Kacamata Kematian

Reads
189
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

9. Menganalisis Kasus

Taufiq
Ting!
Ada pesan masuk dari Franco.
Gang Jambu rt.03/15 no.115 Kotabatu 16610 Bogor.
Franco itu orang yang pagi tadi memberikan job kepada Detektif Tiga Serangkai untuk memecahkan kasus pembunuhan yang dialami oleh sahabatnya, Arsyil Langit Ramadhan. Ternyata dia mengirimiku pesan hanya mengirimkan alamat. Mungkin di sana lah aku bisa menginterogasi Franco ataupun Langit.
Kenalin, namaku Taufiq Hidayat biasa dipanggil Taufiq. Aku ketua Detektif Tiga Serangkai. Untuk sejarah Detektif Tiga Serangkai sendiri sudah tertulis di website kami www.detektiftigaserangkai.co.id jadi tak perlu lah aku jelaskan panjang lebar di sini.
“Bal, kita ke alamat ini ya.” aku menunjukkan sms Franco ke Hambali.
Anggota Detektif Tiga Serangkai ada tiga orang : aku, Hambali dan Ilham. Dua lainnya itu sahabatku sejak kecil. Nah, kalau kemana-mana Hambali lah yang menyetir mobil.
Dahi Hambali berkerut. “Loh, itu kan alamat rumah? Kenapa kita nggak ketemuan sama Franco di tempat TKP pembunuhan aja? Siapa tau di tempat TKP pembunuhan kita nemuin petunjuk penting.”
Aku menggaruk kepala yang penuh ketombe. Kok aku nggak kepikiran ke sana ya? “Bener kata lo, ya udah gue sms Franco buat minta dia ketemuan di tempat TKP pembunuhan aja.”
Franco, saya rasa lebih baik kita ketemuannuya di tempat TKP pembunuhan aja deh. Siapa tau di tempat TKP pembunuhan kami (Detektif Tiga Serangkai) nemuin petunjuk penting.
Sent to Franco.
Belum sampai lima menit, HP di tangan bergetar. Franco membalas pesanku.
Oh, gitu. Baiklah, kita ketemu di one fifteenth coffe, tempat korban terbunuh.
Aku kembali menunjukkan sms Franco ke Hambali. “Oke, siap meluncur ke sana.”
***
Di one fifteenth coffe sudah stand by dua orang cowok. Yang satunya mirip Joshua Suherman, satunya lagi mirip Afgan. Cowok yang mirip Joshua melambaikan tangannya ke aku. Apa mungkin salah satu dari mereka adalah Franco? Untuk memastikannya aku, Hambali dan Ilham menghampiri mereka.
“Hey, kalian tim Detektif Tiga Serangkai?” Tanya cowok mirip Joshua.
“Iya, benar. Saya Taufiq dan dua sahabat saya bernama Hambali dan Ilham.”
“Saya Franco dan di sebelah saya Arsyil Langit Ramadhan.”
Oh, jadi itu toh yang namanya Langit. Wajahnya lumayan ganteng. Dari wajah tak ada tampang pembunuh. Namun di zaman sekarang siapapun bisa jadi pembunuh.
“Loh, bukannya saudara Langit harus masih diinterogasi di kantor polisi?” tanyaku heran.
“Tadi sih gitu. Tapi karena belum ada bukti kuat dan jaminan pengacara, aku dibebaskan sementara,” jawab Langit.
Sebelum menginterogasi Langit atau Franco, aku membagikan tugas dulu ke Hambali dan Ilham. Hambali tugasnya menginterogasi barista dan karyawan di one fifteenth coffe. Sedangkan Ilham mengamati setiap sudut coffe. Siapa tau dia nemu barang bukti baru.
Ilham orangnya tidak dapat berbicara. Maka dari itu ia ditugaskan hanya mengamati seluruh ruangan. Meskipun kekurangannya demikian. Tapi ia memiliki kelebihan yakni matanya yang tajam. Ketajaman matanya melebihi orang yang normal. Selama ini Ilham yang menemukan benda yang bisa dijadikan petunjuk dalam penyelidikan kasus. Walaupun benda tersebut tersembunyi tapi ia tetap bisa menemukannya.
Hambali dan Ilham bergerak sesuai apa yang aku tugaskan. Dan aku sendiri bersiap melontarkan pertanyaan ke Langit dan Franco untuk mendapatkan informasi yang akurat.
“Saudara Langit, bisakah anda menceritakan kronologis kejadian terbunuhnya Arshita?” pertanyaan pertama berhasil kulontarkan.
“Jadi gini ceritanya. Kemarin tu gue sama Arshita ke jungleland, pulang dari jungleland mampir ke one fifteenth coffe. Anda tau sendiri kan di one fifteenth coffe nggak ada waiters-nya. Jadi kita sendiri yang pesen kopi ke dapur dan bawa kopi kembali ke tempat duduk. Nah, gue yang mesen kopinya. Pas di dapur gue dapet sms ancaman.” Langit menunjukkan sms ancaman di HP-nya ke aku.
“Pas gue balik ke dapur, kopi dah tersedia. Kata baristanya itu kopi pesanan gue. Ya udah gue bawa ke Arshita. Pas Arshita minum langsung kejang-kejang. Dan anehnya langsung ada polisi.”
Gaya bahasa Langit kayak bunglon. Berubah-ubah. Kadang makai aku, lo-gue dan bahkan anda. Semoga keterangan yang dia berikan tak berubah-ubah.
Lempar batu sembunyi tangan, peribahasa yang tepat untuk pembunuh Arshita sebenarnya. “Apakah anda punya musuh?”
“Rasanya sih nggak ada. Tapi…” Raut wajah Langit berubah murung. “Tapi sehari sebelum ke Jungleland kan gue sempat ketemuan sama Arshita di taman di belakang kampus, nah di taman itu ada cowok yang bilang gini ke gue, ‘Gue pastiin kalian nggak bakal lama. Nggak ada yang boleh milikin lo selain gue!’” Langit melanjutkan omongannya.
“Cowok yang bilang seperti itu ke kamu siapa?”
“Namanya Samuel Anggara. Dia mantannya Arshita. Mereka putus gara-gara Arshita tau bahwa Samuel punya tunangan lain. Dia nggak suka aku dekat dengan Arshita.”
“Selain Samuel, ada lagi nggak yang nggak suka sama hubungan kedekatan anda dan Arshita?”
“Ada sih. Namanya Chiara, sahabatnya Arshita. Dia itu suka sama gue.”
Wajah Taufiq berbinar. Setidaknya dari interogasi ini aku berhasil nemuin dua orang calon tersangka pembunuh Arshita. “Oke, saya rasa interogasi cukup sampai di sini. Lagian hari sudah mulai senja. Terimakasih telah memercayakan Detektif Tiga Serangkai untuk menangani kasus anda.”
***
Tim Detektif Tiga Serangkai waktu awal berdiri sampai usia sepuluh mereka tinggal di Banjarmasin. Namun sejak nama mereka semakin dikenal dan banyaknya job, mereka memutuskan hijrah ke Jakarta. Lalu membeli rumah di Depok.
Jarum jam dinding menujukkan pukul delapan malam. Biasanya mereka memanfaatkan waktu untuk bersantai dan menganalisa kasus yang mereka tangani.
“Fiq, dari interogasi Langit tadi siang lo dapet nemuin calon tersangka nggak?”
Kebiasaanku setelah menginterogasi orang pasti mencatat di buku kecil. Aku mengeluarkan buku kecil dan menyerahkan ke Hambali.
Calon tersangka ada 2 :
Samuel Anggara. Mantan Arshita, pernah ngajak Arshita baikan dan nggak suka Arshita dekat sama Langit.
Kedua, Chiara. Sahabat Arshita sendiri. Dia cinta sama Langit, dan patah hati liat Langit sama Arshita.
Motif :
Salah satu dari mereka membunuh Arshita karena patah hati.
“Lo sendiri gimana dengan hasil interogasi sama barista dan seluruh karyawan one fifteenth coffe?
“Waktu itu one fifteenth coffe lagi rame-ramenya jadi seluruh karyawan nggak ada yang merhatiin pengunjung. Dan waktu gue nanya barista yang nyiapin kopi pesanan Langit, katanya pas bikinin kopi itu dia dipanggil direktur utama one fifteenth coffe. Mungkin nggak sih pembunuh Arshita bekerja sama dengan direktur utama one fifteenth coffe?”
“Segala hal bisa saja terjadi.”
“Menurut lo di antara dua calon tersangka yang lo sebutin siapa kira-kira yang paling besar jadi pembunuh Arshita?”
Aku mengangkat bahu dan kedua tangan. “Ntahlah. Saat ini gue belum bisa menyimpulkan siapa pelakunya. Tapi feeling gue mengatakan Franco juga terlibat dalam pembunuh Arshita.”
“Tapi kan Franco yang ngasih job kita buat nyelidikin kasus Langit.”
“Lo masih inget nggak kasus kematian Nien? Pelaku pembunuhan Nien kan orang yang minta kita ngusut kematian Nien.”
Hambali menepuk jidatnya sendiri. “Oh, iya gue lupa.”
“Ilham, di one fifteenth coffe lo nemuin sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk nggak?”
Ilham mengambil tasnya lalu mengeluarkan sebuah bolpen dan buku kecil. Dia menuliskan kata-kata menggunakan bolpen itu. Ya, begitulah cara Ilham berkomunikasi denganku dan Hambali.
“Aku menemukan bolpen ini di dapur. Pas aku tanya ke barista dan seluruh karyawan, mereka nggak ada yang tau bolpen ini milik siapa.” Aku membaca apa yang ditulis Ilham di buku kecilnya.
Hatiku jadi yakin bahwa pemilik bolpen ini adalah pembunuh Arshita. “Berarti besok tugas kita besok selain mengintrogasi Samuel dan Chiara, kita juga ke kantor polisi menyerahkan bolpen ini sekaligus minta mereka melakukan penelidikan sidik jari.”
Tak lama kemudian terdengar bunyi keroncongan dari perut Hambali.
“Ham, lo laper ya?”
Hambali menyengir kuda. “Iya, sih. Hehehe.”
“Ya udah, yuk kita cari makan!”
Berhubung di rumah tak ada asisten rumah tangga, jadi aku dan kedua sahabat kalau lapar ya cari makan di luar saja.
“Kalau soal cari makan, ayo siapa takut!”
Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah Hambali dari zaman umur 10 tahun sampai 25 tahun, tak pernah berubah. Kalau diajakin makan pasti larinya lebih kenceng dari truk gandeng. Hahaha.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices