devils bait
Devils Bait

Devils Bait

Reads
159
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Chapter 1

Adara menghirup udara London sedalam-dalamnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Tepat pukul dua belas siang dia mendarat untuk pertama kalinya di Bandara Internasional Heathrow. Meski tengah hari, gadis asal Tabanan, Bali itu tidak merasa gerah atau panas sedikit pun. Musim panas baru saja berakhir di bulan september ini. Berganti dengan permulaan musim gugur yang dingin dengan sisa-sisa hangat mentari.
Awalnya Adara mengira dia tidak akan bisa sampai ke sini. Ada ribuan pemburu beasiswa lainnya dari berbagai negara memunculkan sedikit pesimis di hatinya. Namun ada satu hal lain yang mendorongnya tetap maju dan berusaha keras hingga akhir.
Seseorang menepuk bahu Adara dari belakang hingga tubuh langsing itu terlonjak kaget. “Kak Arika!” pekik gadis berambut panjang itu girang. Mereka pun berpelukan erat hingga tubuh mereka bergoyang-goyang nyaris limbung.
“Kau baik-baik saja kan, Dik? Kau hebat. Adik Kakak memang pintar.” Arika mengacak rambut adik kesayangannya itu gemas. Sudah hampir lima tahun mereka hanya berkomunikasi via skype dan e mail. Cukup menyedihkan memang. Namun, semua itu adalah pilihannya sendiri dan dia harus menerima ini dengan lapang dada.
“Justru rasa rinduku pada Kakak yang membantuku untuk bertahan hingga sampai ke sini. Mama juga merindukan Kakak sama sepertiku. Mungkin lebih. Tadinya dia ingin sekali ikut, sekalian bertemu Kakak. Tapi ternyata asma Mama kumat. Cuaca dingin seperi ini akan memperburuk keadaannya.”
Arika melepaskan pelukannya dan menatap mata Adara. “Kamu serius?”
Gadis berkulit sawo matang itu mengangguk. “Sebenarnya aku sedikit kecewa sama Kakak. Kenapa selama ini Kakak tidak pernah menjenguk kami? Sebegitu sulitkah? Atau memang kami bukanlah salah satu alasan Kakak untuk rindu?”
Arika mengelus kepala adiknya lembut. “Bukan begitu, Sayang. Kakak sangat sayang sama Mama dan kamu. Tidak perlu Kakak ceritakan lagi bagaimana Kakak melewati setiap malam dengan tangisan karena merindukan kalian.” Wanita bermata sendu itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Ada sesuatu yang menyebabkan Kakak sulit untuk pulang. Sesuatu yang rumit dan belum bisa Kakak jelaskan ke kamu.”
“Apa ini semua karena Devian? Pasti karena dia, kan? Dia melarang Kakak pulang, kan?” Adara menatap mata Kakaknya tajam. Sungguh dari awal dia sudah tidak setuju kakaknya menikah dengan pria berkebangsaan Inggris itu. Entahlah. Laki-laki itu sama sekali tidak pandai berbasa basi. Sekadar bergurau saja dia tidak pernah.
Arika menggeleng. “Sama sekali tidak, Dara. Kau masih belum bisa menerima dia?”
“Bagaimana aku bisa menerimanya jika dia tidak menjadikan dirinya pantas diterima? Dia sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi,” sahut Adara ketus. Senyum yang sedari tadi selalu menghiasi wajah ovalnya kini menghilang akibat pembicaraan tentang abang iparnya yang menjengkelkan itu.
“Sudahlah. Itu karena kau belum mengenalnya. Dia sebenarnya orang yang baik. Hanya saja, memang benar. Dia termasuk tipe yang sulit beradaptasi. Nanti juga semakin sering beretemu, kalian akan saling mengenal. Ayo, Dev sudah menunggu di mobil.”
Adara mengekori Kakaknya dengan malas. Wajahnya menunjukkan rasa tidak suka bahkan hingga mobil jaguar berwarna merah tua itu sudah menunggu di hadapannya.
“Ayo masuk, Dik,” tawar Arika setelah membukakan pintu belakang mobil.
Adara melirikkan mata ke arah kakaknya yang lekas menggeleng tidak suka. Mau tidak mau Adara masuk dan mengempaskan badan pada jok cokelat tua itu.
Devian hanya menatap Adara dari kaca spion depan tanpa berucap sepatah kata pun. Tidak lama mobil tua itu sudah meluncur dengan mulus di aspal yang licin.
Adara mendengus. ‘Benar, kan? Bahkan sekadar say hello saja dia tidak mampu. Dasar lelaki patung!’ rutuknya dalam hati.
“Dara, Kenapa kau diam saja Ayo, dong. Nyanyi apa gitu. Mana adik Kakak yang biasanya ceria ini?” Arika mencoba mencairkan suasana. Walau dia tahu persis, adiknya tidak akan mau melakukannya.
“Dara capek, Kak,” sahut gadis delapan belas tahun itu tanpa mengalihkan pandangan dari jendela mobil. Bola matanya malah sibuk memelototi para pejalan kaki dan jejeran bangunan tua yang didesain menjadi gerai itu. Dengan penuh perhatian dilihatnya sebuah mantel berwarna krem dengan bulu-bulu halus di kerah serta pergelangan tangan yang dikenakan oleh manekin wanita dari balik kaca sebuah butik. Mata sipit itu melirik sekilas mantel abu-abu dengan ikat pinggang warna senada di tubuhnya yang sempat dikirimkan Arika sebulan sebelum keberangkatan. ‘Bahkan Kakak sudah lupa warna kesukaanku,” keluhnya dalam hati.
Arika pasrah. Mungkin dia memang harus merelakan perjalanan ini tetap membosankan higga sampai di rumah mungil mereka di Pusat Kota London.
Dua puluh menit yang mereka lalui serasa dua jam dengan hanya diam satu sama lain. Arika pun memilih untuk tidak mengajak bicara Devian karena takut semakin memperburuk mood Adara.
Brakkk!!!
Jaguar tua milik Devian mengerem mendadak setelah menabrak seseorang. “What happen, Dev? Why you don’t be careful?” Arika mencoba melihat sosok yang mereka tabrak, namun terhalang bagian depan mobil.
Dev segera keluar diikuti oleh Arika dan Adara sebelum ada orang lain yang melihat dan akan memperburuk keadaan. Kebetulan jalanan memang sedang lengang.
Sesosok gadis mungil bergaun putih selutut terduduk memegang lutut kanannya yang berdarah. Buku-buku tebal berserakan di sekitarnya. Wajahnya meringis dan memandangi wajah pemilik mobil satu persatu.
“We’re verry sorry. My husband was accidentally,” ucap Arika ikut memegang lutut gadis itu.
“That’s okay,” sahutnya pelan dengan suara melengking seperti balita. “This is my fault. I’m too confuse, so that I didn’t see your car.”
“What’s your name?” tanya Adara sedikit canggung. Ini kali pertamanya dia menyapa orang asing sejak pesawatnya mendarat. Penumpang sebelahnya saat di pesawat sama sekali tidak bisa diajak mengobrol. Dari take off hingga hampir landing kegatan yang dilakukannya hanya tidur.
“Alody,” jawabnya melihat Adara sekilas kemudian kembali mengelus lututnya. “Alody Destrya.”
“Apa kita akan terus di sini tanpa melakukan apa pun untuknya?” tanya Adara geram memandang wajah kakaknya. Lebih tepatnya dia menumpahkan kekesalan pada Arika karena Devian justru diam saja tanpa sedikit pun angkat bicara atau mengambil inisiatif.
Arika gugup dan mengalihkan pandang ke suaminya.
Adara mendengus tidak sabar. Dia membungkuk dan meraih lengan gadis malang itu untuk membantunya berdiri. “Let me to help you and treat your wound.”
Alody mengangguk.
Devian ikut masuk ke dalam mobil meninggalkan Arika yang membereskan buku-buku Alody seorang diri.
Ketika Arika sudah berada kembali di dalam mobil, Adara tengah sibuk membersihkan luka Alody dengan tissu basah. “Dari mana kau mendapatkannya?”
“Kenapa Kakak masih bertanya? Bukankah ini adalah benda yang sudah biasa dibawa oleh seseorang yang berpergian jauh?” Adara masih kesal.
Arika terdiam. Memang telah terjadi perubahan yang begitu banyak dari adiknya itu semenjak dia menikah. Keceriaan dan kekompakkan mereka hanya bisa dirasakan ketika tidak ada Devian di dekat mereka.
“Where do you come from, Alody? I sure, you’re not from here,” tanya Adara sambil membalut luka Alody dengan kapas yang dibawakan oleh mamanya. Sungguh wanita bersahaja itu seperti sudah memprediksi bahwa pasti akan ada kejadian tidak terduga dan membawakan perlengkapan yang bahkan tidak pernah terpikir sedikit pun oleh Adara.
“Colmar,” sahutnya menunduk.
“Perancis?” Adara membelalakkan matanya.
“Yeah.”
“Wow! I ever hear about Colmar. Many people say that it is the most beautiful city in Perancis. That’s right?”
Alody mengangguk dan tersenyum. Kali ini dia sudah berani menatap mata lawan bicaranya. Dia merasa canggungnya perlahan menghilang kepada gadis ini. Baru saja mengenalnya, namun kehangatan itu sudah jelas terasa.
Sepanjang perjalanan ke rumah Arika, hanya suara mereka berdua yang terdengar. Keceriaan Adara kini telah kembali. Dia sangat senang segera mendapatkan teman baru seusianya pada hari pertama di London. Ditambah lagi Alody adalah salah satu dari penerima beasiswa di Oxford, sama sepertinya.
***
Pagi-pagi sekali Adara dan Alody diantar langsung oleh Devian ke Universitas Oxford. Arika mengaku tidak enak badan dan tidak bisa ikut mengantar. ‘Ada-ada saja. Pasti dia sengaja agar aku bisa mengobrol banyak dengan Devian. Tidak akan terjadi,’ gumam gadis Indonesia itu dalam hati.
“Kau bilang sudah ada teman di Universitas Oxford?” tanya Adara penuh perhatian.
“Ya. Namanya Emily. Dia gadis yang baik asal Amerika. Abangnya tinggal di daerah sini juga. Kemarin siang aku bermaksud menemuinya di alamat yang ia berikan. Tapi aku terlalu bingung, dia tidak menjawab teleponku,” jelas Alody sedikit kecewa.
“Bagaimana kau bisa mengenalnya?” Adara pura-pura tidak mengetahui jika Devian bolak-balik meliriknya dari spion.
“Kami berteman dari twitter. Dia adalah gadis cerdas. Aku banyak bertanya kepadanya tentang materi yang mungkin akan dipelajari nantinya. Kebetulan dia akan mengambil jurusan yang sama denganku yaitu Ilmu Pengetahuan Murni dan Terapan.”
Adara manggut-manggut. “Aku jadi ingin bertemu dengannya juga. Kau sudah menghubungi dia lagi?”
“Tadi malam dia sudah menghubungiku dan minta maaf. Ternyata seharian dia harus membantu Abangnya di peternakan dan meninggalkan telepon genggamnya di rumah. Aku bilang, kita bisa bertemu langsung di Oxford karena aku sudah punya teman baru untuk pergi bersama. Dia juga sangat ingin bertemu denganmu.”
“Syukurlah.”
Adara terus saja mencari bahan pembicaraan baru dengan Alody. Mulai dari tentang keluarganya hingga makanan dan minuman kesukaannya. Apa pun asalkan bisa mengalihkan perhatian dari Devian. Seandainya saja dia tahu jalan, ingin rasanya pergi berdua bersama Alody saja. Betapa menyebalkannya orang itu.
***
Adara mengedarkan pandangan ke sekeliling flat dengan kagum. Belum lagi ketika dia masuk ke dalam kamarnya. Ruangan yang cukup luas dengan dua tempat tidur. Satu bisa dipakai berdua, sementara satunya lagi hanya muat untuk seorang. Di sudut kanan ruangan terdapat sebuah meja belajar hitam beserta rak buku dari kayu. Ada juga kamar mandi kecil di sudut kiri.
Adara dan Emily kebagian kamar yang sama, sedangkan Alody di kamar sebelah setelah sebelumnya mengunjungi Wolfson College, tempat merka belajar nanti untuk sekadar melihat-lihat dan mengambil kunci kamar serta flat.
“Sepertinya aku akan malas untuk berpergian,” celetuk Emily tak kalah takjubnya dan berlari ke arah jendela lebar berlapis kaca tebal di sisi kanan tempat tidur.
“Ya. Aku rasa juga begitu. Apa cuma kita berdua yang tidur di sini?”
“Tentu saja tidak. Mungkin sebentar lagi dia akan datang.”
Belum semenit Emily menyelesaikan kalimatnya, seorang gadis berambut panjang bergelombang masuk. Alisnya panjang dan hitam seperti dilukis dengan arang. Sorot mata tajam itu memandang kedua teman sekamarnya bergantian.
“Permisi. Boleh saya masuk?”
“Tentu saja,” jawab Adara cepat. “Kau yang akan menempati kamar ini juga?”
“Ya. Aku Lanasha Renata dari Swiss. Kau dari Indonesia?”
Adara mengangguk dan membalas uluran tangan gadis itu.
“Emily. Los Angels,” sahut Emily melambaikan tangannya dan tetap berada di sisi jendela.
“Senang bertemu dengan kalian,”
“Begitu juga kami,” balas Adara. Ayo kita bereskan barang-barang kita. Aku sudah lelah sekali.”
Tak berapa lama berselang mereka bertiga sudah asyik bergurau layaknya sahabat lama.
“Adakah yang bisa kita lakukan untuk membunuh bosan malam ini? Sesuatu yang belum pernah kita lakukan mungkin?” tanya Emily sambil menyusun buku-bukunya di rak.
“Besok kita akan matrikulasi. Jadi, pastikan saja malam ini kita istirahat dengan tenang,” sahut Adara menyusun lipatan bajunya yang terakhir ke dalam lemari.
“Kau ini membosankan sekali. Ini hari pertama kita di sini. Mari kita menikmatinya. Aku rasa tidur bukan ide yang bagus.” Emily melempar kertas ke arah Adara yang dengan cepat mengelak.
“Bagaimana kalau kita bermain kartu tarot?” Lanasha memandang wajah kami bergantian meminta persetujuan.
“Kartu tarot? Maksud kamu meramal?” Emily mendekat.
Anggukan kepala Lanasha justru membuat Adara lebih tidak bersemangat. “Aku tidak mau.”
“Ayolah. Pasti akan mengasyikkan. Kalian belum pernah mencobanya, kan?” bujuk Lanasha lagi. “Aku yakin ini pasti hal baru bagi kalian.”
“Memang. Tapi bukan hal ini yang kumaksud.” Emily mengerutkan dahi.
“Apa kalian punya ide lain? Aku yakin ini akan menjadi pengalaman yang tidak akan pernah kalian lupakan.”
Adara dan Emily saling menatap beberapa detik.
“Baiklah,” jawab Emily akhirnya. “Setidaknya ada yang bisa kita lakukan malam ini,” ujar Emily menyikut pinggang teman Indonesianya sambil mengedipkan mata nakal..
“Aku juga ingin mengajak teman kita yang lain,” lanjut Adara walau masih ada sedikit keraguan di hatinya.
***
Keenam gadis beda negara itu kini telah berkumpul dalam satu kamar dan duduk bersila membentuk lingkaran. Alody membawa serta dua teman sekamarnya. Hening. Semua mata memandang penuh perhatian pada Lanasha.
Gadis Italia itu mengocok lembaran kartu tarot dengan sangat cekatan. Sepertinya dia memang sudah biasa melakukan ini. Kemudian dia menyusun beberapa kartu di lantai dalam keadaan terbalik. “Siapa yang mau lebih dulu?”
“Aku,” jawab gadis berambut pirang ala barbie itu setelah hening beberapa saat. Kedua matanya terlihat sangat besar karena mascara dan eye liner yang dilukis sedemikian rupa sehingga hampir menyerupai tokoh anime Jepang. Semua yang pertama kali berjumpa dengannya tidak akan menyangka bahwa dia sebenarnya berasal dari Korea Selatan. Ditambah lagi dengan hidungnya yang tidak bisa dibilang mancung.
“Oke. Silakan pilih salah satu,” pinta Lanasha.
Kwan Min Hee menunjuk salah satu kartu yang terletak di ujung kanan atas.
Dahi Lanasha berkerut pasca melihat kartu pilihan Min Hee. Gambar seorang ksatria berkuda yang membawa bendera tampak dari samping. Ada satu orang dewasa dan seorang anak yang berdiri memerhatikannya. “Kau akan mengalami peristiwa tidak terduga dalam hidupmu dan memaksamu untuk melawan rasa takut.”
Min Hee memonyongkan bibirnya. “Aku bukan orang yang penakut.”
Semua yang ada di situ tertawa kecuali Lanasha. Wajahnya menunjukkan kecemasan.
“Sepertinya penakut itu sudah jelas terlihat cocok melekat dalam dirimu,” goda Adara diikuti juluran lidah dari gadis Korea itu.
“Aku jadi tertarik mencobanya. Aku pilih kartu ini.” Emily menunjuk sebuah kartu yang terletak di tengah.
Lanasha membukanya dengan sedikit ragu. Wajahnya agak terkejut, namun segera stabil kembali. “Kau akan mengalami konflik batin yang menyebabkanmu hampir putus asa. Ada sesuatu yang akan merasukimu, sehingga datang pihak lain yang ingin memanfaatkan kelebihan itu. Aku melihat kekerasan, perselisihan, dan sesuatu yang dahsyat akan terjadi padamu. Kau harus berhati-hati mulai dari sekarang.”
Emily menghela napas. “Aku akan menghadapinya,” jawabnya dengan tertawa mengejek.
“Kau tidak bisa mengabaikan ini begitu saja, Emily. Semua itu sudah tergambar jelas,” sergah Lanasha tidak senang.
“Ayolah, Lana. Bukan aku tidak percaya padamu. Tapi ini sungguh tidak masuk akal. Kau tidak bisa memaksa setiap orang untuk memercayai permainan konyol ini.” Emily mulai marah.
“Terserah. Yang penting aku sudah mengingatkan,” jawab Lanasha dengan nada tinggi.
“Sudahlah. Kita melakukan ini untuk menghilangkan jenuh bukan? Kenapa kalian jadi berdebat soal ini?” Gadis Tionghoa yang sedari tadi diam ini pun akhirnya angkat bicara mencoba menengahi. “ Ayo kita lanjutkan. Sekarang giliranku ya, Lana. Yang ini,” pilihnya menunjuk kartu di ujung kiri bawah.
Lanasha membuka kartu itu dengan sedikit kasar. Perkataan Emily tadi sedikit banyak telah menyinggungnya. “Oh, tidak. Apa yang sebenarnya akan terjadi? Aku tidak sanggup mengatakannya.”
“Kalau begitu tidak usah,” sahut Emily ketus.
“Tidak tidak. Aku sudah telanjur memilih. Katakan saja,” sanggah Li Hua.
Lanasha menelan ludah. “Baiklah. Kau dan orang-orang di sekitarmu saat ini akan megalami sakit serius. Namun, akan ada sebuah perubahan besar setelah itu. Kalian mengalami masa-masa menegangkan dan penuh konflik. Akan ada sesuatu yang tidak terduga terungkap di balik setiap kejadian itu.”
“Omong kosong,” sahut Emily lagi.
“Percayalah, Em. Aku tidak mengada-ada. Memang itu yang terlihat dari masing-masing kartu yang kalian pilih,” jelas Lanasha setengah ngotot.
“Kau bisa mengetahui itu semua dari mana? Bukankah itu hanya permainan kuno?” tanya Li Hua.
“Memang ini adalah permainan kuno, Li Hua. Tapi kita bisa melihat masa depan dari kartu ini. Nenekku yang mengajarkannya padaku karena menyadari kekuatan naluriku yang lebih daripada manusia biasa. Tidak semua orang bisa membaca kartu ini dengan jelas.”
“Bagaimana, Alody? Sedari tadi aku melihatmu diam saja. Maukah kamu mencobanya juga?” tawar Lanasha pada gadis yang nyaris tidak disadari kehadirannya itu.
“Tidak perlu lagi, Lanasha. Semua sudah cukup. Kita akhiri permainan ini,” cegah Emily kemudian beranjak dan menarik tangan Alody meninggalkan teman-temannya.
“Maaf, Lana. Mungkin yang kau katakan itu benar. Tapi kami sama sekali sulit menerimanya.”
“Percayalah. Aku hanya mencoba untuk memperingatkan kalian agar bersiap-siap jika sesuatu terjadi. Kalian tidak boleh lengah.” Lanasha tetap berkeras pada apa yang dia yakini.
“Sedikit banyak, apa yang dikatakan Emily itu juga ada benarnya. Kau tidak bisa memaksa kami untuk memercayai hal-hal semacam ini. Ini tidak nyata, Lana. Bagaimana kami harus meyakini sesuatu hanya dengan mengandalkan sebuah gambar di kartu? Maaf. Terima kasih juga untuk permainan ini. Kau benar, ini adalah hal baru bagi kami. Aku sangat menikmatinya. Kalian juga, kan?” tanya Adara pada ketiga temannya dengan wajah riang.
“Ya. Kami sangat menikmatinya. Setidaknya malam ini kita bisa lebih mengenal satu sama lain. Mungkin kita bisa berkumpul kembali di kesempatan berikutnya dengan permainan yang berbeda,” hibur Min Hee sambil merapikan poninya.
Lanasha mengembuskan napas pasrah. “Entahlah. Selama ini aku sering membaca masa depan teman-temanku dan semuanya benar terjadi. Ini juga baru pertama kalinya aku membaca sebuah kejadian yang kuyakin akan sangat buruk. Aku merasa ada keterkaitan antara kalian berlima. Yah, semoga saja memang tidak benar,” jelas Lanasha ragu.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices