
by Titikoma

Chapter 6
Dengan bantuan Renata, Min Hee berhasil mengurung Almanzo di dalam sebuah kotak kaca persegi panjang yang telah dilapisi oleh mantra-mantra penangkal agar Almanzo tidak dapat kabur.
“Itu cukup mampu menahannya hingga matahari terbenam nanti. Kita harus cepat melakukan ritual sebelum bulan purnama,” jelas Renata sambil terus mengawasi Almanzo yang masih sibuk mengetuk-ngetuk kaca berharap dapat membebaskan diri segera. Di sebelahnya, Mr. Chayton, Devian dan empat gadis beda negara itu melakukan hal yang sama.
“Kenapa harus sebelum bulan purnama?” tanya Li Hua heran.
“Pada saat bulan purnama, seluruh monster akan melipat gandakan kekuatan mereka dan itu akan semakin menyulitkan kita. Lagipula Echidna yang masih ada di tubuh Arika juga bisa bangkit kembali. Walau si pemilik tubuh mati sekali pun dia tetap bisa mempergunakannya karena kekuatannya semakin berlipat.” Renata mengatakan itu dengan mata berkaca-kaca. Di dalam hatinya teringat bagaimana cucunya harus meninggal karena ketidakmampuannya melawan Echidna. Kali ini dia tidak boleh gagal lagi.
“Kalau begitu. Apakah istriku akan bisa benar-benar kembali seperti sedia kala ketika Echidna mampu dikeluarkan dari tubuhnya?” tanya Devian bersemangat. Tubuhnya sudah kembali bugar oleh bantuan Nenek Lanasha.
“Aku rasa bisa. Kau tahu? Istrimu adalah gadis luar biasa. Dia bisa saja membunuhmu dari awal, tapi dia tidak melakukannya. Karena apa? Kekuatan cinta yang tulus dan murni di dalam hatinya membuat Echidna tidak bisa memengaruhinya untuk membunuhmu.” Renata tersenyum memadang Devian.
“Tapi kenapa dia tetap ingin membunuhku? Apakah dia tidak mencintaiku juga?” tanya Adara kecewa. Wajahnya risau nyaris menangis.
“Bukan dia tidak mencintaimu juga. Saat itu dia tidak bermaksud membunuhmu hanya ingin mengambil kekuatanmu dengan tombaknya. Dari sebelum Echidna merasuki tubuhnya, sepertinya dia memendam amarah atau kecewa kepadamu. Aku tidak tahu kalian punya masalah apa. Tapi saranku, jauhilah perdebatan. Amarah yang juga datang dari hati yang tercemari emosi akan melemahkan kekuatan cinta,” jawab Renata berusaha terdengar sewajar mungkin agar tidak menyinggung dan menyakiti Adara.
Adara menunduk. Terbayang bagaimana selama ini dia selalu saja membantah atau bahkan membentak kakaknya sendiri. Juga bagaimana dia tidak bisa menerima kehadiran Devian dalam hidup mereka. Padahal itu sama saja dengan tidak mengahargainya sebagai seorang Kakak. “Maafkan aku, Dev. Mungkin kakakku marah karena sikapku padamu.”
“Tidak apa-apa, Adara. Tapi terkadang memang setiap manusia memiliki karakternya sendiri. Kuakui diriku tidak terlalu pandai berbasa-basi. Tapi sebenarnya aku menyayangimu dan ibumu seperti keluarga kandungku sendiri.”
“Tapi kenapa kau benar-benar tidak ingin menyapaku semenjak aku tiba di London? Kau jahat,” tuduh Adara merengut.
“Hei, kau harus tahu bagaimana rasaanya tinggal serumah dengan monster. Begitu banyak tekanan yang menghampirimu,” jawab Devian membela diri. “Setiap aku berada di dekat Arika yang notabene adalah Echidna itu sendiri selalu mampu membuatku bungkam. Tentu saja dia tidak ingin aku membocorkan rahasianya kepadamu. Saat aku mengantarmu ke Oxford waktu itu, sebenarnya aku sangat ingin menceritakannya pada kalian. Tetapi kalian terlalu asyik mengobrol dan aku tidak yakin kau akan memercayaiku.”
“Oh ya. Mana Alody?” tanya Emily langsung teringat. “Jika tadi yang menyerang kita adalah Almanzo, lalu di mana Alody? Apa dia masih hidup?” Emily mulai menangis. Baru kali ini dia meneteskan air mata di depan teman-temannya. Biasanya dia selalu tampil berani dan cenderung tempramental.
“Alody aman di kamarku.”
Refleks Adara, Min Hee, Emily dan Li Hua menatap lelaki tua itu tidak percaya.
***
Seorang gadis cantik berambut cokelat kemerahan tengah terbaring tidak berdaya di atas tempat tidur seluas enam kaki itu. Selimut tebal menutupi sekujur tubuhnya hingga leher. Bibirnya pucat nyaris membiru. Keempat sahabatnya berdiri memandanginya dengan berurai air mata.
“Sejak kapan dia seperti ini, Mr. Chayton?” tanya Min Hee terisak.
“Kira-kira seminggu yang lalu. Aku menemukannya tergeletak di toilet perpustakaan. Sebelumnya Renata memang telah memperingatkanku bahwa Almanzo telah menyedot habis seluruh kekuatannya dan sengaja membuatnya seperti ini agar dia bisa menyamar menjadi Alody dan tentu saja bisa bebas mencuri kesempatan untuk mengambil kekuatan yang kalian miliki,” jelas Mr. Chayton dengan suara bergetar.
“Seminggu yang lalu? Jadi, ketika kami mencari Lanasha waktu itu yang kami sangka Alody adalah Almanzo?” tanya Emily seperti menyadari sesuatu.
Mr. Chayton mengangguk.
“Pantas saja aku merasa seperti ada yang aneh padanya. Alody yang aku kenal sangatlah sensitif dan penyayang. Dia akan menangis atas kesedihan atau hal buruk apa pun menimpa temannya. Malam itu dia tidak mengeluarkan air mata sedikit pun. Entah mengapa aku merasa itu bukan dia.” Emily menyibakkan rambutnya ke belakang.
“Ya. Waktu itu dia juga berulangkali merengek agar kita tidak jadi mencari Lanasha, kan? Sungguh hal aneh, mengingat dia adalah sosok yang sangat peduli. Awalnya aku mengira karena dia terlalu takut, tapi ternyata itu memang bukan Alody,” sambung Adara membenarkan.
“Malam itu dia juga telah mengambil separuh kekuatanmu, Emily. Pada dasarnya kau mampu melakukan lebih dari yang pernah kau lakukan. Mustahil kau langsung pingsan begitu saja ketika Li Hua meniupkan angin kencang saat kalian melawan Echidna,” kata Mr. Chayton lagi.
“Apa? Kapan dia melakukannya? Kenapa aku tidak menyadarinya?” tanya Emily bingung sambil nerusaha mengingat-ingat.
“Apa kau ingat waktu malam itu Alody alias Almanzo mencengkram lenganmu begitu kuat?”
Emily mengangguk.
“Di situ dia berusaha menyerap energimu dan berhasil mengambil separuh kekuatanmu,” sahut Mr. Chayton bersungguh-sungguh.
“Oh sial! Aku kira karena dia ketakutan saja,” umpat Emily kesal.
“Kenapa kau tidak mencoba memperingatkan kami?” tanya Li Hua tenang namun dengan tatapan mata yang tajam kepada Mr. Chayton. “Nyawa kami terancam dan kau hanya diam saja?”
“Maafkan aku. Kalian tidak mengerti bagaimana peerasan seorang ayah. Aku sangat ingin melindungi kalian, tapi di sisi lain aku juga tidak ingin anakku mati di tangan kalian.” Mr. Chayton menunduk menahan tangis. “Walau bagaimana pun juga Almanzo itu anak yang kusayangi. Min Hee mendekaati Mr. Chayton dan merangkul pundaknya dengan lembut. “Kami mengerti, Mr. Chayton. Hanya saja, jika kau menceritakan yang sebenarnya pada kami sejak awal, mungkin kita bisa mencegah hal terburuk yang bisa terjadi.”
“Maafkan aku,” ucap Mr. Chayton menahan tangis.
“Sudahlah. Yang terpenting sekarang bagaimana caranya agar kita bisa mengatasi masalah ini secepatnya. Seperti yang tadi diucapkan oleh Renata, dia bisa menghilangkan seluruh kekuaatan kita. Semoga saja dia berhasil dan kita bisa hidup normal sebagai mahasiswi biasa seperti semula,” ucap Adara menengahi.
“Tapi aku penasaran. Ritual apa yang akan dilakukan oleh Renata? Apa dia ada menceritakannya padamu sebelumnya, Min Hee?” tanya Li Hua membuat Min Hee tergagap.
“Ti ... tidak. Tidak ada,” jawab Min Hee menunduk.
***
Kira-kira pukul sebelas malam, semua berkumpul di depan kotak kaca berisi Almanzo yang masih terus menggedor-gedor kaca. Rambutnya yang lurus sebahu acak-acakan. Wajahnya merah padam. Meski masih bertenaga, wajahnya sudah terlihat kelelahan.
Di hadapan mereka, Arika dibaringkan pada sebuah meja panjang terbuat dari kayu yang diletakkan tepat di tengah tanda bintang dikelilingi lingkaran yang dilukis sendiri oleh Renata. Tubuhnya sudah ditaburi dengan bunga-bungaan berbagai jenis.
Anehnya, di antara berbagai jenis itu, tidak satu pun yang diketahui Adara namanya, mungkin juga oleh keempat sahabatnya. Dia menggigit jari cemas. Begitu juga Devian yang tidak henti menggosok telapak tangannya berulang kali.
Renata kemudian berjalan mendekati kotak kaca. Mulutnya komat-kamit membaca mantra. Tubuhnya pun bisa menembus kaca dengan mudahnya yang langsung didorong oleh Almanzo hingga jatuh terlentang. Tetapi nenek tua itu melayangkan tubuh Almanzo hingga membentur bagian atas kotak kaca.
Renata segera bangkit dan terus mengarahkan telapak tangannya pada Almanzo agar tetap di atas tanpa memedulikan teriakan pria haus kekuatan itu yang terus meronta. Dia menganggukkan kepala pada Min Hee.
Min Hee mengerti lalu berjalan mendekati Arika. Semua yang ada di situ memandangnya heran. Namun mereka tidak berkata apa-apa.
“Tidak!” teriak Adara ketika dilihatnya Min Hee menghunjamkan sebilah pisau tepat di jantung Arika. “Kau gila, Min Hee.”
Devian ingin berlari menghampiri Min Hee ketika dilihatnya sesuatu yang aneh terjadi. Dia tidak bisa menembusnya. Seperti ada dinding tebal yang menghalanginya mendekat. Dilihatnya juga Renata yang jatuh terkapar memegangi jantung namun bibirnya masih komat kamit mengucap mantra.
Almanzo terpelanting diikuti kotak kaca yang pecah secara tiba-tiba. Tubuh Adara, Li Hua, dan Min Hee bergetar hebat. Mereka terguncang hingga cahaya menyilaukan memancar dari tubuh mereka mewakili kekuatan masing-masing. Tubuh Adara memancarkan cahaya kuning keemasan, Li Hua berwarana abu-abu sedangkan Min Hee berwarna putih. Arika perlahan melayang di udara. Tak lama sesosok bayangan wanita bertubuh ular keluar dari tubuhnya. Devian menyadari itu adalah Echidna yang telah berhasil keluar dari tubuh istrinya dengan lengkingan yang memekakkan telinga.
Beberapa menit kemudian tiga gadis itu terjatuh ke lantai bersamaan. Begitu pun Arika. Semua cahaya dan suara-suara itu lenyap. Devian berlari menghampiri Arika dan memeluknya. Dia heran. Tidak ada lagi darah di dada Arika. Luka menganga bekas tusukan tombak itu pun telah menghilang tanpa bekas.
Mr. Chayton mengguncang tubuh Almanzo yang lemah. Dia tahu, putranya telah kembali. Seluruh kekuatannya telah menghilang. Begitu terpakunya ia pada anak kesayangannya itu hingga sejenak melupakan sahabatnya.
“Renata! Apa yang terjadi padamu?” Mr. Chayton menghambur mendekati tubuh sahabat terbaiknya itu ketika menyadari Renata tidak bergerak. Namun tubuh renta itu tetap tidak bergerak sama sekali.
Mr. Chayton mencium kening Renata sambil menangis ketika menyadari bahwa tidak ada lagi denyut jantung di nadinya. Perlahan ditutupnya mata yang masih terbuka dan mulut meringis menahan sakit itu. Satu yang disadarinya kini. Terkadang memang butuh sebuah pengorbanan besar untuk menyelamatkan hal besar.