hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
201
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 8

Sarah terbangun dari tidurnya di depan layar laptop yang masih berpendar. Lagi-lagi mimpi yang sama. Tentang seorang perempuan Belanda berparas menawan dengan bola mata yang jernih. Kali ini perempuan itu menolak lamaran seorang lelaki bangsawan. Persis seperti kisah yang tadi ditulis Sarah dalam novelnya. Barangkali benar kata orang, apa-apa yang tengah dipikirkan, sedikit banyak akan terbawa ke dalam mimpi.
Sarah menggeliat, mencoba meregangkan tulang punggungnya yang terasa pegal lantaran tidur dengan posisi yang tidak nyaman: berbantal lengan yang ia telungkupkan di atas meja tempatnya mengetik. Seketika ia terkejut ketika mengamati jam yang menggantung di dinding. Pukul delapan malam. Rupanya cukup lama juga ia ketiduran.
Sarah segera beranjak dari kursi, meninggalkan laptop dalam keadaan menyala. Sarah sama sekali tak menyadari, bahwa sedari tadi, di ruangan temaram tersebut, ada sesosok perempuan lain dengan wajah pucat membiru berdiri diam di belakangnya. Mata perempuan itu sempurna hitam bak arang. Belum lagi di lehernya, terlihat jelas luka bekas lilitan tali tambang sebesar ibu jari.
“Amely!” panggil Sarah. Lantaran ketiduran ketika sedang mengerjakan proyek novelnya, Sarah bahkan belum sempat menyiapkan makan malam. Apalagi Amely melewatkan makan siangnya lantaran tadi sempat mengambek.
Tak jauh dari depan pintu kamar Amely, dari dalam, lagi-lagi Sarah menangkap suara putrinya tertawa girang. Entah kenapa, setiap kali perempuan itu mendapati Amely bermain sendiri di dalam kamarnya, bulu kuduknya merinding. Terlebih dari suara tawanya, terdengar sekali keceriaan sedang memeluk Amely. Apa semua ini lantaran Sarah yang terlalu sibuk dan fokus menulis novel, sehingga ia kerap mengabaikan Amely. Juga jarang mengajaknya bermain bersama seperti sebelumnya. Sarah kemudian berpikir bahwa mungkin itulah yang menyebabkan putrinya memilih memiliki teman khayalan seperti kata Kevin, suaminya.
Tidak habisnya rasa penasaran Sarah, ia lantas mencoba mengintip dari lubang kunci seperti yang sudah-sudah. Terlihat samar-samar tubuh Amely yang tengah asyik melompat-lompat di atas tempat tidur. Namun, karena gerakan putrinya yang tak beraturan, Sarah tak bisa memfokuskan pandangan pada sosok Amely. Dan saat itulah, tiba-tiba sesuatu yang tak terduga muncul tepat di depan mata Sarah. Di ujung lubang kunci bagian dalam, tampak menyeringai sesosok perempuan berwajah menyeramkan dengan deretan geligi berwarna legam membusuk.
Seketika Sarah jatuh terduduk. Ia segera memutar handle dan membuka pintu dengan terburu-buru untuk memeriksa sosok yang tadi sempat menampakkan diri di belakang pintu. Belum lagi Sarah khawatir kalau-kalau makhluk tadi sampai mengganggu putrinya, nyatanya perempuan berambut panjang itu malah tak mendapati apa-apa. Kamar Amely mendadak kosong. Sosok gadis kecilnya pun tak tampak di mana-mana. Padahal sesaat lalu, jelas-jelas ia melihat Amely sedang melompat-lompat di atas tempat tidur. Hilangnya Amely semakin membikin Sarah berteriak panik.
“Amely, kamu di mana, Sayang?!”
Tak ada sahutan.
“Amely … where are you, Honey?” Sekali lagi Sarah mengulang panggilan, mencari-cari keberadaan putri kecilnya. Bahkan sampai ke bawah kolong tempat tidur dan di dalam lemari. Kalau-kalau Amely sedang mengajaknya bermain petak umpet. Tapi, keberadaan Amely tetap tak ia temukan.
Curiga dengan jendela yang terbuka, Sarah mengeceknya. Dari posisinya berdiri itulah, perempuan yang mengenakan kaus kasual bermotif bunga mawar itu mendapati Amely—dengan penerangan yang berasal dari cahaya purnama—samar-samar menatapnya dengan sorot mata tajam dari kejauhan. Tepatnya dari depan pintu gudang tua yang tak terurus di belakang rumah.
“Amely!”
Buru-buru Sarah berlari ke lantai dasar. Di kepalanya, terus berputar-putar berbagai macam kemungkinan kenapa di malam segelap ini putrinya itu malah bermain-main di luar rumah. Sendirian pula.
Dengan buru-buru, bahkan beberapa kali sempat terjatuh, Sarah meraih senter dari meja dapur. Dibukanya pintu belakang dan perempuan berwajah tirus tersebut langsung berlari ke arah gudang yang posisinya terpisah dari bangunan utama. Gudang tua itu terbuat dari dinding papan yang di beberapa bagian sudah terlihat lapuk. Karena merasa tak memerlukannya, semenjak menempati rumah ini, Sarah sengaja tak membereskan gudang tersebut. Ia dan Kevin memilih membiarkannya begitu saja seperti kondisi pada saat pertama kali mereka datang.
“Amely!” Sekali lagi Sarah memanggil putrinya, berharap yang dipanggil menyahut.
Tapi, nyatanya sunyi. Tak ada jawaban. Hanya ada suara kerik jangkrik dan binatang malam yang tertangkap indra pendengaran.
Pintu gudang tua terbuka. Bau apak dan pengap menguar dari dalamnya. Tapi, lagi-lagi, dengan menyorot ke seluruh sisi gudang, Sarah tak mendapati sosok Amely di mana pun. Hanya ada suara bocah itu tengah tertawa pelan. Entah dari arah mana.
“Amely, ini Mommy, Sayang.” Sarah masih menyusuri ruangan yang dipenuhi tumpukan barang bekas dan sarang laba-laba itu. “Kamu di mana?”
Bukannya menemukan Amely, sorot senter Sarah malah berhenti pada sebuah lukisan usang yang begitu dikenalinya. Lukisan sepasang laki-laki dan perempuan yang berbeda usia. Si perempuan muda duduk di kursi, sedang di bagian belakang, lelaki tua berkacamata berdiri tegap. Lukisan itu tak lain serupa dengan foto yang terpajang di ruang tengah rumahnya. Belum lagi selesai mengamati lukisan tadi, pendengaran Sarah tiba-tiba menangkap suara tawa dari kejauhan. Suara Amely.
Sarah segera menuju ke luar gudang. Dari posisinya sekarang, Sarah bisa melihat Amely sedang melompat-lompat di atas ranjang kamarnya di lantai dua. Lagi-lagi dengan wajah yang ceria.
Bagaimana mungkin anakku sudah ada di sana? Sarah membatin. Sungguh, ia kini tengah dihinggapi rasa penasaran yang teramat sangat. Segalanya jadi semakin menyeramkan sekarang.
Apalagi, selain menangkap gambaran tubuh Amely yang tengah melompat kegirangan, ternyata Sarah menangkap sosok lain di dekat bocah itu. Bayangan tinggi hitam yang berdiri dengan jarak sedepa dari Amely. Lama kelamaan, bayangan tadi merupa sosok perempuan menyeramkan. Meski samar, Sarah tahu kalau sosok tadi bukanlah manusia.
“Amely! Awas, Sayang!” Sarah panik, sesegera mungkin ia mencoba kembali ke dalam rumah. Dengan langkah kaki yang dipercepat, Sarah menuju pintu belakang tempat ia keluar tadi.
Baru saja memegang gagang pintu, sesuatu tiba-tiba menahan pergelangan tangan Sarah. Membuat perempuan berwajah tirus itu nyaris memekik. Namun urung ia lakukan ketika dengan sorot senter yang berada di pegangan tangan yang lain, Sarah bisa mengenali sosok tersebut.
“Kevin … syukurlah.” Sarah memeluk suaminya tersebut. Ada rasa hangat yang kemudian menjalar di dalam dadanya.
“Urusanku sudah selesai siang tadi. Jadi, kuputuskan untuk langsung pulang saja ke sini. Sudah kangen banget sama kalian.” Kevin menjeda kalimatnya sejenak. “Dari tadi siang Papi hubungi hape kamu, tapi nggak diangkat-angkat.” Itu pasti lantaran siang tadi Sarah tertidur ketika tengah melanjutkan proses penulisan novelnya, hingga dia tidak mendengar suara ponselnya yang berdering.
Sarah malah menangis. Ia tak tahu harus senang ataupun sedih saat ini. Yang ia tahu, ia butuh pelukan dan bantuan suaminya saat ini. Tak memedulikan kerutan yang tergurat jelas di kening Kevin yang bersih. Sedang di sisi lain, ia merasa Amely sedang dalam bahaya.
“Amely … Amely sedang dalam bahaya!” Sarah ingat tentang apa yang tadi dilihatnya dari depan pintu gudang yang terbuka.
Gantian perempuan itu menarik tangan suaminya dan bergegas naik ke kamar Amely. Sesampainya di sana, dilihatnya tubuh Amely terbaring nyenyak di atas tempat tidur.
“Amely.” Sarah memeluk erat tubuh putrinya. Amely yang tertidur segera membuka kedua matanya dengan berat.
“Mommy … Papi ….” Bocah itu memandangi kedua orang tuanya dengan wajah penuh kantuk. Matanya masih tampak kemerahan.
“Kamu dari mana saja, Sayang?” tanya Sarah pada Amely yang masih berada di dalam pelukannya. Kevin masih tidak paham dengan apa yang terjadi.
“Amely dari tadi cuma tidur di sini, Mommy.”
Sarah tentu tidak semudah itu percaya pada kata-kata putrinya. Apalagi setelah apa yang barusan terjadi. Semuanya begitu jelas ada di depan mata. Dan Sarah dalam keadaan sadar. Namun, tak satu pun dari kejadian itu yang bisa dicerna akal sehat.
“Ya sudah, sekarang kamu tidur lagi, ya, Sayang.” Kevin mengelus lembut rambut putrinya yang hitam legam. Kemudian, Sarah meletakkan kembali tubuh putri kecilnya ke atas tempat tidur. Sempat ia melirik ke arah jendela. Jendela itu sudah dalam keadaan terkunci. Padahal sejak tadi nyata-nyata jendela itu sedang terbuka. Perasaan Sarah semakin tidak enak.
“Pi, besok pagi lebih baik kita kembali ke rumah lama kita. Mommy benar-benar sudah merasa tidak nyaman tinggal di rumah ini.”
“Sudahlah, Mommy, terlalu repot jika kita harus mengangkut ulang barang-barang kita ke rumah yang lama. Lagi pula, kontrak penerbitan novel Mommy kan baru berakhir dua bulan lagi. Saat itulah, Papi rasa kita baru kembali ke rumah yang lama. Lagian, Papi rasa di sini suasananya tenang. Cocok untuk mendukung mood menulis Mommy. Nggak seperti rumah kita yang di kota, berisik gara-gara dekat dengan jalan raya.” Kevin mencoba menenangkan istrinya yang kelihatan khawatir.
“Nggak, Pi. Pokoknya kita besok harus tetap pulang ke rumah yang lama. Masalah barang-barang, bisa kita bawa yang penting-penting saja dulu. Sisanya, kita urus setelah kita di sana.” Sarah bersikeras.
Seperti kehabisan akal, Kevin kemudian mau tak mau terpaksa menyetujui permintaan Sarah. Baru kali ini Kevin mendapati Sarah bertingkah keras kepala. Ia lalu mengecup kening istrinya itu.
“Mom … Tante bilang kita tidak boleh pergi dari rumah ini. Kata Tante, ada yang harus Mommy selesaikan dulu di sini.” Tiba-tiba Amely memotong pembicaraan kedua orang tuanya.
“Tante?” Kevin segera memandang wajah Sarah. Seperti mendapat isyarat kalau inilah yang selama ini disampaikan Sarah padanya, Kevin kembali mendekati pinggiran tempat tidur putrinya itu dan duduk di sana. “Tante siapa, Sayang?”
“Tante Hellen.”
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices