by Titikoma
10. Interogasi
Taufiq
Pengusutan kasus kematian Arshita dimulai dari mendatangi kediaman Samuel. Orang pertama yang dicurigai oleh tim Detektif Tiga Serangkai sebagai pembunuh Arshita. Waw, hanya tiga huruf yang berhasil keluar dari mulutku begitu menginjakkan kaki di kediaman Samuel.
Kediaman Samuel letaknya di Kebayoran. Luas bangunannya 355 m2, luas tanah 605 m2 dan yang membuatku semakin berdecak kagum adalah arsitektur rumahnya itu model rumah Belanda. Jarang ka nada rumah model Belanda di Jakarta?
Untuk menemukan rumah Samuel sendiri susahnya minta ampun. Harus bertanya ke sepuluh orang teman kampusnya dulu. Aku heran, kenapa coba teman-temannya tak ada yang tahu dengan Samuel? Apakah Samuel sengaja tak pernah mengajak temannya datang ke rumahnya? Ini yang harus kuselidiki.
“Yeee … malah bengong ni orang. Woy, buruan pencet belnya!” teriak Hambali dekat telingaku. “Inget tujuan kita datang ke sini itu menginterogasi Samuel, bukan untuk memerhatikan keindahan rumahnya.” Hambali mengomel sendiri.
Ting … tong!
Bel rumah Samuel berbunyi. Tak lama kemudian keluar lah wanita muda, montok, berkulit putih, baju seksi dan berkacamata tebal. Firasatku mengatakan wanita yang ada di depanku ini tak lain dan tak bukan adalah Kakaknya Samuel. “Maaf, apa benar ini kediaman Samuel Anggara?” tanyaku pada wanita itu.
“Iya, benar. Kalian siapa ya?”
Aku benapas lega pasalnya rumah yang dituju benar. “Kami dari Detektif Tiga Serangkai, ingin berbicara dengan Samuel. Samuelnya ada?”
“Ada. Bentar ya saya panggilkan dulu.”
Wanita itu memasuki rumah Samuel.
“Fiq, cewek yang bukain pintu itu lumayan cantik ya. Apalagi bodinya, beuh bikin seger mata,” ucap Hambali sambil bisik-bisik.
Aku memicingkan mata ke arahnya. “Kenapa? Lo naksir sama dia?”
“Naksir sih nggak, cuma kesemsem aja. Hehehe.” Hambali cengengesan sendiri.
Kalau di sini ada bantal, aku tak akan berpikir dua kali menimpuk dia dengan bantal. “Yeee … naksir ma kesemsem apa bedanya cob? Lo mah kambing didandani jadi cewek juga bakal lo taksir.”
Di tengah perdebatanku dengan Hambali tiba-tiba muncullah cowok sekitar berusia 24 tahun, berwajah ganteng, kulit putih, tinggi, bodi sixpack, mengenakan kaos tanpa lengan warna biru dan celana pendek. “Gue Samuel. Kalian siapa ya? Ada perlu apa nyari gue?”
Aku mengulurkan tangan. “Kenalin nama saya Taufiq, dua orang ini namanya Hambali dan Ilham. Kami Detektif Tiga Serangkai, kedatangan kami ke sini ingin sekadar interview sama anda.”
“Interview atau interogasi?”
“Ya gitulah kira-kira. Gimana bisa?”
“Ya udah deh, yuk masuk!”
Aku beserta dua anggota Detektif Tiga Serangkai mengekor langkah Samuel memasuki rumahnya. Bagian dalam tak kalah menakjubkan dari luarnya. Suasana Belanda kental banget. Di ruang tamunya, sama seperti ruang tamu pada umumnya. Ada foto keluarga dengan ukuran besar.
Dari foto tersebut, aku jadi tahu bahwa Samuel itu blasteran Belanda dan Jawa. Samuel mempersilakan Detektif Tiga Serangkai di sofa.
“Hmmm … dari tadi sepi banget. Orang tuamu kemana?” aku melemparkan pertanyaan pertama.
“Bokap ma nyokap gue dah cerai. Gue ikut bokap. Tapi bokap gue jarang ada di rumah, sibuk bolak-balik ngurus perusahaan mebellnya di sana. Jadi gue di sini tinggal sama asisten rumah tangga doang.”
Glek!
Aku menelan ludah. Asisten rumah tangga sekarang penampilannya keren. Tak kalah sama majikan. Aku jadi ingat sinetron zaman dulu ‘Inem Pelayan Seksi.’
“Info yang kami dapat kamu termasuk orang yang ditemui Arshita sebelum kematiannya. Kamu dah berapa lama kenal sama Arshita?”
“Arshita itu mantan gue. Dan jadian dua tahunan.”
“Kapan terakhir kali kamu ketemu Arshita?”
“Sehari sebelum kematiannya. Waktu itu gue ngajak balikan, Arshita minta gue datang ke taman belakang kampusnya. Nah, di sana gue malah lihat Arshita mesra-mesraan sama cewek lain. Jelas emosi gue kepancing.”
“Dan kamu mengucapkan kalimat ‘Gue pastiin kalian nggak bakal lama. Nggak ada yang boleh milikin lo selain gue!’”
Alis Samuel terangkat sebelah. “Apa karena ucapan gue itu yang membuat kalian mencurigai gue sebagai tersangka pembunuh Arshita?”
“Untuk saat ini siapapun bisa dicurigai sebagai pembunuh.”
Aku mengedipkan mata ke arah Hambali dan Ilham. Kedipan mataku seolah mengatakan, “Sekarang giliran kalian beraksi.”
Untung mereka mengerti maksudku. Mereka pura-pura sakit perut. “Hey, kalian kenapa?” aku pura-pura panic.
“Nggak tau nih, perut gue sakit banget. Boleh numpang ke WC nggak?” Tanya Hambali.
“Oh, boleh. WC-nya di belakang. Kalian jalan lurus terus ntar belok kanan. Apa perlu gue panggil Renata buat nganter kalian ke WC?”
“Nggak usah. Kami bisa sendiri kok.”
Hambali dan Ilham ngacir menuju WC. Detik demi detik terus bergulir. Tanpa terasa sudah setengah jam aku ngobrol-ngobrol sama Samuel. Hambali dan Ilham juga sudah kembali lagi ke ruang tamu.
Aku bangkit dari tempat duduk. “Oke, saya rasa interogasi cukup sampai di sini. Terima kasih atas waktunya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu anda.”
“Its, oke. No problem.”
Aku beserta anggota tim Detektif Tiga Serangkai meninggalkan rumah Samuel.
***
Sehabis dari rumah Samuel, tim Detektif Tiga Serangkai mampir dulu ke rumah makan untuk makan siang. Aku melambaikan tangan memanggil waiters. Tak lama kemudian datanglah waiter cantik membawa nampan beserta buku menu.
“Saya pesan soto Lamongan satu porsi dan es teh manis satu gelas,” ujarku pada waiter cantik. Aku mengedarkan pandangan kea rah Hambali dan Ilham. “Kalau kalian pesan apa?” tanyaku.
“Gue pesen menu yang sama dengan apa yang lo pesen aja deh,” sahut Hambali.
Ilham menggerakkan tangannya, memakai bahasa isyarat yang artinya dia pesan menu yang sama dengan apa yang aku pesan. “Oke, Mbak. Kami pesan soto Lamongan tiga porsi dan es teh manis tiga gelas.”
“Baik. Mohon tunggu sebentar ya.”
Waiter cantik itu berlalu dari hadapanku. Sembari menunggu dia kembali dengan membawa menu makanan yang kupesan, aku mau ngobrol-ngobrol dulu sama Hambali dan Ilham. Sekaligus ingin menanyakan hasil kerja mereka di kediaman Samuel.
“Ham, waktu di rumah Samuel, lo berhasil interogasi asisten rumah tangganya?” tanyaku membuka percakapan.
“Berhasil dong.”
“Terus kalian ngobroin apa?”
Hambali merogoh saku jaketnya. Lalu mengeluarkan Smartphone canggihnya. “Lo dengerin sendiri deh hasil percakapan kami.”
“Hello, nama Mbak siapa ya?”
“Renata.”
“Boleh nggak saya nanya-nanya sama Mbak?”
“Tergantung. Kalau nanya masalah pribadi saya, ya nggak akan saya jawab.”
“Mbak, tenang saja. Saya nggak akan nanya masalah pribadi, Mbak. Saya mau nanya soal Samuel. Mbak sudah berapa lama kerja di rumah Samuel?”
“Udah 10 tahunan.”
“Menurut Mbak, Samuel itu orangnya kayak gimana?”
“Baik, ramah, rajin ibadah, sopan sama semua orang, dan tidak sombong.”
“Dia masuk cowok playboy nggak?”
“Dia itu tipe cowok yang setia. Dari umur 14 tahun sampai sekarang, dia baru mengenalkan satu cewek ke saya.”
“Siapa cewek yang dikenalkan Samuel ke Mbak?”
“Kalau nggak salah namanya Arshita.”
“Mbak tau nggak penyebab mereka putus?”
“Katanya sih cuma salah paham. Arshita ngira Shofia itu selingkuhannya, padahal Shofia pacar kakak sepupunya.”
Rekaman di smartphone Hambali sudah habis. “Setelah mendengar rekaman pembicaraan gue sama ART Samuel, menurut lo gimana? Samuel tetap masuk daftar calon tersangka kah?”
Aku mengangkat bahu. “Ntahlah. Ini kan baru interogasi part pertama, jadi gue belum bisa menyimpulkan Samuel tetap masuk daftar calon tersangka atau nggak. Mungkin setelah interogasi Chiara dan beberapa orang baru kelihatan siapa tersangka yang sesugguhnya.”
Ntah kenapa tiba-tiba merasakan ada sepasang mata yang mengawasiku. Ketika aku menoleh ke kiri, kanan sampai belakan tak ada orang yang mencurigakan. Apa dia sudah keburu bersembunyi?
“Kita cabut dari sini yuk! Gue ngerasa ada yang ngawasi kita,” ucapku bisik-bisik di telinga Hambali dan Ilham.
“Tapi kan makanannya belum datang? Kita cabutnya abis makan aja deh, perut gue dah laper banget nih.” Protes Hambali disertai muka melasnya.
Aku jadi tak tega melihat mukanya yang seperti itu. “Oke deh. Kita cabutnya abis makan aja. Tapi kita jangan ngomong apa-apa lagi ya?”
“Siap, Bos.”