by Titikoma
3. Afgan Kw
Arshita.
14 Februari dikenal sebagian masyarat kalangan remaja sebagai Valentine days atau Hari Kasih sayang. Kebetulan di hari valentine ini aku sekalian merayakan hari anniversary yang ke dua tahun bersama Samuel Anggara, cowok yang paling aku cintai dalam hidup.
Dia bukan cuma ganteng, tapi juga baik hati, suka menolong sesama dan terpenting ramah sama orang tua. Aku bersyukur banget hubunganku dengannya sampai di usia dua tahun.
Sudah jadi tradisi tiap merayakan hari anniversary, aku dan Samuel bertukar kado. Maka dari itu sekarang ini aku berada di Mall Kepala Gading mencarikan kado yang pas buat Samuel. Tentu saja aku cari kadonya tidak sendirian tapi bersama Chiara Alvina, sahabatku sejak SMA.
“Aduh, Shita sebenarnya lo itu mau nyari kado apa sih? Sudah sepuluh toko kita masukin, tapi nggak ada satupun barang yang lo beli.” Chiara mulai menggerutu.
Chiara mah gitu orangnya. Bawel, suka ngeluh, nggak sabaran, suka ngomel, jutek, cuek dan ceplas-ceplos. Tapi di balik sifat jeleknya itu dia termasuk cewek yang care banget sama sahabatnya.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. “Itu dia masalahnya. Gue sendiri bingung, mau kasih kado apa ke Samuel. Chi, lo ada usul nggak?”
Hening. Sama sekali tak ada jawaban dari Chiara. Aku menoleh ke samping untuk memastikan Chiara masih ada di dekatku atau sudah menghilang.
Chiara memang masih ada di sampingku tapi dia malah bengong kayak sapi ompong. Aku mengibaskan tangan di depan matanya. “Woy, lo kesambet ya? Nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba bengong?”
“Astaga, di mall ini ada Afgansyah Reza.”
“Mana Afgannya?” tanyaku sambil celingak-celinguk mencari sosok Afgan.
“Itu di sana, dia lagi makan di Cfc.” Jari telunjuk Chiara kea rah kiri.
Kuedarkan bola mata kea rah yang ditunjuk Chiara. Benar, cowok yang lagi makan di Cfc dari jauh kelihatan mirip banget sama Afgan. Tak tahu deh kalau dari dekat wajahnya kayak gimana.
“Ah, nggak mungkin dia Afgan. Kalaupun dia Afgan asli, udah pasti banyak selfie bareng dan minta tanda tangan sama dia.”
“Yuk, kita samperin dia untuk memastikan cowok itu Afgan asli atau KW!”
Tanpa menunggu persetujuanku, Chiara langsung menarik tanganku menuju CFC. Aduh, kacau deh. Niatnya beli kado anniversary malah diajakin menyamperin Afgan.
“Maaf, kamu Afgan atau bukan ya?” Tanya Chiara begitu sampai di depan cowok yang mirip Afgan.
“Bukan, Mbak. Tapi memang sih banyak yang bilang saya ini mirip Afgan. Hehehe.”
“Bener kan kata gue, dia itu bukan Afgan asli,” ujarku berbisik di telinga Chiara.
“Tak ada rotan akar pun jadi. Nggak ada Afgan asli, Afgan KW juga boleh.” Chiara membalas bisikanku.
“Oh iya, boleh nggak aku kenalan dan minta foto selfie bareng kamu?” Tanya Chiara.
Aku jadi geleng-geleng kepala melihat tingkah Chiara. Sudah tahu cowok itu bukan Afgan asli masih saja diajakin kenalan dan selfie bareng. Dasar Afganisme. Tak ingin mengganggu perkenalan mereka, aku segera menyingkir dari CFC ini dan kembali melanjutkan pencarian kado anniversary. Kali ini toko mana lagi ya yang aku datangi?
Sepanjang perjalanan aku terus ingat Afgan KW itu. Aku jadi berpikir apa sebaiknya kado anniversary buat Samuel tahun ini kacamata aja? Samuel itu cowok berkacamata juga. Kebetulan di depan mataku ada toko kacamata. Tanpa banyak cincong, langsung saja aku masuk ke toko kacamata itu.
Setelah melihat-lihat koleksi di toko kacamata ini, akhirnya mataku tertuju pada kacamata tipis, bingkai warna hitam sama persis seperti kacamata yang dipakai Afgan KW tadi. “Mbak, harga kacamata ini berapa ya?” tanyaku pada pramuniaganya.
“Murah kok. Dua ratus ribu saja.”
Untunglah harga kacamata ini pas dengan isi dompetku. “Samuel, moga kamu suka ya ma kacamata pilihanku ini,” gumamku.
Oh iya, aku lupa. Aku harus BBM Samuel dulu.
Sayang, mala mini jadi kan kita merayakan anniversary ke dua tahun?
Ting!
Muncul BBM dari Samuel.
Jadi dong. Aku tunggu kamu di tempat pertama kali kita ketemu ya jam 7 malam.
Aku senyum-ssenyum sendiri membaca BBM Samuel. Ya, tempat yang dia maksud itu di café terromantis yang ada di Jakarta. Ah, aku jadi tak sabar menunggu nanti malam. Keromantisan apa lagi yang akan diberikan Samuel untukku?
***
Khusus mala mini aku dan Samuel menjelma menjadi putri dan pangeran di negeri dongeng. Café pertama bertemu disulap Samuel menjadi istana negeri dongeng. Pelayan café pun mengenakan kostum dayang-dayang kerajaan.
“Sayang, kamu mau pesen apa?” Tanya Samuel.
“Sama seperti biasanya saja.”
Samuel sudah hapal dengan makanan favoritku. Dia lalu mengangkat tangannya memanggil pelayan. Karena café sudah disewa Samuel, jadi semua pelayan hanya melayani kami.
“Mbak, saya pesen yang ini ya dua porsi. Minumnya yang ini.” Samuel menunjuk makanan di buku menu ke pelayan.
“Oke, tunggu sebentar ya.”
“Sayang, sambil nunggu pelayan kembali bawa makanan kita, gimana kalau kita tukar kado dulu?”
“Boleh. Bentar.”
Aku mengambil kotak kecil yang aku bawa dari rumah. Dalam sekejap kotak kecil itu sudah berpindah tangan ke Samuel, sedangkan kado dari dia berpindah tangan ke aku. “Sayang, boleh nggak kadomu aku buka sekarang?”
“Iya, boleh dong. Apa sih yang nggak buat kamu?”
Dari kotak kado yang diberikan Samuel aku bisa menebak pasti isinya cokelat, satu set perhiasan, jam tangan, tas, dompet, atau parfum. Dahiku berkerut ketika kotak kado itu berhasil kubuka. Isinya sebuah novel berjudul Kau Begitu Sempurna.
Kenapa Samuel ngasih aku novel? Bukankah dia tau kalau aku nggak suka baca novel? Pertanyaan itulah yang berkecamuk di otakku.
Di halaman pertama novel yang diberikan Samuel, terselip sebuah surat. Aku penasaran isi suratnya.
Shofia sayang, sampai detik ini hanya kamu wanita yang begitu sempurna di mataku. Aku ingin kamu menyempurnakan hidupku. Will you marry me?
Aku menatap Samuel dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena terharu namun karena rasa sakit yang bersarang di hatiku. Kado novel yang diberikan Samuel tadi ternyata bukan untukku. Aku yakin dalam hitungan detik cairan bening yang menggantung di pelupuk mata bakal tumpah.
“Sayang, kamu kenapa nangis?”
Aku meremas surat yang kupegang, lalu kulemparkan ke muka Samuel. “Oh, jadi selama ini kamu sudah punya tunangan? Dan aku hanya cadanganmu? Mulai sekarang kita putus!”
“Sayang, kamu salah paham. Dengerin aku dulu, aku bisa jelasin.”
“Semua sudah jelas jadi nggak ada yang perlu dijelasin lagi.”
Aku berlari sekencang mungkin meninggalkan Samuel. Begitu keluar dari café, aku berharap hujan deras turun biar kayak sinetron-sinetron. Menangis di bawah rintik hujan. Jadi tak ada yang tahu seorang Arshita Bintang Oktarina menangis gara-gara cowok.
Aku terus berlari sampai akhirnya berhenti di bawah pohon beringin yang ada di samping pangkalan ojek. Tiba-tiba ada seorang yang menyodorkan sapu tangannya ke aku. Karena tak bawa tisu, secepat kilat aku menyambar sapu tangan itu.
Semua ingus yang bercokol di hidung kutumpahkan ke sapu tangan ini. “Makasih ya sapu tangannya. Besok aku kembaliin kalau sudah dicuci. Boleh minta alamatnya?”
“Nggak usah dibalikin. Aku ikhlas kok memberikan sapu tangan itu.”
Deg!
Aku merasa mengenali suara itu. Untuk memastikannya, aku mendongakkan kepala. “Loh, kamu cowok yang tadi siang makan di CFC kan? Ngapain di sini?”
“Tadi aku mu ke warung beli kopi, eh liat cewek cantik nangis ya aku samperin aja. Ada apa sih nangis malam-malam gini?”
Aku bukan tipe cewek suka curhat, tapi ntah kenapa mulutku lancer banget menceritakan apa yang aku rasakan ke Afgan KW di depanku ini.
“Oh, jadi gitu masalahnya. Kamu yang sabar ya. Tuhan mematahkan hatimu karena DIA sudah menyiapkan pengganti yang jauh lebih baik. Dari siang tadi kita belum kenalan. Namamu siapa?”
Aku mengulrkan tangan. “Arshita Bintang Oktarina.”
Dia membalas uluran tanganku. “Namaku Arsyil Langit Ramadhan biasa dipanggil Langit.”
Aku tertegun. Arsyil Langit Ramadhan? Nama dia seperti nama cowok yang selalu aku cuekin sejak SMA. Mungkinkah mereka orang yang sama? Ah, paling namanya doang yang sama.Nggak mungkin banget kan cowok yang mirip Dede, host Dahsat mendadak menjelma menjadi cowok super ganteng mirip Afgan? Pikirku dalam hati.
Aku tak memedulikan hal itu. Yang penting Afgan KW di depanku ini bisa membuat hatiku sedikit tenang. Obrolan terus berlanjut. Sampai akhirnya udara malam semakin menusuk kulitku maka aku memutuskan pulang.
Dia menawarkan diri buat mengantarku pulang naik mobil tapi aku tolak. Takut merepotkan dia. Lagian dekat sini banyak tukang ojek. Biar pulang naik ojek aja. Sebelum aku pulang, sempat tukaran nomor HP sama dia.