Devils Bait

Reads
174
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Chapter 5

“Kenapa kau ke mari?” tanya Arika heran melihat keadaan adiknya yang sangat berantakan di depan pintu apartemen. Kunciran di rambutnya sudah hampir lepas dan wajah putih itu tidak lagi tampak cemerlang. Mantel bulu cokelat yang dikenakannya koyak sedikit di bagian siku dan mengeluarkan bau asap. “Apa yang terjadi denganmu?”
“Boleh aku masuk dulu, Kak?” tanya Adara lemah dengan mata sayu. Di sudut bibir kanannya ada setitik darah yang telah mengering.
“Oh iya,” Arika membopong lengan adiknya dan mendudukkanya di sofa. “Aku ambilkan teh hangat sebentar, ya.” Wanita berbibir tipis itu pun meninggalkan Adara sendiri.
Tolong!
Adara tersentak. Pelan, namun dia masih bisa mendengar jelas teriakan atau lebih tepatnya rintihan minta tolong. Keadaan yang senyap semakin meyakinkannya kalau pendengarannya tidak mungkin salah.
Tolong!
Adara celingukan. Suara itu terdengar lagi.
“Kau kenapa, Dara?” Tahu-tahu Arika sudah muncul dengan secangkir teh di tangan kanan dan handuk basah di tangan kiri.
“Aku seperti mendengar ada yang minta tolong, Kak. Dari suaranya dia seperti ketakutan,” jawab Adara cemas. Wajahnya terlihat kasihan.
“Sudahlah, Sayang. Itu karena kau terlalu letih. Mungkin itu hanya halusinasimu saja,” hibur Arika mengelus kepala adiknya.
“Tidak mungkin, Kak. Aku mendengarnya sangat jelas.”
“Tidak ada apa-apa. Percayalah. Sekarang minum saja dulu teh ini, biar kau agak sedikit tenang. Setelah itu kau harus menyiapkan jawaban yang bisa aku terima sebagai alasan dari keadaanmu seperti ini.”
Adara menyambut secangkir teh yang disodorkan Arika. Perlahan disesapnya sedikit dan terhenti tiba-tiba ketika suara itu muncul lagi. “Aku mendengarnya lagi, Kak. Tidak mungkin aku berhalusinasi sampai berulang kali.”
“Suara apa? Aku tidak mendengar apa pun, Dara.” Arika menaikkan dagu adiknya dan mulai mengompres luka di sudut bibir Adara.
Adara sedikit meringis. Bayangan wajah Arika yang sangat tidak senang ketika Lanasha memberitahukan hasil pembacaan tarotnya kembali terbayang di kepalanya. Tiba-tiba dipegangnya tangan Arika dan menatap mata Kakaknya tajam. Rasanya dia menyadari sesuatu. “Tidak mungkin Kakak tidak mendengarnya. Katakan padaku kalau Kakak hanya berpura-pura tidak mendengarnya. Katakan sekarang, Kak.”
“Bagaimana aku bisa mengakui apa yang tidak aku dengar?”
“Bohong! Dari awal kedatanganku tadi. Ada yang lain dengan sorot matamu, Kak. Tingkah lakumu aneh. Kau seperti tidak menginginkan kedatanganku. Apa yang kau sembunyikan dariku? Suara siapa itu?”
“Suara apa, Dara? Kau bahkan sudah berani bicara begitu keras kepada kakak kandungmu bahkan menuduhku yang tidak-tidak.” Arika mulai marah.
“Kalau begitu biarkan aku memeriksa apartemenmu.”
“Untuk apa? Kau sama sekali tidak perlu melakukannya.”
Adara justru melangkah masuk. Ditepiskannya tangan Arika yang mencoba menahannya. “Aku semakin yakin ada yang tidak beres. Kenapa kau menahan adikmu untuk sekadar melihat-lihat apartemen barumu? Tidak masuk akal.”
“Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Tapi kecurigaanmu membuatku terganggu.”
Adara tidak menggubris perkataan kakaknya karena dia mendengar suara itu lagi dan semakin dekat. Perlahan ditelusurinya sumber suara yang mengarah ke perapian. “Di cuaca sedingin ini kau tidak mempergunakan perapian sementara persediaan kayumu masih banyak?”
“Hei, kau datang di saat hari sudah hampir pagi. Untuk apa aku menghidupkannya sementara aku terlelap di kamar? Aku mematikannya sebelum aku tidur. Ayolah, Dara. Kau kenapa?”
“Jam berapa kau tidur?”
“Kira-kira jam dua belas malam.”
Adara menyentuh sisa abu dan memandang jarum jam di dinding yang menunjukkan pukul satu kurang sepuluh menit dini hari. “Kau bohong, Kak. Tidak akan mungkin abu sisa pembakaran bisa sedingin ini hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Setidaknya bekas hangatnya masih terasa.
Adara! Kaukah itu?
Adara memandang perapian kaget. Bagaimana mungkin suara itu bisa tahu namanya? Dalam jarak sedekat barulah dia menyadari jika pemilik suara itu lelaki. Ditelitinya lagi ruangan kecil berbentuk persegi yang mengelilingi tumpukan kayu. Latar belakangnya terbuat dari kayu jati yang dilapisi zat Amino Resin agar tidak mudah terbakar.
Mata bulat Adara tertumbuk pada sebuah cekungan di bagian bawah kayu itu. Dia sagat yakin itu pasti ada gunanya. Dijulurkannya tangan mencoba menggeserkan kayu itu ke atas dan benar saja. Bisa. Tarikan pertama mulai terbuka sedikit. “Nah, ada yang bisa kau jelaskan tentang ini?” tanya Adara berbalik.
Secepat kilat Adara mengelak ketika sebuah tombak panjang sudah mengarah padanya. Dengan geram, makhluk mengerikan di hadapannya kembali melakukan hal serupa. Kali ini ujung tombak berhenti tepat di depan hidung gadis itu. Wajahnya pucat pasi. Keringat dingin mengucur deras di dahi gadis yang ketakutan itu. “Kak Arika?”
“Sudah kukatakan kau tidak seharusnya melakukan itu,” sahut wanita berambut panjang itu. Tubuhnya berwujud ular besar berwarna hijau terang mulai dari pinggang yang membuat tingginya dua kali lipat melebihi Adara. Kedua bola matanya masing-masing berada di ujung kanan dan kiri walau saat ini gadis malang itu tepat di depannya.
Suara itu semakin memantapkan Adara kalau makhluk mengerikan di depannya memanglah Arika, kakaknya. “Apa yang terjadi padamu, Kak? Apa yang telah kau lakukan?” tanya Adara gemetar. Air matanya berlinang. Dia mengerjapkan mata berulang kali berharap ini semua hanyalah mimpi.
“Diam, Dara! Aku tidak akan membunuhmu. Tapi dengan satu syarat. Kau harus mentransfer kekuatanmu padaku.”
“Sadar, Kak. Apa hanya gara-gara ini kau berubah seperi itu?”
“Hanya gara-gara ini? Tidak sesederhana itu, Adik manisku. Kekuatan itu sangatlah dahsyat. Kau tidak akan mampu mengendalikannya. Maka berikan padaku dan kau akan bebas selamanya.”
“Jika aku tidak mau?”
“Hahaha! Tentu saja kau harus mau. Tidak akan sulit bagiku untuk menyedot kekuatanmu sekarang juga.”
“Tidak akan semudah itu.”
“Benarkah? Kita buktikan sekarang.” Arika memindahkan arah mata tombaknya ke arah jantung Adara dengan cepat. “Mungkin ini akan terasa sedikit sakit karena aku akan menusukkannya perlahan saja. Tapi tenanglah, aku janji tidak akan lama. Tombak ini akan menghubungkan kekuatanmu ke tubuhku secepat angin.”
“Kak. Tolong jangan lakukan ini. Aku adikmu,” mohon Adara dengan kedua tangan memegang batang tombak.
“Hei, singkirkan tanganmu dari situ. Atau aku akan menancapkannya hingga kau mati,” ancam makhluk jelmaan Arika itu. “Aku sempat berpikir untuk tidak membunuhmu. Karena kau masih tetaplah adikku. Tapi melihat kau yang ingin tahu dan mencoba ikut campur urusanku, sepertinya aku berubah pikiran.”
Adara melepaskan genggamannya dari gagang tombak “Kak, tolong Kak. Jangan lakukan itu,” rintih gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya ketakutan. Bisa dirasakannya ujung tombak yang dingin itu menyentuh kulit dadanya.
“Aaah!” Arika berteriak. Tombak di tangannya terjatuh dengan suara dentuman keras di lantai. Sebatang kayu yang cukup besar menghantam wajahnya. Seluruh perhatian manusia setengah siluman itu sejak tadi hanya berpusat pada Adara hingga dia tidak menyadari jika lelaki yang dikurungnya di balik perapian telah berhasil menggeser kayu yang sempat dinaikkan sedikit oleh adiknya tadi.
“Lari, Adara!” teriak Devian cepat. Ini pertama kalinya dia mendengar secara langsung Devian berbicara padanya. Tetapi dia tidak sempat memikirkannya saat itu. Gadis Indonesia itu justru salto ke atas lemari di sebelah perapian daan melompat ke lantai dengan keras. Lantai apartemen mulai terbelah tepat di bawah tombak Arika dan menyebabkan benda itu jatuh. Sayangnya tidak terlalu dalam. Siapa pun masih bisa mengambilnya dengan mudah.
“Kurang ajar!” umpat Arika dengan mata melotot. “Kalian tidak akan bisa melawanku. Digerakkannya ujung ekor sebesar batang pohon itu hingga mengenai tubuh Arika dan merobohkan perapian. Devian yang belum berkesempatan untuk melarikan diri kini kembali terperangkap oleh runtuhan kayu dan tembok yang juga terkena sambaran ekor istrinya.
Arika semakin mengamuk ketika rambut panjangnya tiba-tiba terbakar. Dengan cepat dia melompat dan menerjang seseorang yang berani melakukan itu sebelum dia berhasil membuat bola api kembali. Tubuh besar itu menindih tubuh Emily dan mencekiknya hingga gadis itu terbatuk-batuk dan meronta mencoba melepaskan diri.
Tidak tinggal diam, Li Hua membentuk pusaran angin seperti angin puyuh dan meluncurkannya ke tubuh Arika. Bukan ide bagus sebenarnya karena tubuh Emily juga ikut tercampak bersama makhluk menyeramkan itu.
“Emily!” teriak Min Hee khawatir. Dijentikkannya tangannya. Dihampirinya Emily yang tidak sadarkan diri oleh benturan keras di lantai. Segera dibawanya tubuh lemah itu menjauh. Matanya sibuk melihat ke sana ke mari mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk membunuh makhluk itu. Tanpa membuang waktu lagi, gadis Korea itu berlari mengambil tombak yang tidak sengaja dilihatnya di lubang retakan dekat kaki Adara.
Min Hee memandang makhluk setengah ular itu dengan pandangan jijik. “Saatnya kau mati, Makhluk jelek.”
Dalam beberapa detik saja tombak besar itu telah bersarang di jantung Arika. Darah merah kehitaman mengucur deras menggenangi lantai marmer putih. Min Hee kembali menjentikkan jarinya.
“Kak Arika!” teriak Adara ketika telah menyadari apa yang terjadi Dihampirinya tubuh bersimbah darah yang telah kembali menjadi wujud asli Arika itu. “Siapa yang melakukannya?” Dipandanginya wajah kedua sahabatnya satu per satu. “Siapa yang melakukannya?” teriaknya lagi lebih kencang.
Min Hee jatuh berlutut dengan wajah menunduk.
“Kau yang melakukannya, kan? Tega sekali kau membunuh kakakku.” Adara menatap Min Hee dengan penuh emosi. Kilatan amarah itu jelas terlihat meski di balik linangan air mata.
“Maafkan aku, Adara. Tapi tidak ada cara lain,” jawab Min Hee memegang pundak sahabatnya.
Adara menepis genggaman itu dengan kasarnya. “Apa pun alasannya aku tidak akan memaafkanmu.”
“Adara, apa kau lupa kakakmu yang sangat kau banggakan itu juga baru saja mencoba membunuhmu. Dia bukanlah lagi Arika yang selama ini kau kenal,” jelas Li Hua. “Kau tidak bisa menyalahkan Min Hee begitu saja. Bagaimana cara kita mengalahkannya tanpa kita harus membunuhnya?”
“Kalian tidak mengerti. Aku yakin, pasti ada alasan dia melakukan ini. Kita mungkin masih bisa menyadarkannya.”
“Menyadarkan bagaimana maksudmu? Apa kau yakin itu memang dia? Bisa saja hati dan pikirannya sudah dikuasai oleh setan jahat. Kita tidak tahu sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi,” sahut Li Hua membenarkan
“Aku sangat mengenal kakakku!” bantah Adara tersinggung.
“Katakan padaku berapa lama kau tidak bertemu dengannya. Katakan padaku sudah berapa lama kau tidak melihat secara langsung apa pun yang dia lakukan. Sekarang coba kau pikirkan lagi, Adara. Apa yang bisa menyebabkan seorang anak tega tidak mengunjungi Ibu kandung dan adiknya selama bertahun-tahun? Coba kau pikirkan itu. Jika bukan karena hatinya sudah dikuasai setan, tidak mungkin dia melakukan hal setega itu.” Mendapat dukungan dari Li Hua, Min Hee mencoba membela diri.
“Tapi mungkin saja Devian ... Ya ampun. Aku lupa.” Adara berlari mendekati perapian yang sudah hancur. “Bantu aku mengeluarkan dia.”
“Dia siapa?” tanya Li Hua heran.
“Devian. Kakakku mengurungnya di sini dan dia tertimbun kembali.”
“Mana Alody? Aku membutuhkannya untuk melunakkan batu ini. Aku tidak mungkin memecahkannya, itu akan melukai Devian. Jangan sampai kita terlambat menyelamatkannya. Dia pasti tahu sesuatu,” ujar Adara sambil terus mencoba mengangkati bongkahan batu besar.
Min Hee dan Li Hua celingukan. Mereka baru sadar jika sedari tadi Alody tidak ada di tengah mereka.
“Mana Alody?” Min Hee malah balik bertanya.
“Sudahlah nanti kita bisa mencarinya. Sekarang kita selamatkan Devian dahulu. Tidak ada cara lain selain melakukannya secara manual.”
Min Hee dan LI Hua mengangguk. Kira-kira dua puluh menit mereka berusaha mengangkat bongkahan batu dan kayu jati yang cukup besar itu. Adara sedikit lega ketika sebuah bongkahan batu besar menyangga runtuhan. Berarti tubuh lelaki itu terlindungi dan dia masih hidup. Semakin semangat dia menyingkirkan benda-benda berat itu. Kini rasa benci yang dulu sempat merajainya berganti dengan rasa iba.
“Devian!” Adara menarik tubuh Devian dibantu oleh Min Hee dan Li Hua. “Kau baik-baik saja?”
Bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, Devian malah berteriak, “Arika!” Pria Inggris itu bersusah payah menyeret tubuhnya mendekati tubuh istrinya. Ditempelkannya ibu jari ke urat nadi wanita yang dicintainya itu. Tidak berdenyut sama sekali. Kepalanya jatuh ke perut Arika dan menangis sejadinya. “Sayang, bangunlah. Siapa yang melakukannya?”
Adara diam saja. Kemarahannya kembali hadir.
“Aku tidak memiliki cara lain. Dia mencoba membunuh dua sahabatku di depan mataku. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika membiarkan mereka mati.” Min Hee menjelaskan dengan pelan tapi tegas. “Maafkan aku.”
“Aku mengerti.”
“Dev, istrimu dibunuh. Hanya itu yang bisa kau katakan?” Adara memegang pundak Devian tidak percaya.
“Aku sama sedih dan marahnya denganmu, Adara. Tapi Arika telah berbeda. Dia bukanlah wanita yang kita kenal dahulu. Min Hee telah melakukan hal yang benar. Kalau tidak, akan ada yang menyusul gadis peramal itu.”
“Gadis peramal? Lanasha maksudmu?” tanya Li Hua memastikan.
Devian mengangguk. Kematian teman kalian ada hubungannya dengan Arika. Banyak kejadian yang sebenarnya tidak kalian ketahui tentang istriku.”
“Kejadian apa?” tanya Adara penasaran.
“Nanti aku akan menceritakannya pada kalian. Tapi sekarang, kita harus segera membawa Arika menemui seseorang.”
“Siapa dan untuk apa?”
“Mantan dosenku. Dia pasti tahu bagaimana menghidupkan Arika kembali,” jawab Devian. “Arika bukanlah wujud asli dari monster itu. Dia hanyalah darah murni yang tercemari. Jika kita bisa memurnikan kembali darahnya yang telah tercampur dengan darah Echidna, masih ada kemungkinan dia selamat. Tapi tentu saja kita tidak bisa melakukannya sendiri.”
“Apa kau bilang tadi? Echidna? Apa itu?” tanya Li Hua tidak mengerti.
“Echidna adalah makhluk setengah wanita dan setengah ular seperti yang kalian lihat tadi. Dia dikenal sebagai ibu dari monster karena melahirkan banyak monster-monster yang mengerikan. Namun suatu hari Echidna berhasil dibunuh oleh salah seorang musuhnya. Argus Panoptes, seorang titan bermata seratus. Sepeninggal ibunya, anak-anak Echidna juga satu persatu mati dibunuh. Hanya satu yang tersisa, yaitu Chimera. Makhluk yang menyerupai singa berkepala kambing dan ekor yang berkepala naga.”
“Apa? Makhluk di rumahmu itu keturunannya?” Min Hee membelalak tidak percaya.
“Dari mana kalian tahu tentang makhluk itu?”
“Sebelum ke mari, kami datang ke rumahmu untuk meminta pertanggungjawaban atas kematian Lanasha. Arika mengatakan kaulah yang bersekutu dengan setan. Namun, di sana kami justru diserang oleh makhluk itu.”
Devian mengembuskan napas kecewa. “Lalu? Di mana dia sekarang?” Devian cemas kalau-kalau makhluk itu akan ke sini dan memperburuk keadaan.
“Kau tidak perlu lagi mencemaskannya. Dia sudah mati terbakar. Emily melakukannya dengan sangat bagus.” Li Hua meyakinkan Devian yang tampak ketakutan.
“Astaga, Emily!” seru Min Hee. Dia segera berlari ke arah dapur. Seketika gadis centil itu tertegun. Mulutnya menganga tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
“Jangan mendekat! Jika kalian berani melangkah sedikit saja. Jangan harap dia akan selamat.”
Adara, Li Hua dan Devian yang telah menyusul sama kagetnya dengan Min Hee.
“Apa yang telah terjadi padamu, Alody? Mau kau apakan dia?” tanya Adara cemas.
Alody bergeming. “Kau yakin ingin mengetahui alasanku?” tanya Alody dengan jari-jari kiri menekan pipi Emily hingga mulutnya terbuka sementara setengah telunjuk kanannya sudah berada di mulut gadis yang masih tidak sadarkan diri itu. “Aku bisa pastikan dia akan tetap hidup. Hanya saja aku ingin meminta seluruh energi apinya. Percayalah, ini tidak akan melukainya. Asal kalian tidak menggangguku.”
“Kenapa kau ini?” Min Hee memndang Alody tak senang. “Dia sahabatmu.”
“Apa kau tidak ingat sama sekali semua yang dilakukannya untukmu. Jika kau melakukannya kekuatannya akan hilang sama sekali.”
“Aku tahu, Bodoh. Justru itu yang kuinginkan. Aku tidak ingin ada orang lain yang memiliki kekuatan hebat selain aku.”
“Oh Tuhan!” ratap Min Hee. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Jangan lakukan, Alody!” teriak Adara ketika cahaya merah mulai keluar dari tenggorokan Emily dan terhubung dengan telunjuk gadis Perancis itu.
“Jangan lakukan lagi, Li Hua,” cegah Adara ketika sahabat Cinanya itu bersiap hendak mengeluarkan pusaran angin. “Itu akan membunuh Emily juga dengan jarak sedekat ini.”
“Lalu kita harus berbuat apa?”
Tiba-tiba Li Hua mematung.
Ternyata Min Hee menjentikkan jarinya. Tapi dia justru bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin dia membunuh Alody seperti yang dia lakukan pada Arika. “Setidaknya aku harus menjauhkan Emily darinya terlebih dahulu.”
Min Hee kaget setengah mati. Dia sama sekali tidak bisa mendekati Alody. Seperti ada dinding yang menghalanginya. Gadis Korea itu terus mencoba maju. Namun usahanya gagal. Akhirnya dia terduduk lunglai dan menjentikkan jarinya lagi.
Semua kembali normal.
Prang! Sebuah gelas kaca bening menyerempet kepala Alody hingga terjatuh ke samping. Pegangan tangannya terlepas dari Emily. Semua memandang ke arah Devian.
“Kenapa kalian tidak menggunakan cara manusia biasa saja? Meski berdarah, itu tidak akan membunuhnya.”
Min Hee tidak mau membuang waktu. Dia yang terduduk tidak jauh dari Emily segera menarik gadis pingsan itu dan menjentikkan jarinya. Kemudian diseretnya tubuh Alody ke dalam kamar mandi dan menguncinya ketika sebelumnya telah mengikatnya dengan tali tambang yang tergantung di dinding.
Adara terheran-heran ketika Min Hee sudah menjentikkan jarinya kembali. “Mana Alody?”
“Kau tak perlu bertanya. Sekarang bantu aku mengangkat Emily. Sebelum Alody berhasil meloloskan diri.”
“Kita ke rumahku,” ajak Devian.
“Untuk apa? Rumahmu sudah hancur, Dev.” Jawab Adara mengingatkan.
“Tapi kalian tidak menghancurkan mobilku juga, kan?”
Adara mengangguk mengerti.
***
“Jadi maksudmu Chimera itu yang membunuh Lanasha?” tanya Adara ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Devian mengangguk. “Atas perintah Arika.”
“Oh, Tuhan. Kenapa harus Lanasha? Bahkan dia bukan salah satu dari kami berlima,” sesal Min Hee.
“Echidna takut Lanasha akan berhasil membongkar penyamarannya. Lanasha tidak bersalah apa-apa, namun kemampuannya memprediksi masa depan akan mempersulit Arika.”
“Tunggu! Sedari tadi kau selalu menyebutkan nama kakakku. Apa memang dia otak dari semua ini?” Entah kenapa Adara masih belum bisa menerima jika Arika telah berubah menjadi jahat.
“Baiklah. Aku akan menjelaskan kronologisnya yang aku ketahui,” ujar Devian sambil tetap konsentrasi menyetir. “Suatu hari, aku dan Arika sedang makan siang. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu dan istriku yang membukanya. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, namun karena Arika lama tidak kembali aku menyusulnya dan melihat wanita itu telah tergeletak pingsan di depan pintu. Melihat tanda bintang yang dikelilingi ular di lehernya, aku sadar jika Echidna telah merasukinya. Hanya keturunan Echidna yang memiliki lambang seperti itu. Chimera menginginkan Echidna untuk bangkit kembali dan dia membutuhkan tubuh Arika sebagai reinkarnasi makhluk mengerikan itu.”
“Kenapa harus Arika?” tanya Emily yang masih lemah. Kekuatannya telah habis dikuras oleh Alody.
“Karena dia adalah kakak Adara.”
“Hah? Aku? Ada apa denganku?”
“Itu yang juga masih belum aku ketahui pasti. Tapi aku menduga, ada seseorang di balik ini semua yang sudah memprediksikan akan ada beberapa orang yang memperoleh kekuatan dahsyat dan mereka menelusuri asal usul orang tersebut. Mereka memilih anggota keluargamu bukan yang lainnya karena justru cinta di antara saudara yang jaraknya berjauhan justru semakin kuat namun justru melemahkan mereka. Itulah yang dimanfaatkan para monster itu agar kekuatan mereka tidak terkalahkan. Makna ungkapan cinta mengalahkan segalanya itu memang benar adanya. Dia sangat mencintaimu.”
Adara menangis mendengarnya. Dielusnya kepala Arika yang terkulai di pangkuannya itu sementara tubuhnya beralaskan pada Li Hua dan Min Hee.
“Seberapa jauh lagi, Dev? Aku takut kita akan terlambat. Kumohon cepatlah,” buru Adara.
“Bersabarlah, Adara. Kau tahu ini adalah mobil tua bukan Ferrary. Sebentar lagi kita sampai. Seandainya saja dia masih mengajar di Universitas Oxford.”
“Oxford? Siapa?” tanya Adara kaget. “Kenapa kau tidak mengatakan kepada kami bahwa dosen yang kau maksud adalah mantan dosen Oxford? Dan apakah kau dulu juga pernah berkuliah di situ.”
“Ya. Dulu aku sempat berkuliah di situ. Hanya beberapa semester. Kau tahu, keuanganku tidak mendukung. Aku pikir kalian tidak akan mengenalinya. Universitas Oxford terlalu besar untuk bisa kau kenali dosennya satu persatu.”
“Tapi kami berada di fakultas yang berbeda. Masih ada kemungkinan kami mengenalnya,” protes Li Hua. Dia merasa sedikit kesal karena sedari tadi merasa penasaran akan siapa orang yang akan mereka temui.”
“Mr. Chayton. Kalian mengenalnya?”
“Tentu saja kami mengenalnya,” sambar Min Hee. “Dia mengajar beberapa mata kuliah untuk kami. Dia pasti akan sangat mengenalimu, Adara.”
Adara nyengir. Kemudian keningnya berkerut. “Dev, kau bilang dia sudah tidak mengajar di Oxford lagi?”
“Ya. Sejak kematian Lanasha, dia mengundurkan diri.”
“Kenapa?” Adara semakin bersemangat.
“Haruskah aku menceritakan itu juga? Dia tidak akan senang.”
“Kami harus tahu. Jika itu berhubungan dengan Lanasha, maka pasti ada hubungannya juga dengan kami.”
Devian mengembuskan napasnya berat. “Baiklah. Aku akan menceritakan yang sebenarnya. Aku percaya pada kalian. Beberapa tahun yang lalu Mr. Chayton kehilangan anak perempuannya yang harus meninggal dibunuh oleh Abang kandungnya sendiri agar kekuatan adiknya segera berpindah padanya. Kini anak lelaki itu tidak pernah diketahui di mana keberadaannya. Ilmunya sudah sangat tinggi. Walau begitu dia tidak pernah merasa puas dan terus saja mencari tahu siapa saja yang memiliki kekuatan untuk dicuri.”
“Lalu? Apa yang dilakukan Mr. Chayton?” tanya Min Hee cepat-cepat ketika dilihatnya.
“Mr. Chayton meminta bantuan seorang peramal yang sudah sangat ahli. Selain meramal, dia juga memiliki kemampuan untuk mengendalikan kekuatan yang berasal dari bumi dan energi-energi lain yang mengitarinya. Maka, Mr. Chayton meminta orang tua itu untuk mengumpulkan seluruh kekuatan yang terdiri dari angin, api, air, tanah dan pengendalian waktu tersebut untuk dikirimkan secara acak kepada lima orang manusia. Hal ini dilakukannya karena dia tahu pasti anaknya akan segera mencari lima orang itu.”
“Lima orang itu kami, kan?” tanya Min Hee berusaha menebak padahal dia sudah yakin akan jawabannya.
“Ya,” jawab Devian kemudian tertawa.
“Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu? Nyawa kami terancam, kau malah tertawa,” sahut Li Hua tersinggung.
“Maaf. Aku hanya merasa bodoh. Rasanya lega sekali aku bisa menceritakan ini pada kalian. Seandainya aku bia menceritakannya sedari awal, mungkin akan lain ceritanya.
“Berarti Mr. Chayton hanya memanfaatkan kami untuk bisa bertemu kembali dengan anaknya? Lalu untuk apa sekarang kita ke sana? Itu sama saja menyerahkan diri,” jawab Adara dengan nada tinggi.
“Ingat! Tujuan kita ke sana adalah demi Arika. Jika kalian tidak ingin ikut ke sana? Aku sendiri juga bisa melakukannya. Kupikir kalian itu cukup berani untuk menghadapi apa pun dengan kemampuan yang kalian miliki.” Devian menutup mulut dengan tangan kiri menunjukkan rasa kecewanya.
“Bukan begitu, Dev. Kita ke sana untuk menyelamatkan Arika, tapi kau mengorbankan nyawa kami?” Min Hee ikut tidak suka.
“Mr. Chayton tidak seburuk yang kalian sangka. Maksud dia untuk menemukan anaknya kembali adalah justru ingin mengeluarkan seluruh kekuatan dalam tubuhnya. Kekuatan itu membuat putranya menjadi jahat karena dia tidak mampu mengendalikannya dan menjadikannya serakah. Dia menggantungkan harapan pada kalian. Sudah sejak lama dia ingin membongkar identitas dirinya pada kalian, namun aku mencegahnya. Aku tidak mau kuliah kalian terganggu dan pikiran kalian bercabang antara melawan Echidna atau anak Mr. Chayton.”
“Sekarang sudah tidak bisa ditunda lagi, Dev,” sambung Adara.
“Justru itu aku menceritakan semua pada kalian dan kumohon. Berjuanglah sampai akhir. Kalian adalah orang-orang terpilih.”
“Kenapa Mr. Chayton memilih kami?” tanya Li Hua tidak mengerti. “Sebelumnya kami belum mengenalnya.”
“Sebenarnya memang kalian atau pun Mr. Chayton sendiri memang tidak saling mengenal. Tapi, bukan tanpa alasan juga Lanasha berkuliah di situ. Dia bukanlah mahasiswa penerima beasiswa seperti kalian. Dia sengaja diperintahkan neneknya untuk berkuliah di situ hanya untuk melindungi lima orang yang nantinya akan menerima kekuatan dahsyat itu dan wanita tua itulah yang memilih kalian. Dia pasti punya alasan tersendiri mengapa memilih kalian. Tapi aku tidak tahu apa alasannya. Selain itu, kamar kalian yang berdekatan satu sama lain memudahkannya untuk terus mengawasi kalian. Dia sadar sepenuhnya, pasti bahaya apa pun akan terus mengintai kalian.”
“Oh Lanasha yang malang,” Li Hua menangis menutup wajah dengan kedua tangan. “Berarti kematiannya juga karena ingin melindungi kami dari Chimera?”
“Menurutku sih begitu. Nenek Lanasha mencoba melawan Chimera dari jarak jauh. Sayang, Echidna dalam tubuh Arika juga melakukan hal yang sama dan berhasil membentengi serangan wanita tua itu. Hingga akhirnya Lanasha harus mati di tangan Chimera. Makanya, Nenek Lanasha merasa sangat terpukul akan kematian cucunya. Selain karena merasa bersalah, juga tidak ada lagi yang bisa menjadi penghubungnya untuk melindungi kalian.”
Brakk! Seisi mobil terkejut. Devian mengerem mendadak. Ada sesuatu yang jauh menimpa atap mobil mereka.
“Alody?” Min Hee terbelalak ketika melihat gadis berambut merah yang kini merangkak di kap mobil menatap sinis ke arah mereka.
Li Hua merasa seperti ada yang berbeda dengan gadis itu di matanya. Tapi dia belum bisa menemukan itu apa.
Dengan sekali tumbukan, Alody berhasil memecahkan seluruh kaca depan mobil hingga serpihannya melukai kulit wajah dan tubuh mereka. Tidak hanya itu. Diarahkannya jari telunjuknya kepada Devian hingga aliran listrik berbentuk seperti kilatan petir menghunjam dadanya. Lelaki malang itu bergetar hebat oleh sengatan listrik tegangan tinggi.
Min Hee bersiap menjentikkan jarinya ketika Adara menampel tangannya dengan kuat. “Apa yang bisa kau lakukan seorang diri setelah ini? Menarik tubuh Devian? Tubuhnya sudah dialiri listrik. Kau tidak boleh menyentuhnya jika ingin selamat.”
“Lalu apa yang harus kulakukan?” Min Hee berteriak.
“Letakkan tubuh kakakku dipangkuan Devian. Setidaknya kita tidak akan menambah korban satu lagi. Setelah itu aku yang akan bertindak.”
Min Hee menjentikkan jarinya. Dipandangnya Adara sejenak. “Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Adara? Aku tidak akan menyiakan kesempatan ini.” Diberanikannya diri untuk menyentuh sedikit tubuh Alody. Matanya terpejam.
Min Hee menarik napas lega. Ternyata sentuhannya pada tubuh Alody tidak menyebabkannya kesetrum. “Ya. Tentu saja, aliran listrik hanya energi yang dikeluarkannya dari tubuh. Tidak berfungsi jika masih di dalam tubuhnya.” Cepat didorongkannya tubuh Alody hingga terlempar dengan keras ke aspal. Dipindahkannya Devian ke jok kanan mobil dan mengambil alih stir.
Gadis berbibir merah jambu itu menarik napas panjang kemudian membuangnya perlahan. Dengan segunung keyakinan yang dipaksakan, diinjaknya pedal gas hingga mobil berjalan perlahan di aspal yang mulus. Semakin lama Min Hee semakin nyaman dan menambah kecepatan. Diliriknya sekilas Devian dan kedua temannya yang masih mematung. “Dengan begini semua akan terselesaikan tepat waktu. Tidak harus terhambat oleh kendala apa pun,” gumamnya seorang diri.
Lima belas menit mobil melaju, Min Hee sadar telah sampai di persimpangan. Dia tidak tahu harus membelok ke mana karena sama sekali tidak tahu rumah Mr. Chayton. Dengan cepat dijentikkannya jarinya. Seketika semua kembali normal.
“Kenapa aku bisa berpindah ke sini? Mana Alody?” tanya Devian bingung. Suaranya terdengar sangat pelan dan serak. Terlihat jelas dia berusaha keras melakukannya.
“Tenang saja. Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah mengendalikan semuanya. Sekarang katakan padaku ke mana kita harus berbelok? Kau masih bisa mengingatnya dengan baik kan?” Min Hee memandang Devian khawatir.
Devian mengangguk. “Belok kanan. Ketika kau temukan rumah besar dengan gerbang putih tinggi dan halaman luas. Itulah rumahnya.”
Min Hee segera melakukan apa yang diarahkan Devian dengan cepat hingga mereka semua tergesar ke samping.
“Bisakah kau melakukannya dengan berhati-hati?” tanya Adara mengelus kepalanya yang terantuk kaca jendela mobil.
“Maaf. Sudah lama aku tidak menyetir. Lagipula kita memang harus cepat bukan?” Min Hee tersenyum membela diri.
“Apa ini yang kau maksud Devian?” tanya Li Hua memandang kagum pada rumah bergaya vintage itu.
“Biar aku keluar,” usul Devian hendak membuka pintu mobil.
“Kau bisa? Biar kubantu,” tawar Adara hendak turun.
“Tidak usah. Aku bisa,” jawab Devian yang telah memijakkan kakinya di aspal dan berjalan terseok menuju tembok putih yang menjadi tempat bersandar bagian kanan pagar. Dipencetnya tombol kecil yang ternyata bel itu sambil wajahnya mengarah ke kamera CCTV yang terpasang di bagian atasnya.
Beberapa menit kemudian gerbang kokoh itu terbuka secara otomatis. Sepertinya tuan rumah sudah mengetahui siapa yang datang. Devian kembali ke dalam mobil. “Ayo cepat.”
Min Hee segera membawa mereka melaju memasuki sebuah jalan di antara rerumputan luas. “Aku heran. Rumah sebesar ini kenapa tidak ada yang menjaga?”
“Mr. Chayton tidak ingin banyak yang mengetahui identitas aslinya. Dengan memperkerjakan banyak orang, itu akan memperbesar kemungkinan orang-orang akan mengetahui tentang dia dan nasib kedua anaknya.”
Tiba-tiba pintu mobil di sebelah Min Hee terlepas oleh sambaran kilat. Dengan cepat sebuah tangan menarik tubuh gadis yang tengah mempertahankan kemudi itu dan mencampakkannya ke tanah. “Aaaa!!!”
Jaguar merah Devian hilang kendali dan menabrak pinggiran kolam dengan air mancur yang terbuat dari batu dengan keras. Semuanya berteriak panik. Seorang perempuan berambut merah sebahu bermata biru sudah berdiri di atas batu pembatas kolam sambil tertawa terbahak-bahak.
“Alody!” seru Adara dan Li Hua bersamaan.
“Kalian tidak bisa lari lagi dariku. Kesabaranku kini sudah habis karena kalian selalu saja mencoba mempermainkanku. Berterima kasihlah padaku karena aku akan segera membebaskan kalian dari dunia. Ayo katakan selamat tinggal,” pintanya mengejek.
Adara dan Li Hua keluar dari mobil dan meninggalkan Arika begitu saja. Dengan geram Li Hua melemparkan pusaran angin kepada Alody. Namun secepat itu juga gadis bertubuh mungil itu melompat ke tanah dengan lihai dan mengagumkan.
“Hanya itu yang bisa kau lakukan?” tanya Alody tersenyum sinis.
Adara geram. Dia sadar tempat ini cukup luas untuk mencoba mengendalikan kekuatan baru yang sempat dibacanya di perpustakaan. Dengan cepat dia salto beberapa kali hingga telapak tangannya membenamkan kedua kaki Alody ke dalam tanah.
Alody panik. Dia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya lagi. Tanah berumput yang dipijaknya seakan menariknya perlahan. “Apa yang kau lakukan padaku?” Diarahkannya jari telunjuk ke Adara mengeluarkan sambaran petir yang menyatu dengan api merah.
Adara menggulingkan badannya ke samping. Serangan Alody justru menggosongkan rumput di tempat Adara berpijak tadi.
Sementara itu, tubuh Alody semakin terbenam sebatas pinggang. Dia menyadari jika Adara telah mengubah tanah itu menjadi pasir hisap yang siap menelannya hidup-hidup.
“Alody!” teriak Min Hee. “Kau bisa membunuhnya, Adara.” Gadis berkulit putih itu segera mendekati Alody dan berpijak pada tanah yang masih utuh dan menarik tangannya.
“Apa bedanya dengan yang kau lakukan terhadap kakakku? Dia sama berbahayanya bukan?” tanya Adara tidak mengerti. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”
“Iya. Aku salah. Maka jangan sampai kita melakukan kesalahan lagi,” ujar Min Hee terengah-engah. Pasir telah menghisap Alody hingga hampir mencapai dagunya.
Adara dan Li Hua berjalan mendekat.
“Baiklah!” Adara mengisyaratkan pada LI Hua dan Emily untuk membantu menarik Alody.
Namun ketika mereka membantunya, kedua tangan yang masih terjulur ke atas itu justru menarik para penolongnya hingga ikut terjebak dalam pasir hisap. Dia sendiri melesat terbang dengan cepat meloloskan diri dan mendarat jauh dari mereka.
“Hahaha! Dasar gadis-gadis bodoh!” teriak Alody yang telah menjelma menjadi seorang pria berambut lurus sebahu menutupi sebagian wajahnya. Dengan ikat kepala merah tua dan jubah panjang selutut warna senada.
“Kau ... kok.” Adara terperangah melihat pemandangan di hadapannya. “Mana Alody?”
“Apa masih penting aku memberitahu di mana dia? Sementara lima menit lagi kalian sudah tidak ada di bumi ini lagi,” sahut pria itu dingin. Bola matanya hanya nampak setitik di antara putih keseluruhan.
“Adara!” teriak Devian menyeret tubuhnya dengan susah payah.
“Tetap di sana, Devian. Pastikan jika kakakku akan selamat hingga menemui Mr. Chayton,” pinta Adara dengan suara tercekat.
Baru beberapa detik Adara menyelesaikan kalimatnya. Kilatan petir menyambar kepalanya. Adara merasakan tubuhnya seperti tersengat listrik. Di antara kesulitan meloloskan dari pasir hisap, serangan yang diciptakan lelaki misterius itu semakin memperburuk keadaan. Di tengah rasa sesak karena pasir hisap telah menenggelamkan hampir ke dada, Li Hua, Emily, dan Min Hee sadar jika setelah ini pasti giliran mereka. Wajah kematian telah membayangi dalam ketakutan.
“Almanzo!” Suara seorang lelaki menggelegar memecahkan konsentrasi pria tinggi itu hingga aksinya terhenti.
“Ayah tidak usah ikut campur. Ini urusanku,” jawabnya pongah.
“Belum cukupkah nyawa adikmu kau korbankan? Lepaskan mereka!” perintah Mr. Chayton.
Seorang wanita tua sedikit berlari datang menghampiri. Bola matanya tajam dan legam meski alisnya telah memutih. Rambutnya tidak lebih panjang dari Devian dan telah memutih seluruhnya. Kerutan di wajahnya nyaris mencapai seluruh bagian. Sedikit berlari dia menghampiri mereka dan menarik Devian yang sudah hampir mencapai lengan Min Hee. “Kau bisa ikut terhisap dengan keadaaanmu yang lemah seperti ini.”
“Nenek Lanasha!” seru Adara girang.
“Panggil aku Renata,” sahutnya.
Empat gadis itu menjerit ketika tiba-tiba pasir hisap itu muncrat keluar dan mengeras ketika wanita tua itu mengarahkan telapak tangannya ke arah mereka. “Cepat keluar!” perintahnya.
“Awas!” teriak Emily ketika Almanzo kembali meluncurkan serangannya. Kali ini berupa api yang menyerupai bentuk pedang merah menyala tepat mengarah ke manula yang telah menolong mereka itu.
Segera Min Hee menjentikkan jari. “Sekarang apa?” tanya gadis kurus itu pada dirinya sendiri yang kebingungan. “Setidaknya aku harus bisa mencegah jangan sampai Renata ikut terbunuh.”
Dengan cekatan Min Hee memindahkan tubuh Renata menjauh. Pedang itu membakar tanaman pagar di sekitar rumah Mr. Chayton setelah Min Hee menjentikkan jarinya kembali.
Almanzo menyadari serangannya gagal. Dengan marah dia mengarahkan jari ke arah Min Hee, namun dengan cepat Mr. Chayton berdiri menutupi tubuh gadis itu.
“Apa kau akan membunuh ayahmu juga?” tanya Mr. Chayton merentangkan kedua tangannya.
Sejenak Almanzo diam dan berpikir. “Jika memang harus seperti itu, Yah,” jawabnya. Lalu dia mengeluarkan kilatan petirnya kembali dari telunjuk yang langsung menyambar tubuh ayahnya. Dengan puas diangkatnya tubuh Mr. Chayton mengikuti arah jarinya.
Tidak tinggal diam, Li Hua meniupkan embusan angin kencang yang berputar seperti tornado kecil. Almanzo tersentak. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang.
Emily segera menghampiri Mr. Chayton yang terjerembab dengan keras ke tanah. “Ayo, Mr. Chayton kita masuk.” Dibantunya Mr. Chayton berdiri dan mengisyaratkan Devian agar mengikuti mereka. “ Kau bisa, Dev?” tanya Emily.
Devian mengangguk dan mengisyaratkan dengan tangannya agar Emily pergi saja. Gadis Amerika itu pun menurut sambil membopong lengan Mr. Chayton.
Ketika yang lain masih mencoba kekuatan mereka melawan Almanzo, Devian susah payah bangkit dan berjalan terhuyung-huyung ke arah mobilnya. Dibukanya pintu belakang mobil dengan tergesa-gesa. “Oh, Arika-ku yang malang.”
Devian terkejut dan hendak melawan ketika seseorang menepuk pundaknya.
“Biar kubantu,” tawar Emily yang telah kembali.
Devian mengembuskan napas lega dan mengangguk.
Di sisi lain, Li Hua membawa Adara berjalan di atas pusaran angin ke arah Almanzo dengan cepat. Adara mengentakkan kedua kakinya dengan keras sebelum Almanzo berhasil melakukan seangan lagi. Tanah sedikit bergetar, namun tidak bisa terbelah atau sekadar retak seperti biasanya.
“Aku tidak bisa. Dia telah menyedot sebagian besar kekuatanku,” keluh Adara cemas.
Almanzo tertawa mengejek. “Kalian tidak akan bisa menga ... “ Sebuah tendangan keras dari Li Hua menghantam wajahnya hingga jatuh terpelanting ke tanah.
Sekali lagi Li Hua bersiap mengeluarkan angin kencang, namun Almanzo lebih dulu mengentakkan kakinya ke tanah hingga terbelah dan memancarkan air cukup deras menerjang tubuh Adara dan Li Hua.
Tiba-tiba semua terhenti termasuk gerakan air. Li Hua berlari menghampiri kedua sahabatnya dan menarik mereka menjauhi gulungan air.
“Tunggu!” cegah Renata ketika Min Hee ingin menjentikkan jarinya lagi.
Min Hee kaget. “Kenapa kau bisa bergerak?”
“Aku sudah tua, Nak. Bertahun-tahun aku mendalami ilmu seperti ini bahkan cara menangkalnya. Namun aku tetap menghargai usahamu menolongku tadi.”
Min Hee mengangguk. “Lalu kenapa kau tidak ikut melawannya?”
“Aku tidak bisa, Gadis manis. Dia anak dari sahabatku,” jawab Renata.
“Tapi tidak ada cara lain. Bahkan aku yang mengorbankan nyawa kakak Adara karena ia ingin membunuh kedua sahabatku.”
“Itu karena kau belum bertemu denganku.” Renata mengelus kepala Min hee lembut.
Min Hee memandang nenek dari sahabatnya itu heran.
“Aku bisa mengeluarkan seluruh kekuatan yang ada di tubuhnya. Tapi ... “
“Tapi apa?” tanya Min Hee tidak sabar.
“Tapi tidak hanya dia. Kekuatan kita semua juga akan menghilang secara keseluruhan.”
Min Hee terdiam sejenak. “Mungkin memang itu jalan terbaik yang bisa kita lakukan. Tak masalah menurutku. Lagipula sejak kekuatan itu muncul, kami tidak bisa menjalani kehidupan dengan tenang. Aku merasa kematian selalu mengintai setiap hari.”
“Maafkan kecerobohan kami. Aku dan Chayton sudah berteman sejak masih muda. Aku tidak sanggup menolak permintaannya. Yang aku tahu dia sangat menyayangi putranya. Apa pun akan dilakukannya untuk membawa Almanzo kembali, meski harus mengorbankan nyawa orang lain.” Air mata mengalir di pipi Renata yang keriput. Kesedihan yang mendalam akan kepergian Lanasha masih sangat membekas.
“Aku mengerti. Semoga teman-temanku juga,” hibur Min Hee menggenggam jemari kurus dan panjang itu erat untuk mencoba mengalirkan kekuatan padanya. “Aku juga minta maaf atas meninggalnya Lanasha. Karena melindungi kami, dia harus mengorbankan dirinya sendiri.”
“Itulah yang ingin ku jelaskan kepadamu,” sahut Renata kemudian. “Pengorbanan adalah kemenangan yang sesungguhnya.”
“Maksud anda?” tanya Min Hee tidak mengerti.
“Kau adalah gadis paling centil dan manja di antara semua. Namun bukan berarti kau penakut. Justru kau adalah gadis paling berani dibanding empat lainnya. Aku yakin kau bisa membantuku,” ujar Renata mantap.
“Membantu apa, Nek?”
Renata menatapa mata Min Hee dan tersenyum penuh arti.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices