hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
181
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 7

“Amely!” pekik Sarah. “Jangan memandang Mommy seperti itu. Nggak sopan!”
Sarah menepis tangan Amely dari dalam mulutnya. Di mata Sarah, tatapan tajam Amely disertai seringai menakutkan. Ia merasa, sosok Amely saat ini seperti bukan dirinya sendiri.
Seakan tersadar dari sesuatu, binar di bola mata gadis kecil itu kembali seperti sedia kala. “Mommy …,” lirihnya. “Maaf.”
Sarah menarik napas lega. Meski di dadanya seperti menyimpan perasaan was-was dan khawatir. Ia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang aneh di diri putrinya tersebut.
Tepat saat itu, terdengar suara pintu utama rumah diketuk-ketuk. Membikin Sarah terperanjat sejenak. “Sebentar,” ucapnya, mencoba memberi pertanda pada seseorang yang barangkali hendak bertamu.
Memperlebar langkahnya, sampailah Sarah di depan. Setelah memutar anak kunci ke arah kiri, perempuan itu lantas menarik daun pintu ke arah dalam. Tampak kini di hadapannya teras rumah yang lengang. Tak ada siapa-siapa di sana. Padahal jelas-jelas tadi ada yang mengetuk pintu dengan kuat—bahkan terkesan menggedor-gedor dengan sedikit tenaga. Barangkali ulah orang iseng. Meski di sekitar rumah mereka tak ada rumah lain yang berdiri. Di sekeliling rumah mereka yang cukup terpencil, hanya terdapat deretan hutan sekunder dengan pepohonan akasia yang rindang.
“Dasar orang usil,” gumam Sarah sembari menutup pintu dengan agak kuat. Sebagai tanda kekesalan.
Begitu membalikkan tubuh, sekali lagi sarah dikagetkan dengan kemunculan Amely di ruang tengah, belasan langkah di belakangnya. Gadis kecil itu mematung dengan sorot mata tajam. Tangannya menunjuk ke sesuatu yang menggantung di dinding: foto lawas bergambar sepasang orang Belanda yang kini telah terbuka. Padahal Sarah yakin, sejak pagi tadi foto itu telah tertutup kain putih. Kalaupun kain itu jatuh sendiri, seharusnya kain tersebut tergeletak di lantai. Namun, kenyataanya kain itu tidak ada di sana. Atau jangan-jangan ada yang dengan sengaja menyingkirkannya? Tapi, siapa?
“Tante …,” ucap Amely dengan ujung telunjuk yang tetap mengarah ke arah yang sama.
Sarah segera mendekati Amely. Wajah Sarah tampak murka. Sepertinya kesabaran perempuan berambut hitam panjang tersebut sudah habis. Apalagi ini sudah kali kesekian putrinya menyebut kata ‘Tante’. Belum lagi ditambah keanehan yang beberapa kali terjadi pada diri bocah kecil tersebut.
“Amely! Sudah cukup. Mommy nggak suka kamu nyebut nama ‘Tante’ lagi. Berhenti mengada-ada. Kita di hanya tinggal berdua. Hanya ada Amely dan Mommy di rumah ini.”
“Nggak, Mommy. Ada Tante di rumah ini.”
“Hentikan, Amely! Mommy sudah muak!”
Manik mata Amely membulat. Gadis kecil berambut panjang lurus itu terperanjat. Ini kali pertama ibunya memarahinya dengan nada bicara yang cukup tinggi. Bagi bocah polos seusianya, bentakan sekasar itu sudah cukup mampu melukai hatinya.
Amely menangis, meninggalkan Sarah yang hanya diam terpaku. Bocah kecil itu berlari dan balik ke arah kamar.
Sarah sama sekali tak menyangka, lantaran banyaknya keanehan yang terjadi semenjak mereka tinggal di rumah baru ini, semuanya semakin menjadi pelik. Bahkan ia sampai tak mampu mengontrol amarahnya. Semua menjadi berantakan.
“Amely …!” panggil Sarah, sembari menyusul bocah yang belum genap berusia tujuh tahun itu ke kamarnya. Sesaat kemudian terdengar bunyi pintu yang dibanting kuat. Amely mengunci diri di dalam kamar. Masih terdengar isak tangis dari dalam kamar bernuansa merah muda itu.
“Maafkan Mommy, Sayang.” Sarah mengetuk-ngetuk daun pintu, berusaha meminta maaf dan memohon agar Amely membukakan pintu. “Buka pintunya, Sayang.”
Tak ada jawaban. Hanya isak tangis yang semakin kuat terdengar. Sarah lantas menyesali apa yang baru saja dilakukan tadi. Ia berjanji, lain kali akan lebih sabar menghadapi apa-apa yang terjadi di rumah yang ia tinggali sebagai fasilitasnya menulis. Ia berharap segala sesuatu akan segera membaik. Apalagi besok suaminya berjanji akan pulang jika semua urusan lelaki tersebut kelar.
Sarah memutuskan turun kembali ke ruang tempatnya menulis novel. Ia berpikir, semakin cepat ia menyelesaikan proyek novelnya, maka semakin cepat pula ia bisa meninggalkan rumah beraura mistis ini. Jujur, Sarah mulai tidak nyaman tinggal di dalamnya. Entahlah, ia selalu merasa ada sesuatu yang terus mengawasinya di dalam rumah tersebut.
Sarah membuka laptop, membaca outline yang telah disusun oleh penerbit. Lalu kemudian menyalakan laptop di hadapannya. Perlahan, sembari membaca ulang detail demi detail cerita yang diminta Pak Kasman, Sarah mulai menekan satu per satu huruf pada keyboard.
***
Batavia, 1834
Seorang perempuan cantik dengan rambut pirang sedang duduk di hadapan sebuah piano berpelitur cokelat. Jemarinya mahir menekan deretan tuts piano. Sedang matanya mengikuti baris demi baris pada lembar partitur. Alunan melodi melankolis terdengar syahdu. Mengiris hati siapa pun yang mendengarnya. Sedang, sembab masih terlukis di binar mata jernih perempuan tadi. Belum lagi, kemudian, setitik embun menggantung di sana.
“Permisi, Nona. Di teras depan, ada tamu yang mencari Nona.”
Perempuan tadi segera menghentikan gerakan lentik jemarinya. Dengan segera ia menyeka sebutir air mata yang malah sempat luruh. Kemudian, ia melepaskan pandangan dari sosok pembantu setia yang telah mengabdikan diri semenjak ia kecil itu dengan rasa penasaran. Tumben sekali ada yang mencari dirinya di rumah perkebunan ini. Biasanya, orang-orang yang berkunjung hanya mereka yang memiliki urusan bisnis dengan ayahnya, Jacob van Stolch.
“Siapa, Badriah?”
“Tuan Johan van Back, Nona.”
“Mau apa lagi laki-laki itu datang ke sini. Bukankah kemarin Ayah sudah menyampaikan penolakanku atas lamarannya,” gumam perempuan tadi. “Kamu suruh dia tunggu sebentar, Badriah,” lanjutnya kemudian.
“Baik, Nona.”
Sekali lagi perempuan Belanda berparas menawan tersebut menyeka sekitaran mata, memastikan tak ada jejak air mata di sana, sebelum kemudian berdiri dan melangkah dengan enggan ke teras. Ia tahu, lelaki yang kerap menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena di teras rumah tersebut pasti hendaklah menuntut sesuatu atas penolakan yang telah disampaikan sang ayah.
“Goede morgen, Tuan Johan.”
“Goede morgen, Nona cantik.”
Belum apa-apa, Johan sudah menggombal. Membuat perempuan di hadapannya menjadi risih dan tak nyaman.
“Ada perlu apa Tuan kemari? Kalau ada urusan bisnis dengan ayahku, ia sedang keluar kota.”
“Bukan. Aku bukan mencari ayahmu. Aku ke sini untuk menemuimu.”
“Untuk apa, Tuan?”
“Bagaimana keputusanmu atas lamaranku tempo hari?”
“Bukankah Tuan Johan sudah mendengarkan jawabannya melalui Ayah.”
Perempuan bergaun putih itu sengaja memperhalus kalimatnya. Ia tak ingin anak petinggi Belanda paling berpengaruh di Batavia ini tersinggung atas penolakan yang ia sampaikan.
“Jadi, kamu benar-benar menolak lamaranku?” Johan tersenyum kecut. “Kamu tahu, kan, akibat menolak lamaran laki-laki sepertiku?” Kali ini nada bicaranya mengancam. Belum lagi tatapan Johan sekarang terkesan sinis.
“Maaf, Tuan. Ini semua saya lakukan karena saya merasa belum siap untuk menikah. Saya masih ingin menemani ayah saya di perkebunan ini.”
“Alasan!” Nada bicara Johan meninggi. Beberapa pekerja yang tengah memetik cengkih bahkan sampai menoleh ke arah mereka. Tapi begitu mengetahui dari mana nada penuh kemarahan tadi berasal, para pekerja tadi lebih memilih tak menghiraukan. Mereka memutuskan untuk pura-pura tak mendengar dan kembali fokus memetik pucuk-pucuk cengkih yang sudah layak panen.
“Aku mau kamu menikah denganku secepatnya. Titik!”
“Tidak, Tuan. Saya ….”
“Cukup, Hellen! Kamu akan merasakan akibatnya. Aku benar-benar tidak terima harga diriku kamu rendahkan dengan penolakan ini, Hellen. Lihat saja … lihat saja!” ancam Johan.
Sebelum pergi, Johan sempat meludah di hadapan Hellen van Stolch, putri semata wayang Jacob van Stolch itu. Laki-laki itu benar-benar anti pada penolakan. Selama ini, sebagai anak orang terpandang dan memiliki kekuasaan, Johan selalu bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi, tidak dengan hati Hellen. Johan merasa penolakan yang dilakukan perempuan berambut pirang tadi adalah sebuah penghinaan yang tak bisa lagi ditolerir. Ia harus berbuat sesuatu!
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices