hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
181
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 6

Sarah bangun lebih awal. Setelah menyiapkan sarapan untuk Amely ketika nanti gadis kecil itu bangun, Sarah memutuskan untuk kembali menulis novelnya. Menerjemahkan sebuah buku catatan usang berbahasa campuran Belanda dan Indonesia yang diberikan Pak Kasman bersama beberapa foto-foto usang. Untuk mendukung cerita agar seperti nyata, katanya. Beruntung, ia pernah berkuliah di jurusan Sastra Belanda. Jadi sedikit banyak Sarah bisa menerjemahkan kata-kata dalam tumpukan file yang diberikan Pak Kasman, meski ada beberapa tulisan yang tak lagi terbaca karena faktor usia berkas tersebut.
“Di dalam amplop tersebut ada beberapa foto-foto dari zaman Belanda. Kamu bisa menjadikannya gambaran dan setting ceritamu nanti. Juga ada sebuah buku catatan usang berbahasa Belanda—Indonesia. Bisa kamu ambil beberapa kalimat atau ide cerita dari dalam sana. Aku sendiri tidak begitu paham isi buku catatan tersebut. Aku menemukan buku itu dan beberapa foto dari zaman penjajahan Belanda dari seorang kolektor. Dari sanalah, ide cerita novel yang akan kamu garap berasal.”
Begitu kata Pak Kasman ketika menyodorkan amplop besar berwarna cokelat pada Sarah tempo hari, ketika ia mendatangi kantor penerbitan Black Rabbit milik Pak Kasman.
Ketika hendak menuju ke ruangan khusus untuk mengetik naskahnya dan melewati ruang tengah, padangan Sarah lagi-lagi terpaut pada foto besar yang menggantung di dinding. Apalagi kalau bukan foto dua sosok orang Belanda. Meski sebenarnya cukup membantu untuk menggambarkan penampilan tokoh dalam novelnya, namun tetap saja ada aura mistis yang menyelimuti foto tersebut. Berkali-kali tatapan sosok perempuan di dalam foto tersebut tampak nyata dan seperti hidup. Tak jarang pula manik mata kebiruan milik perempuan dalam foto seakan memperhatikan gerak-gerik Sarah. Saking terbiasanya, lama-lama Sarah abai akan hal tersebut.
Namun demikian, tetap saja ada rasa ingin menyimpan foto itu jauh-jauh. Setidaknya sampai proyek menulis novel yang kini sedang digarapnya selesai dan ia tak lagi tinggal di rumah ini. Sekali lagi Sarah menarik sebuah kursi dari ruang makan yang ia jadikan pijakan. Kali ini ia memastikan benar-benar posisi kaki kursi tersebut agar tidak oleng dan goyang seperti yang sudah-sudah. Setelah yakin, Sarah menaikinya dan berusaha menurunkan foto lawas beraura mistis tersebut. Sayang, keinginannya itu pada akhirnya harus ia batalkan. Sebab, ternyata bingkai foto tadi terpatri kuat di dinding. Seperti dipasang menggunakan paku bor. Ketika berulang kali perempuan berpenampilan modis tersebut mencoba menggesernya, namun bergoyang saja tidak lukisan tersebut.
Tak habis pikir, Sarah beranjak sejenak ke kamarnya dan mengambil sesuatu dari dalam lemari. Sebuah kain panjang yang semula menutupi piano yang kemudian hendak ia gunakan untuk menutup foto tadi.
“Beres,” gumamnya, sebelum kemudian mengembalikan kursi ke tempat semula dan kembali menuju ke tujuan awal: ruang pribadi khusus untuk menulis novel.
***
Sudah hampir tiga jam Sarah berkutat di depan layar laptop. Sudah tiga bab ia selesaikan dalam sekali duduk. Ia seketika mengembuskan napas berat. Entah dari mana inspirasi yang didapat Pak Kasman untuk ceritanya dalam proyek novel horor kali ini. Ceritanya bahkan seperti nyata. Berkisah tentang sesosok hantu perempuan Belanda yang gentayangan lantaran mati bunuh diri. Dan yang lebih aneh, ide cerita tersebut persis seperti apa yang menghantui mimpi juga malam-malam Sarah. Tentang hantu perempuan Belanda yang mahir bermain piano, berwajah pucat, juga memiliki bekas lilitan tali tambang di lehernya.
Tapi, sesaat kemudian Sarah membuang jauh-jauh pikiran di kepalanya. Bisa jadi apa yang dialaminya selama ini hanyalah halusinasi, lantaran sebelum menerima proyek besar dari Pak Kasman, Sarah sempat membaca poin-poin penting dari kisah yang diberikan lelaki berkacamata itu. Termasuk tentang gambaran sosok hantu Belanda yang menjadi tokoh utama.
“Buat ceritamu senyata mungkin. Saya bahkan sudah menyiapkan fasilitas rumah peninggalan Belanda untuk kamu menyelesaikan novel ini.”
“Baik, Pak.”
“Semakin nyata dan seram ceritanya, maka penjualan novel yang akan kamu garap ini akan meledak di pasaran. Bisa booming. Kamu bakal menjadi penulis terkenal.”
Mengingat iming-iming Pak Kasman, dada Sarah bergetar. Sebab menjadi penulis best seller merupakan cita-citanya sejak lama. Hanya saja sejumlah naskah novel yang ia kirim ke penerbit banyak mendapatkan penolakan. Tapi, ibu satu orang anak itu percaya bahwa tak ada usaha yang mengkhianati hasil. Ia selalu berusaha menulis karya-karyanya dengan sungguh-sungguh. Maka penawaran menulis novel horor dari Black Rabbit, ia anggap sebagai buah dari kegigihannya.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat. Tapi ia belum juga mendapati suara Amely yang memanggil-manggil namanya. Biasanya, gadis kecilnya itu akan merengek dalam pangkuannya setiap kali bangun tidur. Tapi tidak kali ini. Hal tersebut malah membuat Sarah penasaran dan curiga. Apalagi Amely belum sarapan.
Sarah beranjak dari tempat duduknya. Tak lupa ia matikan laptop yang sudah terasa panas lantaran keyboard-nya sedari tadi ia tekan-tekan tanpa istirahat.
“Amely, kamu belum bangun, Sayang?” panggil Sarah ketika hendak melangkah menaiki anak tangga ke lantai atas. Namun yang dipanggil tak kunjung menjawab. Sarah menganggap putri kecilnya masih terlelap.
Sesampainya di depan pintu, terdengar suara Amely sedang terbahak-bahak. Dari lubang kunci, Sarah mencoba mengintip. Dari sana, tampak Amely tengah melompat-lompat kegirangan.
“Ayo, Tante, kita main,” ucap Amely di sela-sela tawanya.
Merasa ada yang tidak beres, tak menunggu waktu lama, Sarah segera memutar gagang pintu dan mendorongnya ke dalam dengan gerakan cepat. Berharap mendapati sesuatu yang dipanggil dengan sebutan ‘Tante’ oleh putrinya.
Pintu terbuka penuh, membuat Amely yang semula melonjak-lonjak di atas tempat tidur, terdiam seketika. Masih sempat Sarah melihat sesosok bayangan berkelebat dan melintas ke arah luar jendela yang terbuka. Tirai berwarna gading itu bahkan sempat bergoyang seperti diembus angin.
“Amely. Kamu sedang apa, Sayang?” Sarah memeluk putrinya dengan dekapan erat. Ia tak ingin bocah itu kenapa-kenapa.
“Amely cuma lagi main, Mom.”
“Sama siapa?” kejar Sarah dengan nada penuh kepanikan.
“….”
Amely tidak menjawab. Matanya menatap ke arah jendela.
“Ngaku sama Mommy, Sayang!” Paksa Sarah. Ia bahkan mencengkram kedua bahu Amely dengan kuat dan menggoyang-goyangkannya. “Ngaku, sama Mommy, Sayang!”
Amely ketakutan. Wajahnya pucat. Belum pernah ibunya semarah ini pada gadis lugu itu. “Amely main sama Tante, Mom.”
“Tante siapa?!”
Amely menggeleng. Air matanya bahkan seketika mengalir. Tangisan bocah itu mendadak pecah. Menyadari dirinya telah berbuat kasar, Sarah sesegera mungkin menurunkan amarahnya. Ia memeluk Amely dan meminta maaf.
“Maafkan Mommy, Sayang.”
Amely memeluk ibunya. Tangisnya tak lagi pecah. Hanya tersisa isakan-isakan yang belum reda. Sedang dari luar jendela yang terbuka, ada sosok yang menyeringai ke arah Amely yang masih menatapnya.
“Siapa pun Tante itu. Kamu jangan pernah main sama dia lagi, Amel. Mommy nggak suka,” larang Sarah, membuat Amely hanya menggangguk-angguk lemah. “Ya sudah, kalau begitu, ayo sekarang kita sarapan. Mommy sudah masak nasi goreng dan ayam kremes kesukaanmu.”
Amely mengusap air mata di pipinya, sebelum kemudian ia dituntun dan mengikuti langkah Sarah ke ruang makan.
Semua makanan kesukaan Amely sudah terhidang di atas meja. Dari dapur, Sarah mengamati Amely yang tampak begitu lahap menikmati menu sarapan bikinannya. Gadis kecil itu bahkan mengambil sepotong lagi paha ayam dari piring lauk. Dan pada saat itu, Sarah merogoh ponsel di saku celana. Ia lantas menghubungi salah satu nomor dari daftar riwayat panggilan terakhir. Nomor Kevin.
“Halo.”
“Pi, kapan Papi pulang?” Sarah langsung mencerocos begitu mendengar suara suaminya yang menjawab panggilan.
“Loh, loh, ada apa memangnya, Mom?” Kevin kebingungan ketika mendapati nada bicara Sarah yang terdengar panik.
“Ada banyak hal aneh yang terjadi di rumah.”
“Aneh bagaimana?”
Sarah kemudian menceritakan apa-apa yang dialaminya. Mulai dari mimpi-mimpi buruk yang kerap bertandang, penampakan sosok perempuan berwajah pucat di ruang piano, foto di ruang tamu yang berulang kali terlihat hidup, juga perihal Amely yang kerap menyebut nama ‘Tante’ sebagai teman mainnya.
“Kamu itu terlalu kecapekan, Sayang. Belum lagi kamu kebanyakan nulis novel horor, jadi ada-ada saja kejadian dari ceritamu yang seakan nyata. Padahal itu hanya ada di pikiranmu saja. Semacam halusinasi,” terang Kevin.
“Kalau masalah ‘Tante’ yang sering disebut-sebut Amely?”
“Namanya juga anak-anak. Dia pasti punya teman khayalan. Nanti juga bakal berhenti sendiri.”
“Ih, Papi …,” gerutu Sarah. Ia kesal lantaran Kevin memuntahkan semua kepanikannya. Meski setelah dipikir-pikir, apa yang dikatakan suaminya tersebut ada benarnya.
“Ya sudah. Doakan saja semoga urusan Papi di sini cepat kelar. Biar besok Papi bisa langsung pulang.”
“Amin.”
“Mommy baik-baik, ya, di rumah. Jangan mikir yang macam-macam. Dan jangan sampai terlalu kecapekan gara-gara nulis novel.”
“Iya, Pi. Papi juga, semoga urusannya cepat selesai.”
“Sudah dulu, ya, Sayang. Nggak enak sama atasan Papi. Dari tadi nungguin. Katanya ada hal penting yang mau disampaikan ke Papi. Miss you, Mommy.”
“Miss you too, Papi.”
Sarah menghela napas panjang ketika Kevin mengakhiri panggilan. Ia berharap agar suaminya besok bisa benar-benar pulang. Andai pun apa yang selama ini ia alami adalah halusinasi, setidaknya Sarah tak harus menghadapinya sendirian. Kehadiran Kevin di sisinya sedikit banyak pasti bisa membuat tenang, sekaligus lega.
Sarah berbalik, mencoba mengarahkan pandangan kembali pada Amely yang tengah menikmati sarapan buatannya. Tapi, seketika bola mata berbulu mata lentik itu membelalak, lantaran terkejut dengan apa yang ia dapati di atas meja makan. Di meja kaca tersebut, sebakul nasi goreng, juga enam potong ayam kremes bikinan Sarah pagi tadi sudah tandas. Hanya tersisa tulang-tulang yang berserak di atas piring makan Amely.
“Amely?” Sarah mendekat ke sisi Amely yang tampak sedang menjilati sisa-sisa makanan yang menempel di jari-jari mungilnya.
Amely tidak menjawab, hanya dalam satu gerakan yang terbilang singkat, gadis kecil itu menatap Sarah dengan sorot mata tajam dan tak bersahabat.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices