by Titikoma
9. Jatuh
Dan selamanya julukan Kacung Kampret melekat pada Supeno. Kelas 3C Manajemen selama 2 semester menganggap Supeno orang yang sangat baik karena suka membantu mereka dalam segala hal.
Setiap jelang mid semester dan ujian semester buku diktat Supeno beredar dari satu teman ke teman seangkatan bahkan kakak kelas yang mengulang mata kuliah bersangkutan.
Di fotokopian sebelah kampus sampai terkenal oleh petugas fotokopi diktat milik Supeno yang entah sudah berapa eksemplar terkopi bahkan ada yang sampai menjilid agar tidak tercecer.
Teman-teman suka meminjam catatan Supeno karena selalu rapi dengan penjelasan detail jadi mereka mudah mempelajarinya dan yang keluar diujian adalah materi yang ada di catatan Supeno.
Diam-diam Renata juga memakai diktat Supeno yang dia pinjam lewat Lana yang dekat kontrakannya.
Renata merasa gengsi kalau terang-terangan meminjam pada Supeno karena bagaimana pun dia sudah menunjukan rasa benci dan meremehkan Supeno gara-gara dia orang miskin dan pernah mencium bibir lagi tanpa basa-basi.
Walau dalam hati kecil Renata sebenarnya tidak semarah yang diungkapkan, hanya saja Bernard marah gara-gara penciuman membuat Renata terpicu untuk marah juga.
***
Di kontrakan elit Renata
Siang itu di ruang tamu ada Renata, Bernard, Bano dan Diaz sedang menyalakan TV dan tiba-tiba menyiarkan kriminalitas para penjabat sekaligus pengusaha.
"Seorang penjabat berinisial H siang ini di gelandang ke kepolisian karena melakukan sejumlah korupsi yang tidak tanggung-tanggung besarnya...."
"Tunggu-tunggu itu Ren ... itu kok seperti papa ka ...," Diaz tidak melanjutkan kata-katanya, ketika melihat wajah Renata pun sedang memasang wajah tegang. Demikian Bernard dan Bano yang sedang bercanda langsung terdiam.
Semua mata tertuju pada sosok wajah yang bukan lain adalah papanya Renata yang tengah digelandang dan setelah itu juga diperlihatkan penyegelan aset rumahnya yang juga tak lepas dari sorotan kamera.
Renata memucat dan sesaat mulai terisak-isak, dia menelepon mamanya dan dari suara mamanya di seberang telepon tak kalah histeris. Sesaat bagai sandiwara kesedihan seperti di sinetron.
Diaz, Bernard dan Bano terdiam dan ..."Aku akan pulang Mama, tenang ya ... jangan menangis, aku akan pulang ...." sepertinya Renata tengah mencoba menenangkan mamanya yang histeris dan kaget dengan kasus yang tengah dihadapi suaminya yang selama ini sudah melimpahkan kekayaan yang tak ada seri rupiahnya.
“Aku harus pulang Guys, mamaku katanya shock banget dan barusan pingsan lagi, yang lanjutin hp tadi Mak Siti,” kata Renata panik.
“Iya sebaiknya kamu segera pulang Sayang, kasian mama kamu,” kata Bernard lanjut, Diaz dan Bano juga menganguk-angguk setuju.
"Nard kamu mau temenin aku bawa mobilku. Aku enggak bisa konsentrasi setir," pinta Renata.
Bernard memandang Renata dengan wajah bingung, “Aduh gimana ya ... aku besok ada janji ketemu dosen Ren," kata Bernard memasang wajah bingung.
Padahal sih tidak ada acara ketemu dosen, Bernard hanya ngeri dengan kasus yang tengah dihadapi ayahnya Renata, dirinya tidak mau terbawa-bawa gosip nantinya. Bakalan ditaruh di mana mukanya bila para kuli tinta mengejar sampai pacar anaknya yang hidupnya juga boros dan dirinya juga banyak dapat traktiran dari Renata, bisa-bisa dianggap salah satu penyebab keluarga Renata bangkrut.
Bernard sudah berpikir jauh, demikian juga dengan Diaz dan Bano tidak mau terlalu dekat untuk urusan Renata akan kasus papanya.
"Hmmm siapa dong, Bano? Diaz?” Renata meminta tolong dua sahabatnya.
"Aduh maaf aku dan Diaz juga kan ada ujian Pengantar Bisnis Ren, kamu juga sih seharusnya ikut ujian Pengantar Bisnis? Hmmm tapi saranku lebih baik sih kamu saat ini pulang saja dulu untuk memastikan kabar di rumah kamu gimana?" Kata Bano dan di iyakan Diaz dengan anggukan kepala.
“Jadi diantara kalian tak ada yang bisa temani aku? Hmmm baiklah kalau begitu aku pulang sendiri saja ....” Renata memandang pacar dan dua temannya dengan kecewa.
“Maaf ya Sayang, kita akan pantau kamu terus via telepon okay?” Bernard mengelus rambut Renata untuk sekedar menenangkan, tapi hati Renata merasa hampa seketika dengan penolakan mereka yang tiba-tiba akan dirinya secara halus karena musibah yang menimpanya.
Renata merasa sekarang baru paham arti kedekatan selama ini hanyalah karena dirinya anak tajir melintir yang ternyata ketajiran papanya hasil korupsi.
Renata ingin sekali marah dengan situasi ini, tapi mau bagaimana lagi dalam hal ini baik dirinya dan mamanya mungkin bisa jadi ada andil yang menyebabkan papanya jadi melakukan tindakan yang tercela.
Bagaimana tidak? Selama ini dia dan mamanya hidup dalam kemewahan yang selalu dipenuhi oleh papanya.
Biaya sehari-hari yang glamour, sekolah yang mahal, kendaraan, pulsa, jalan-jalan ke luar negeri, membeli barang-barang yang selalu bermerk high class, belum ke salon yang bisa seminggu dua kali. Ah ternyata dirinya menghambur-hamburkan uang sedemikian rupa dan Renata ketakutan sendiri jika dirinya juga harus masuk penjara seperti papanya.
Dan hati Renata mendadak pilu ternyata orang yang selama ini dekat tak ada satu pun yang empati dengan dirinya yang takut karena musibah saat ini.
Sungguh Bernard, Bano, dan Diaz jauh beda sekali kalau dimintain tolong perihal hura-hura seperti acara ulang tahun atau makan-makan. Dengan senang hati dan cepat mereka akan bergerak untuk mensukseskan acara yang sifatnya hura-hura dan senang-senang. Giliran yang dirinya kesulitan mereka memilih menolak dengan halus.
"Hmmm baiklah aku pergi dulu kasian mamaku,” tanpa banyak berbicara lagi Renata segera menuju mobilnya dan ingin segera meluncur cepat sampai ke Purbalingga.
Dalam mobil air matanya tak bisa dibendung lagi, rasanya tidak enak menanggung kesedihan sendiri tanpa teman sandaran yang sangat diperlukan memompakan ketabahan dan menenangkan hatinya kalau semua akan baik-baik saja.
Berita barusan sungguh membuat dirinya takut seketika, apalagi mamanya saat terima telepon tadi awal histeri lalu pingsan dan ini yang membuat Renata lebih panik, takut mamanya tidak kuat menerima cobaan ini.
Renata yang larut dengan kesedihan tak sadar kalau mobil Pajero sport-nya menyengggol becak yang memang jalan agak ke tengah dan dari spion keliatan becak tersebut jatuh.
Renata segera menepikan mobilnya bersamaan dari jarak berlawanan Supeno dari Freed putihnya melihat kepanikan Renata, yang tentu saja tak asing bagi Supeno akan sosok Renata yang selalu ada dalam pikiran dan hatinya.
Supeno segera menepikan mobil Freed-nya dan ikut turun untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Pak maaf-maaf saya tidak melihat Bapak," Renata meminta maaf dan agak takut menolong pak becak yang jatuh tersungkur. Wajahnya tampak bingung dan tegang juga ketakutan membuat Renata tidak segera beranjak untuk menolong bapak tukang becak yang mengaduh kesakitan.
“Addduh Mbak pripun si bawa mobilnya, lah wong becak dan saya juga besar kok gak kelitan apa? Main sruduk saja,” pak becak mengomel sembari kesakitan.
Seketika Renata dikagetkan karena cowok yang tentu saja dikenal sudah langsung membantu pak becak dengan mengecek luka-lukanya.
"Gak apa-apa ini Pak, monggo saya antar ke Puskesmas di depan sana agar lukanya segera diobati," tanpa banyak kata lagi Supeno memapah tukang becak dan mengkode Renata untuk membukakan pintu mobilnya
“Becak kulo pripun Mas?” pak becak sambil nyegir kesakitan tapi tetap menanyakan keadaan becaknya yang memang jadi lepas di beberapa bagian.
“Iya nanti kami bayar ganti ruginya inggih Pak,” kata Supeno menenangkan.
Renata masih bingung sampai Supeno memerintahkan Renata untuk membuka pintu tengah. Renata masih saja terbengong-bengong tersadar ketika Supeno memerintahkan,”Ren buka pintu tengah dan segera kita bawa pak becak ke Puskesmas terdekat, aku tahu gak jauh dari sini ada Puskesmas.”
“Tapi ...,” Renata agak ngeri dengan darah yang mengalir dari kaki pak becak dan akan mengenai jok mobilnya.
“Gak pakai tapi-tapian Ren, kecuali kamu mau dikeroyok orang-orang yang sedari tadi gemas liat kamu gak nolongin si Bapak!” sekalinya Supeno berucap tegas pada Renata.
Renata tidak membantah lagi dia segera membukakan pintu dan membantu Supeno mendudukan si bapak becak yang masih terus meringis perih karena memang kebanyakan luka baret-baret di kaki dan tangan kiri.
“Tapi aku enggak tahu di mana Puskesmasnya Pen?” Renata bertanya dengan wajah bingung.
“Aku yang setir mobil kamu deh, tunggu aku tak izin ke bosku tidak bisa antar beliau ke kantor ya,” Supeno meminta izin ke Renata untuk kembali ke mobil Freed putihnya.
Renata tak lepas memperhatikan Supeno yang berlari ke arah mobil Freed putih, sepertinya tampak berbincang dengan sosok bapak-bapak yang dipanggilnya bos tadi.
“Kerja apaan si Peno sama bapak gendut itu?” terlintas di pikiran Renata.
Supeno meminta Mang Darma untuk membawa mobilnya saja.
"Mang Darma tolong Mang aja yang anterin barang-barang ke counter ya, karena saya harus membantu teman saya kena musibah, mobilnya nyerempet becak dan mau bawa pak becak berobat dulu. Soalnya dia belum tahu jalanan Yogya, baru satu semester di sini," terang Supeno pada Mang Darma sopir keluarga yang sudah ikut bertahun-tahun dengan Pak Saputera.
"Inggih Mas Peno. Hati-hati ya ...," kata Mang Darma dengan sangat sopan membuat Supeno menengok ke arah Renata takut Renata curiga kok bosnya sama dia hormat amat, bukankah seharusnya dia yang keliatan tunduk terhadap bos. Demi mengurangi kecurigaan Renata, Supeno jadi membungkukan badannya.
“Mang maaf ya Mang jadi ngerepotin seharusnya saya yang setir mobil saja takut Mang tadi kecapean abis jalan banyak sama Bapak dan Ibu, eh sekarang malah nyuruh Mang Darma setir mobilnya,” Supeno menunduk meminta maaf agar yakin kelihatan kalau dirinya adalah bawahan alias kacung kampret seperti biasanya.
Supeno segera kembali ke mobil Pajero sport Renata dan masuk ke pintu sopir, sementara Renata di pintu samping penumpang.
Hanya dalam pikiran sendiri Renata heran ternyata Supeno bisa setir mobil, karena selama ini tidak pernah melihat Supeno mengendarai mobil.
Dan butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke Puskesmas. Supeno segera memapah dan membawa ke ruangan dokter diikuti Renata yang hanya sesekali ikut memegangi.
“Baik kita tanganin sekarang ya, Mas dan Mbak silakan tunggu di luar saja,” kata salah satu suster yang ramah.
Supeno dan Renata duduk bersebalahan, Renata tampak resah gelisah pikirannya sudah di Purbalingga dan kurang lebih 5-6 jam perjalanan yang harus ditempuh Yogyakarta Purbalingga dengan mobil pribadi.
Jam sudah menunjukan pukul 15.00 dan pasti akan sampai 21.00 malam ke Purbalingga kalau lancar dan dirinya juga tidak kelelahan.
“Kamu kenapa bisa nyerempet tadi Ren?” tanya Supeno lembut.
“Enggak tahu aku tadi lagi gak fokus dengan jalanan, pikiranku lagi banyak,” jawab Renata pelan. Sepertinya baru kali ini dia bisa bicara pelan dengan Supeno, berbeda dengan waktu lalu yang suka ketus dan sinis.
“Kok kamu sendiri kemana Bernard dan yang lainnya?” tanya Supeno rada-rada kepo sebenarnya, karena biasanya Renata tidak pernah terpisah dengan Bernard, Bano, dan Diaz.
Renata hanya menggelengkan kepala menjawab asal saja,”Lagi pada sibuk ada acara mereka dan aku harus pulang ke Purbalingga.”
“Oh, kamu mau pulang ke Purbalingga? Sendiri?” Supeno tidak percaya.
“I ... i ... ya ... aku harus pulang mereka gak bisa menemaniku,” tak urung rasa sedih dan pilu menyeruak di wajah Renata yang pasti Supeno bisa tangkap.
“Kamu ada masalah ya? Maaf aku kepo banget ya. Kalau kamu keberatan cerita gak usah Ren,” Supeno boro-boro meralat. Dirinya takut kalau Renata berubah jadi ill feel lagi dengan dirinya secara cepat.
Jelas sekali Renata waktu lalu dengan mudahnya mengabaikan dirinya yang selalu membantu dan menurut segala suruhan dan perintahnya, bahkan kadang harus mengalah demi Renata mendapat nilai yang bagus di tugas-tugas yang dikumpulkan.
Hanya gara-gara surat curhatan yang ketahuan dan dibaca Bano keras-keras maksud baik menolong yang salah malah dituduh berniat mesum, membuat Renata langsung mem-black list-nya bahkan ibundanya juga dikeluarkan dari kerjaan gara-gara dituduh mencuri cincin Nyonya Rona.
Makanya sekarang Supeno lebih hati-hati, ini berguna juga untuk menjaga hatinya untuk tidak dilukai lagi
Dan tak berapa lama petugas datang demikian tampak pak becak yang sudah membaik dan bisa tersenyum karena lukanya sudah diobati.
Renata buka dompet uang cashnya habis. “Pen ATM di mana ya, uang cash aku habis, aku ambil dulu ini tagihan pengobatan aku bayar dulu dan untuk ganti rugi aku juga akan ambil sekalian.”
“Tuh ada ATM bersama,” tunjuk Supeno.
Renata segera menuju ke ATM dan seketika pucat ternyata ATM nya sudah diblokir. Dirinya tak bisa ambil uang lagi.
Dari jarak sekian meter Supeno melihat raut kebingungan Renata. Dan Renata balik ke arahnya.
“Gak tau ATM aku diblokir, tapi aku ada kartu kredit kira-kira Puskesmas bisa gak bayar pakai kartu kredit?” tanya Renata dengan wajahnya yang pucat.
“Hmmm sudah pakai uang yang ada di aku dulu untuk bayar pengobatan dan ganti rugi, kasian pak becaknya kalau tidak segera perbaiki becaknya dia tidak bisa kerja,” kata Supeno mengambil inisiatif.
“Tapi .... kamu memang ada uang?” tanya Renata lebih lanjut mengingat untuk pengobatan dan ganti rugi hampir habis tiga jutaan. Mana ada uang tiga juta di kacung kampret pikir Renata.
“Ada aku pegang uang kantor, aku pinjam bentar buat dipinjamkan ke kamu jadi kamu kalau sudah ada uang e...e... maksudku ATM kamu tidak terblokir tolong segera ganti,” jawab Supeno tegas agar Renata tidak curiga kalau dia sendiri sebenarnya yang punya uang sebanyak itu bukan memakai uang kantor sama sekali. Itu adalah uang simpanan dirinya selama bekerja membantu Bapak Saputra.
“Sebaiknya jangan deh kalau itu uang kantor, hmmm bukan apa-apa ... aku ... aku barusan mengalami kesulitan gara-gara ...,” Renata ragu untuk bercerita masalahnya.
“Tunggu-tunggu ya aku selesaikan dulu ke kasir dan aku kasih ganti rugi, kamu duduk di sini ... ini minum teh kotaknya, kamu pasti haus,” kata Supeno lembut, entah kenapa feeling-nya mengatakan kalau Renata tengah bermasalah berat. Sebentar-sebentar juga Renata mengecek telepon genggamnya.
Supeno ke kasir lalu menemui pak becak memberikan sejumlah uang untuk memperbaiki kerusakan becaknya.
Supeno mendekati Renata yang setengah melamun dan ada air menggenang di pelupuk matanya.
“Ren kenapa?” tanya Supeno sembari menarik Renata untuk keluar dari Puskesmas dan menuju ke mobilnya.
“Pen aku akan ganti uang kamu secepatnya apalagi kamu pakai uang bos kamu, jangan pernah ya pakai uang bukan uang kamu ... seperti ... seperti ....,” Renata tak sanggup melanjutkan perkataannya, dia menutup kedua mukanya dengan tangannya.
“Kenapa Ren, apa yang terjadi? Iya aku percaya kamu pasti akan mengembalikan secepatnya apalah arti uang segitu untuk keluarga kamu yang sangat kaya raya,” ucap lanjut Supeno.
“Itu kemarin kali Pen, kamu tidak lihat berita siang tadi kriminalitas penjabat sekaligus pengusaha? Papaku digelandang ke kepolisian karena kasus korupsi dan rumah kami disegel, tadi aku langsung telepon mama dan mama kondisinya memprihatinkan. Ini yang buat aku sangat khawatir mama pingsan berulang kali mungkin mama sangat terpukul seperti juga aku. ATM aku sudah diblokir Pen dan aku tak ada uang sama sekali. Ini aku pulang bawa mobil juga bingung untuk beli bensinya,” Renata tak urung menceritakan kondisinya yang memang jatuh.
Sebenarnya juga ada rasa malu dan ragu untuk berbicara pada Peno tapi mau gimana lagi? Dirinya tidak bisa mengelak lagi. Supeno sudah meminjamkan sejumlah uang yang janji Renata akan kembalikan entah kapan, apalagi itu Supeno nekat meminjamkan uang yang bukan miliknya.
“Ren, kalau begitu keadaan kamu ... aku sangat prihatin. Papa kamu juga pasti sangat malu dan menyesal, mama dan kamu juga pastilah terpukul karena kalian sudah terbiasa hidup sangat berkecukupan dan tiba-tiba kalian terkena masalah yang sangat rumit. Aku akan membantu kamu sebisa aku Ren,” kata Supeno tulus, entah kemana rasa sakit yang sempat membuat hatinya nyeri jika ingat perlakuan Renata di waktu lalu yang menjauhinya sejauh-jauhnya seolah dirinya sampah yang harus disingkirkan.
Tapi hati Supeno tulus, tak ada rasa benci bahkan untuk memaki Renata sama sekali hatinya tak bisa membencinya. Malah sebaliknya yang ada rasa kasihan
"Kalau gitu aku antar kamu pulang ya Ren, kondisi kamu juga gak memungkinkan kalau setir sendiri nanti gantian deh kalau aku lelah," tawar Supeno tulus.
Renata terdiam, sejujurnya dia merasa gak enak hati karena selama ini selalu meremehkan dan memusuhi Supeno.
Dirinya juga ingat saat mamanya menuduh Bu Laila yang mencuri cincinnya padahal belum tentu benar dan memang ternyata terbukti kalau cincin mamanya terselip di tumpukan baju tempat kotak perhiasaan juga ada di situ.
Waktu lalu pas sekali saat Renata izin mau pinjam baju mamanya tiba-tiba jatuh cincin yang mirip sekali dengan punya mamanya. Yang disimpan di kotak perhiasaan di balik cincin ada namanya Laila memang benar milik ibunya Supeno berarti.
Dan kedua saat ini ketika dirinya jatuh tak ada satu pun yang selama ini selalu jadi sahabat ikut kemana-kemana cuek tak mau tau dan tak menemaninya untuk menjadi teman.
Dan kenapa harus ketemu Supeno yang selama 2 tahun sudah tak bertemu lagi, awal bertemu juga ribut malah dari wajahnya yang selalu tulus menawarkan bantuan. Renata jadi merasa tidak enak hati rasanya lebih baik menolak daripada buat keributan dengan Bernard sehubungan accident first kiss.
"Aku gak mau merepotkan siapa-siapa cukup aku saja yang menyelesaikan masalahku Pen dan juga dikasihani kamu," kata Renata datar.
"Aku akan lebih sedih jika kamu ada apa-apa di jalan menuju pulang, karena kita tahu persis bagaimana jalan pulang Ren dan aku akan merasa bersalah membiarkan teman di waktu lalu yang baik padaku mengalami kesulitan aku biarkan," jawab Supeno.
Renata terdiam berpikir sejenak.