Kuntilanak Gaul

Reads
178
Votes
0
Parts
16
Vote
by Titikoma

3. Kematian Reisha

Mobil Reisha telah memasuki halaman rumah Edward. Dia melajukan mobilnya perlahan untuk mencari tempat parkir yang kosong, tiba-tiba matanya menyipit ketika melihat dua sosok manusia yang tengah asyik berciuman di sudut taman. Beberapa detik kemudian tubuhnya mengejang begitu dia mengenali sosok mereka. Wajahnya langsung pucat, sesuatu yang selama ini tidak pernah terpikirkan dalam benaknya meski hanya dalam mimpi. Dua orang yang tengah asyik bercumbu itu tidak lain adalah Edward, kekasihnya dan Lidya, sahabatnya sendiri.
Bruuumm... langsung saja dia memutar setir melewati mereka, mereka sempat gelagapan karena tersorot lampu mobil. Begitu Edward menyadari siapa pengemudi sedan silver itu, mobil Reisha telah jauh meninggalkan halaman rumah. Dari kaca mobil sempat terlihat Edward berlari sambil melambaikan tangan ke arahnya, kemudian dia berbalik dan mengacung-ngacungkan jarinya ke arah Lidya.
Reisha terus melajukan mobilnya tak tentu arah, hatinya terasa begitu sakit. Dia telah dikhianati oleh kekasih dan sahabat baiknya sendiri. Air mata terus mengalir dari sudut matanya, berkali-kali dia menghapusnya tapi air mata itu kembali tumpah dan tumpah lagi.
Setelah dirasa cukup jauh dan sepi dia memperlambat laju mobilnya. “Jahaaat... kalian berdua benar-benar jahaaaaatt...” teriaknya sambil memukul setir mobil dan dia kembali terisak. Ditelungkupkannya wajah di atas setir, tangisnya semakin menjadi-jadi, dadanya terasa begitu sesak dan sakit.
Dug... dug... dug... tiba-tiba ada yang mengetuk pintu mobilnya, Reisha menyeka air mata dan menurunkan kaca. Belum sempat dia bertanya, seorang pria kurus menyodorkan benda tajam ke arahnya.
“Ayo keluar!” bentaknya. Reisha kaget, benda tajam yang ternyata belati saku menempel di lehernya.
“Kalian mau apa?” Reisha ketakutan. Dengan kasar pria bertubuh kurus itu menarik pegangan pintu, begitu pintu dibuka langsung saja dia menyeret Reisha menyuruhnya keluar.
“Lepaaas!” Reisha berontak, “Lepaskan gue!” teriaknya. Dia mendorong lelaki kurus itu, ketika lelaki itu terhuyung-huyung hendak jatuh, Reisha menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Tapi sepasang tangan lain yang lebih kekar mencengkeram tangannya dari arah belakang dan pegangan tangan itu terasa sangat kuat di pergelangan lengannya.
“Hahahaha... bandel juga nih anak!” pria kurus yang sempat terjatuh tadi tertawa. Bersamaan dengan itu muncul tiga pria lagi, yang satu berperawakan gendut dan agak pendek, yang dua berpostur tubuh tinggi dengan rambut gondrong dan yang satu botak. Jadi jumlah mereka ada lima orang, mereka berempat mengelilingi Reisha yang masih mencoba berontak dalam pegangan pria yang bertubuh kekar.
Terdengar dering telepon, seorang pria kurus terlihat sibuk merogoh saku celana jins-nya. “Kami sudah menangkapnya Bos,” ucap pria itu di telepon.
“Siapa yang menyuruh kalian?” teriak Reisha, selama ini dia merasa tidak pernah terlibat pertengkaran dengan seseorang tapi kenapa ada orang yang begitu tega berbuat seperti ini kepadanya.
“Baik Bos, kami akan segera bereskan dia,” telepon ditutup.
“Bang Jon, kita apain dia?” tanya pria gondrong sambil mencolek dagu Reisha.
“Kalau diperhatikan nih anak cantik juga, sayang banget kalau cuma dianggurin,” ucap yang lain.
“Sebenarnya apa yang kalian inginkan dari gue? Kalian boleh ambil mobil dan barang-barang berharga lainnya, tapi tolong lepasin gue. Biarkan gue pergi!” Reisha mulai terisak. Dia begitu ketakutan berada di antara preman jalanan seperti ini. Pria yang dipanggil Bang Jon mendekat, dibelainya wajah mulus Reisha dengan jari-jarinya. Lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajah Reisha.
“Juh!” Reisha meludah persis di wajah Bang Jon, dia benar-benar risih dipegang preman seperti dia.
“Dasar keparat. Plak!” sebuah tamparan mendarat di pipi Reisha. Reisha meringis, pipinya terasa panas dan sepertinya sudut bibirnya pecah karena ada rasa getir di mulutnya.
“Bawa dia!” perintah Bang Jon. Lalu mereka menyeret Reisha ke semak-semak.
“Jangaaan, tolong jangan lakukan ini. Dasar kalian preman keparaaat!” Reisha memaki-maki dan berusaha berontak, tapi tenaganya terlalu lemah dibandingkan dengan kelima pria bertubuh kekar itu.
“Diam!” sebuah suara membentaknya menyuruh diam. Plak... plak... sebuah tamparan kembali dilayangkan pada wajah Reisha dan terdengar semakin keras, perlahan teriakan Reisha berubah menjadi ratapan dan semakin lama semakin melemah.
Gaun pesta Reisha sudah compang-camping dan sobek di mana-mana memperlihatkan lekuk tubuhnya. Secara bergantian kelima pria itu menikmati tubuh Reisha, Reisha hanya menangis. Tenaganya sudah banyak terkuras untuk berontak tanpa hasil apa-apa.
“Sekarang kita apain dia?” tanya pria yang mendapat giliran terakhir sambil merapikan baju dan celananya.
“Kita bunuh saja,” usul salah satu di antara mereka. Bang Jon melihat tubuh Reisha yang tergolek tak berdaya di tanah, “Sepertinya dia sudah meninggal,” ucapnya.
“Kalau begitu kita tidak usah repot-repot membunuhnya,” pria bertubuh gemuk dan agak pendek menendang kaki Reisha.
“Kalian berdua angkat dan lemparkan dia ke jurang!” perintah Bang Jon pada anak buahnya yang berambut gondrong dan botak. Mereka lalu mengangkat tubuh Reisha dan melemparnya ke jurang.
@@@
Tampak seorang perempuan tertatih-tatih sambil memegangi perutnya, pakaiannya sobek di mana-mana dengan wajah memar dan mengeluarkan banyak darah. Sosok itu tidak lain adalah Reisha, dia yang tadi dianggap sudah meninggal oleh preman yang telah memperkosanya ternyata masih hidup.
“Aaarrgh...” rintihnya menahan tangis. Dipandanginya jalanan yang sepi, gemericik air hujan membuat luka di tubuhnya terasa semakin sakit karena dilempar dari atas jurang. Beruntung tubuhnya tidak menggelinding ke dasar jurang dan kepalanya menghantam batu padas.
Malam semakin larut dan Reisha tidak tahu sekarang dirinya berada di mana, terakhir yang dia ingat adalah insiden ciuman antara Edward dan Lidya. Dari jauh terdengar deru mobil dan perlahan mulai terlihat sepasang lampu sorot. Reisha melambaikan tangan meminta pengemudi tersebut berhenti, tapi pengemudi itu terus saja melaju. Mungkin saja dia tidak bisa melihat Reisha yang terbaring di sisi jalanan yang gelap.
Tak lama kemudian terdengar deru mobil lagi, Reisha mencoba bangkit dan berjalan tertatih ke tengah-tegah jalan. Hujan semakin bertambah deras, Reisha sudah berdiri tepat di tengah-tengah jalan tapi mobil itu belum juga memperlambat kecepatannya.
Braaak! Tubuh Reisha terpental ke sisi jalan, kepalanya membentur pembatas jalan. Ciiitt... terdengar rem diinjak, dari dalam mobil keluar seorang cewek. Perlahan cewek itu mendekati tubuh Reisha, dengan tangan gemetar dia memegang tubuh yang tergolek di pinggir jalan. Langsung saja dia membekap mulut begitu melihat wajah Reisha yang hampir hancur.
Samar-samar Reisha membuka mata dan bisa melihat wajah cewek yang telah menabrak tubuhnya itu, “To... lo... ng...” gumamnya pelan, tangannya melambai-lambai meminta bantuan.
Cewek itu bukannya menolong tapi malah melangkah mundur dan kembali masuk ke dalam mobilnya. Perlahan-lahan mobil bernomor polisi B 101 LD mulai meninggalkan tubuh Reisha yang tergeletak tak berdaya, Reisha masih bisa melihat sorot lampu mobil itu perlahan semakin menjauh dan mulai menghilang di tikungan, setelah itu tidak ada lagi yang bisa ia lihat, semuanya gelap.
@@@
Edward kembali berkutat dengan handphone yang sejak tadi ia pegang. Sudah berkali-kali ia membuat panggilan keluar di history call handphone-nya itu. Semuanya tidak ada yang terjawab. Bahkan sekarang nomor tersebut sudah berada di luar jangkauan dan tidak dapat dihubungi lagi. Sudah berkali-kali juga ia mondar-mandir di teras rumahnya seperti setrika yang hendak merapikan pakaian kusut. Wajah bersihnya terlihat begitu tegang, seperti sedang menunggu keputusan dalam sebuah sidang. Di ruang tamu, terlihat pasangan suami istri paruh baya tengah duduk dengan mata yang terus menatap ke teras rumah, menatap Edward yang masih saja betah menyetrika teras.
“Halo… Tante. Ini Edward. Reisha nya ada?” Edward segera bertanya setelah terdengar suara telepon diangkat.
“Lho...” heran Mama Reisha, “Reisha nya sudah dari tadi sore pamitan mau ke rumah kamu. Memangnya belum sampai?” lanjutnya kemudian. Edward tercenung mendengar jawaban Mama Reisha. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa jam yang lalu. Namun yang ia ingat hanya kedatangan Lidya ke rumahnya untuk meminjam LKS Matematika. Lalu ia berbincang-bincang alakadarnya dengan Lidya. Setelah itu dia benar-benar tidak ingat apa-apa lagi sampai ia terbangun dan sudah ada di kamarnya.
“Haloo… Nak Edward? Masih ada?!” seruan Mama Reisha membuyarkan lamunan Edward.
“I… iiya, Tante” Edward terbata-bata menjawab panggilan Mama Reisha, “Ya sudah, mungkin lagi mampir ke rumah Lidya. Nanti aku coba telepon Lidya, Tante.” kemudian sambungan telepon pun terputus. Ia segera mengganti nomor yang berikutnya akan ia hubungi. Beberapa detik kemudian, ia sudah menempelkan handphone di telinga kanannya.
Suara nada sambung terdengar merdu menggantikan suara kereta api yang biasanya ia dengar ketika menunggu telepon diangkat. Satu menit, nada sambungnya berhenti seiring dengan terputusnya panggilan. Tidak menyerah sampai di situ, Edward kembali mengulangi panggilan yang sama. Namun untuk kesepuluh kalinya panggilannya tidak dijawab oleh sang empunya handphone.
“Lidya ke mana sih?! Telepon gue gak diangkat-angkat!” gerutunya sendiri.
"Edward, kok kamu gelisah? Ayo, kita berangkat ke ulang tahun kakakmu sekarang!" kata mama.
"Gimana mau ke acaranya ulang tahun Kakak, kekasihku aja sampe sekarang enggak datang," jawab Edward.
“Ma…” Edward melangkahkan kakinya mendekati tempat mama dan papanya duduk, “Sewaktu aku tertidur tadi ada perempuan cantik, putih, matanya sipit, rambutnya panjang sebahu ke rumah gak?” tanyanya kemudian.
“Mama saja tidak tahu kalau kamu tadi tertidur. Mama sama papa masih menonton televisi di atas,” Mamanya terlihat mendelikkan matanya ke lantai atas rumah mereka dan menatap papanya mencari dukungan atas ucapannya tadi.
“Iya. Lagian kalau ada tamu, bel rumah pasti berbunyi dan si Parman, satpam rumah kita pasti bilang seperti saat temanmu itu datang,” sahut papanya. Setelah papanya, Edward segera berlari keluar rumah menuju pos keamanan yang berada tepat di halaman rumahnya yang cukup luas itu. Dihampirinya Mang Parman yang sedang asyik berdangdut ria di pos miliknya.
“Mang!” teriak Edward. Mang Parman masih saja asyik dengan senandungnya sampai tidak menyadari kehadiran Edward. Edward geleng-geleng kepala melihat kelakuan satpamnya itu.
“Mang Parman!” teriaknya lebih keras. Mang Parman menoleh dan tersentak kaget melihat anak majikannya sudah ada tepat di sampingnya. Buru-buru ia mematikan radio kecil yang berada di atas meja.
“Eh, ada Nak Edward…” ia tersipu malu, “Sudah lama di sini?” basa-basi Mang Parman. Edward tidak berniat menjawab pertanyaan sepele dari Mang Parman.
“Mang tadi ada cewek pakai sedan silver datang ke sini gak?” Edward langsung pada inti alasannya menemui Mang Parman.
“Oh! Pengemudinya cewek cantik, rambutnya panjang sebahu terus matanya agak sipit ya, Nak Edward?!” Mang Parman balik tanya. Edward segera membesarkan kedua bola matanya.
“Iya... Iya! benar banget Mang! Terus?” ucap Edward tidak sabar.
“Tadi sekitar jam 19.00 mobil itu masuk sini…”
“Jam 19.00?!” potong Edward, ia melirik arloji yang setia melingkar di pergelangan tangan kirinya. Arlojinya menunjukkan pukul 21.45.
“Iya, tapi belum juga lima menit mobilnya sudah putar arah dan keluar dari sini,” lanjut Mang Parman.
“Terus balik lagi ke sini gak, Mang?” tanya Edward lagi.
“Gak ada mobil lagi yang masuk, Nak!”
“Teman saya yang pakai Honda Jazz biru jam berapa keluar dari sini?”
Mang Parman terlihat berpikir sebelum menjawab pertanyaan Edward, “Kira-kira jam 19.15.”
Edward kembali tercenung, pikirannya kacau. “Apa yang sebenarnya terjadi,” pikirnya.
“Reisha, semoga kamu baik-baik saja,” Gumamnya sendiri seraya kembali melangkahkan kakinya menuju teras rumah. Mang Parman hanya mampu memendam kebingungannya sendiri melihat Edward yang semakin hilang dari pandangannya. Selang satu menit kemudian, ia menyalakan radio kecilnya dan berdangdut ria lagi tanpa peduli dengan hati anak majikannya yang tengah tidak karuan. Kembali mama dan papa melihat Edward di teras rumah, kali ini anak laki-lakinya itu terlihat hanya berdiri mematung. Tampak gurat-gurat kekhawatiran dari wajah paruh baya keduanya.
@@@
Pada waktu yang hampir bersamaan namun di tempat yang berbeda. Rinai hujan mulai malu-malu untuk turun ke bumi. Rintiknya juga sudah tidak lagi membasahi kaca mobil Lidya yang menepi di pinggir jalan. Terdengar napas Lidya tersengal-sengal seperti habis dikejar-kejar seseorang, wajahnya yang hanya tertimpa cahaya penerang jalan terlihat memerah.
“Astaga… tadi itu Reisha! Benar-benar Reisha! Gue sudah nabrak dia!” ia berbicara seorang diri. Lalu butir-butir ketakutan menerpa dirinya. Ia begitu takut sahabatnya itu meninggal. Padahal ia hanya ingin bermain game dan membuatnya menderita, bukan ingin membunuhnya. Kalaupun ada keinginan untuk membuat Reisha mati, tetap saja ia tidak mau secara langsung membunuhnya.
“Gimana kalau Reisha beneran sudah mati? Gue gak mau masuk penjara!” ia mulai histeris seorang diri. Ditelungkupkan kedua tangannya tepat di wajah manisnya sehingga membuat cahaya lampu jalan tidak lagi mampu menjangkau wajahnya. Beberapa detik kemudian wajah tersebut sudah kembali tertimpa cahaya lampu jalan dan menampakkan senyum sinis yang menyungging di wajahnya.
“Gue gak nabrak lu, Reishaaaaaa! Lu yang salaaaaah!” kembali ia berteriak, “Ngerebut Edward dari gue, tapi gue berhasil dapetin ciuman Edward dan karena lu sakit hati, lu tiduran di jalan! Jadi lu yang salah, kan?! Hahaha…” Lidya tertawa menyeringai seraya menenggak kembali alkohol yang sudah berada di tangannya. Setengah sadar, ia meraih handphone yang berada di atas kursi mobilnya. Samar-samar ia lihat sepuluh panggilan tidak terjawab. Namun ia tidak mengindahkannya walaupun itu semua dari Edward. Jemarinya malah sibuk mencari-cari sebuah nama yang sudah ia simpan dalam phonebook handphone. Ia segera memencet tombol hijau setelah menemukan nama yang dicarinya.
“Huaalooo... Bang Joooonn!” sapanya setelah mendengar sebuah suara dari ujung teleponnya.
“Mabuk lu, ya?! Hahahaha,” Bang Jon menertawai lawan bicaranya di seberang sana. Lidya hanya tersenyum yang pastinya tidak akan bisa dilihat oleh Bang Jon.
“Bang…” Lidya tidak menggubris pertanyaan Bang Jon, “Reisha sudah lu apain, heh?!” kalau ia tidak mabuk, tidak mungkin ia berani berkata demikian ke preman yang sebenarnya sangat ia takuti itu.
“Dia sudah mati, gue lempar ke jurang!” celetuk Bang Jon, “Puas kan, lu?! Hahaha…” terdengar tawa yang membuat merinding bulu kuduk Lidya.
“Gue gak bayar lu buat ngelempar dia ke jurang, Bang!” Lidya mulai merasa dipermainkan oleh Bang Jon, “Gue cuma minta lu maen game sama teman gue itu!” tambahnya kemudian.
“Permainan lu terlalu gampang buat gue, nona manis!”
“Shittt!!” kesal Lidya, “Sekarang gue gak mau tau, lu harus ke jalan yang deket jurang itu. Lu cari jasadnya Reisha. Lu pastiin dia masih hidup atau sudah mati. Kalau sudah mati, lu kubur aja di semak-semak sekitar jurang itu!” Lidya memerintah layaknya seorang bos pada bawahannya.
“Sorry, nona manis! Gue gak dibayar buat nguburin teman lu itu! Hahaha…” Bang Jon kembali mempermainkan Lidya yang semakin kesal.
“Gue bayar lu tiga kali lipat dari bayaran kemarin!” ucapnya menantang, “Tapi pastiin kalau lu bisa ngelaksanain tugas dari gue dengan baik. Gue gak mau sampai masalah ini tercium sama polisi!” Lidya mengakhiri pembicaraannya dan segera memutuskan sambungan teleponnya. Ia memusatkan konsentrasi agar tidak kehilangan kesadarannya karena kebanyakan menenggak alkohol. Setelah merasa kesadarannya hampir sepenuhnya kembali, ia memutar mobil menuju tempat di mana ia menabrak Reisha. Bukan untuk menolongnya, tapi hanya untuk memastikan Bang Jon dan gerombolan preman itu benar-benar melaksanakan perintahnya.
Tepat seratus meter dari tubuh Reisha tergolek, Lidya menepikan mobilnya. Samar ia melihat beberapa pemuda berjalan mendekati tubuh Reisha. “Pasti preman-preman itu”, pikir Lidya. Kemudian ia melihat pemuda-pemuda tersebut menyeret tubuh Reisha yang sepertinya sudah tidak bernyawa lagi. Walaupun ia menyimpan iri pada Reisha, namun melihat tubuh Reisha diseret bak seonggok daging yang tidak ada harganya miris juga hatinya. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat yang mulai mencekam itu. Segera ia luncurkan Honda Jazz birunya menuju rumah. Ia harus mengumpulkan uang, karena besok dapat ia pastikan Bang Jon dan gerombolannya akan meminta jatah.
Tanpa sepengetahuan Lidya.
“Bos… kubur di mana nih bangkai?!” tanya seorang preman yang bertubuh pendek.
“Bawa aja dulu ke tengah semak-semak sana!” perintah Bang Jon, “Lu, gali tanahnya sana!” ia menyuruh preman lain yang bertubuh kurus tinggi. Beberapa menit kemudian hujan kembali mengguyur mereka.
“Waaah... hujan lagi, Bos!!” teriak preman yang baru saja menggali lubang untuk jasad Reisha.
“Ya sudah! Ayo cepat lempar aja tuh bangkai ke lubang, terus langsung timbun lagi!” Bang Jon kembali memegang kendali perintah pada kedua anggotanya. Setelah membereskan pekerjaannya, mereka segera menerobos hujan yang kian membasahi seluruh raga, menghilangkan jejak darah di setiap tubuh yang penuh dengan guratan tatto.
@@@

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices