hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
203
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 12

Batavia, 1834.
Sarah seperti bisa menikmati apa yang kini ada di hadapannya. Aroma bunga cengkih dari perkebunan yang bisa dikatakan luas, memenuhi indra penciuman. Saat ini, Sarah tahu kalau ia tengah diberi penglihatan tentang kisah Hellen semasa hidup. Noni Belanda itu juga seperti ingin mengisahkan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu pada ibu dari satu orang anak tersebut. Sarah hanya mengikuti alur cuplikan dari setiap scene-scene yang di mainkan.
Awalnya semua baik-baik saja. Hellen bahagia menjadi putri tunggal Jacob van Stolch. Setiap hari, Hellen menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melukis. Namun nestapa itu akhirnya terjadi. Ketika seorang lelaki terpandang, putra bangsawan Belanda yang memiliki pengaruh di Batavia, datang melamar. Johan van Back, namanya. Jujur, Hellen tak bisa menikah dengan lelaki itu. Seantero Batavia juga tahu, meski seorang bangsawan, Johan dikenal sebagai lelaki berengsek yang hobi bermain perempuan. Belum lagi sikapnya yang tempramen dan kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Termasuk cara kotor yang dilakukan secara terang-terangan. Namun, lantaran kekuasaannya, tak satu pun yang berani menentang perbuatan lelaki berambut pirang itu.
Mata Sarah melihat adegan demi adegan yang berlangsung cepat di hadapannya. Meski seakan berada di tempat kejadian, Sarah hanya bisa merasakan apa yang dialami Hellen. Tapi, sedikit pun ia tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, apa yang kini tengah terjadi di hadapan Sarah, tak lebih dari cuplikan scene-scene dari peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Hingga di satu kejadian, mata Sarah terbelalak.
Sarah ingat betul tentang mimpinya beberapa hari lalu. Saat ini itulah yang terjadi. Ia melihat seorang perempuan cantik sedang melukis foto dirinya bersama sang ayah. Perempuan itu tak lain adalah Hellen van Stolch. Kejadiannya sama persis seperti apa yang ada di dalam mimpi Sarah. Empat orang suruhan Johan yang merasa sakit hati lantaran cintanya ditolak, membekap dan menyandera Hellen. Membawanya ke sebuah gudang perkakas kebun di belakang rumah.
Meski benar-benar sama, namun bedanya, kini Sarah seperti ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Hellen. Bagaimana sakitnya cengkeraman tangan Johan di lengan Hellen. Termasuk saat noni Belanda berkulit putih itu dengan beringas diperkosa dan dibunuh oleh Johan. Air mata Sarah bahkan mengalir deras.
Tak sampai di situ, kembali Sarah harus melihat bagaimana tubuh Hellen yang sudah lemas tak bernyawa, digantung dengan sebuah tali tambang yang membelit leher. Seolah-olah Hellen mati karena bunuh diri. Dada Sarah begitu sakit dan sesak ketika merasakan serta melihat kekejian yang dilakukan Johan pada Hellen di masa lalu di depan matanya.
Syukurlah, gambaran peristiwa itu segera berakhir dan melompat ke kejadian beberapa minggu setelahnya. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Sarah tidak lagi menjadi sosok Hellen yang cantik, melainkan sosok menyeramkan dengan wajah pucat penuh darah. Sebuah luka yang berasal dari tali gantungan, membekas di leher. Sarah yakin, dirinya saat ini menjelma menjadi arwah Hellen yang penasaran, sebab sebelum mati Hellen menyimpan dendam kesumat teramat sangat pada orang yang telah membunuhnya.
Hari gelap. Sarah seperti bisa melihat sosok Johan yang sedang duduk sambil menikmati cerutu di tangan. Laki-laki angkuh itu duduk di atas kursi goyang kesukaan Jacob van Stolch, ayah Hellen. Ternyata, mulai saat itu, Johanlah yang menguasai seluruh rumah dan lahan perkebunan cengkih milik Jacob van Stolch. Setelah sepekan yang lalu, lelaki paruh baya berkacamata itu mati karena sakit tekanan batin. Lantaran kematian putri kesayangannya, Hellen van Stolch, secara tiba-tiba.
Jacob selalu yakin kalau Hellen tak mungkin mati bunuh diri. Ia kenal betul bagaimana sosok Hellen. Naluri kebapakannya memiliki firasat kalau yang membunuh Hellen adalah Johan. Apalagi beberapa hari sebelumnya, mereka menolak lamaran lelaki berengsek tersebut. Namun, karena kekuasaannya, Johan selalu bisa membuat apa yang telah ia lakukan pada Hellen, seolah-olah hanyalah kasus kematian karena bunuh diri.
Maka, malam ini, arwah penasaran Hellen, berniat menuntut balas atas kematiannya dan kematian sang ayah. Sarah, menjadi satu-satunya saksi yang lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa.
“Johan …,” panggil hantu Hellen dengan suara pelan namun menyeramkan.
Johan yang tengah menyesap cerutu, sampai tersedak. Ia bahkan langsung berdiri dan beranjak dari atas kursi goyang. Ia lantas mencari-cari sosok yang memanggilnya tersebut.
“Wie[1]? … Siapa yang memanggilku?!” Wajah Johan pucat. Meski tak yakin, tapi Johan tahu kalau suara itu adalah suara milik Hellen. Tapi, mana mungkin perempuan itu bisa ada di rumah yang kini menjadi miliknya, padahal jelas-jelas beberapa minggu yang lalu ia membunuhnya. Lelaki itu bahkan datang ke pemakaman Hellen. Pura-pura simpati.
“Aku Hellen, Johan. Kamu harus menerima akibat dari semua perbuatanmu!”
“Hell—en! Tidak mungkin. Je bent dood[2].” Manik mata Johan mengitari sekeliling, mencoba menangkap sosok yang hanya terdengar suaranya itu. “Pergi! Jangan ganggu aku!”
“Aku akan membunuhmu, Johan!” Hellen memekik. Suaranya terdengar menggeram. Kali ini, ia menampakkan wujud aslinya pada Johan. Wujud dengan muka pucat penuh darah, dengan deretan gigi-gigi berwarna hitam. Dari mulut Hellen, tak henti amis darah yang tak kalah pekat terus menetes. Johan bahkan sampai terlonjak ketika mendapati wajah Hellen tersebut hanya berada sejengkal dari wajahnya.
“Pergi! Jangan bunuh aku!” Johan berniat kabur. Tapi, hantu Hellen lebih dulu mencengkeram lehernya. Membuat napas lelaki Belanda itu tersengal. Ia bahkan nyaris kehabisan napas. Beruntung, sesaat kemudian Johan bisa melepaskan diri.
Johan yang begitu ketakutan, lantas memilih untuk melarikan diri ke bekas kamar Jacob van Stolch yang kini sudah ia jadikan ruang kerja pribadinya dan memastikan kunci ruangan tersebut sudah tertutup rapat. Lelaki itu benar-benar tak menyangka kalau hantu Hellen akan menuntut balas akan semua perbuatannya.
Merasa dalam bahaya, Johan van Back terlihat segera mengambil selembar kertas dan pena. Ia kemudian menuliskan sesuatu di atas kertas itu dengan terburu-buru. Tangannya gemetar. Keringat sebesar biji jagung bercokol di pelipis. Sesekali ia melirik ke arah pintu ruang kerjanya yang terkunci.
Dia datang. Sebentar lagi dia pasti akan datang, batin Johan dengan wajah pucat.
Sedang dari arah luar, sesuatu yang tak kasat mata hendak datang menemuinya. Sosok yang ingin merobek jantung laki-laki berseragam tentara Belanda itu.
Selesai! Surat yang di bawahnya Johan bubuhkan tanda tangan beserta nama lengkapnya, selesai ia tulis. Lantas, digeletakkan begitu saja surat tadi di atas meja kerja. Tepat di sebelah pistol yang tergeletak.
Dari luar, samar-samar terdengar suara langkah kaki kian mendekat. Semakin lama, suaranya semakin keras. Wajah lelaki Belanda itu kian pucat. Ketakutan. Pakaian tentara cokelat mudanya bahkan sudah dibasahi peluh. Tubuh Johan gemetar.
Pintu ruang kerja yang tadinya terkunci, mendadak terbuka dengan sendiri. Padahal Johan yakin benar kalau ia sudah menguncinya dengan rapat.
“In Godsnaam, je gaat dood![3]” Johan berteriak.
Meski tak lagi tampak, tapi ia tahu kalau ada yang mendekat ke arahnya selepas pintu tadi terdorong ke belakang. Dengan gerakan cepat, Johan lantas meraih pistol dari atas meja dan mengarahkan ke sesuatu yang beberapa detik kemudian menunjukkan wujudnya yang lagi-lagi menyeramkan.
“Je gaat dood!” teriaknya, diiringi bunyi letupan pistol yang menyalak. Berkali-kali.
Tapi sepertinya percuma. Usaha laki-laki itu sia-sia. Wajah Johan benar-benar pasi. Bahkan pistol di tangannya bergetar hebat. Ketakutan semakin menjadi-jadi.
Pistol menyalak sekali lagi. Namun, hasilnya sama. Sosok yang memang sudah mati itu, tak mungkin mati untuk kali kedua. Lelaki Belanda berparas tampan itu pada akhirnya putus asa.
“Kamu pikir kamu bisa mendapatkanku? Tidak akan pernah!”
Bukannya mengarahkan pistol ke sosok perempuan berwajah penuh darah di hadapannya, kali ini Johan malah meletakkan moncong pistol tadi di dalam mulut. Dan dengan sekali tarikan pelatuk, suara letupan pistol menyalak sekali lagi. Peluru menembus sampai ke belakang kepala Johan. Tubuh lelaki itu menggelepar, sebelum kemudian tergeletak dan tidak bergerak di lantai. Darah seketika menggenang di lantai pualam.
Hantu Hellen kemudian mengamuk. Teriakannya terdengar menyayat. Seharusnya ia yang membunuh Johan dengan tangannya sendiri. Bukan malah lelaki keparat itu bunuh diri. Tapi, setidaknya Johan sudah mati. Ia memang pantas mendapatkan semua ini. Dan setelahnya, sosok hantu Hellen lenyap. Meninggalkan roh Sarah yang tak kasat mata sendirian.
Tak lama, sesosok perempuan berwajah khas lokal masuk ke ruangan yang sudah terbuka itu. Lantaran sesaat lalu dirinya mendengar suara gaduh dan suara pistol yang menyalak. Perempuan itu Badriah, pesuruh yang sudah begitu lama mengabdi di rumah perkebunan ini, semenjak Hellen kecil.
Badriah menjerit. Di hadapannya, ia mendapati tubuh Johan—yang merupakan majikan barunya setelah Tuan Jacob meninggal—bersimbah darah. Perempuan itu panik. Namun, sesaat kemudian matanya tertuju pada selembar kertas di atas meja kerja. Badriah lantas membacanya.
Anehnya, setiap kali Badriah menyusuri kata demi kata yang tertulis dalam bahasa Belanda di kertas tadi, Sarah—yang sekarang berada di samping Badriah—seakan ikut bisa memahami apa yang dibaca Badriah.
Aku, Johan van Back. Ketika aku menulis surat ini, mungkin itu adalah terakhir kalinya aku melihat dunia. Karena malam ini, aku harus menghadapinya, arwah Hellen yang menuntut balas. Tapi, aku tak akan membiarkan dia membunuhku. Satu-satunya pilihan adalah aku atau dia yang menang.
Tapi, jika kalian menemukan surat ini, itu tandanya: aku yang mati!
-Johan van Back-
Di samping surat tadi, Badriah juga rupanya menemukan setumpuk berkas-berkas berharga: surat warisan atas rumah dan seluruh aset perkebunan yang dibuat Jacob van Stolch untuk Hellen, juga beberapa lembar foto mereka, dan terakhir buku harian milik Hellen yang sering dibaca Jacob selepas putrinya itu tewas, yang ditulis dalam bahasa campuran antara bahasa Belanda—Indonesia.
Menyadari itu, Badriah lantas membungkus file-file penting tadi dengan kain yang menjadi alas meja. Lalu menyimpannya di salah satu lubang tersembunyi di balik dinding yang tak sengaja ia temukan dulu, sewaktu membersihkan ruang kerja majikannya tersebut.
***
[1] Siapa?
[2] Kamu sudah mati
[3] Demi Tuhan, kamu akan mati!

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices