hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
200
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 10

Sarah membuka mata. Ia merasakan tubuhnya remuk. Lebam terlihat jelas di bahu dan pelipis. Pasti semua itu akibat tubuhnya yang sempat terlontar keras dan menghantam dinding kamar. Belum lagi, barusan ia mengalami mimpi buruk, tentang perempuan Belanda yang diperkosa seorang lelaki biadab. Lagi-lagi noni Belanda yang sama, yang kerap menghantui bunga tidurnya.
Sarah menegakkan punggung di atas tempat tidur.
“Amely mana, Papi?” tanyanya ketika mendapati sosok Kevin tengah duduk di tepi tempat tidurnya. Dengan mesra laki-laki itu mengelus kepala Sarah, lalu kemudian mendaratkan kecupan di keningnya.
Bukannya menjawab pertanyaan Sarah, Kevin malah berkata lirih, “Maafkan aku, Sayang. Harusnya aku percaya padamu.”
Sarah menggeleng. “Bukan salahmu.” Kali ini Sarah memundurkan posisi punggungnya satu jengkal ke belakang, hingga bertemu dengan sandaran tempat tidur. “Amely bagaimana, Pi?”
Menarik napas, Kevin menjawab, “Alhamdulillah, sudah baikan. Dia sedang tidur di kamarnya.”
“Kita harus segera hubungi orang pintar, Pi.” Sarah mencengkeram lengan Kevin erat.
“Sudah, Mom. Papi sudah meminta bantuan salah seorang teman Papi untuk mendatangkan orang pintar ke sini. Sudah kuberikan juga alamat rumah kita ini. Seharusnya sebentar lagi dia datang.” Tepat saat Kevin menyelesaikan kalimatnya, terdengar pintu rumah mereka diketuk seseorang. “Barangkali itu dia,” lanjutnya.
Kevin turun ke ruang tamu, diikuti Sarah di belakangnya yang berjalan dengan langkah sedikit pincang. Mereka merasa, memanggil orang pintar adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Keduanya berharap orang yang mereka datangkan ini dapat mengusir sosok yang mengganggu keluarga kecil mereka.
“Selamat malam. Benar ini kediaman Pak Kevin?” tanya tamu yang datang dengan pakaian senada berwarna hitam tersebut begitu pintu dibuka.
“Benar. Mbah Ratu Maimunah?” Balik Kevin yang bertanya.
“Betul,” jawabnya pelan. “Boleh saya masuk?” Mbah Ratu meminta izin.
Kevin yang sempat diam terpaku—begitu juga Sarah—mempersilakan Mbah Ratu untuk masuk. Namun, baru belasan langkah menginjak bagian dalam rumah sepasang suami istri tersebut, Mbah Ratu berhenti. Ia lantas menoleh ke sisi sebelah kiri.
“Sudah lama foto itu ada di sana?”
Belum sempat Kevin membuka mulut, Amel menjawab lebih dulu. “Sudah, Mbah, sejak kami pindah ke rumah ini.”
“Ternyata dia yang sudah mengganggu keluarga kalian.” Mbah Ratu menunjuk sosok perempuan Belanda yang berpose duduk anggun di dalam bingkai. “Mari kita periksa putri Anda,” lanjutnya.
Mbah Ratu Maimunah, paranormal tersohor yang tinggal di sekitaran daerah mereka berada, mengikuti langkah Kevin dan Sarah. Di sepanjang langkah kakinya tersebut, mata perempuan paruh baya tadi mengamati seisi rumah. Nyaris ke setiap sudut bangunan.
Sesampainya di kamar Amely, Mbah Ratu lantas memeriksa sesuatu di tubuh bocah yang masih tampak tertidur itu. Ketika mengamati bagian belakang bahu Amely, Mbah Ratu menghela napas keras. “Sudah kuduga. Bocah ini indigo.”
“Memangnya kenapa, Mbah?” Sarah penasaran. Begitu pula suaminya.
“Apa bocah ini lahir tanggal 6 Juni?”
“Betul, Mbah.”
“Jam 6 sore?”
“Iya.”
“Tanggal 6, bulan 6, jam 6. Juga terdapat tanda lahir enam titik tahi lalat di bahunya. Angka setan,” ucap Mbah Ratu yang langsung membikin pasangan suami istri yang sedari tadi mengamati di belakangnya terperanjat.
“Kalau begitu, akan saya mulai saja ritualnya. Apa pun yang kalian lihat, dengar dan rasakan, jangan pernah kalian pedulikan.” Mbah Ratu memberi wejangan. Syarat yang harus ditaati. Sarah dan Kevin hanya bisa mengangguk.
Ketiganya lalu duduk dengan posisi mengitari tubuh Amely yang sempat diletakkan di lantai dengan beralaskan selembar selimut tebal. Mulut Mbah Ratu komat-kamit, seperti sedang membaca mantra. Kedua tangannya terjulur ke depan, seperti merasakan energi negatif yang ada di sekitar mereka.
Sesaat kemudian, lampu ruangan tempat mereka berada berkedip-kedip. Sesuai petuah Mbah Ratu, Sarah dan Kevin tak berani membuka mata. Hingga di dalam kegelapan mata yang terpejam, penglihatan mereka seperti terlempar ke masa lalu. Ke zaman di mana Belanda masih berkuasa di Batavia.
Dengan mata terus terpejam, ketiganya seperti melihat semua kejadian yang terjadi di rumah yang sekarang mereka tempati. Dulu, rumah ini adalah rumah perkebunan milik seorang Belanda bernama Jacob van Stolch dan putrinya, Hellen van Stolch. Namun, baru sepenggal kisah awal, tiba-tiba tubuh Mbah Ratu terlempar keras ke dinding ruangan. Membuat bunyi yang begitu gaduh. Sontak Kevin dan Sarah membuka matanya.
“Mbah Ratu!” pekik mereka.
Mbah Ratu terbatuk. Sejumlah darah kental keluar dari mulutnya. Sepertinya perempuan baruh baya itu terluka dalam. Belum juga Kevin beranjak untuk membantu Mbah Ratu, tubuh perempuan itu malah terangkat ke udara. Seperti ada energi tak kasat mata yang mengerakkannya.
“Kalian harus mengungkap semua rahasia masa lalu di rumah ini. Aku mau apa yang menjadi milikku tetap menjadi milikku. Bukan milik orang lain.” Tiba-tiba dengan kelopak mata masih terkatup, dari mulut Amely yang masih tertidur, suara menyeramkan terdengar. “Dan kamu, Sarah, kamu harus menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai. Kamu harus menulis apa yang selama ini aku tunjukkan padamu. Biar semua orang tahu kebenaran yang selama ini terbungkam lama di rumah ini. Kalau tidak, anak ini akan menjadi milikku.”
“Apa maksudmu? Siapa kamu sebenarnya?” Kevin menyela.
“Aku Hellen, pemilik rumah dan seluruh lahan bekas perkebunan ini,” jawab suara menyeramkan melalui bibir mungil Amely. “Ingat! Selesaikan apa yang harus kalian selesaikan atau kalian akan kehilangan anak ini.”
Setelah berkata demikian, suara tadi lenyap, diikuti tubuh Mbah Ratu yang terempas ke lantai. Perempuan itu limbung. Lalu hari berikutnya, Mbah Ratu yang tersohor itu pun memutuskan untuk tak ikut campur dalam permasalah yang makin rumit ini. Dan yang paling penting, Kevin dan Sarah tahu apa permasalahan yang saat ini tengah menghantui keluarga mereka. Bahkan bisa mengancam keselamatan si kecil Amely.
***
Sarah memeriksa setumpuk berkas di atas meja tempat biasa ia menulis novel. Ia mencari-cari sesuatu yang mungkin berhubungan dengan semua yang terjadi di rumah yang mereka tempati kini. Benar dugaannya, Sarah menemukan foto rumah lama di antara tumpukan foto-foto usang yang bernuansa hitam putih dan sedikit kekuningan dimakan usia. Baru ia sadari kalau gambaran rumah lama itu persis seperti latar belakang foto yang terpajang di ruang tengah. Dan yang selama ini luput dari penglihatannya, pada salah satu foto usang tadi, di antara segerombolan perempuan Belanda, terdapat wajah yang sama persis dengan sosok dalam foto yang juga menggantung di ruang tengah. Di balik foto itu, tertera tulisan: Hellen – Batavia, 1834.
Berarti benar dugaannya, novel yang selama ini ia tulis merupakan kisah nyata yang diangkat dari kehidupan pribadi Hellen. Meski ada beberapa detail yang berbeda dengan apa yang dilihatnya di mimpi, juga dari penglihatan yang ditunjukkan ketika Mbah Ratu membawa mereka ke masa lalu rumah ini. Yang membuat Sarah lebih yakin lagi, nama tokoh dalam novelnya, juga nama hantu yang merasuki tubuh Amely adalah sama: Hellen.
“Pantas saja, aku selalu dihantui mimpi-mimpi buruk yang nyaris sama,” gumam Sarah. Kevin yang menemaninya hanya bisa mempehatikan apa yang dilakukan istrinya tersebut. “Aku harus berbuat sesuatu. Pantas saja Hellen meminta aku menyelesaikan tulisan ini. Rupanya ini adalah kisah nyata dirinya yang sengaja dibelokkan. Di draft novel ini, dituliskan kalau Hellen mati karena bunuh diri. Padahal sebenarnya dia mati karena dibunuh seseorang.”
“Iya, Mom. Saat kamu pingsan karena diserang Amely, hantu itu juga bilang bahwa kamu harus menyelesaikan apa yang sedang kamu buat. Ungkap semua kebenaran, atau Amely menjadi milik hantu itu.”
“Tunggu … Pak Kasman pasti tahu sesuatu tentang ini semua. Aku harus menemuinya sekarang juga.”
“Tapi, sekarang masih jam enam pagi, Sayang.” Kevin mengingatkan. “Apa perlu aku temani?” Lelaki berkumis tipis itu menawarkan diri.
“Nggak usah, Sayang. Kamu harus tetap menjaga Amely di rumah. Takut terjadi apa-apa lagi. Percayalah, aku akan bisa menyelesaikan masalahku dengan si Kasman.” Sarah sudah tak lagi menggunakan sapaan ‘Pak’ untuk menyebut nama pemilik penerbitan Black Rabbit tersebut.
Maka di pagi yang belum terik itu, sebuah mobil sedan berwarna hitam, meluncur membelah jalanan lengang. Di dalamnya, Sarah sudah tak sabar lagi membuat perhitungan dengan Pak Kasman. Perempuan berpenampilan modis itu mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices