah. Sejak tadi aku tidak menemukan satu pun jaket pelampung di kapal ini. Tempat penyimpanannya bahkan kosong.”
Sesampainya di geladak, aku melihat Pamela sudah mulai memanjat ke atas kapal melalui rantai jangkar yang menggantung. Susah payah ia mendaki. Satu demi satu anak rantai ia raih. Sungguh, saat itu aku semakin yakin kalau Pamela adalah sosok perempuan yang kuat dan tangguh.
Kapal semakin oleng, sudah lebih dari setengah lambung kapal yang terisi air. Pamela baru saja tiba di atas. Selanjutnya giliranku. Setelah mengikat tubuh Airin di punggung dengan sweater milikku, aku mulai mendaki. Membawa beban dua kali lipat rasanya berat sekali. Apalagi melintasi medan yang bisa dikatakan tidak mudah seperti ini. Beruntung, bobot tubuh Airin yang kurus tak terlalu berat. Hobiku berolahraga dan rutin ke gym sedikit banyak cukup membantu di situasi seperti ini.
Sudah separuh perjalanan. Kulihat di bawah Nindya masih tampak ragu-ragu untuk menyusul, sedang sebentar lagi Kapal Pengayoman akan benar-benar tenggelam. Barang-barang, mobil, motor dan segala muatan di dalam kapal sudah bergemuruh. Bergeser dari posisinya yang semula, lantaran kondisi kapal yang miring, sudah tak lagi seimbang dan labil.
“Ayolah. Kamu pasti bisa, Nindya.” Aku menyemangatinya.
Sedang dari atas kapal pengangkut kontainer, Pamela yang sudah tiba tak hentinya menyemangati kami untuk segera menyusulnya.
Tinggal satu tarikan terakhir aku akan tiba di atas. Sementara jauh di bawahku, Nindya baru saja mulai meniti rantai kapal yang dipenuhi karat itu. Kulihat wajah gadis berkacamata itu pucat. Tangannya gemetaran. Latar belakangnya sebagai wartawan tentu tak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kemampuannya untuk memanjat.
Sekali lagi Pamela memberikan support. “Nindya, berjuanglah.”
Namun nahas, tiba-tiba saja cengkeraman tangan Nindya terlepas. Sepertinya ia sudah kehabisan tenaga.
Byuuur!
Tubuh Nindya jatuh ke dalam air dan menghilang bersama dengan badan Kapal Pengayoman yang tenggelam ditelan Segara Anakan. Kami masih mencoba mencari tanda-tanda keberadaan gadis berkacamata itu, namun setelah beberapa saat sosoknya tak kunjung muncul. Aku takut tubuh Nindya terseret dan tersedot arus yang dihasilkan akibat tenggelamnya kapal. Benar saja, wartawan surat kabar lokal itu tak lagi tampak.
Pamela terduduk lemah. Ia menyandarkan tubuhnya pada tepian dinding kapal yang berkarat. Begitu juga aku dan tubuh lemah Airin yang sedari tadi berada dalam gendongan di punggungku. Kami berdua menghirup napas panjang, iramanya terdengar bergantian. Pemandangan jajaran kontainer di hadapan kami tak lebih baik dari kesuraman. Aroma apak bercampur karat besi menguar terbawa angin yang menuju indera penciumanku. Situasi seperti ini sama sekali tak memperbaiki keadaan.
Dengan pencahayaan yang remang-remang aku tak dapat menangkap dengan jelas apa saja yang ada di hadapanku. Namun, di satu sisi, mataku kemudian berfokus dan tertuju. Meski samar, namun aku bisa melihat sesosok tubuh yang tergeletak di lantai.
“Pamela, lihat di sana ....” Kuacungkan jari telunjuk ke arah yang kumaksud.
Tanpa memikirkan berbagai kemungkinan, atau juga bahaya, Pamela malah segera menegakkan tubuhnya dan lantas menghampiri tubuh tadi. Semakin dekat, langkah gadis berambut sebahu itu semakin melambat.
Mematung beberapa detik, Pamela lalu menjatuhkan tubuhnya.
“Hans, bangunlah. Ini aku.” Pamela terisak.
Aku yang baru saja selesai melepaskan ikatan tubuh Airin menghampirinya. Kulihat Pamela berusaha menghapus aliran darah yang sudah mulai mengering di pelipis tunangannya itu. Kuraba denyut nadi di leher dan pergelangan tangan Hans. Masih ada. Lelaki ini masih hidup, pikirku.
“Hans hanya pingsan.” Aku mencoba menenangkan Pamela.
Namun begitu aku melirik ke arah yang tak jauh dari kami, aku nyaris muntah. Perutku mendadak mual. Di sana, tergeletak tubuh Kun yang tak lagi utuh. Badannya tercerabik, ususnya terburai, sedang ekspresi wajahnya sungguh menakutkan: mata terbelalak dengan rongga mulut yang sobek dan menganga dengan lebarnya.
Pamela yang menyadari apa yang kulihat, seketika berteriak histeris.
***
Airin.
Ruang gelap yang kutempati saat ini berguncang hebat. Terdengar riuh teriakan suara wanita dan bocah-bocah. Juga aroma udara yang pengap. Aku tak tahu saat ini aku ada di mana.
“Kita akan dijual. Kita akan dijual.”
“Bukan! Kita akan dibunuh.”
Hanya suara-suara ketakutan di sela isak tangis yang kemudian bersahut-sahutan di tengah kegelapan yang mencekam.
Sesaat kemudian terdengar bunyi berderit yang sangat keras. Secercah cahaya masuk dari salah satu sisi yang rupanya adalah pintu ruangan yang kami tempati. Saat itulah aku mencoba mengamati keadaan sekitar, tampak ruangan ini dipenuhi para perempuan dan anak-anak dengan wajah kusut. Mata mereka sembab. Beberapa wanita malah sudah menggigil ketakutan di sudut ruangan dan saling berpelukan. Segalanya serba asing. Sepertinya kami tengah berada di dalam sebuah ruangan besi.
Di mana aku? batinku bergejolak. Bukankah yang terakhir kali aku ingat, aku sedang bersama Nindya di ruang kemudi Kapal Pengayoman. Lalu bagaimana caranya aku berada di tempat ini?
Empat orang lelaki berbadan tegap dan wajah sangar berdiri di depan pintu besi yang sekarang terbuka. Salah satu di antaranya, yang bisa kunilai sebagai bos, berujar dalam bahasa asing tak sama sekali tak kumengerti. Dari perawakannya, sepertinya ia bukanlah orang lokal.
Masih dalam bahasa asing, lelaki tadi sepertinya menyuruh salah satu temannya untuk membawa seseorang di antara kami. Perempuan hitam manis dengan rambut ikal sepinggang yang menjadi sasarannya. Tubuhnya yang kurus tak cukup kuat untuk melawan lelaki bertubuh kekar itu. Ia hanya bisa berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Sampai di luar ruangan yang sepertinya adalah sebuah kontainer, tiga orang laki-laki yang juga berambut cepak menarik paksa si perempuan berambut ikal tadi. Sedang satu orang lelaki yang tersisa, diperintahkan oleh sosok yang sepertinya bos tadi untuk menjaga kami di depan satu-satunya pintu yang tampaknya sengaja dibiarkan terbuka.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi pada kita?” Aku memberanikan diri bertanya pada salah satu perempuan di antara kami.
“Entahlah. Barangkali mereka akan membunuh kita semua. Bukankah satu per satu dari kita yang dikeluarkan dari ruangan ini tak ada satu pun yang kembali?” Tatapan perempuan itu mengawang kosong. Sesekali ia menengadah ke langit-langit sebelum kemudian menunduk dalam.
“Para penculik itu tak pernah mengatakan apa mau mereka. Jika mereka hendak meminta tebusan, sepertinya mereka salah orang. Aku bukanlah anak orang kaya. Ayahku hanya seorang buruh harian lepas.” Seorang gadis muda berambut panjang ikut bersuara. Meski kulitnya ditutupi gumpalan debu barwarna gelap, namun aku tahu bahwa sesungguhnya kulitnya kuning langsat dan mulus.
Aku masih bingung dengan keadaan. Kepalaku terus berpikir bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Lalu ke manakah Nindya, Samuel, Pamela dan yang lain. Apa mereka semua selamat dari kapal terkutuk itu?
Aku mencoba memejamkan mata, mencoba membaca aura yang ada di tempat asing ini. Kedua tangan kukepalkan. Segala tenagaku telah berpusat, namun nyatanya aku tak bisa merasakan apa-apa. Segalanya semakin aneh bagiku.
“Kau bukan berasal dari tempat ini, Nak.” Seorang wanita tua yang meringkuk tak jauh dariku berujar, entah kepada siapa. Sebab ia sama sekali tak mengangkat kepalanya yang menunduk atau pun memandang siapa pun. Satu-satunya yang ia lakukan saat itu hanya menenggelamkan kepalanya di atas lutut yang sengaja ia lipat.
“Kau bukan berasal dari sini,” katanya lagi. Tapi kali ini ia tiba-tiba menatap tajam ke arahku. Wajahnya dipenuhi kemarahan. Namun entah mengapa bagiku wajahnya itu tak terlalu asing.
“Anda bicara kepada saya?” Alisku terangkat sebelah.
“Tolong keluarkan kami semua dari sini! Hanya kau yang bisa melakukannya.” Mendadak wanita tua yang sebagian rambutnya telah ditumbuhi uban itu mencengkeram kerah bajuku dengan gemetar. Ia juga mengguncang-guncang tubuhku kuat. Seperti benar-benar mengharapkanku bisa mengeluarkannya dari tempat pengap ini. Tapi, apalah dayaku. Aku hanyalah perempuan berbadan kurus yang untuk berkelahi saja tak mampu. Apalagi jika harus melawan salah satu dari lelaki berbadan kekar tadi.
Dadaku sesak. Udara di dalam paru-paruku seperti kekurangan oksigen. “Apa maksud Anda. Saya sendiri bahkan tidak tahu bagaimana caranya saya bisa berada di tempat ini,” ujarku dengan nada tertahan akibat cengkeraman pada kerah bajuku yang kurasakan semakin kuat.
“Perjalanan waktu. Roh yang terlempar ke masa lalu.” Wanita tua ini kehilangan kendali tubuhnya. Badannya gemetar. Ia meracau tak jelas. Mulutnya lantas mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tak kumengerti. Lalu di detik berikutnya ia meraung-raung kencang sembari menarik rambutnya yang sebagian telah dipenuhi uban.
Lelaki berotot yang sejak tadi menjaga pintu depan terdengar berteriak memanggil temannya. Lantas ia menghampiri wanita tua di depanku yang menggeliat makin jadi. Bocah-bocah di dalam ruangan besi berudara pengap ini kembali menangis. Terisak-isak. Mereka memeluk tubuh ibunya erat. Sedang, perempuan-perempuan yang berada dekat dengan aku dan wanita yang kini tengah mengalami kejang itu pun bergeser menjauh.
Lelaki bercodet di pipi menarik paksa si perempuan tua yang tengah kuanggap terserang epilepsi itu keluar. Sedang seorang temannya lagi yang baru saja tiba, ikut-ikutan menggiringku keluar.
“Kalian mau apa?” pekikku mencoba berontak dan menahan langkah.
Bukannya jawaban yang kudapatkan, melainkan sebuah tamparan keras yang malah mendarat di pipiku.
PLAK!
Aku meringis. Kurasakan pipiku panas, juga pedih. Aku yakin bekas tangan lelaki bertubuh kekar yang kini menatapku tajam ini akan meninggalkan jejak. Belum lagi di sudut bibir kurasakan sensasi asin yang menjalar. Aku tahu saat ini sudut bibirku pastilah berdarah.
“Ayo, cepat bawa dia ke atas. Kita akan segera mengeksekusinya,” perintah lelaki bercodet pada rekannya yang kini dengan seenaknya mencengkeram leherku. Dan aku tak lagi berani memberontak. Aku pasrah.
Setibanya di luar, mereka menutup rapat kembali pintu kontainer tempat semula aku disekap agar tak ada yang bisa kabur dari sana. Aku lalu langsung disambut pemandangan yang tak biasa. Benar dugaanku, ternyata sejak tadi aku berada di dalam salah satu kontainer yang juga sedang di atas kapal yang berlayar. Pantas saja beberapa kali sempat kurasakan tubuhku oleng tidak teratur. Barangkali saat itu ombak besar sedang menghantam kapal ini.
Ada puluhan atau bahkan ratusan kontainer yang saling bertumpuk di atas kapal. Suara teriakan samar-samar terdengar dari dalam kotak besi kontainer lain yang terkunci rapat di dekatku. Kapal apa ini sebenarnya?
Aku mau tidak mau mengikuti langkah demi langkah lelaki tegap dan kekar yang mengiring di depan dan di belakangku. Wajah mereka sungguh tidak bersahabat. Sepertinya, seumur hidup bisa dihitung menggunakan jari berapa kali mereka pernah tersenyum. Seperti mampu membaca pikiranku, salah satu dari mereka menoleh dan menatap dengan pandangan mengintimidasi. Otomatis aku membuang muka.
Kami tiba di sisi kanan badan kapal. Puluhan anak tangga yang menuju ke lantai atas menyambut kami. Aku masih tak tahu apa yang akan mereka lakukan padaku dan wanita tua yang sesaat lalu sudah tak sadarkan diri akibat pukulan kuat si lelaki bercodet tepat di tengkuknya lantaran tak sedikit pun mau diajak kompromi. Jelas saja, toh, ia tadi tengah mengalami epilepsi. Otot-ototnya jelas tak bisa dikontrol dan dikendalikan dengan mudah. Namun lama-kelamaan aku merasa wanita itu lebih mirip kesurupan ketimbang terserang epilepsi.
Hanya diam di depan anak tangga membuatku sekali lagi menerima hadiah bentakan. “Cepat naik! Atau kuhajar kau!”
Lagi-lagi aku hanya bisa menurut. Menapaki satu per satu anak tangga hanya membikinku terus bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kulihat di depanku si codet sudah membopong tubuh wanita tua yang tak sadarkan diri akibat pukulan kerasnya. Tampaknya, bagi lelaki kekar itu, bobot tubuh wanita itu tak ada apa-apanya meski kini kami dalam posisi mendaki anak tangga.
Menyusuri lorong-lorong kapal yang temaram, aku beberapa kali terseok. Sebab, di lantai dua ini, mataku terus saja menyapu seluruh ruangan: beberapa awak kapal yang lalu lalang, ruang kemudi di bagian kiri depan, deretan bangku penumpang yang terbuka, lalu di belakang terdapat beberapa ruangan-ruangan dengan pintu tertutup. Kami menuju ruangan yang berada di paling ujung belakang.
Baru saja kami hendak masuk ke ruangan tersebut, seseorang menyeret sesuatu di dalam buntalan kantong plastik sampah berukuran besar. Tidak hanya satu, melainkan ia langsung menyeret tiga buah kantong sekaligus. Suara gesekan plastik dengan permukaan lantai memenuhi ruangan itu.
“Mau membuang bangkai itu lagi?” tanya si lelaki bercodet ketika ia berpapasan dengan orang yang tengah menyeret kantong plastik tadi yang hanya dijawab sebuah anggukan.
Bangkai?
Belum selesai aku bertanya-tanya dalam hati, seketika aku dikagetkan oleh pemandangan di dalam ruangan yang kami tuju itu. Ada banyak sekali genangan cairan merah kental di lantai. Memercik di sana-sini. Aromanya juga anyir. Dalam sekejap aku bisa menebak kalau cairan merah tadi tak lain adalah darah. Sial, aku mendadak mual.
Di atas meja besar—seperti meja operasi—terdapat sesosok mayat perempuan bugil dengan isi perut yang terbuka. Aku mengenalinya, ia adalah gadis berambut ikal yang dibawa keluar pertama dari dalam kontainer beberapa waktu lalu. Tampangnya sungguh mengenaskan.
“Apa yang kau lakukan padanya!” pekikku. Mendadak lututku terasa lemah. Otot dan persendianku seperti tak mampu lagi menopang bobot tubuhku sendiri.
Tersenyum sinis, lelaki bercodet berujar dengan santainya. “Jangan banyak tanya. Sebentar lagi kau juga akan mengalaminya.”
Aku? Mengalaminya? Mataku terbelalak. Apa mereka benar-benar akan membunuhku?
Memikirkannya hanya malah membikin bulu kudukku merinding ngeri.
Aku mencoba berbalik ke arah pintu, hendak kabur. Namun rekan lelaki bercodet berhasil mencengkeram bahu dan pergelangan tanganku. Aku berontak, mulutku terus berteriak minta tolong.
“Bodoh, tak akan ada yang mendengar teriakanmu. Apalagi datang menolongmu. Kita sekarang sedang berlayar di tengah laut. Tak ada siapa-siapa yang akan membantumu.” Si codet tersenyum licik. Lalu beberapa detik kemudian kurasakan sensasi tusukan sesuatu yang tajam ke bahuku. Sepucuk jarum suntik menancap di sana. Cairan di dalamnya telah mengalir di dalam tubuhku. Tubuhku semakin lemas. Lalu pandanganku mendadak kabur dan gelap total seketika.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices