Ada Apa Dengan Rasi

Reads
191
Votes
0
Parts
16
Vote
by Titikoma

11. Mama Datang

 Ustaz Faruq meminta Rasi dan Septa menyimpan pembicaraan mereka kemarin sebagai sebuah rahasia. Sampai ada bukti atau saksi yang menguatkan dugaan mereka, Rasi dan Septa tidak boleh sampai keceplosan.
Gara-gara Septa keceplosan tentang insiden sandal beberapa hari lalu, Rasi jadi menerima akibatnya. Karena Ustaz Faruq terus memaksa, maka Septa menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ustaz Faruq lalu memberinya hukuman untuk membersihkan seluruh asrama selama sisa waktu tinggal Rasi di sini.
Apa mau dikata, meski dengan terpaksa, Rasi tetap menjalani hukumannya. Semua orang tahu gadis itu sedang menjalani hukuman, tetapi mereka mengira hukuman itu adalah untuk kesalahan mencuri yang dilakukan Rasi. Hal itu membuat Rasi semakin dijauhi dan dipandang remeh.
Meski sedih, tapi Rasi tak bisa berbuat apa-apa. Memang butuh waktu untuk membangun sebuah kepercayaan. Apa yang dituduhkan padanya kali ini benar-benar sudah merusak kepercayaan semua orang.
Septa menghampiri Rasi yang sedang menyapu halaman asrama, dengan tergopoh-gopoh. Rasi mengernyitkan keningnya, merasa apa yang akan disampaikan Mbak Septa kali ini adalah sesuatu yang sangat penting.
“Rasi, Rasi!” seru Septa sembari setengah berlari. “Mamamu datang, mamamu datang!” Tidak biasanya Septa mengulang-ulang kalimat yang diucapkannya. Apa tadi dia bilang? Mama datang? Rasi mengulang dalam hati.
“Mamamu datang, Ras. Sekarang lagi di ruangan Ustaz Faruq. Tadi Ustaz Faruq memintaku untuk memanggilmu sementara beliau mengajak mamamu bicara.”
Rasi menelan ludah. Ustaz Faruq akan membicarakan apa? Apa tentang kasus yang menimpanya baru-baru ini? Kasus pencurian yang tidak dilakukannya. Atau… jangan-jangan Ustaz Faruq akan membicarakan curhatan panjangnya kemarin?
***
Malam kemarin, Rasi tepergok sedang bengong di depan kamarnya. Buku ensiklopedia astronomi miliknya berada di pangkuan. Kepalanya menengadah, menatap langit hitam yang seperti diperciki titik-titik emas di sana-sini. Di kota ini, Rasi bisa melihat gugusan bintang favoritnya—Andromeda—dengan lebih leluasa dibanding ketika masih di Surabaya.
“Rasi? Kok belum tidur?”
Rasi terkaget-kaget ketika melihat Ustaz Faruq berdiri menjulang di hadapannya. Tanpa sadar tangannya mengeratkan buku di pangkuan hingga menyentuh dada. Bukan hanya kehadiran Ustaz Faruq yang membuatnya terkejut, tapi juga gerakan yang dilakukan gurunya itu setelah menegur. Ustaz Faruq duduk di sebelah Rasi, melongok ke arah benda yang sedang didekap Rasi, lalu tersenyum.
“Kamu suka bintang?” tanya Ustaz Faruq, kembali mengagetkan Rasi.
“Astronomi lebih tepatnya, Taz.” Rasi menggigit bibir bawahnya takut-takut.
“Ini pasti buku kesayanganmu ya?” tanya Ustaz Faruq sembari meraih buku yang didekap Rasi. Gadis itu hanya bisa pasrah melihat bukunya diambil karena memang tak sempat mencegah.
Rasi melihat Ustaz Faruq membuka-buka ensiklopedia di tangannya dan membaca isinya sekilas. “Ini… hadiah dari Ayah waktu ulang tahun kedelapan,” ujar Rasi lirih. Entah kenapa dia merasa ingin mengutarakan fakta itu.
Ustaz Faruq kembali tersenyum. Tangannya mengelus kepala Rasi hingga ke bagian belakang. “Kadang, kita harus mengatakan apa yang kita rasakan pada orang lain. Orang nggak akan tahu gimana perasaan kita kalau kita diam aja. Mungkin kamu sudah puas dan lega hanya dengan melihat bintang saat sedang ada masalah, tapi orang nggak akan tahu sampai kamu mengatakan perasaanmu pada mereka.”
Rasi mengernyit tak mengerti. Kalimat gurunya itu terlalu panjang untuk bisa dimengerti anak seusianya.
“Ustaz perhatikan, sejak pertama kamu masuk ke pondok, ada yang membuatmu nggak nyaman. Apa fasilitas di sini yang membuatmu nggak nyaman?”
Kali ini kepala Rasi menggeleng pelan.
“Terus?”
Rasi menggigit bibirnya lagi. “Ustaz, Rasi boleh tanya sesuatu?”
“Tentu, Rasi. Tanyakan apa yang pengin kamu tanyakan. Bukankah sudah menjadi tugas guru untuk menjawab setiap pertanyaan muridnya?” Ustaz Faruq tersenyum lagi.
“Apa Allah akan marah kalau Rasi durhaka sama Mama dan Ayah?”
Ustaz Faruq manggut-manggut. “Tentu saja, Sayang. Allah sangat nggak suka sama anak yang durhaka sama kedua orangtuanya.”
Rasi menunduk, memainkan kakinya di atas tanah, membentuk garis-garis tak beraturan. Hatinya tengah menata kata-kata untuk dia ungkapkan pada Ustaz Faruq.
“Ada apa, Rasi?”
“Mungkin nggak sih, Taz, kalau orangtua yang durhaka sama anak?”
Ustaz Faruq seolah terperenyak. Apa maksud Rasi menanyakan hal itu? Apa yang saat ini tengah disimpan Rasi di dalam benaknya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memenuhi kepala Ustaz Faruq.
“Kalau orangtua ngebuang anaknya, apa itu nggak bisa disebut durhaka sama anak, Taz?” Rasi kembali bertanya. “Soalnya Rasi ngerasa, Mama sama Ayah udah ngebuang Rasi dengan mengirim Rasi ke sini.”
Hati Ustaz Faruq mencelus. Mulai ada titik terang dari semua pertanyaannya di dalam kepalanya tadi. Waktu pertama kali Rasi datang, beliau sempat mengobrol dengan mama Rasi. Wanita itu masih muda dan memiliki karier yang cemerlang. Saat Ustaz Faruq bertanya di mana ayah Rasi, Bu Lusi—mama Rasi—mengatakan kalau mereka sudah berpisah rumah dan sedang dalam proses perceraian bercerai. Tidak ada nada menyesal atau sedih ketika mengatakannya.
Sekarang, Rasi berkata kalau orangtuanya sudah membuang dirinya. Itu artinya, selama proses perpisahan itu kedua orangtua Rasi tidak memikirkan kondisi putrinya sama sekali. Tiba-tiba, Ustaz Faruq merasa ada sesuatu yang menghantam dadanya. Anak sekecil ini, sampai merasa sudah dibuang oleh kedua orangtuanya.
“Rasi, Ustaz yakin waktu Mama kamu membawa kamu ke sini, bukan maksud beliau untuk membuang. Beliau ingin Rasi jadi anak baik, yang nurut sama orangtua, nggak jail, biar bisa lebih dekat sama Allah. Rasi tahu nggak, kalau kita bisa lebih dekat sama Allah, insya Allah kita akan selalu disayang nggak cuma sama manusia tapi juga sama Allah.”
“Rasi selalu dekat sama Allah, Taz. Rasi nggak pernah ninggalin shalat, ngaji, dan Rasi juga nggak pernah lakuin apa yang Allah benci. Tapi kenapa Rasi nggak disayang sama Mama, Ayah, temen-temen?”
Tangan Ustaz Faruq kembali terangkat untuk mengelus kepala Rasi. Membuat anak itu merasakan kasih sayang yang selama ini dirasakannya memudar dari orangtuanya.
“Taz, kalau Mama sama Ayah sayang sama Rasi, pasti kan mereka nggak akan ninggalin Rasi.” Rasi menunduk, tangannya mengusap-usap pipi, Ustaz Faruq tak menyadari ada air mata yang tertumpah di atas pipi itu.
“Maksud kamu apa, Rasi? Orangtua nggak mungkin akan meninggalkan anaknya apa pun yang terjadi.”
“Tapi orangtuaku melakukannya, Taz.” Rasi menoleh cepat ke arah Ustaz Faruq, barulah saat itu gurunya tahu kalau gadis itu sedang menahan tangis. “Mereka berpisah. Ayah pergi dari rumah. Mama juga malah ngirim aku ke sini. Enggak ada yang sayang sama aku, Taz. Nggak ada yang mau peduli sama aku.”
Ustaz Faruq hanya melihat saat Rasi berusaha menghentikan tangis yang menjeda ceritanya. Kelihatannya, gadis kecil itu masih ingin mencurahkan isi hatinya. Oleh karena itu, Ustaz Faruq memilih menunggu tanpa mengatakan apa pun.
“Dulu, Mama sama Ayah nggak kayak gini, Taz. Mereka sayang sama aku, selalu dengerin semua cerita aku, keluh kesah aku. Dulu mereka nggak nganggap hobi astronomiku sebagai hal yang aneh, mereka malah beliin barang-barang yang berhubungan dengan hobiku itu.
Tapi sekarang, kata mereka, melihat bintang itu sama kayak terlalu tinggi berharap. Dan katanya kalau terlalu tinggi berharap kita bisa kecewa. Emangnya salah ya, Taz kalau kita punya harapan yang tinggi?”
Ustaz Faruq menggeleng sembari tersenyum. “Enggak salah, Rasi. Sama sekali enggak salah. Tapi, orangtua kamu juga nggak salah. Kadang memang ada beberapa hal yang membuat kita kecewa saat menggantungkan harapan terlalu tinggi.”
Rasi tertegun, tak begitu mengerti arah pembicaraan Ustaz Faruq. Namun, senyum di wajah Ustaz Faruq yang kembali terurai membuatnya kembali menelan pertanyaan yang sudah siap terlontar.
“Simpan aja kata-kata Ustaz barusan, suatu saat kalau kamu udah dewasa, pasti kamu akan ngerti apa artinya.” Ustaz Faruq mengembalikan ensiklopedia milik Rasi yang masih dipegangnya. “Gantungkan harapannya sama Allah, maka kamu nggak akan pernah dikecewakan oleh-Nya.”
Ustaz Faruq berdiri dan beranjak. Beliau kembali menoleh ke arah Rasi pada langkah ketiganya. “Jangan tidur malam-malam. Ingat, besok harus bangun pagi buat shalat Subuh berjemaah di masjid.”
Rasi hanya tersenyum menanggapi pesan dari gurunya itu. Setelah Ustaz Faruq berlalu, Rasi merenung cukup lama. Tentang kata-kata Ustaz Faruq tadi. Benarkah selama ini dirinya berlebihan dalam meminta perhatian? Dia hanya ingin orangtuanya kembali bersama, itu saja.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices