
by Titikoma

Chapter 4
“Apa kita biarkan saja tidak terkunci?” tanya Adara pasca menutup pintu kamar berwarna cokelat tua itu.
“Aku rasa begitu. Kita tidak mungkin membiarkan Lanasha tidur di luar, kan?” Emily menarik selimut tebalnya menutupi tubuh hingga leher.
“Kan dia bisa saja mengetuk pintu.”
“Silakan saja kalau kau ingin terganggu hanya karena dia. Praktikum tekhnik Iluminasi tadi sudah banyak menyita energi tubuhku. Hoaaahm. Lelahnya.” Emily menguap lebar. Dipakainya penutup mata kain berbentuk bulat hitam itu.Walau sebenarnya tanpa itu pun pasti dia dengan mudahnya dapat tertidur. Memang semakin lama, perkuliahan mereka semakin menyita pikiran dan tenaga.
“Aku juga sudah lelah. Ya sudah biarkan saja. Lagian, sudah jam segini belum pulang juga. Kemana anak itu?” gerutu Adara menyusul Emily. Dia pun sama lelahnya ditambah lagi memikirkan keselamatan kakaknya seorang diri di sebuah apartemen tak jauh lokasi Universitas. Sebenarnya gadis berwajah gotik itu ingin ikut menginap bersama Arika saja, tetapi dilarang olehnya dengan alasan agar Adara dekat dengan teman-temannya dan memudahkan untuk berdiskusi.
Hampir tiga puluh menit Adara hanya berbaring tanpa sedikit pun bisa memejamkan matanya. Perasaannya tidak enak. Lonceng sudah berdentang lima belas menit yang lalu. Sudah lewat tengah malam, tapi belum ada tanda-tanda kepulangan Lanasha. Diliriknya Emily yang sudah tertidur pulas. Ingin rasanya dia membangunkan, namun tidak tega. Gadis itu kelihatannya memang benar-benar lelah.
Adara memberanikan diri untuk bangkit dari tempat tidurnya dan mendekati pintu. Dibukanya perlahan dan melongok ke luar. Gelap dan lengang. Tiada siapa pun.
“Kau belum tidur?” Adara terlonjak kaget. Ternyata Emily sudah berada di belakangnya.
“Emily, kau mengagetkanku saja,” protes Adara mengelus dada. Padahal baru lima menit yang lalu dilihatnya Emily tidur pulas.
“Tak sengaja aku terbangun. Aku tidak bisa tidur terlalu nyenyak sebelum mendengar Lanasha pulang. Kau berdiri terus di sini sejak tadi?” Emily mengucek matanya.
“Tentu saja tidak. Aku sudah mencoba untuk tidur tadi, tetapi aku tetap khawatir pada Lanasha. Selama ini dia selalu menjadi orang pertama yang masuk ke kamar dibanding kita. Tapi sudah selarut ini dia belum kembali juga.”
“Tapi apa yang bisa kita lakukan lagi? Kau ingin mencarinya ke mana?” tanya Emily bingung.
“Entahlah. Tapi sama saja aku di sini jika mataku tidak bisa terpejam sama sekali.”
“Sudahlah. Kita tunggu sampai besok pagi.”
“Aku tidak bisa, Em. Baiklah aku akan mencarinya sendiri.” Adara segera mengambil mantel kelabu satu-satunya dan bergegas keluar.
Emily menarik tangan Adara cepat. “Kau gila? Kau pikir aku akan membiarkamu pergi sendiri begitu saja?”
“Aku harus bagaimana? Kau tidak mau menemaniku, jadi aku harus pergi sendiri.”
“Aku tidak mau menemanimu jika hanya kita berdua. Ayo kita bangunkan mereka. Setidaknya berlima lebih baik.”
Adara mengangguk. “Benar juga katamu. Aku justru merasa ini bukanlah sekadar tentang gadis yang pulang terlalu malam, tetapi ada yang lebih buruk dari itu.”
“Mungkin,” jawab Emily dengan pandangan mengawang.
***
“Sekarang apa?” tanya Alody melipat kedua tangannya mendekap tubuh untuk sedikit menghalau dingin yang menusuk. Walau sebenarnya dia sudah mengenakan mantel bulu hitam yang tebal dan sepatu boot.
Kelima gadis itu kini sudah berada di Duke’s Humphrey, salah satu ruang favorit di Perpustakaan Bodleian, Oxford setelah Min Hee berhasil mencuri kuncinya. Sepengetahuan mereka, Lanasha sering menenggelamkan diri dengan bacaan di ruangan itu meski mata kuliah sudah selesai. Namun tidak ada seorang pun di sini.
Ruangan ini terdiri dari deretan rak buku tinggi dan panjang berwarna cokelat tua. Tersedia dua meja yang dirapatkan dan empat kursi di dekat masing-masing rak.
“Aku sudah menyangka tidak akan mungkin ada lagi yang berada di sini,” ucap Min Hee mengarahkan senter ke sekeliling ruangan.
“Aduh Lanasha. Di mana kau sekarang?” Alody mengentak-entakkan kakinya khawatir.
“Tenanglah, Lody. Kami tidak ingin kau menagis di saat seperti ini.” Emily memandang Alody dengan kening berkerut. “Kita semua mencemaskannya. Maka kita harus berpikir jernih dan tenang.”
“Apa mungkin dia berada di tempat kita menemukan kakakku?” duga adara sekonyong-konyong.
“Kenapa tidak terpikirkan oleh kita sejak tadi? Tentu saja. Bisa jadi ini memang ulah Devian untuk bisa memancing kita lagi. Tapi kenapa harus Lanasha? Dia tidak ada hubungannya dengan Devian atau pun Arika,” sesal Li Hua menyayangkan nasib gadis peramal itu.
“Dia teman sekamarku. Pasti Devian sudah tahu jika aku pasti akan mencarinya. Mungkin dia juga sekaligus ingin balas dendam padaku yang memang tidak pernah menyukainya.” Adara berkata dengan suara bergetar. Terlihat jelas dia sedang memendam emosi yang nyaris meluap tumpah seperti lahar.
“Teman-teman, sudah semakin larut. Kalian tidak ingin kita terus di sini sampai pagi dan orang-orang menemukan kita, kan?” tanya Min Hee mengingatkan.
“Ayo,” ajak Adara mendahului.
“Alody, kau memegang lenganku begitu keras. Itu menyakitiku. Kau tahu?” protes Emily meringis dan mencoba meregangkan genggaman Alody yang seperti lilitan ular dirasakannya.
Bukannya melonggarkan genggamannya, Alody malah semakin mempererat. “Aku takut,” jawab Alody gemetar. Mendengar suara penuh tekanan itu Emily akhirnya mengalah dan merelakan lengannya menjadi penumpah ketakutan gadis pemalu itu. Mungkin lebih baik begini daripada dia menangis dan akan mengacaukan semuanya.
Tiba-tiba terdengar suara menggeram yang menggema dalam hening. Dari pantulan suaranya seperti berasal dari kamar mandi perpustakaan, tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Tanpa berlama-lama lagi mereka segera berlari mendatangi asal suara.
Detak jantung memacu semakin cepat, beriring dengan derap langkah mereka memecah hening. Mereka tidak lagi memikirkan bilamana terdengar penjaga College bila menemukan mereka masih berkeliaran tengah malam. Yang ada hanya rasa ingin tahu sekaligus keyakinan bahwa itu adalah penyebab Lanasha menghilang. Walau perasaan takut juga sama besarnya dengan penasaran.
Kelima gadis itu berebut masuk ke kamar mandi. Tidak ada seorang pun. Hanya sebuah bathub dengan shower dan pisvot di sebelah kirinya dengan warna serba putih.
Perlahan Adara mendekati bathub dan melihat sesuatu yang kental dan menghitam dari dalam lubang-lubang kecil shower. Disentuhnya cairan itu dan menciumnya. Refleks dia menjauhkan kepalanya. Bau anyir darah menusuk indra penciumannya. “Ini darah. Masih baru.”
“Bagaimana bisa darah keluar dari situ?” tanya Alody heran.
Min Hee segera meraih tangkai shower itu dan menelitinya. Tak lama dia menghidupkan air dan mengangguk paham. “Darah ini bukan berasal dari dalam shower-nya. Lihat. Jika memang cairan ini dari dalam ketika kuhidupkan airnya, pasti masih ada darah yang menempel dan ikut mengalir bersama air. Tetapi ini tidak. Ini adalah darah yang terpercik dari luar.”
“Jika memang percikan dari luar kenapa hanya di bagian shower itu saja? Aneh sekali. Kalau dia membersihkan percikan darah di tempat lain untuk menghilangkan jejak, kenapa tidak dengan darah yang di shower-nya juga? Tidak mungkin tidak terlihat, shower ini tergantung rapi. Pasti ada yang menggantungkannya kembali dengan sengaja.”
“Mungkin memang terpercik saat dia masih menggantung,” duga Li Hua meski masih ragu.
“Tidak mungkin. Percikan darah tidak pernah memercik ke atas seperti itu. Pasti mengarah ke samping. Jika memang ke atas tidak akan sebanyak ini,” sanggah Emily yakin.
“Atau mungkin pelaku sengaja meletakkannya di situ?” tanya Adara.
“Maksudmu?” Min Hee memandang wajah Adara tidak mengerti.
“Kalian ingat kan saat kita menemukan kakakku di dinding? Shower ini juga menghubung ke pipa yang tertanam di dinding dan terhubung ke seluruh gedung. Bukan tidak mungkin dia ingin kita mengira bahwa Lanasha juga tertanam di situ agar kita mencoba mengeluarkannya. Sementara dia sudah meletakkan jebakan untuk menjerat atau malah membunuh kita,” jelas Adara berargumen.
“Mungkin saja,” sahut Li Hua mengangguk. “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Mungkin lebih baik kita kembali ke flat saja,” usul Alody merengek.
“Tidak bisa, Alody. Apa kau tega membiarkan Lanasha begitu saja?”
“Belum tentu Lanasha menghilang karena diculik oleh Devian atau siapa pun itu.”
“Kau tidak lihat darah itu? Darah siapa lagi menurutmu?” tanya Emily gusar.
“Mungkin itu darah kucing atau hewan lainnya. Seperti yang disebut Adara tadi, pelakunya hanya ingin mengelabui kita.”
“Ini bukan darah hewan,” sahut Li Hua mengendus darah kental itu dan menggesekkannya di antara ibu jari dan telunjuk.
Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari luar perpustakaan.
“Siapa itu?” teriak Emily.
Tidak ada jawaban. Min hee memberanikan diri berjingkat menuju pintu. Dalam hati berdoa semoga saja itu bukan penjaga college. Bisa tamat riwayat mereka. Kepalanya melongok dengan pelan keluar. Dibekapnya mulut dengan kedua tangan. Suaranya tertahan di tenggorokan.
“Ada apa, Min Hee? Kau kenapa?” tanya Adara heran. Bergegas ia melangkah ke luar dan mengarahkan senternya ke arah tatapan Min Hee. Tangisnya langsung pecah melihat pemandangan yang sama sekali tidak pernah diharapkannya. Semua kekhawatirannya sejak tadi terjawab sudah. Sesosok perempuan tergeletak kaku di lantai. Wajahnya menghadap ke atas namun tertutup oleh rambut panjangnya yang bergelombang. Tapi dia kenal betul siapa gadis itu. “Lanasha!” Adara berlari menghampiri tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.
Ketiga gadis lain yang sudah menyusul pun sama shock-nya. Seperti tertarik magnet mereka menghambur mengerubungi Lanasha. Mereka sama sekali tidak menyangka nasib gadis tertutup itu harus berakhir setragis ini.
Serentak kelima gadis itu menangis semakin kencang ketika Adara menyibakkan rambut Lanasha. Mereka tidak tega melihat wajah cantik itu gosong seperti dipanggang. Emily menggoyang-goyangkan bahu Lanasha kuat. Dia tahu gadis itu tidak akan mungkin bangun lagi. Tapi itu adalah caranya meluapkan emosi dan rasa sesal mendalam kenapa tidak lebih cepat mencari Lanasha.
Lama mereka di situ menangisi sahabat yang belum lama ini mereka kenal. Terkenang bagaimana mereka tidak memercayai peringatan Lanasha yang terlampau tidak masuk akal menurut mereka. Padahal itu adalah cara dia untuk melindungi mereka. Namun kini justru dia sendiri yang jadi korban.
“Demi Tuhan, Lana. Aku akan cari siapa yang membuatmu seperti ini dan aku tidak akan membiarkannya hidup,” sumpah Min Hee menggenggam tangan Lanasha yang penuh darah. Begitu banyaknya darah yang mengalir, hingga mereka tidak bisa memastikan bagian mana saja yang terluka. Bahkan darah itu seperti terus mengucur entah dari mana. Mungkin memang sudah terlalu banyak bagian tubuh yang koyak.
“Tapi siapa yang bisa melakukan hal ini? Tidak mungkin dia manusia biasa.” Li Hua menutup mata Lanasha yang sejak tadi mereka lupakan.
“Aku akan mendatangi Devian secepatnya. Dia harus mempertanggungjawabkan semua ini,” ucap Adara bersungguh-sungguh.
“Kita akan mendatangi Devian secepatnya,” koreksi Min Hee kemudian.
“Ya. Kita harus melakukannya bersama-sama. Apa pun itu, ini sudah masuk ke tahap serius. Jangan sampai ada Lanasha berikutnya. Kita harus saling melindungi,” tegas Emily yakin. Keningnya berkerut ketika menyadari sesuatu. “Kau tidak menangis, Alody? Sebegitu kuatkah hatimu melihat ini? Padahal kau adalah gadis paling cengeng yang pernah kutemui.”
“Kau tidak tahu betapa aku mencegahnya setengah mati. Seperti yang kau bilang, aku tidak ingin semakin merepotkan dengan tangisanku yang tidak bisa sebebas kalian,” jawab Alody dengan nada tidak senang.
Emily terdiam. Dalam hatinya masih sedikit heran. Mengapa bisa dia sekuat itu menahan tangis? Bahkan hanya berupa titik air mata pun tidak ada.
“Ayo kita kembali ke flat. Sudah jam tiga pagi,” ajak Li Hua menyeka air matanya.
“Kau gila? Bagaimana bisa kita meninggalkan Lana di sini?” sembur Emily.
“Li Hua benar, Em. Jika kita yang membawa jasad Lana, pihak universitas tidak akan percaya jika kita tidak ada hubungannya dengan kematian Lana. Ini benar-benar keadaan sulit. Kita tidak tahu harus menjelaskan apa pada mereka. Akan lebih baik jika mereka yang menemukan terlebih dahulu,” jelas Min Hee menepuk bahu Emily. namun segera melepaskannya kembali. Telapak tangannya serasa terbakar. Suhu tubuh Emily mulai meninggi. Jelas sekali dia tidak terima jika harus meninggalkan Lanasha.
“Bagaimana kalau kita pulang sekarang, Em? Kau tidak ingin mempertaruhkan beasiswamu, kan? Kita bisa diskors kapan saja jika melakukan sesuatu di luar kebiasaan.”
Adara mengelus wajah yang menghitam itu sekali lagi dan mengecupnya lama tanpa rasa jijik atau pun ragu. Air matanya menetes di ujung hidung Lanasha. “Aku akan merindukanmu. Semoga ini jalan terbaik untukmu. Maafkan kami yang sempat tidak memercayaimu.”
Satu persatu mereka melakukan hal yang sama. Perasaan mereka campur aduk kini. Antara marah, menyesal dan merasa bersalah karena tidak lebih awal mencari Lanasha. Mungkin walau ini terjadi tidak akan sampai membuat nyawanya melayang. Dalam hening tidak ada yang sanggup berkata-kata lagi. Semua terhanyut dalam pikiran dan kenangan mereka masing-masing. Hanya isak tangis yang terdengar menemani malam.
***
Siang itu gerimis masih menghiasi hari semenjak pagi. Seakan dunia pun bersedih akan kepergian gadis tak bersalah yang harus mati mengenaskan. Keluarga Lanasha yang baru saja tiba, memutuskan untuk segera kembali ke Swiss membawa jenazah putri mereka. Masih cukup jelas di ingatan mereka, nenek Lanasha menjerit histeris mendapati cucu kesayangannya telah tak bernyawa. Dipukulinya peti hitam dari kayu itu hingga memerahkan buku-buku jarinya. Kedua matanya sempat memandang ke arah Adara dan lima sahabatnya penuh arti. Entah apa yang dia pikirkan, namun mereka semua refleks menunduk. Tidak berani menerima kenyataan jika nenek Lanasha justru menyalahkan mereka. Walau jelas sekali itu mustahil terjadi.
Pihak universitas hanya bisa meminta maaf yang sebesar-besarnya karena kelalaian mereka menjaga salah satu mahasiswinya dan memberikan sumbangan dana sebagai bentuk belasungkawa. Mereka tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pihak kepolisian belum bisa memberikan keterangan apa pun. Mengingat kasus ini baru pertama kali dijumpai. Entah pembunuh macam apa yang bisa melakukan hal seperti itu. Sungguh sulit diterima akal sehat.
Kepala Universitas segera mengumumkan peraturan baru yang mengharuskan seluruh mahasiswa termasuk dosen dan pegawai untuk pulang sebelum jam enam petang. Penjagaan juga diperketat. Akan dipasang kamera pengintai di setiap sudut-sudut lorong atau tempat-tempat yang jarang dilewati. Ini justru menjadi angin segar bagi Adara dan teman-temannya. Dengan begitu mereka bisa memiliki banyak waktu untuk menyelidiki rumah Devian.
Di kamar Adara, lima gadis yang masih berduka itu mengatur rencana untuk pergi mendatangi rumah Devian. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dendam dan sakit hati akan kematian sahabat mereka telah mendidih bahkan nyaris meledak.
“Kita tidak mungkin mendatanginya secara terang-terangan. Itu sama saja dengan bunuh diri,” ucap Li Hua mengelus kepala Adara yang bersandar di pundaknya.
“Ya. Tapi secara sembunyi-sembunyi pun bagaimana? Jika memang Devian bekerjasama dengan setan seperti yang Arika sampaikan, dia pasti akan mengetahui apa pun yang kita lakukan. Percuma saja bersembunyi.” Emily meniup susu cokelat panas dalam cangkir putih di genggamannya.
“Oh ya, apa Arika tahu kita akan ke sana?” tanya Min Hee tiba-tiba.
Adara mengangkat kepalanya dari pundak Li Hua kemudian menggeleng, “Aku tidak akan membiarkan kakakku tahu. Pasti dia akan mencegah kita seperti sebelumnya.”
“Tapi kita tidak bisa membiarkan dia seorang diri juga. Bisa saja Devian tahu rencana kita dan malah menjadikan kakakmu sebagai pelampiasan lagi,” ujar Alody mengingatkan.
“Benar juga katamu.” Adara mengangguk dengan dahi berkerut. “Tapi dia sungguh tidak boleh tahu. Dia tidak akan membiarkan kita pergi ke Devian.
“Ya sudah. Kalian berempat pergi saja. Biar aku yang akan menemani Arika sekaligus berjaga-jaga.”
“Kau yakin?” tanya Emily. ”Bagaimana jika makhluk yang membunuh Lanasha datang ke apartemen Arika?”
“Hei. Aku tidak bisa selamanya bergantung pada kalian. Lagipula ini satu-satunya cara. Kalian lupa? Jasad Lana ditemukan dalam keadaan wajah yang gosong. Itu berarti makhluk itu bersenjatakan api atau apalah itu dan hanya kekuatan air yang bisa memadamkannya,” jelas Alody mengedipkan matanya.
“Baiklah jika seperti itu. Tapi kau harus janji untuk segera memanggil kami jika ada sesuatu terjadi. Ingat juga, jangan ceritakan apa pun tentang ini pada Arika. Terserah padamu apa alasanmu ke sana? Aku yakin kau bisa mengatasinya.”
“Tentu saja aku bisa. Mana mungkin hal seperti itu saja tidak terpikir olehku,” protes Alody pada kekhawatiran teman-temannya yang dirasa berlebihan.
“Masalah pertama adalah bagaimana cara kita ke sana dengan waktu sesingkat mungkin? Kita tidak mungkin naik bus. Itu akan memakan waktu yang sangat lama. Sementara waktu kita hanya malam hari dan harus kembali lagi ke flat sebelum pagi agar tidak ada yang curiga,” ujar Min Hee cemas.
“Serahkan padaku,” sahut Li Hua tenang.
“Maksudmu kau sendiri yang akan berlari membawa kami bertiga? Tidak mungkin,” sanggah Adara.
“Kenapa tidak? Kau tidak ingat bagaimana caraku membawamu dan Arika?”
“Bagaimana kau bisa melakukannya? Kemarin kau hanya membawa dua orang, kali ini tiga. Pasti akan sangat memberatkanmu.” Adara menatap Li Hua tidak yakin.
“Biarkan aku mencoba. Tidak ada cara lain untuk mengetahui berhasil atau tidaknya selain mencoba,” Ucap gadis Tionghoa itu meyakinkan.
“Baiklah. Setidaknya kita belum menemukan cara lain, Adara. Masih ini satu-satunya cara yang efektif,” dukung Min Hee merapikan poninya.
“Kalau begitu pukul enam tepat kita berangkat.” Emily memakai topi hitam dengan percaya diri. Dia sudah tidak sabar untuk menghadapi peristiwa menegangkan yang mungkin akan terjadi malam nanti. Firasatnya mengatakan ini akan menjadi petualangan tidak terlupakan seumur hidup.
“Deal!” seru keempat gadis lainnya kompak.
***
Seorang gadis terlihat mengetuk pintu rumah kayu minimalis bercat abu-abu itu dengan tidak sabar. Gadis itu mengenakan tanktop putih dilapis mantel bulu satu-satunya tanpa dikancing. Rambutnya yang biasanya dibiarkan tergerai diikat satu ke belakang. Sepertinya ini memang salah satu dari persiapannya untuk malam ini. Dia tidak mau hal sekecil apa pun mengganggu. Tidak ada bel. Hanya sebuah pintu persegi kecil yang hanya bisa digeser dari dalam untuk mengintip tamu yang datang. Beberapa menit berlalu, dia tetap melakukan hal yang sama dan lagi-lagi tidak ada jawaban.
Adara berbalik menuruni tangga yang menghubungkan beranda rumah ini dengan halaman dengan maksud melihat jendela kaca tinggi berbingkai putih di samping ruang tamu. Seharusnya akan terlihat langsung ke dalam ruangan menonton, tempat dia pernah duduk bersama Arika sambil mengobrol. Gadis yang tengah geram itu mengumpat ketika mendapati kaca bening tebal itu tertutup rapat oleh tirai putih tebal. “Ke mana lelaki aneh itu?”
Setelah apa yang Li Hua lakukan untuk membawa mereka berempat ke mari, Adara tidak ingin ini menjadi sia-sia. Semua di luar dugaannya. Ternyata Li Hua telah memikirkan cara baru untuk membawa mereka bertiga. Bukan lagi menggendong, namun membuat pusaran angin yang sangat besar dan menggiring mereka berjalan di atasnya. Lebih menegangkan dari yang pertama. Tetapi setidaknya tidak membuatnya mual lagi.
Tak kehilangan akal, Adara berlari ke sisi kiri rumah. Jika memang pergi, Devian tidak pernah mengunci kembali pintu garasi utama karena memang harus ditautkan dengan kait besi yang terletak di dalam. Hanya pintu penghubung ke dalam rumahlah yang selalu dikunci. Dahinya berkerut heran. Jaguar merah tua milik Dev masih berada di singgasananya. “Devian tidak mungkin sebodoh ini membiarkan mobil antiknya di dalam garasi yang tidak terkunci. Dia pasti di dalam. Dasar! Pasti si wajah topeng itu sudah menduga kalau aku datang untuk membongkar kebusukannya.”
Tanpa membuang waktu Adara berlari ke pintu kayu di sudut kirinya. Dicobanya membuka grendel pintu, walau sebenarnya tahu bahwa pasti terkunci. Setidaknya meminimalisir risiko menjadi orang paling bodoh di dunia saat mencoba mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci. Sekuat tenaga dikumpulkannya kekuatan pada kaki kanannya dan menendang pintu besi itu dengan pijakannya. “Awww!” pekiknya kesakitan sambil memegangi pergelangan kakinya yang nyeri luar biasa.
“Ternyata memang aku gadis bodoh. Kenapa aku bisa lupa? Kekuatanku hanya untuk tanah dan batu. Sekarang apa? Dasar bodoh!” Adara merutuk dirinya sendiri dan bersusah payah berdiri.
Terpincang-pincang dia setengah berlari keluar dan melambaikan kedua tangannya. Segera saja ketiga gadis yang sedari tadi bersembunyi di balik semak lebat di seberang jalan keluar dan berlari menghampiri. “Apa yang terjadi Adara?” tanya Min Hee khawatir. “Kau menemukan apa di dalam?”
Adara menggeleng. “Aku gagal membuka pintu masuk dari garasi.”
Emily berlari ke garasi diikuti oleh ketiga temannya. Melihat pintu besi berwarna hijau itu mereka langsung mengerti sebab dari pincangnya kaki Adara dan memilih untuk tidak membahasnya.
“Kenapa tidak kau coba untuk melunakkannya saja?” tanya Li Hua hati-hati. Dia takut Adara malu dan tersinggung karena mereka menngetahui kebodohannya.
“Kau ini. Dia tidak mungkin bisa melakukannya sendiri tanpa Alody,” protes Emily.
“Kenapa kalian menjadi gadis-gadis yang terlalu bangga akan kemampuan dan melupakan kepintaran? Untuk membuka pintu besi ini tidak harus dengan energi alam. Cukup dengan kecerdasan dan sedikit keluwesan,” protes Min Hee menarik salah satu jepit rambutnya yang terbuat dari besi yang berbentuk seperti lidi kecil. Dengan hati-hati dimasukkannya benda itu ke lubang kunci. Bak seorang pembobol rumah profesional dia memutar-mutar jepit rambut itu hingga terdengar bunyi ‘klik’ pelan.
Emily sudah hampir ingin menonjok gadis Korea itu jika saja pintu itu tidak berhasil terbuka. Min Hee merentangkan tangan kirinya mempersilakan mereka masuk.
“Bagaimana kau bisa melakukannya?” tanya Li Hua heran. “Apa kau pernah bekerjasama dengan Dominic Toretto?”
“Hanya dengan sedikit keahlian,” sahut Min Hee tersenyum dan masuk ke dalam rumah.
Emily mengarahkan tinjunya dari belakang dengan bibir berkerut. “Dasar! Semua orang pun bisa melakukannya.”
Adara merangkul bahu Emily sambil tertawa, “Setidaknya bukan kita yang melakukannya dari awal dan hanya dia yang selalu memakai jepit rambut ke mana pun.”
Di dalam semuanya hening dan gelap. Adara menghidupkan lampu dan terkejut. Ruangan itu sangat berantakan. seperti baru saja terjadi angin ribut. Beberapa perabotan rumah dan koleksi kristal Arika pecah. Bahkan sofa yang biasa mereka jadikan tempat bersantai telah terbalik.
“Apa yang kau lakukan dengan rumah ini, Devian?” geram Adara kemudian berlari ke kamar Devian di tingkat dua. Tidak ada siapa pun. Namun kondisinya sama buruknya dengan di bawah. Emily, Li Hua, dan Min Hee pun membantu mencari ke seluruh penjuru rumah. Namun Devian tidak ditemukan di mana pun. Bahkan asbes di sudut dapur yang bisa dibongkar pasang untuk tempat menyiman barang pun telah mereka periksa juga dan hasilnya tetap sama.
“Berarti Devian memang sudah tahu jika kita akan ke mari dan telah lebih dulu melarikan diri,” ucap Adara dengan wajah merah padam.
“Kau tahu tempat yang mungkin dia datangi?” tanya Li Hua pada Adara.
Adara menggeleng pasrah. “Aku tidak tertarik sama sekali untuk mengetahui lebih banyak tentang dia. Melihatnya saja aku muak.”
Tiba-tiba bumi bergoyang. Keempat gadis yang masih merenung itu terjatuh tanpa bisa menyeimbangkan tubuh.
“Ada apa ini?” teriak Min Hee memegang kepalanya yang pusing.
Belum semenit Min Hee berteriak, atap dapur roboh dan membentuk lubang besar. Refleks mereka melindungi kepala dengan kedua tangan. Adara mengerjap-ngerjapkan matanya yang terlilip debu.
Di depan mereka kini berdiri sesosok makhluk besar berbadan singa dengan bulu cokelat muda dan berkepala kembing yang justru muncul dari punggungnya. Ekornya yang panjang bergerak ke sana ke mari. Emily bergidik ngeri ketika menyadari itu adalah kepala ular. Hewan yang paling tidak ingin ditemukannya di mana pun. Tidak. Bahkan lebih buruk lagi, itu adalah Naga. Dari kedua hidung kepala kambing itu keluar api merah kebiruan pada setiap embusan napasnya. Kepala naga di ujung ekor itu pun seperti tidak mau kalah, juga mengeluarkan semburan api yang membakar meja kayu di sampingnya dalam sekejap.
Dengan mata terbelalak, keempat gadis itu segera berdiri dan bersiap. Mereka sadar inilah saatnya bahwa semua tak lagi main-main. Bahaya telah muncul tepat di hadapan mereka. Hanya ada dua pilihan. Melawan atau mati.
“Tampar aku, Min Hee!” teriak Emily dengan kedua tangan terkepal.
“Apa?” Min Hee memandang Emily tidak mengerti.
“Awas!” Adara menarik tubuh Emily hingga menimpanya tepat beberapa detik sebelum api melahap tubuh gadis Amerika itu.
“Siapa pun tampar aku sekarang. Atau apa pun yang mebuatku marah.”
Dengan cepat Adara menjambak rambut Emily dan berujar tepat di telinga Emily, “Kau gadis Amerika bodoh, pemarah dan tidak berguna.”
Emily menatap Adara dengan mata berkilat, ”Sebaiknya kau mundur!” Adara menurut dan bergabung dengan Li Hua dan Min Hee yang meringkuk di sudut dinding. Bukan mereka ingin mengorbankan Emily, tapi memang belum menemukan cara lain untuk menyerang. Untuk saat ini hanya dia yang bisa melawan makhluk itu atau paling tidak menahan serangan.
Api merah menyala keluar dari tubuh Emily tepat ketika kepala naga itu kembali menyemburkan serangannya. Sekuat tenaga dicobanya membuat sebuah bola api dengan kedua tangan. Berhasil. Bola api sebesar bola basket itu lalu dilemparkannya ke arah makhluk yang selalu menyeringai itu. Sial, dengan sigap makhluk itu melompat keluar dari lubang besar pada langit-langit rumah. Api justru menyambar dinding kayu.
Emily berlari keluar mengejarnya yang dengan cepat melompat ke ladang gandum seratus meter dari belakang rumah Devian.
Li Hua segera menyeret kedua sahabatnya dan berlari secepat angin mengejar makhuk itu. Mereka lebih dulu tiba dibanding Emily.
“Sekarang apa?” tanya Adara gemetar. Dia tidak memiliki ide lain saat ini.
“Aku juga tidak tahu,” jawab Li Hua sambil mengelak dari semburan api.
Adara mendaki sebuah tangga tinggi yang berbentuk seperti bangku berwarna putih tak jauh darinya. Dengan tangkas dia melompat dan mengentakkan kedua kaki ke tanah dengan kerasnya lalu kembali lagi ke atas tangga sebelum tubuhnya terperangkap ke dalam retakan besar yag diciptakannya sendiri. “Giring di ke mari, Li Hua!”
“Aku akan mencobanya. Lindungi aku, Em!” seru Li Hua pada Emily yang baru saja tiba.
Sebuah bola api yang sedikit lebih besar dari pertama tadi diluncurkan Emily sebelum makhluk itu berhasil menyerang Li Hua. Disambut dengan tiupan pusaran angin raksasa Li Hua ke tubuh makhluk jelmaan hewan berkepala tiga itu. Monster mengerikan itu akhirnya terpental ke arah lubang hasil retakan buatan Adara ketika sebelumnya sempat menyemburkan api yang dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya sementara tubuhnya satu inci lagi jatuh ke lubang. Emily terpental kurang lebih sepuluh meter ke belakang.
Cepat Min Hee menjentikkan jarinya. Ketika semua terhenti, didorongnya makhuk megerikan itu dengan susah payah. Ternyata sangat berat untuk ukuran dirinya. Setelah perjuangan melelahkan seorang diri, akhirnya makhluk aneh itu berhasil terperangkap juga. Bergegas dihampirinya Emily yang terbaring di tanah dengan api yang telah padam di tubuhnya.
Emily mengembuskan napas lega, ketika dia menyadari Emily tidak seberat sangkaannya. Dipanggulnya tubuh kaku itu menuju ke pinggir lubang dan dihadapkannya langsung ke arah makhluk yang terperangkap itu. Semua kembali normal pasca dia menjentikkan jari. Emily yang sudah melemah kembali membentuk bola api dengan sisa tenaga yang dia punya. Namun sayang, tidak memungkinkan untuk membuat bola api yang besar. Melainkan hanya sebesar bola kasti dan hanya mampu membakar surainya. “Aku tidak bisa,” rintihnya pasrah dan memejamkan mata.
Ekor berkepala naga itu kembali menyemburkan api ke arah Emily. Dan byurrr. Api itu mati oleh siraman air. “Alody,” desis Emily heran bercampur senang ketika membuka mata dan menyadari siapa yang baru saja menyelamatkannya.
“Cepat, lakukan kagi, Em! Aku akan menangani ekornya,” pinta Alody.
“Aku takut melukaimu.”
“Api tidak akan melukai air. Semburkan ke kepalanya sekarang!” teriak Alody. Suara melengkingnya yang khas membuat Emily tersentak dan mencobanya sekali lagi. Bola api kecil itu marak dengan cepat ketika Li Hua meniupkan angin kencang ke arah mereka dan menarik Emily dan Alody dengan cepat. Berhasil. Kepala kambing bernapas api itu telah terbakar. Dia mengaum keras dan menggerak-gerakkan kepalanya ke sana ke mari.
“Mari kita lakukan lagi, Em!” ser Li Hua bersiap-siap.
Sekali lagi Emily mengerahkan seluruh tenaganya hingga berteriak. Beruntung, dia berhasil membuat bola api yang bahkan lebih besar dari tiga kepala manusia. Tentu saja semakin marak dengan bantuan Li Hua yang meniupkan angin ke bola api itu hingga membesar tiga kali lipat.
Li Hua bersorak ketika bola api tepat mengenai makhluk mengerikan itu yang langsung berteriak memilukan. Suaranya menggema pada heningnya malam di tengah ladang gandum luas. Tercium aroma daging terbakar.
“Mendadak aku lapar” ujar Emily sambil tersenyum.
Kelima gadis itu terduduk lunglai di tanah.
“Aku tidak percaya kita masih hidup,” kata Min Hee membetulkan poninya hati-hati. Napasnya terengah-engah.
“Mengopa kau yang terlihat lebih lelah? Kami tidak melihat kau melakukan apa pun?” tanya Li Hua mengejek. Padahal sebenarnya dia tahu keberhasilan mereka juga tidak lepas dari kerja keras gadis centil itu.
Min Hee manyun. “Menurutmu siapa yang menjatuhkan dia ke dalam lubang itu?”
“Aku tahu,” hibur Adara mengacak rambut Min Hee yang dibalas dengan jambakan kecil di ujung rambutnya.
“Kau selalu saja merusak rambutku,”
“Seandainya kau bercermin. Kau tidak akan sanggup melihat wajahmu sendiri.” Emily terkekeh. “Oh ya, bagaimana kau bisa sampai ke mari, Alody? Kau datang benar-benar di saat yang tepat. Kau menyelamatkan nyawaku.”
Alody hanya tersenyum. “Aku memutuskan untuk menyusul kalian ketika Arika tertidur. Meninggalkan dia sendiri jauh lebih mudah bagiku daripada menahan gelisah membayangkan kalian melawan makhlluk itu tanpa aku. Aku tidak ingin melewatkan pengalaman berharga ini.”
“Tapi sebaiknya malam ini aku memang harus menemani Arika. Aku tidak akan tenang sebelum Devian ditemukan.”
“Kira-kira dia ke mana, ya?” tanya Li Hua heran. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajahnya ketika kembali dan melihat keadaan rumahnya yang sudah lebih mirip bangkai ledakan pesawat terbang.”
“Entahlah. Kita memang harus lebih berhati-hati mulai dari sekarang. Bukan tidak mungkin akan ada ancaman lain yang lebih parah dari ini,” jawab Adara.