Devils Bait

Reads
163
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Chapter 2

Dua minggu pertama di kampus berjalan mulus tanpa hambatan berarti. Adara dan keempat sahabat barunya sudah mulai bisa beradaptasi dengan jadwal dan peraturan di tempat mereka menimba ilmu. Seperti rencana awal, Alody dan Emily masuk jurusan yang sama yaitu Ilmu Pengetahuan Murni dan Terapan. Adara dan Min Hee di jurusan Rekayasa dan Tekhnologi. Sedangkan Li Hua masuk di jurusan Kedokteran.
Lima sahabat itu tengah menikmati sore di sebuah ruang terbuka yang menghubungkan pintu masuk timur perpustakaan Bodleian dan Proscholium. Pancaran bahagia terlihat jelas dari wajah mereka. Adara dan Li Hua berdiri menyandar pada dinding perpustakaan. Alody dan Min Hee duduk dengan tangan memeluk kedua kaki dengan hanya beralaskan kertas. Di hadapan mereka, Emily berjongkok sambil memainkan ujung rambutnya dan mengunyah permen karet tentunya.
“Menurut kalian apa kita tidak terlalu berlebihan terhadap Lanasha?” tanya Min Hee ketika melihat gadis yang disebutkan tengah duduk menyendiri bersandar pada pohon rindang di area kampus. Matanya berpusat pada bacaan di genggaman.
“Aku rasa tidak. Biar dia menyadari, kita di sini untuk belajar ilmu yang memang sudah nyata ada, bukan mendengarkan omong kosongnya itu,” sahut Emily menimpali.
“Bagaimana kalau ternyata yang dikatakannya benar?” Alody menatap Emily dengan cemas.
“Itu tidak mungkin, Al. Lihat saja kita sekarang. Baik-baik saja, kan? Sudah berjalan dua minggu sejak ramalan itu dan nyatanya tidak terjadi apa pun,” balas Emily lagi. Dia takut jika Alody memercayai hal yang menurutnya tidak masuk akal.
“Entahlah, Em. Tapi tadi malam aku merasakan sekujur tubuhku menggigil. Seperti ada sesuatu yang sedang mengawasi kami, namun aku tidak tahu pasti itu apa.” Li Hua memandang jauh ke langit.
“Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku tidak merasakan apa pun,” protes Min Hee yang tidur satu kasur dengan Li Hua.
“Kau tidur pulas sekali. Lagian percuma aku membangunkanmu. Yang ada kau nanti malah akan sibuk membetulkan ponimu yang acak-acakan,” ejek Li Hua tertawa geli.
Bukannya marah, Min Hee justru benar-benar merapikan poninya yang nyaris sampai ke mata. Polesan lipstik merah muda yang hanya mewarnai bagian dalam bibir itu membuatnya justru terlihat pucat.
“Benar kata Emily. Untuk apa kita memercayai hal semacam itu yang hanya akan mengganggu konsentrasi belajar kita di sini. Mungkin saja itu karena kau kelelahan, Li Hua. Jadi kau berhalusinasi.” Adara mengibaskan rambutnya yang tertiup angin menutupi wajah.
“Semua itu terlalu nyata bagiku. Yah, semoga saja kau benar,” jawab Li Hua mengangkat alis.
“Tapi aku juga tidak setuju jika kau mendiamkannya terlalu lama, Em. Dia teman sekamar kita. Kasihan dia. Tentu sangatlah tidak nyaman tidur sekamar dengan teman yang tidak mau mengucapkan sepatah kata pun padanya,”
“Salah sendiri. Siapa yang mau berteman dengan orang aneh seperti dia. Aku hanya melindungi pikiran kita agar tidak diracuni olehnya,” sahut Emily bersikeras.
“Memang tidak mudah menerima orang yang memiliki kelebihan seperti dia. Tapi aku rasa dia sebenarnya orang baik. Hanya saja kita yang tidak biasa menerima ramalan seperti itu,” Alody ikut menimpali.
Emily hanya diam. Entah kekuatan apa yang dimiliki Alody, Emily yang keras dan cenderung pemarah selalu mendengar apa pun perkataannya. Padahal dari dua minggu kebersamaan mereka, hampir semua pernah mengalami adu argument dengan Emily. Tapi tidak jika dengan Alody.
Tiba-tiba Min Hee pingsan. Kontan saja mereka semua kaget dan menghambur ke arahnya. Li Hua menggoyangkan tubuh Min Hee berulang kali dan menepuk-nepuk kedua pipinya berharap gadis itu segera sadar. Nihil. Dia tetap bergeming.
***
Emily duduk di tepi kasur Min Hee pasrah. Di samping mereka Li Hua dan Alody juga tergolek tidak berdaya. Wajah mereka pucat seperti tidak ada darah.
“Tolong mintakan obat penurun panas pada dokter, Em. Aku merasakan tubuhku panas sekali. Mengapa dia tidak memberikanku obat?” tanya Min Hee lemah.
Emily hanya diam menatap sahabatnya prihatin. Dia teringat akan pembicaraan dengan Dokter Alison tadi. “Mereka tidak terserang penyakit apa pun. Bahkan suhu tubuhnya pun normal. Aku tidak tahu harus memberikan penanganan apa. Mungkin mereka hanya perlu istirahat. Aku hanya berani memberikan beberapa vitamin pengembali stamina saja.”
Dibiarkannya saja berbagai keluhan mereka hingga akhirnya tertidur dengan sendirinya.
Seseorang membuka pintu kamar perlahan. Ternyata Lanasha. “Bagaimana keadaan mereka, Em?”
“Seperti yang kau lihat,” jawab Emily sedih. “Maafkan aku.”
Lanasha menatap Emily heran.
“Ya. Maafkan aku tidak memercayaimu. Kini memang semuanya benar terjadi. Dokter Alison memulangkan mereka karena tidak ditemukan penyakit apa pun dalam tubuh mereka.”
“Kau tidak bersalah, Em. Memang tidak mudah menerima hal seperti itu. Dulu aku juga berontak sepertimu, sebelum akhirnya aku sadar. Hal-hal yang terkadang di luar nalar kita juga memiliki ruang di bumi dan mau tidak mau harus kita hadapi.”
Emily mengangguk. “Mengapa kau meninggalkan Adara sendiri? Bagaimana keadaannya?”
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Adara baru saja tidur pulas. Dia selalu saja mengigau tentang tanah yang bergetar dan pasir hisap. Aku tidak tahu apa maksudnya. Sebagian besar yang digumamkannya tidak dapat kucerna dengan jelas. Namun aku yakin, ini bukanlah penyakit. Ini adalah reaksi tubuh mereka pada kekuatan asing yang masuk.”
“Apa tidak ada yang bisa kau lakukan lagi untuk menolong mereka?”
“Aku tidak memiliki ilmu apa pun, Em. Yang aku punya hanya kekuatan naluri dan menyelaraskannya dengan membaca kartu tarot. Selain itu aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Tidak bisakah kau meramalkan apa yang akan terjadi pada mereka?”
“Kalian lebih tepatnya. Aku sudah coba lebih mencerna kembali kartu tarot yang kalian pilih. Aku juga melihat kemampuanmu. Tidak terlalu jelas, namun bisa sedikit ku gambarkan. Kalian berlima akan mengalami peristiwa yang tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya. Tubuh kalian dirasuki oleh kekuatan asing yang aku tidak bisa pastikan itu apa dan bagaimana. Aku hanya bisa memperingatkanmu agar bersiap dan berhati-hati.”
“Jika memang penyakit mereka karena kekuatan asing yang kau sebutkan, mengapa aku tidak mengalaminya? Aku merasa baik-baik saja sejauh ini.”
“Entahlah. Seperti yang ku bilang tadi. Aku tidak bisa memberitahumu lebih dari ini. Kemampuanku tidak sampai ke sana.”
Emily mengerutkan kening. “Ini aneh. Apa yang harus kita lakukan? Melaporkan hal ini ke pihak kampus juga percuma. Mustahil mereka akan percaya.
“Aaaahhh!!!” Emily memegangi kepalanya yang tiba-tiba saja sakit begitu dahsyatnya. “Kepalaku sakit, Lana. Tolong kipasi aku. Tubuhku panas sekali.”
Lanasha panik luar biasa. Dipeganginya tubuh Emily yang menggeliat dan meronta. Wajahnya merah padam. Kedua matanya terbelalak. Dia terus menjerit-jerit sambil mengipas-ngipaskan kedua tangannya ke tubuh.
Lanasha segera menyadari sesuatu. Ditariknya tubuh Emily ke kamar mandi tanpa menghiraukan jeritan dan geliat tubuh yang tidak berhenti. Susah payah diseretnya gadis malang itu ke dalam bathub dan mengguyurnya dengan air.
Emily mencengkram pinggiran bathub dengan kuat hingga tubuhnya bergetar. Beberapa menit kemudian gadis itu berhenti meronta dan terkulai lemas. Lanasha segera memeluk Emily untuk menenangkannya. “Syukurlah, Em.”
***
Adara kaget bukan main. Tanah di halaman flat mereka retak.
“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Li Hua yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
“Aku tidak tahu. Maksudku ... Aku juga bingung. Aku hanya melompat dari cabang pohon setelah mengambil ini,” jawab Adara menunjukkan sepatunya. “Kau tahu bagaimana Min Hee, kan? Mana bisa dia sehari saja dia tidak usil?”
“Bukan Min Hee yang ku permasalahkan. Tapi kau. Jika memang kau hanya melompat dari cabang pohon terendah yan berjarak satu meter. Bagaimana bisa tanah ini retak dengan mudahnya?”
“Aku juga tidak tahu.” Adara menatap tanah bekas lompatannya heran.
“Hahaha ... Ternyata kau bisa menemukannya dengan cepat,” ejek Min Hee baru saja keluar.
Kedua gadis Asia itu diam dan hanya memandang ke tanah.
“Maafkan aku. Mengapa kalian semarah itu dan mendiamkanku hanya gara-gara sepatu yang kusembunyikan?” tanya Min Hee menyesal.
“Ini bukan karenamu, Min Hee. Tidakkah kau melihat ada yang aneh dengan tanah ini?” Adera menjelaskan tanpa berpaling.
Min Hee menutup mulutnya. Aku tidak merasakan bumi bergetar. Bagaimana bisa seperti ini?”
“Ini bekas lompatanku. Menurutmu aku sekuat itu?”
Min Hee menggeleng. “Kita memang tidak sekuat itu dulu. Tapi berbeda dengan sekarang.”
“Maksudmu?” tanya Li Hua tidak mengerti.
“Ayolah. Apa kalian belum sadar juga? Ini pasti ada hubungannya dengan sakit kita tiga hari yang lalu. Apa Emily belum menceritakannya pada kalian? Sejak saat itu aku merasakan ada yang aneh denganku. Setiap kali aku menjentikkan jari, segalanya seperti berhenti bergerak. Bahkan saat itu aku sedang berbicara dengan Alody dan dia hanya terdiam menatap lurus ke depan. Dia tidak menyahut meski aku berteriak. Jarum jam juga berhenti berputar. Semua kembali normal saat aku menjentikkan jariku lagi.”
“Benarkah? Sepertinya kau harus mulai mengubah kebiasaanmu. Jika tidak, aku tidak bisa membayangkan berapa kali kami harus mematung saat berdekatan denganmu.” Li Hua tersenyum simpul. Dalam hatinya sedikit khawatir.
Min Hee mengembuskan napas pasrah. “Sepertinya memang harus begitu. Bagaimana denganmu? Apakah kau tidak merasakannya juga, Li Hua?”
Gadis bermata sipit itu berpikir sejenak. “Sepertinya kau benar. Apa kau ingat tentang apa yang terjadi dengan buku di rak tadi malam?”
Min Hee mengangguk.
“Buku itu terjatuh bertepatan saat aku menguap. Awalnya kita berpikir itu hanyalah angin. Namun angin apa yang bisa menjatuhkan buku setebal itu? Apalagi jendela kamar kita tertutup rapat.”
“Memang angin yang menjatuhkannya. Tapi angin dari mulutmu.”
Ketiga mahasisiwi itu saling berpandangan sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.
“Jika napasmu saja bisa menjatuhkan buku tebal. Lompatanku meretakkan tanah. Jari Min Hee menghentikan waktu. Ada baiknya kita meminimalisir pergerakan di kampus jika tidak mau terjadi kerusakan parah. Bisakah kita?” tanya Adara
“Sepertinya tidak,” jawab Min Hee ragu. Mereka pun kembali tertawa terbahak-bahak.
“Aaaaa!!!”
Serentak ketiga gadis itu berlari ke sumber jeritan. Sepertinya itu teriakan Alody. Benar saja. Sebaik Adara membuka pintu, kobaran api yang lumayan besar menyambut mereka. Alody terduduk ketakutan di atas kasur menatap tubuh Emily yang mengeluarkan api merah menyala.
“Emily! Hentikan! Apa yang kau lakukan?” Li Hua bergegas berlari menuju kamar mandi untuk mengambil air. Namun terhalang Emily yang memang berdiri tidak jauh dari kamar mandi.
“Bahaya, Li Hua!” teriak Min Hee. “Kita pasti punya cara lain.” Alody mulai menangis di pelukan Adara. Dia tidak pernah membayangkan, sahabat yang sangat dikasihinya kini terlihat begitu menakutkan.
“Alody?”
Yang dipanggil menatap sayu. Adara hanya memandang ke arah bajunya sendiri yang kuyup. Kasur yang mereka duduki pun ikut basah.
“Mengapa begini?” Alody memerhatikan tubuhnya sendiri dengan heran. “Apa yang terjadi padaku?”
“Tidak ada waktu untuk memikirkannya, Alody. Peluk Emily sekarang!” pinta Min Hee.
“Kau gila?” tanya Alody.
“Percayalah, Alody. Hanya itu cara kita menghentikannya tanpa mengundang perhatian.”
Meskipun ragu dan sedikit takut, Alody menurut. Perlahan didekatinya Emily. Tidak ada hawa panas sama sekali. Nyalinya semakin kuat untuk mendekat dan akhirnya memeluk Emily. Air matanya mengalir deras, tidak tega melihat sahabatnya dalam keadaan seperti ini. Air dari tubuhnya semakin deras mengalir bahkan nyaris berupa semburan.
Beberapa menit kemudian tubuh Emily kembali normal tanpa berkurang satu apa pun.
“Sepertinya kau sudah bisa menjauh darinya, Alody. Dan berhentilah menangis, jika tidak ingin kamar kalian kebanjiran,” tegur Adara menatap tubuh Emily yang mulai menggigil itu khawatir.
Alody segera melepaskan pelukannya dari Emily yang tidak berucap sepatah kata pun. Sepertinya dia shock hebat.
Li Hua menggiring gadis tempramental itu duduk di tempat tidur. “Tenanglah, Emily. Tidak apa-apa,” hiburnya mengelus kepala Emily.
“Sekarang bisakah kau menceritakan apa yang terjadi?” tanya Adara ketika melihat Alody telah berhenti menangis. Tubuhnya juga telah mengering. Tidak ada lagi air yang menetes.
“Tadi aku bertengkar dengannya. Aku meminta agar dia jangan terlalu banyak memakan mentimun. Itu bisa menyebabkan kebotakan dan toksisitas. Dia justru marah dan menuduhku tidak bisa memahaminya. Lalu, api itu muncul begitu saja dari tubuhnya.”
“Kalian tidak mengerti. Aku merasakan suhu tubuhku meningkat akhir-akhir ini. Aku selalu merasa gerah meski berdiri di antara embusan angin sekali pun. Hanya akan sedikit berkurang jika aku memakan mentimun. Dia justru menyuruhku untuk menghentikannya. Apa itu masuk akal?” Emily kini sudah kembali normal.
“Aku tidak memintamu menghentikannya. Aku hanya ingin kamu menguranginya,” sergah Alody membela diri.
“Sudahlah. Kalian mau kejadian tadi terulang lagi? Hanya gara–gara itu kalian berdebat,” ujar Min Hee tetap dengan gaya centilnya yang alami. Semenit kemudian dia terkejut. Semuanya diam tidak bersuara. Panik, digoyangkannya tubuh teman-temannya. Mereka tetap diam.
“Oh, Tuhan. Kenapa aku bisa lupa?” Min Hee menjentikkan jarinya kembali.
“Bukan ingin berdebat, Min Hee. Tapi apa kalian ada cara lain untuk mendinginkan tubuhku?”
Min Hee mengembuskan napas lega. “Maafkan aku, ya. Aku lupa. Lain kali aku janji akan lebih berhati-hati.”
“Berhati-hati untuk apa maksudmu?” tanya Li Hua heran.
“Ah tidak. Tidak apa-apa,” jawab Min Hee segera. ‘Untung saja mereka tidak menyadarinya.’ Diam-diam gadis mungil itu bersyukur.
“Berarti sudah jelas sekarang. Semua yang diramalkan Lanasha tentang kita adalah benar. Mau tidak mau kita harus percaya,” sahut Adara setelah mengganti bajunya.
“Ya. Ini adalah awal. Menurut ramalan dia waktu itu, akan ada sesuatu yang lebih dahsyat lagi setelah ini,” sambung Li Hua.
“Aku benar-benar tidak menyangka tubuhku biisa mengeluarkan api sebegitu besarnya. Lebih aman bagi kalian untuk tidak berada di dekatku.” Emily menggeser duduknya.
“Justru kami merasa aman jika berada di dekatmu, Em. Bukankah api itu akan muncul di saat kau marah? Jika ada yang usil, kami tinggal mencari cara agar kau marah saja,” canda Adara justru mendekati gadis bermata cokelat itu.
Semua tertawa. “Kemudian kalian membuat Alody menangis untuk memadamkanku? Pemanfaatan yang cerdas.” Emily akhirnya tertawa.
“Setidaknya kita bisa saling melindungi apa pun yang terjadi nanti. Sungguh di luar dugaan. Perkenalan kita yang terbilang singkat ini justru dipererat dengan kekuatan ajaib.” Adara mengangkat bahu.
“Ya. Lima gadis biasa yang dipaksa memiliki kekuatan luar biasa,” celetuk Min Hee sambil mengangkat tangannya hendak menjentikkan jari namun segera disambar oleh Li Hua. “Terima kasih, Li Hua.”
Alody memandang kedua gadis itu heran.
“Min Hee, Kau tadi mengatakan kita berlima. Apa kalian juga sudah menyadari kekuatan kalian? Apa itu?” tanya Emily.
Min Hee, Li Hua, dan Adara saling berpandangan dan tersenyum.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices