Devils Bait

Reads
161
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Chapter 3

Adara menguap diikuti senggolan di pinggangnya. “Dari tadi kau hanya menguap dan menguap saja. Bagaimana kalau dia menyadari kelakuanmu,” bisik Min Hee dengan badan tetap tegak memerhatikan dosen tua berkepala nyaris botak yang menjelaskan tentang dasar ilmu rekayasa dan tekhnologi dengan serius.
“Sudah satu jam lebih kita duduk seperti ini. Tidakkah kau merasa bosan?” Adara justru balik bertanya.
“Ini jurusan yang kau pilih. Terimalah konsekuensinya.”
“Tidak dengan dosen seperti ini. Suaranya membuatku mengantuk.”
“Miss Faranisa, Bisakah anda menjelaskan kembali hubungan antara ilmu, rekayasa dan tekhnologi?” tanya pria gendut itu dari samping papan tulis.
Adara tergagap dan menyikut lengan sahabatnya berharap mendapatkan pertolongan.”
“Apakah anda memerhatikan mata kuliah saya sedari tadi?”
“Ya, Pak. Saya memerhatikan.”
“Baiklah. Silakan.” Mr. Chayton mengangguk pertanda inilah saat untuk Adara menjawab.
Adara melirik Min Hee memelas. Bagaimana bisa dia menjawab, sementara tidak satu pun penjelasan Mr. Chayton dicernanya?
Min Hee mengembuskan napas berat. Dia kemudian menyembunyikan tangan kanannya di atas meja kemudian menjentikkan jari dengan enggan. Diedarkan pandangan ke sekeliling. Semua pergerakan telah berhenti. Diambilnya secarik kertas dan menuliskan jawaban dari pertanyaan Mr. Chayton tadi dan meletakkannya di atas meja tepat di hadapan Adara. Semoga saja lantai bertingkat yang membuat mereka bisa terlihat jelas meski dari jauh ini tidak menjadikan semuanya menjadi semakin sulit. Jika ketahuan, bisa habis riwayat mereka.
Min Hee sempat tertawa geli melihat ekspresi wajah Adara yang ketakutan dan melotot seperti melihat hantu korea itu sebelum akhirnya menjentikan jarinya kembali.
Semua kembali normal. Min Hee berdehem dan mencolek tangan Adara untuk mengisyaratkan padanya agar melihat kertas di depannya. Untung saja gadis berambut tebal itu segera mengerti dan dengan kelihaian mengagumkan bisa membaca tulisan tangan Min Hee dengan lancar, namun seolah-olah tetap memandang ke depan.
“Tekhnologi merupakan konsekuensi dari ilmu dan rekayasa. Meskipun tekhnologi sebagai hasil kegiatan manusia yang seringkali justru mendahului keduanya. Maka, dapat dikatakan antara ilmu, rekayasa dan tekhnologi saling berkesinambungan satu sama lain. Melalui ilmu kita bisa mengerti bagaimana cara melakukan rekayasa. Sementara tekhnologi adalah suatu cara untuk melakukan keduanya.”
Baru saja Mr. Chayton membuka mulutnya lagi untuk menanggapi jawaban Adara, bel tanda pelajaran usai berbunyi dengan nyaring diikuti senyuman simpul dari Adara dan Min Hee. Pria berkacamata tebal itu hanya bisa mengangkat bahu dan mulai membereskan buku-bukunya.
Semua meninggalkan ruangan kelas, kecuali Adara dan Min Hee.
“Aku heran. Mengapa contekan itu bisa tiba-tiba ada begitu saja?” tanya Adara diikuti tatapan menyeringai dari sahabatnya,
“Tentu saja aku yang menuliskannya. Siapa lagi menurutmu?” Min Hee hendak mengangkat tangannya.
“Baik baik. Aku mengerti. Kau tidak perlu mempraktekkannya lagi hanya agar aku mengerti.”
“Ini yang pertama dan terakhir aku mau melakukannya,” ancam Min Hee merajuk.
“Iya. Aku mengerti. Lain kali aku akan memerhatikan.”
“Itu jauh lebih baik. Beratus orang menginginkan beasiswa ini, kau malah menyiakan kesempatanmu.”
“Iya, Min Hee. Aku janji. Ini adalah yang terakhir kalinya,” Adara bangkit dari bangkunya dan mengacak-acak rambut yang dikuncir ke samping itu.
“Awas kau!” Min Hee berdiri hendak membalas, namun Adara telah lebih dahulu berlari mengelak. Mereka pun berkejaran hingga keluar kelas.
“Jika kau berhasil mengejarku, aku akan memberikan setengah jatah makan siangku!” seru Adara sambil terus berlari menyusuri lorong.
Secepat kilat Min Hee mengeluarkan jurus andalannya dan tersenyum penuh kemenangan.
Adara berteriak kesakitan. Ketika telah kembali tersadar, jemari Min Hee telah menarik ujung rambutnya dengan tertawa mengejek. “Terima kasih, Dara. Akhirnya siang ini aku bisa makan sepuaasnya.”
“Kau curang,” rutuk gadis manis itu melepaskan paksa rambutnya.
“Hahaha. Bagaimana sesuatu bisa dikatakan curang tanpa ada peraturan sebelumnya?” Min Hee menjulurkan lidahnya.
Adara justru tertawa dan memeluk sahabatnya. Betapa gadis ini terlihat polos namun cerdik. “Ayo kita ke Emily.”
“Ayo.” Mereka pun berjalan dengan lengan saling menyilang di bahu masing-masing.
Tiba-tiba Min Hee melepaskan rangkulannya. “Kau dengar itu?”
“Dengar apa?” tanya Adara heran.
“Coba dengar sekali lagi. Aku mendengar suara teriakan.”
Adara menajamkan telinganya dengan kening berkerut. Tidak lama dia berujar, “Benar! Aku juga mendengarnya. Dari mana sumbernya?”
“Ayo. Kita ikuti arah suaranya. Sepertinya berasal dari ruang Divinity School.” Min Hee menarik pergalangan tangan Adara dan berlari hingga ke ujung lorong. Ternyata Emily dan Alody telah lebih dulu berada di sana.
“Syukurlah kalian datang. Aku mendengar suara teriakan dari sini. Tapi tidak ada siapa pun,” jelas Emily bingung. Sudah jam enam sore. Aku rasa tidak akan ada lagi yang mau menggunakan tempat ini.
“Ya, kami juga mendengarnya, Em.” Adara celingukan mencari asal suara yang kini lebih ke rintihan. Ruangan ini terkunci. Kita tidak bisa masuk ke dalam.”
“Aku bisa melakukannya,” sahut Alody. “Aku bisa mengubah tubuhku menjadi air dan merembes melalui celah bawah pintu. Aku akan memeriksanya.”
“Kau bisa melakukan hal seperti itu?” tanya Emily heran. “Kukira kau harus menangis dulu baru bisa mengeluarkan air dari tubuhmu.”
“Memang. Tapi ada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan, namun suatu saat pasti mampu juga dikendalikan. Benar, kan? Cobalah dengan dirimu di lain waktu. Tergantung dengan pikiranmu,” ujar Alody sebelum benar-benar berubah menjadi air bening dan mengalir melewati celah pintu dengan mudahnya.
Setelah sampai di dalam ruang Divinity, Alody kembali ke wujudnya. Tidak ada siapa pun dan apa pun. Hanya ruangan sangat luas dengan seratus sepuluh kursi. Plafond-nya terbuat dari batuan berwarna alam yang diukir sebegitu indahnya, memberi kesan megah. Ada juga kursi panjang berwarna hitam dan lemari kayu di sudut ruangan sebagai tempat penyimpanan barang-barang dan tas jika melakukan pembelajaran di sini.
“Ada yang bisa kau temukan di saana?” tanya Adara setengah berteriak.
“Aku tidak menemukan apa pun. Sebentar. Biarkan aku berkeliling ruangan.” Alody meyusuri setiap inci ruangan. Namun semakin dia masuk, semakin jauh suara itu didengarnya. Alody berbalik.
“Sepertinya berasal dari sini.” Alody menempelkan telinga kirinya di dinding tebal yang membatasi jejeran jendela panjang dengan jendela lainnya.
“Dari mana?” tanya Li Hua bingung.
Tahu-tahu Alody sudah kembali lagi di tengah-tengah mereka. “Suara itu tidak berasal dari dalam ruangan. Tapi lebih tepatnya di sini.” Alody kembali menempelkan telinganya ke dinding tebal yang dimaksudkannya tadi namun dari sisi sebaliknya. Ketiga sahabatnya pun segera melakukan hal sama.
“Iya. Suaranya semakin jelas. Aku yakin,” sahut Emily bersemangat.
Tolong aku. Rintihan itu kembali terdengar. Kali ini sudah semakin melemah.
Adara tiba-tiba berteriak, “Itu suara kakakku. Aku sangat mengenalnya.” Gadis itu kemudian memukul-mukul dinding batu itu dengan tinjunya.
“Jangan bodoh, Adara. Itu bisa melukai tanganmu,” cegah Alody memegang kedua tangan yang masih mengepal itu.
“Tapi itu suara Kakakku. Aku tidak bisa tinggal diam.” Adara meronta. Namun Min Hee justru memeluknya dari belakang agar tidak mengulang pukulannya.
“Kau pasti bisa memecahkannya dengan kakimu. Sekarang saatnya kau memanfaatkan kekuatanmu,” jelas Min Hee mencoba mengingatkan.
“Biarkan aku mencobanya,” jawab Adara yakin dan memegang kedua pergelangan tangan Min Hee. Gadis Korea itu pun mengerti dan melepaskan pelukannya.
“Aku butuh kalian memegangi kedua tanganku agar aku bisa mengentaknya dengan keras.”
Dengan sigap Min Hee dan Emily melakukan apa yang dipinta. Mereka bertiga berjalan mundur terlebih dahulu untuk mengambil ancang-ancang.
“Sekarang!” seru Adara diikuti cengkraman kuat di kedua tangan yang membantunya melompat dan memijakkan kedua kakinya dengan keras ke dinding. Tidak ada hasil.
“Kita coba lagi,” Adara tidak ingin lekas menyerah. Sekarang dengan kekuatan penuh dia melompat dan menumpahkan seluruh kekuatannya pada entakan telapak kakinya di dinding tebal dan kokoh itu. Namun usahanya hanya menghasilkan rontokan batu yang bahkan lebih mirip pasir.
“Aaaaa!!!” Adara menjerit kesal sekaligus frustrasi. “Aku tidak bisa melakukannya. Aku adik tidak berguna,” sesalnya dengan lutut bertumpu pada lantai dan mulai menangis sesunggukan. Alody memeluknya namun gadis berkaki jenjang itu malah meronta dan meremas rambut panjangnya. Kini tubuhnya jatuh tergeletak ke lantai dengan putus asa.
“Ternyata kalian di sini. Aku mencari ke mana-mana,” sapa Li Hua yang baru saja tiba.
“Li Hua, ada yang bisa kau lakukan untuk menyelamatkan kakakku?” Adara langsung bangkit dan mengguncang bahu gadis berhidung mungil itu.
“Maksudmu apa? Aku tidak mengerti.” Li Hua membersihkan serpihan pasir kasar yang lengket karena air mata di pipi sahabatnya.
“Kami mendengar suara teriakan dari dinding ini dan orang itu adalah kakak Adara. Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi.” Alody menjelaskan dengan suara payau. Sekuat tenaga dicobanya agar tidak menangis. Sungguh itu akan memperparah keadaan.
“Kenapa tidak coba melaporkannya pada pihak kampus? Pasti ada yang bisa mereka lakukan,” saran Li Hua.
“Percuma. Tidak akan ada yang percaya. Aku dan Alody sudah berada di sini 15 menit sebelum kalian datang. Beberapa teman sekelasku kuminta untuk datang, tetapi tidak ada satu pun yang mendengarnya. Padahal teriakan itu tidak pernah berhenti,” jelas Emily.
“Berarti memang hanya kita yang terpilih untuk ini,” ujar Li Hua kemudian menggaruk hidungnya.
“Apa pun itu aku tidak peduli. Kakakku tidak akan bertahan lebih lama lagi.” Adara semakin frustrasi dan memukul-mukul dinding batu itu dengan kepalan tangannya.
Alody mulai menangis tidak tega dan memeluk sahabatnya itu dari belakang. Di antara semuanya dia memang gadis paling peka dan sensitif. Masalah seremeh apa pun berpotensi membuatnya menangis, walaupun itu tidak berhubungan langsung dengannya.
“Sebaiknya kau jangan ikut larut dalam kesedihan, Alody. Bukan apa-apa. Kau tidak ingin menenggelamkan kami di sini, kan?” Emily mengelus kepala gadis pemalu itu.
“Tunggu! Lihatlah.” Li Hua mengamati dinding batu bekas pukulan Adara.
Refleks semua memandang ke arah yang ditunjuk gadis elegan itu.
“Alody, apa pun itu lupakan kata-kataku barusan. Teruslah menangis. Adara, teruslah pukul dindingnya. Kalian bisa bekerja sama,” ujar Emily girang.
Adara menatap dinding batu yang melunak di hadapannya dengan mata berbinar hingga mulutnya juga ikut menganga. Harapan baru seketika muncul dan membuatnya lebih bersemangat memukul dinding batu itu.
Wajah Adara telah dipenuhi cipratan air dari batu yang melunak oleh pukulan bertubi-tubi. Tapi dia tidak peduli. Tenaganya justru semakin kuat dikerahkan hingga batu itu akhirnya benar-benar lunak dan bisa dicongkel keluar.
Ketiga gadis lainnya segera maju dan membantu mencongkel batu yang kini lebih menyerupai adukan semen itu dengan tangan kosong. Sama berapi-apinya dengan Adara. Sedikit demi sedikit tampak sesuatu yang hijau dan kotor. Ternyata itu adalah baju Arika.
“Kak Arika!” seru Adara bersemangat campur khawatir. Ditariknya tubuh yang sudah lemah itu. Kedua matanya bisa terbuka sedikit, namun tidak mampu lagi mengeluarkan kata apa pun. Dipeluknya tubuh kakak yang sangat dikasihinya itu. “Bagaimana Kakak bisa sampai di situ?”
Alody segera memeluk tubuh berlumur cairan hitam keabu-abuan itu untuk sedikit membersihkannya. “Sebaiknya kita harus segera membawanya ke flat. Kita tidak mungkin membawanya ke Unit Kesehatan Kampus karena aku yakin, ini bukanlah sesuatu yang biasa diterima mereka. Sebaiknya kau simpan dulu rasa penasaranmu, Adara. Dia butuh istirahat.”
Adara mengangguk.
“Nah, sekarang bagaimana cara kita membawanya ke flat tanpa ada yang melihat? Dan siapa yang akan bertanggungjawab memperbaiki kerusakan ini?” tanya Min Hee dengan tatapan “Aku tidak akan melakukannya’.
“Serahkan padaku,” jawab Emily cepat.
“Baiklah. Ayo kita bergerak,” ucapnya lagi meraih tubuh Arika.
“Tidak. Biar Adara dan Li Hua yang membawa Arika ke flat dengan cara mereka sendiri. Kau tetap di sini sebagai pelampiasan marahku,” cegah Emily memandang Alody dan tersenyum.
“Kukira kau ingin mencoba mengendalikan kekuatanmu seperti yang ku lakukan tadi,” ejek Alody.
“Ayolah, Alody. Kau tahu aku paling sulit jika harus disuruh mengendalikan pikiran, amarah atau apalah itu. Akan lebih mudah jika dengan bantuan kalian,” jawab Emily berkilah.
Min Hee menghela napas dan mengacak rambutnya sendiri pasrah.
“Hey. Seharusnya aku mengabadikannya. Ini pertama kalinya aku melihat kau merusak tatanan rambutmu dengan sengaja.”
Min Hee merengut. “Aku yang sudah tidak sabar mengabadikan momen di mana wajahmu sama merahnya dengan tomat masak.”
“Hey! Apa tidak ada kata lain yang pantas kau ucapkan selain menghinaku?”
“Itu kan yang kau inginkan?”
“Apa?”
“Aku tidak ingin membuang waktu lagi berbicara yang tidak penting denganmu,”
Wajah Emily merah padam menahan amukan yang nyaris meledak. Dengan bibir bergetar ia mengepalkan kedua tangan. Sekujur tubuhnya panas.
Min Hee segera berlari menghindar. Benar saja. Dalam hitungan detik api yang merah menyala dengan sedikit kebiruan marak begitu saja dari tubuh gadis Amerika itu seperti rumput kering disulut api. Alody yang sedari tadi sibuk menimbun kembali batu lembek itu ke dinding langsung berseru, “Emily, lihat ke mari. Ingat tujuan awal kita,”
Emily menoleh dan mendekati arah yang ditunjuk sahabatnya. Perlahan-lahan batu itu kembali mengeras oleh suhu tinggi yang dikeluarkan Emily.
Min Hee terduduk lelah di lantai. Dalam hati dia berdoa semoga saja keadaan mereka selanjutnya tidak mengharuskan Emily mengeluarkan kekuatannya. Bisa-bisa dia sendiri yang akan terbakar karena anak itu mudah sekali tersinggung pada hal sepele sekali pun.
***
Adara tengkurap di lantai dengan lemah. Pandangannya berputar. Sepertinya dunia akan terbalik dan membuatnya sangat mual.
“Kau baik-baik saja?” tanya Li Hua dari atas tempat tidur sambil menyelimuti Arika.
“Entahlah,” sahut Adara tanpa mampu mendongak sedikit pun.
“Tidak ada cara lain untuk bisa ke mari tanpa terlihat.” Li Hua tertawa melihat rambut yang acak-acakan itu. “Tidakkah kau ingin melihat keadaan kakakmu?”
Susah payah Adara bangkit dan berjalan terseok menuju tempat Arika terbaring lemah. “Ini pertama dan terakhir kalinya aku mau melakukan ini denganmu. Bagaimana keadaannya? Aku berani bertaruh dia akan semakin lama tersadar. Aku yang sehat saja menjadi pusing, apalagi dia yang pingsan.”
“Jangan kau siakan kecantikanmu dengan pemikiran bodoh semacam itu. Justru dia yang sedari tadi pingsan tidak mungkin menyadari apa yang terjadi.”
“Kau benar.” Adara mengangguk setuju dan tersenyum kecil. “Tidak adakah obat yang bisa kau berikan untuk kakakku?” tanya gadis Indonesia itu menyisir rambutnya dengan jari. Rasa pusingnya sudah semakin berkurang sekarang.
“Aku sudah menyuntikkannya vitamin penambah tenaga yang sebenarnya akan aku gunakan untuk praktikum besok. Sepertinya aku harus mencari cara untuk mencurinya dari laboratorium lagi”
“Serahkan saja pada Min Hee. Itu hal mudah baginya.”
“Oh iya. Kau benar juga. Kenapa tidak terpikir olehku tadi?”
“Semoga Kakakku bisa segera pulih dan menceritakan semuanya. Aku tidak habis pikir kenapa dia bisa ada di situ.”
“Entahlah. Tapi aku merasa ini pasti ada hubungannya dengan kita. Bisa saja ada seseorang yang sudah mendengar tentang kelebihan kita dan ingin membuktikannya atau malah tidak suka pada kita.”
“Tapi kenapa mesti Kakakku?”
“Tentu saja. Dia tidak mungin menyerang kita secara langsung. Itu sama saja bunuh diri. Mungkin dia hanya ingin membuktikan kekuatan kita dan menjadikan orang-orang di sekitar kita sebagai sandera. Kebetulan Arika adalah orang terdekatmu dan yang paling dekat lokasinya dengan Universitas Oxford. Paling tidak masih dalam kota yang sama.”
“Bisa jadi orang itu memang ingin membalas dendam padaku. Firasatku mengatakan ini semua kelakuan Devian.”
“Devian? Siapa Devian?”
“Dia Abang iparku.”
“Suami Arika?”
Adara mengangguk. Dielusnya kepala kakaknya kasihan.
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu? Jika dia memang benar suaminya, tidak mungkin dia mau melakukan hal sekejam itu kepada wanita yang dicintainya.” Li Hua melirik Arika sekilas kemudian kembali menatap Adara.
“Kau benar, jika dia seperti suami kebanyakan. Tapi Devian sangat berbeda. Aku sama sekali tidak menyukainya bahkan sejak pertama kali bertemu. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Jangankan tersenyum, perkataannya saja bisa dihitung. Terkadang ingin rasanya aku berteriak di depan wajahnya hanya agar dia berucap sepatah kata.”
“Benarkah begitu? Aku jadi penasaran dengannya.”
“Tidak pernah bertemu dengannya jauh lebih baik, Li Hua.”
“Bagaimana kau bisa menyelidiki dugaanmu benar atau tidak jika malas bertemu langsung dengannya?”
Adara terdiam memikirkan perkataan Li Hua.
“Tapi ... Kau yakin tidak akan ada yang melihat saat aku membawa tubuh kalian berlari cepat tadi?” tanya Li Hua ragu. Terlihat jelas kecemasan di wajahnya.
“Kenapa kau harus mengkhawatirkan itu? Kalaupun ada yang melihat, mereka tidak akan menyadari itu apa. Aku merasa seperti kereta api listrik,” protes Adara. Mendadak kepalanya kembali pusing mengingat betapa cepatnya gerakan Li Hua tadi. Entah bagaimana cara seorang wanita kurus membawa tubuh dua orang dan berlari begitu kencangnya seperti angin.
“Secepat itukah?” tanya Li Hua pura-pura bodoh.
“Kau bayangkan saja. Dalam semenit kita sudah tiba di sini dari kampus yang jaraknya lebih dari dua ratus kilo meter. Valentino Rossi saja mustahil bisa melakukannya.”
“Kau melebih-lebihkan,” jawab Li Hua tenang.
Adara melengos.
***
Keesokan paginya, semua berkumpul mengelilingi Arika termasuk Lanasha. Mereka sangat penasaran akan penyebab Arika bisa tertanam di dinding seperti itu.
“Maaf, aku tidak bisa menceritakannya pada kalian,” sahut Arika yang duduk menyandar pada kepala tempat tidur. Wajahnya menunduk seperti menyembunyikan sesuatu.
“Tapi kenapa, Kak? Kami tidak akan melepaskan orang yang telah berbuat seperti itu padamu begitu saja. Dia harus diberi pelajaran.” Adara mendekatkan wajahnya agar bisa melihat ekspresi Arika dengan jelas.
“Sudahlah, Dara. Aku sudah tidak apa-apa. Tidak usah diperpanjang lagi,” sergah Arika menatap adiknya dengan pandangan memohon.
“Kakak harus memberitahu alasan yang cukup bisa kami terima. Apa jangan-jangan dugaanku benar? Yang melakukan ini semua adalah Devian, kan?” tanya Adara menghunjam bola mata Arika dengan sorotan kesal sekaligus marah yang membuat wanita berpipi bulat itu menunduk kembali.
Adara melengos. “Benar, kan? Sudahlah, Kak. Ceritakan saja pada kami apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak akan membiarkan Kakak terus menerus terperangkap bersama lelaki aneh itu. Pokoknya Kakak tidak boleh bertemu lagi dengan dia.”
“Tidak bisa seperti itu, Sayang. Dia ... “
“Tidak perlu ada pembelaan lagi untuk dia, Kak,” potong Adara muak. Wajahnya merah padam dengan bibir mengerut. “Sekarang Kakak ceritakan semuanya sejelas mungkin atau aku yang akan mencari tahu sendiri padanya.”
“Jangan, Dara,” cegah Arika segera. “Terlalu berbahaya untukmu.”
“Jika begitu, beritahu kami bahaya apa yang akan menimpa Adara jika dia menemui Devian. Bukankah dia hanya manusia biasa?” tanya Emily mulai tidak sabar. “Kami di sini sudah bersusah payah mengeluarkanmu dari dinding batu itu. Jadi, jangan pernah menganggap kami bisa melupakannya begitu saja.”
Alody menggandeng tangan Emily mencoba menenangkan amarah gadis tempramental itu.
“Maaf jika aku merepotkan kalian,” sahut Arika menyesal. Kedua matanya mulai berkaca-kaca.
“Kami tidak merasa direpotkan, hanya saja kami akan marah jika kau menyembunyikan penyebab kejadian itu.” Min Hee yang sedari tadi sibuk mengepang rambutnya itu angkat bicara. Dalam hatinya membenarkan Emily. Seenaknya saja mau menganggap masalah ini selesai. Untung saja dia Kakak Adara. Ingin rasanya dia mengembalikan lagi perempuan itu ke dalam dinding batu.
“Baiklah.” Arika akhirnya menyerah. “Ini memang kelakuan Devian. Dia yang mengurungku di dalam dinding batu itu untuk menarik perhatian kalian. Entah dari mana dia mengetahui bahwa ada lima mahasiswi yang memiliki kekuatan tidak biasa dan ingin membuktikannya sendiri. Mendengar Adara adalah salah satunya. Dia menjadikan aku sebagai umpan.”
“Kurang ajar!” umpat Adara geram.
“Sabar dulu, Adara. Kita harus membiarkan dia menyelesaikan ceritanya dulu. Tahan emosimu,” sahut Li Hua. “Kita harus mendengar seluruhnya agar tahu memutuskan tindakan terbaik.”
Adara hanya diam. Dadanya turun naik. Semua kekesalan yang selama ini terpendam, sudah mencapai puncaknya. Tangannya mengepal. Jika Devian ada di sana mungkin akan ditinjunya saat itu juga.
Arika menghela napas dalam sebelum akhirnya melanjutkan, “Devian sering pergi berhari-hari tanpa mau memberitahu dia pergi ke mana. Tapi semenjak itu dia jadi aneh. Semua gerak-geriknya mencurigakan menurutku. Sering berbicara seorang diri, berdiam diri di luar rumah menatap langit hingga berjam-jam. Sampai suatu ketika, aku juga pernah memergokinya mengucap mantra-mantra yang aku tidak tahu untuk apa.”
“Jelas sudah sekarang. Kenapa dia selalu bersikap aneh dan diam saja tanpa ekspresi. Kekuatan setan telah merasuki dirinya dan menyebabkan sifat-sifat manusianya semakin menghilang,” sangka Adara yakin.
“Aku justru tidak yakin dia pelakunya.” Tiba-tiba Lanasha buka suara.
“Ini sudah jelas, Lanasha. Kau baru mendengarnya sendiri dari kakakku, kan?” sanggah gadis bertahi lalat di dagu itu menegaskan.
“Maaf, Adara. Tadi malam aku diam-diam meramal dengan tarotku. Kalian tahu apa yang aku lihat? Aku melihat ada seorang wanita yang ingin menangkap seluruh kekuatan kalian dan mentransfer ke tubuhnya. Dan bisa dipastikan bukan Devian pelakunya.”
“Kau mau mengatakan kalau aku berbohong?” tanya Arika tersinggung.
“Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya mencoba menceritakan apa yang aku lihat.”
“Apa kau seorang peramal?”
“Tidak pantas rasanya jika aku menyebut diriku peramal. Tapi aku sudah bertahun-tahun melakukan ini tanpa berniat menjadikannya profesi atau apa pun itu. Aku hanya mencoba memperingatkan orang sekitarku untuk berhati-hati.”
“Tidak semua ramalan itu benar adanya, Lana,” balas Adara membela kakaknya.
“Tapi tidak bisa kita remehkan begitu saja juga, Adara. Kau harus ingat. Awalnya kita juga tidak memercayainya, namun nyatanya? Apa yang diramalkannya juga terjadi pada kita, kan?” Min Hee mencoba mengingatkan sekaligus menghindari agar Lanasha tidak dipojokkan untuk yang kedua kalinya akibat ramalannya.
“Seharusnya memang aku tidak perlu menceritakan ini pada kalian. Pasti akan menimbulkan banyak masalah dan sulit juga untuk dipercaya.” Arika membaringkan tubuhnya dan tidur membelakangi mereka. “Aku lelah. Bolehkan aku beristirahat sebentar?”
Mereka semua berpandangan.
“Kakakku memang orangnya sensitif,” jelas Adara sambil memanjangkan selimut ke tubuh mungil itu. “Bukannya aku tidak memercayaimu, Lanasha. Aku tahu kakakku. Apa pun yang dikatakkannya pastilah memang benar adanya. Mungkin yang kau lihat ada hubungannya juga dengan Devian. Kita tidak bisa terlalu cepat menyimpulkan bahwa Devian tidak terlibat.”
“Aku mengerti,” sahut Lanasha tersenyum. “Maafkan aku yang ikut campur. Aku hanya tidak ingin sesuatu yang lebih buruk menimpa kalian tanpa aku sanggup mencegahnya.”
Alody merangkul bahu Lanasha. “Kau gadis yang baik, Lana. Kami tahu, semua yang kau lakukan karena kepedulianmu yang begitu besar pada kami. Tidak apa-apa.”
“Mungkin kita sudah harus menyusun strategi untuk menyelidiki hal ini mulai dari sekarang,” usul Min Hee memperbaiki poninya.
LI Hua mengangguk. “Aku setuju. Lebih cepat lebih baik. Kita tidak tahu apa dan kapan sesuatu akan terjadi pada kita. Cepat atau lambat, kita harus bersiap-siap.”

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices