devils bait
Devils Bait

Devils Bait

Reads
161
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Chapter 7

Badai salju telah mereda kemarin pagi. Tetapi sisa-sisa salju masih rata menutupi tanah. Atap rumah dan pucuk pohon juga tidak ketinggalan diselimuti butiran kecil seperti kapas itu. Adara dan keempat sahabatnya tengah menikmati Festival Cahaya Canary Wharf yang biasa dilakukan selama sepuluh hari setiap musim dingin tiba di London.
“Betapa indahnya!” seru Adara kagum melihat bermacam rangkaian instalasi cahaya yang dibuat warna warni dalam berbagai bentuk.
“Ya,” sahut Alody setuju. “Aku sangat menyukai yang berbentuk sayap malaikat itu. Terlihat sangat mengagumkan.” Wajah riang Alody bersinar diterpa cahaya merah muda keunguan itu.
“Apa kau mau berdiri di sana dan kuambil fotomu?” tanya Adara melihat wajah sahabatnya yang gembira itu. Dia mengambil sebuah kamera digital hitam dari saku mantel krem yang pernah dilihatnya di manekin butik waktu itu. Adara membelikannya sebagai permintaan maaf. Tentu saja akan banyak momen yang ingin dia abadikan bersama empat sahabat perempuannya sebelum masa kuliahnya berakhir dan harus kembali ke Indonesia.
“Kau serius?” tanya Alody berbinar.
“Tentu saja,” jawabnya mengisyaratkan Alody untuk berada di tengah sayap malaikat.
Dengan berlari kecil Alody memosisikan diri tepat di antara sayap. Dia terlihat seperti malaikat sungguhan dengan wajahnya yang putih bercahaya. Setidaknya seperti itulah gambaran sosok malaikat yang dilihat Adara di Film.
“Kau berada di antara sayap malaikat namun berdiri seperti sedang upacara,” ledek Emily terbahak diikuti keempat sahabatnya.
“Lalu aku harus bagaimana?” tanya Alody merengut. Namun wajah itu justru membuatnya semakin cantik. Apalagi dengan topi rajut merah yang menutupi sebagian kepalanya. Membuatnya seperti boneka.
“Terserah padamu,” jawab Li Hua tersenyum. Gadis itu terlihat sangat anggun walau dalam balutan jaket hitam tebal yang menutupi hingga paha. Sesekali da membaguskan syal biru tua yang menutupi leher.
Alody mengalihkan pandangannya sedikit menyerong ke kanan seakan menatap langit. Ke dua tangannya dibenamkan ke dalam kantung mantel putih yang dikenakannya. “Apakah ini terlihat lebih baik?”
Adara menahan tawa dan bersiap memotret. ‘Gadis ini memang polos,’ pikirnya.
“Itu sempurna, Alody,” puji Min Hee dengan gigi gemeletuk.
“Sudah kubilang kau harus mengenakan syal atau topi di musim dingin seperti ini,” protes Li Hua pada Min Hee setelah Adara selesai memotret.
“Topi akan merusak rambutku.” Min Hee membetulkan posisi poninya yang sudah lebih panjang dari pertama kali masuk kuliah.
“Oh ya. Merusak rambutmu. Tetapi dingin bisa membunuhmu,” sahut seorang laki-laki yang langsung memasangkan topi bulu berwarna kelabu ke kepala Min Hee begitu saja.
“Koji.” Min Hee menatap lelaki Jepang itu tidak berkedip. Yang dipandangi hanya mengangguk dan tersenyum sambil membungkukkan badannya. “Selamat menikmati musim dingin.” Dia lalu pergi setelah melambaikan tangannya karena dipanggil oleh temannya yang lain.
Emily menggoyangkan pundak Min Hee dari belakang geli. “Bahkan kau tidak memedulikan rambutmu ketika melihatnya.”
“Dasar Min Hee,” umpat Li Hua kesal sekaligus lucu. Mulutnya hampir berbusa menyuruh gadis Korea itu mengenakan topinya di udara dingin namun tak sedikit pun diindahkan. Sangat berbeda perlakuan untuknya dan untuk pria itu.
Min Hee diam tak berkutik di tempatnya. Pikirannya tidak bisa beralih lagi dari pria bermata sipit itu. Rambutnya yang menutupi hampir sebelah matanya memesonakan gadis bergaya ala Manga itu.
“Siapa sih dia?” tanya Emily heran. Mengingat mata Min Hee tidak bisa lepas darinya meski sudah menghilang dari pandangan.
“Dia salah seorang teman kami di kelas Tekhnologi. Aku sudah tahu sejak awal jika Min Hee pasti menyukainya. Dia selalu melirik ke arah pria itu,” jelas Adara menyikut sahabat sekaligus teman satu program studinya itu.
“Aku belum pernah melihat pria setampan dia sebelumnya,” jawab Min Hee akhirnya. Bibirnya yang biasa dimanyunkan kini tersenyum merekah. “Dia seperti bunga sakura.”
Keempat sahabatnya tertawa terpingkal-pingkal hingga memegangi perut mereka.
“Apa yang kau tahu tentang Jepang hanya bunga sakura dan manga? Tidak adakah perumpamaan lain yang lebih tepat untuk seorang pria?” Emily merangkul Min Hee.
“Tapi sepertinya kita memang membutuhkan kehadiran seorang pria setelah kita melewati masa mengerikan itu,” usul Adara.
“Ide yang bagus.” Li Hua manggut-manggut. Diam-diam dia sebenarnya juga memiliki seorang pria berkebangsaan Indonesia yang selalu membantunya jika kesulitan saat praktik di laboratorium.
“Andai Lanasha ada di tengah kita. Pasti akan menyenangkan sekali,” sesal Alody mengawang.
“Ya. Kita semua merindukannya,” sahut Adara setuju.
“Mungkin aku satu-satunya di antara kalian yang tidak ingin mengingatnya. Di saat aku mengingatnya, saat itu juga aku akan kembali mengingat wajah neneknya. Itu membuatku sakit.” Min Hee menunduk. Terbayang kembali dalam benaknya bagaimana Renata menggenggam tangannya memohon agar dia mau membantunya. Juga bagaimana wajahnya yang meringis kesakitan saat pisau itu menancap di jantung Arika.
“Sudahlah, Min Hee. Mungkin memang itu sudah menjadi jalan terbaik untuknya. Jika pun hidup, dia akan tetap tersiksa membayangkan Lanasha tiada karena ketidakmampuannya,” hibur Emily menepuk pundak Min Hee.
“Tapi, kenapa dia mau bertukar jiwa dengan kakak Adara begitu saja?” tanya Alody heran. “Dia bahkan belum terlalu mengenal kita.”
“Karena dia pasti tahu kalau kakakku hamil,” jawab Adara yakin. “Jika kita berhitung, memang lebih baik dua orang dengan masa depan masih panjang daripada satu orang yang sudah tua, kan? Dia pasti sudah mempertimbangkannya masak-masak.”
“Ayolah. Kita lupakan sejenak semua itu. Kita ke mari untuk bersenang-senang, kan?” Emily mencoba mengembalikan kembali semangat keempat sahabatnya. “Masih banyak instalasi cahaya yang belum kita lihat. Aku juga ingin berfoto seperti Alody.”
Mereka pun kembali berkeliling dan berfoto secara bergantian di tiap objek yang mereka anggap menarik. Tanpa terasa hampir tengah malam mereka asyik saja berfoto dan bergurau hingga festival hampir berakhir.
***
Pagi ini salju sudah hampir mencair, tetapi suhu masih berkisar tiga derajat celsius. Sudah hampir tiga minggu Devian dan Arika menyewa apartemen masih di sekitar rumah lama mereka dahulu. Untung saja tabungan Devian masih bisa menutupi kebutuhan mereka sebelum mendapatkan pekerjaan baru.
Adara mengajak keempat sahabatnya untuk mengunjungi Arika. Mumpung liburan musim dingin masih tersisa kira-kira seminggu lebih lagi.
“Aku sudah tidak sabar ingin mengetahui jenis kelamin keponakanku nanti. Kakakku mengabari lewat e-mail bahwa dia sudah melakukan USG kemarin. Tapi, dasar Arika! Dia malah mau merahasiakannya padaku,” cerocos Adara sepenjang perjalanan mereka di dalam bus. “Lihat saja nanti. Aku pasti akan berhasil memaksanya mengaku.”
“Hahaha. Kau ini. Arika yang hamil, malah kau yang terlalu bersemangat,” ledek Min Hee tersenyum nakal. Kali ini dia mengenakan topi pemberian Kozi dengan senang hati tanpa diminta. Tidak lagi meributkan soal poninya yang akan rusak. Betapa pesona Kozi mampu menaklukkan hati gadis perfeksionis ini.
“Tentu saja. Aku ingin sekali memiliki adik dari dulu, tapi ibuku malah mengatakan sudah cukup,” jawab Adara manyun.
“Jelas saja ibumu merasa sudah cukup. Mengurusmu seorang saja sudah sangat merepotkan. Kau kan seperti bayi.” Emily menjambak rambut Adara Adara pelan.
“Bayi? Kenapa kalian sama saja dengan kakakku? Apa anak paling kecil itu harus selalu dianggap kekanakan. Tidakkah aku pantas menjadi dewasa?” Emily mencubit pinggang Emily gemas.
Mereka tertawa dan saling bergurau sepanjang perjalanan. Bahkan setelah sampai di depan pintu apartemen pun masih saja ada bahan untuk saling ejek satu sama lain.
“Kalian ini. Tanpa kalian mengetuk pintu pun aku sudah tahu jika kalian datang. Dasar remaja-remaja nakal!” omel Arika setelah membuka pintu.
Adara memeluk kakaknya manja. “Mereka selalu menggodaku. Apa aku semanja itu?”
“Apa kau tidak menyadarinya? Bahkan aku merasa kau masih sepuluh tahun,” jawab Arika mengacak rambut adik semata wayangnya gemas.
Adara cemberut. Tidak ada gunanya membalas lagi. Pasti mereka tetap akan mengejeknya. “Tidak jauh beda seperti apartemenmu yang di dekat kampus,” komentarnya memandang berkeliling.
“Ya. Memang yang seperti itulah standar apartemen yang sesuai kemampuan kami.”
“Devian mana?” tanya Li Hua mencomot kue kering dari toples di meja tamu.
“Dia sedang menemui temannya. Katanya ada lowongan pekerjaan di tempat bekerja temannya itu. Semoga saja Devian segera mendapat pekerjaan. Tabungan kami semakin lama semakin menipis,” jelas Arika sambil mengambil minuman ringan dari dalam kulkas.
“Semoga saja,” ucap lima gadiss itu bersamaan.
“Kak, pokoknya kali ini kau harus mengatakan jenis kelamin keponakanku. Kau tidak mau kan membiarkanku tidak bisa tidur memikirkannya?” Adara duduk menjajari kakaknya dan merangkulnya dengan manja.
“Kau berlebihan,” sahut Arika membenturkan telunjuknya ke kening Adara.
“Dia selalu membicarakan tentang itu sepanjang hari sampai kami ingin menyumpal telinga kami dengan kapas saja,” ledek Emily. Entah kenapa dia sangat suka mengejek Adara. Semakin gadis itu merengut maka akan semakin puas hatinya.
Adara melotot dan menjulurkan lidahnya diikuti tawa riuh dari semua perempuan itu.
“Baiklah. Kau akan mempunyai keponakan yang cantik beberapa bulan lagi,” jawab Arika mengalah.
“Hah? Perempuan? Aku tidak sabar ingin melihat betapa cantiknya dia. Gabungan antara kau dengan Devian pasti akan melahirkan seorang putri yang pintar seperti ayahnya dan cantik sepertimu,” ujar Adara memeluk kakaknya riang.
“Tak hanya itu. Aku rasa kalian juga perlu tahu. Kami sepakat memberinya nama Renata.” Arika mengelus perutnya dan tersenyum.
“Kau ingin ketika besar nanti dia tahu bahwa ada seorang wanita berhati malaikat bernama Renata telah mengorbankan nyawa untuknya dan ibunya, kan?” tebak Alody.
Arika mengangguk. “Sebenarnya tidak hanya itu. Saat peristiwa di rumah Mr. Chayton waktu itu, Renata sebelumnya memberitahu Devian bahwa anak ini akan mewarisi seluruh kekuatan darinya.”
“Maksudmu, Renata tidak hanya menukar jiwanya denganmu namun juga kekuatannya?” tanya Li Hua penasaran.
“Kurang lebih begitu. Hanya jiwa yang masih murni yang bisa menerima kekuatan itu tanpa mencelakai atau membuatnya tamak. Dan itu adalah bayiku,” jawab Arika dengan mata berkaca-kaca.
“Apa kataku? Renata pasti telah mempertimbangkan masak-masak apa yang akan dilakukannya,” celetuk Adara yakin. “Aku jadi semakin mengaguminya.”
“Kini aku mengerti maksud dari perkataannya padaku waktu itu. Pengorbanan adalah kemenangan yang sesungguhnya. Maksudnya adalah meskipun dia harus meninggal, tetapi dia tidaklah benar-benar mati. Melainkan akan tetap hidup dalam wujud yang baru,” sambung Min Hee mengerti.
Mereka saling terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mencoba mencerna semua hikmah di balik kejadian yang sudah mereka lewati bersama sejauh ini. Tentang cinta, kekuatan persahabatan dan arti dari sebuah pengorbanan.
*TAMAT*

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices