Kacamata Kematian

Reads
177
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

5. Efek Samping Kacamat

Franco
Minggu ketiga bulan Februari, aku jalan-jalan ke kota Bandung untuk refreshing. Bosen di Jakarta mulu. Yang diliat mobil, gedung-gedung yang tinggi. Nah, kota kalau di Bandung kan masih banyak taman bunga. Dan taman bunga Begonia tujuan utamaku.
Aku ke taman Begonia karena penasaran ingin melihat keindahan serta keunikan sebuah Surga Bunga Bumi Prahyangan. Awalnya aku sendiri nggak tau mengapa taman ini dinamakan Begonia, namun setelah sampai di tempat aku baru tahu alasannya. Hasil nanya-nanya sama orang sekitar sini juga.
Diberi nama Taman Begonia karena di taman bunga yang ada di datara tinggi Lembang ini didominasi oleh salah satu komoditas unggulan dan primadona taman ini yaitu Bunga Balinea.
Balinea sendiri adalah merupakan kepanjangan dari salah satu daerah yang terkenal dengan dunia pariwisatanya. Apalagi kalau bukan Bali? Untuk tampilan bentuk bunganya, nggak usah ditanya lagi. Sudah bisa dipastikan sangat cantik dan bikin seger mata.
Mataku lebih seger lagi kalau di sini dipertemukan sama cewek cantik, seksi dan masih jomblo. Bola mataku akhirnya tertuju kea rah Langit yang lagi asyik ngobrol sama cewek mengenakan kaos, celana jeans robek-robek, topi dan kacamata hitam di dekat deretan bunga Celosia.
Langit ngapain ikut ke Bandung juga? Aku mencoba memicingkan mata untuk mengenali wajah cewek yang lagi asyik ngobrol sama Langit itu.
“Astaga, itukan Chiara!”pekikku
Ngapain coba Langit ngajakin Chiara ke sini? Bukannya dia cinta mati sama Arshita? Harusnya Arshita dong yang diajakin Langit ke sini? Berbagai pertanyaan berkecamuk di otakku. Dan aku merasa ada yang nggak beres Langit.
Mentang-mentang dia makai kacamata ajaib dari Om Anthony, dia bisa seenaknya naklukin cewek cantik. Ini nggak bisa didiemin. Aku harus bertindak sebelum ada hati yang terluka. Dan aku rasa harus minta bantuan Om Anthony juga.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu menekan nomor Om Anthony.
Tuuut … Tuuut
Sambungan telepon dariku belum juga diangkat. Andalan deh tiap aku nelpon beliau pasti diangkatnya lama banget. Huft, menyebalkan.
“Halo, Franco.”
“Halo juga, Om. Lama banget sih diangkatnya? Jamuran tau nungguinnya.”
“Maaf, tadi owe lagi sarapan. Lo sendiri ngapain nelpon pagi-pagi kek gini?”
Aku menceritakan weekend ke Bandung, ke taman Begonia sampai melihat kelakuan Langit secara panjang lebar. “Ya, owe paham. Terus apa dong yang harus owe lakuin untuk mencegah agar ada hati yang terluka?”
“Kalau om nggak keberatan, Franco minta tolong… Bla…bla.” Aku mengutarakan ideku ke Om Anthony. “Gimana Om setuju nggak?”
“Owe sih setuju aja. Yang penting niatnya baik.”
“Makasih banget ya, Om.”
Klik. Aku memutuskan sambungan telepon. Yang tadinya niat refreshing harus batal. Aku harus balik ke Jakarta. Sebelum semua terlambat.
***
Perjalanan dari Bandung ke Jakarta memakan waktu dua jam. Dan aku langsung ke kost-kosan Langit. Ajaibnya Langit sudah ada di kamar, lagi nonton tv pula. Itu artinya dia lebih dulu datang dariku. Iya, sih Langit memang orangnya suka ngebut dan cari jalan tikus makanya cepat sampai.
“Eh, Franco. Lo tumben banget hari Minggu gini ke kosan gue?” tanya Langit.
“Gue ke sini karena mau bicarain sesuatu yang penting sama lo.”
“Bicarain apa?”
Aku menatap penampilan Langit yang rapi dengan tatapan heran. “Lo abis darimana? Tumben hari Minggu rapi banget. Biasanya boro-boro deh rapi, mandi aja kagak.” Aku pura-pura nggak tau kalau dia habis dari Bandung.
“Gue habis dari Bandung, tepatnya jalan-jalan ke taman Begonia. Penasaran gue sama taman itu.”
Ternyata Langit jujur sama aku. “Perginya sendiri?”
“Nggak sih. Gue ngajakin Chiara.”
“Hah? Kok lo ngajakin Chiara? Bukannya lo cinta mati sama Arshita? Harusnya Arshita dong yang lo ajakin ke sana?”
Langit akhirnya curhat sama aku tentang Chiara dan Lesty nembak dia. Lesty sudah ditolak Langit, tapi Chiara dimanfaatkan Langit untuk mengorek-orek info tentang Arshita. “Lo gila ya, itu sama aja lo PHP-in dia.”
“Ya, itu salah dia sendiri.”
Aku menggelengkan kepala. “Lo nggak bisa gitu dong. Asal lo tau, kacamata yang lo pake itu ada efek sampingnya dan efek sampingnya adalah dikit aja lo nyakitin hati cewek maka malapetaka menghampiri hidup lo.”
Mata Langit melotot. “Nggak mungkin. Ini pasti akal-akalan lo doang. Alah, bilang aja lo itu iri karena gue sekarang deket sama banyak cewek cantik. Sedangkan lo dari dulu tetep aja nggak laku.”
Duar!
Kata-katanya Langit nyelekit di hati. Selama delapan tahun lebih sahabatan sama dia, baru kali ini dia nggak percaya sama aku. Nggak sadar apa dia bisa deket sama cewek cantik itu karena bantuanku?
Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu menekan nomor Om Anthony. Untung beliau langsung angkat telepon dariku. Kuklik loudspeaker.
“Halo, Om Anthony. Gini om si Langit nggak percaya tentang efek samping kacamata ajaib itu. Bisa nggak om jelasin ke Langit?”
“Langit, yang dikatain Franco itu bener. Efek smping kacamata itu memang akan membawa malapetaka jika pemiliknya menyakiti hati cewek.”
Klik. Aku memutuskan sambungan telepon. “Nah, lo denger sendiri kan apa kata Om Anthony?”
Langit menggeleng pelan. “Gue tetep nggak percaya. Emangnya obat make efek samping segala? Bisa aja kan lo dan Om Anthony kongkalikong ngarang cerita tentang efek samping kacamata ajaib itu.”
Emosiku naik ke ubun-ubun. Kalau dia nggak bisa percaya omonganku, masih bisa kuterima. Tapi kalau dia ngefitnah Om Anthony kayak gitu jelas aku marah. Aku bangkit berdiri.
“Terserah lo deh mau percaya atau nggak. Lo sadar dong, lo bisa deket sama cewek cantik gara-gara kacamata milik Om Anthony, eh malah seenak jidat ngefitnah orang. Kalau terjadi apa-apa sama lo, gue nggak peduli dan hubungi gue lagi. Mulai sekarang persahabatan kita putus! Bye.”
Aku ngeloyor pergi keluar dari kosan Langit. Sepanjang perjalanan sebenarnya menyayangkan persahabatan yang terjalin sudah delapan tahun lebih harus kandas sampai di sini. Tapi mau gimana lagi, aku sudah terlanjur sakit hati sama omongan Langit.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices