by Titikoma
13. Usaha Bunuh Diri
Di kostan baru Renata bersyukur karena orang-orangnya lebih bersikap ramah dan melihat gaya mereka juga jauh sederhana karena sebagian besar hanya orang-orang biasa yang tengah sekolah dan sambil bekerja.
Tapi menjadi orang yang sangat berbeda bukanlah hal yang mudah dilewati, tadi di kampus Diaz dan Bano sama seperti Bernard tak mau menyapa dirinya sama sekali. Lagi-lagi dirinya dipanggil Bu Asih bagian keuangan untuk memberikan jawaban apa dia akan terus kuliah atau berhenti.
Supeno sempat tahu dan menanyakan apa yang ditanyakan Bu Asih terhadap dirinya. Supeno meyakinkan kalau Renata harus tetap sekolah dan akan mencari pekerjaan secepatnya. Supeno sudah membawa beberapa berkas lamaran yang semalam Renata buat, bersyukur dia masih punya laptop, ini satu-satunya barang kesayangan yang tak mungkin dilepas karena untuk mengerjakan semua tugas-tugas kuliah, hanya saja dirinya harus nge-print di luar karena tak lagi ada printer.
Barang-barang yang masih bisa dijual sudah dibawa Supeno dan dijual dengan harga layak kata Supeno dan sudah mengurangi hutang Renata pada Supeno. Bahkan kata Supeno sudah lunas hutangnya dengan penukaran LCD TV 42 inch, printer, beberapa perhiasan, dan jam tangan ber-merk. Pokoknya Supeno bilang,”Ren, semua sudah terjual dan sudah bisa melunasi hutang kamu ke aku, jadi jangan merasa kamu berhutang budi ya ke aku,” info Supeno yang sebenarnya dia hanya mengamankan barang-barang Renata, terutama perhiasan dan jam Supeno tahu itu pasti barang-barang kesayangan Renata, yang sebenarnya Renata berat untuk melepaskan.
Tapi setidaknya Renata bisa sudah merasa lega karena tak terikat hutang piutang dengan Supeno. Supeno sendiri merasa tenang karena barang yang menjadi kesayangan Renata dia yang simpan, suatu saat akan Supeno kembalikan lagi.
“Pen, gimana menurut kamu lamaran yang aku buat ini?” tanya Renata.
“Udah oke sih, aku dapat info kalau di Mall Malioboro perlu Office Girl untuk bersih-bersih kamar mandi Ren. Sementara lowongan yang ada itu? Gimana?” tanya Supeno.
“Hmmm gak apa-apa Pen, aku gak ada pilihan. Aku perlu uang untuk bayar kostan, hidup sehari-hari, buku, dan harus bisa sisihin untuk bayar SPP,” kata Renata.
“Yakin, kamu mau jadi tukang bersih-bersih kloset Ren?” Supeno memastikan.
“Iya, i ... ya, aku mau. Kapan aku bisa kerja?” tanya Renata lanjut.
“Hmmm siang ini lamaran kamu, aku titipkan temenku untuk diberikan HRD-nya, nanti aku kabarin ya untuk wawancaranya ya Ren,” jawab Supeno.
Yang sebenarnya Supeno sendiri yang memberikan lamaran Renata pada Pak Rudi kenalan dia, hanya saja Supeno tidak mau Renata tahu yang sebenarnya.
“Iya Pen, terimakasih ya ....”
“Iya, aku pulang ya pokoknya tunggu kabar hari ini. Aku dengar butuh cepat jadi semoga besok kalau bisa interview, cocok atau diterima, dan langsung kerja.”Supeno men-stater motor bebek tuanya.
“Iya, ati-ati. Aku tunggu kabarnya. Dahh.” Renata melepas kepergian Supeno dan masuk ke kostannya.
***
Sore Renata terbangun ada SMS dari Supeno,”Ren, besok habis Pengantar Akutansi 2 kita ke Mall Malioboro ya, kamu diminta interview dan sepertinya langsung kerja sekalian deh.”
“Oke Pen, thanks banget.”
Dan malam ini membuat Renata agak gelisah, bagaimana pun besok adalah pengalaman pertama untuk wawancara dan berharap bisa bekerja agar dapat uang untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
Setelah pelajaran Pengantar Akutansi 2, lagi-ladi Renata dipanggil bagian keuangan kampus untuk memastikan lanjut akan sekolah atau tidak.
“Saya akan tetap kuliah Bu Asih, saya sudah diterima kerjaan,” jawab Renata menundukan kepala.
“Wah bagus Renata, Ibu sebenarnya juga kasihan dengan kamu tapi sebagai orang keuangan Ibu hanya ingin memastikan saja. Oh ya Ren nilai kamu cukup bagus dan di atas rata-rata. IPK kamu 3.4 sampai semester 3 ini coba pertahankan sampai selesai semester 4 ini karena kamu bisa coba ajuin untuk beasiswa. Jadi bisa meringankan beban kamu. Nanti Ibu informasikan ya jika ada pembukaan seleksi beasiswa,” kata Bu Asih yang waktu lalu tampak jutek, tapi tidak hari ini.
“Baik Bu Asih, saya akan coba. Terima kasih, maaf saya harus bergegas karena hari pertama kerja,” jawab Asih dengan tersenyum.
“Beasiswa, oh semoga-semoga aku ada jalan ....” tanpa sadar Renata berjalan tersenyum berjalan dengan riang.
“Hai senang amat, biasanya dipanggil Bu Asih bermuram durja kok sekarang sumringah?” selidik Supeno.
“Nanti aku ceritain sambil jalan, ayooo aku takut telat interview,” Renata membonceng di belakang bebek tua Supeno. Dan sudah mulai tak canggung seperti awal-awal lalu.
Tapi tiba-tiba,”Pennnn sore anterin aku ke Toko Buku Ganara ya!” Suara yang tak asing lagi, suara Rindu yang tiba-tiba sudah mengejar di dekat motor bebeknya.
“Aduh gimana ya Rin, sore aku harus antar Tuan Saputera meeting sepertinya, besok-besok ya. Maaf aku mau anterin Renata dulu ya,” jawab Supeno langsung men-stater motornya.
“Ihhhh kamu nyebelin sekarang, mentang-mentang baikan dengan Renata aku gak kamu anggap lagi!” mata Rindu menatap tajam Supeno dan Renata bergantian.
“Pen, aku gak usah kamu anterin deh ....” Renata sadar diri dan langsung turun dari motor Supeno berlari ke arah gerbang belakang tempat dia keluar masuk kampus ke kostan.
“Ren!” teriak Supeno.
Tapi Renata sudah lari cepat dan tinggal Supeno yang menatap tajam Rindu, serba salah dengan sikap Rindu yang tiba-tiba berubah perangkainya.
“Kamu kenapa sih Rin? Gak kaya biasanya. Kita kan tetap bisa berteman dan bisa aku anterin lain waktu kalau hanya ke toko buku. Masalahnya Renata hari ini mau wawancara kerja, kasian dia. Kamu tau sendiri dia kan gak terbiasa kemana-mana sendiri! Kamu nih, buat masalah baru deh!” Sungut Supeno dan cepat-cepat men-stater motornya mengejar Renata ke kostan-nya.
Ternyata Supeno ke kostan-nya Renata tak ada. Entah kemana gadis ini bersembunyi. Sejam Supeno menunggu di ruang tamu tapi Renata tak juga muncul.
Akhirnya Supeno mengirim SMS,”Ren, aku diinfo orang yang mau interview kamu. Besok siang kalau kamu masih mau bekerja ditunggu tapi kalau kamu tidak mau ya sudah. Aku pulang dulu ya. Aku harap besok kamu mau menerima kerjaan ini, kalau kamu mau tetap kuliah.”
Sebenarnya Renata ada di sungai dekat sawah kostannya, dia duduk di pinggir sebuah batu sambil membawa salah satu novel yang sedang dibaca untuk menghilangkan kejenuhan karena tak ada televisi yang biasanya buat hiburan.
Angin semilir, suara gesekan daun padi, dan gemercik sungai ternyata membuat kedamaian tersendiri. Renata memejamkan mata sejenak, mencoba merilekskan diri. Dia merasa bersalah ketika tadi melihat sorot mata Rindu yang sepertinya cemburu dan marah terhadap dirinya.
Membaca SMS Supeno hatinya jadi bimbang, dia butuh pekerjaan itu dan yang bisa bantu untuk antar-antar hanya Supeno, tapi tadi melihat Rindu yang sebegitu kesalnya membuat Renata memilih untuk mengalah. Tapi sekarang dirinya bingung kalau harus mengalah, siapa lagi yang akan menolongnya?
Tiba-tiba SMS susulan Supeno masuk lagi,”Jangan hiraukan amarah Rindu, dia teman baikku tapi bukan berarti dia melarang aku membantu kamu yang dianggapnya musuh aku waktu dulu. Rindu tidak tau kita yang sebenarnya. Maafkan dia ya, besok jangan kabur lagi ya.”
“Iya, Siap Pak Peno!” jawab SMS dan Renata mencoba tersenyum. Hatinya merasa tenang duduk-duduk di persawahan pinggir sungai hingga senja banyak burung-burung sawah yang berterbangan kian kemari.
Novel karya Susan Wings Summer Hideway setengah buku sudah terbaca. Renata mencoba tersenyum dan beranjak kembali ke kostan.
“Pen bilang ke Rindu ya aku minta maaf, tak bermaksud menggangu hubungan kalian,” Renata berkirim SMS malamnya.
“Ya ampuun Ren, ngapain minta maaf. Aku gak ada apa-apa dengan Rindu. Kita hanya bersahabat baik. Oke! Jadi besok kamu interview dan harus mulai kerja!” jawab SMS Supeno.
Dan Renata mantap kalau besok harus berhasil interview dan mulai bekerja.
***
“Baiklah saudari Renata, sekarang boleh ke bagian perlengkapan silakan ganti baju seragam Office Girl dan ikuti training sehari ini standar kebersihan toilet mall ya,” Pak Rudi sebagai HRD mengarahkan apa yang harus Renata kerjakan setelah diterima.
“Baik Pak Rudi, terima kasih saya permisi,” jawab Renata sopan yang disambut Lina yang sesama Office Girl senior.
“Kamu, aku, Lara, dan Ratih nanti kita saling bagi jadwal yang fleksibel aja, kalau kita bertiga kan gak kuliah sementara kamu tadi diinfo Pak Rudi kuliah jadi nanti kalau bentrokan dengan jam kuliah, kamu tukeran aja dengan kita bertiga ya,” kata Lana ramah membuat Renata lega mempunyai teman baru yang sepertinya baik.
Sampai malam Renata mulai bertugas membersihkan kamar mandi di mall Malioboro. Untuk area yang Renata pegang adalah lantai 3, terkadang Renata melihat ke bawah lantai dasar yang sangat ramai dengan berbagai counter-counter dan juga ada jadwal pameran perumahan.
“Ren udah selesai kerjaan kamu,” sapa Supeno yang tiba-tiba sudah muncul.
“Iya ini aku mau ganti baju seragamku dulu, aku bawa pulang mau aku cuci,” jawab Renata tampak wajah lelah terpeta. Supeno merasa kasihan, diam-diam sebenarnya dari jauh dia mengamati Renata yang bekerja membersihkan kamar mandi. Wajah ayu itu lebih banyak menunduk dan fokus dengan kerjaannya.
Sebenarnya ada kerjaan-kerjaan lain yang lebih layak Supeno bisa carikan, tapi entah kenapa ada sisi hati Supeno untuk menguji mental Renata dan ingin memberikan pelajaran berharga untuk merasakan bekerja sebagai suruhan. Mengajarkan secara halus agar Renata belajar menghargai pekerjaan hanya sebagai pembantu atau kacung kammpret yang disuruh-suruh demi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal yang tak pernah terlintas di benak Renata susahnya menjadi orang bawahan.
Padahal kalau mau jujur Renata sudah ada modal bekerja lebih layak dari sekedar Office Girl dari kecerdasan dan kepintaran dia bisa saja menjadi biagian administrasi di perusahaannya, tepatnya perusahaan bapaknya yang ada di mana-mana gerainya. Dari segi penampilan, untuk jadi model pun Renata pasti bisa. Tapi pemikiran Supeno kalau langsung dikasih kemudahan Renata tak akan pernah belajar hal-hal dari nol.
“Maaf Renata, berjuanglah kamu pasti bisa. Hidup itu tidak selalu di atas .... kadang di atas seperti langit tapi kadang harus di bawah seperti bumi. Bukan aku tak mau menolongmu dengan mudah, justru aku sedang mengajarkan kehidupan yang sesungguhnya, maafkan aku Ren. Lagi pula aku tak mau kamu tahu keadaan aku yang sebenarnya sekarang,” laras hati Supeno dalam hati.
“Hush Pen! Kamu kok ngelamun. Mau anterin aku pulang? Kamu gak cape. Atau kamu ajarin aku aja, cara naik bis biar aku besok-besok gak tergantung kamu,” ucap Renata.
Gak-gak ini udah hampir jam sembilan malam, aku gak mau kamu kenapa-kenapa. Ingat papa dan mama kamu menitipkan kamu ke aku,” Supeno mengancam agar Renata gak coba melarikan diri darinya.
“Iyaaa, aku tahu tapi aku kan gak bisa terus menerus tergantung kamu,” jawab Renata pelan dan tampak lelah.
“Iya besok-besok kalau kamu pulang sore aku ajarin ya naik bisnya,” jawab Supeno.
“Janji yaaaaa, aku gak mau diplototin pacar kamu lagi tau!” kata Renata asal.
“Pacar? Siapa?” tanya Supeno pasang tampang aneh.
“Ah kamu tuh suka pura-pura, Rindulah? Rindu pacar kamu bukan?” Renata balik tanya, tepatnya mempertegas.
“Bukan! Aku sudah bilang kita hanya teman biasa,” jawab Supeno agak keras.
“Hah, gak mungkin!” sangkal Renata.
“Udah mau aku boncengin gak nih?” Supeno mengalihkan pembicaraan.
“Aish, iyalah .... gila aku lelah bangeeeet!” keluh Renata.
Dan semilir angin malam Yogyakarta membuat Renata tertidur di punggung Supeno, yang tadinya masih bercerita saat awal keluar parkiran, semakin menjauh tak ada lagi ocehan Renata.
Yang Supeno rasakan kepala yang menyandar di punggungnya dan tangan Renata melingkar di pinggang, dimasukan ke saku jaketnya. Supeno memilih terdiam, membiarkan Renata tak terusik dan menjalankan motor bebek tuanya pelan dan hati-hati.
Hingga beberapa menit sampai di depan kostan Renata ....
“Ren .... sudah sampai,” Supeno membangunkan perlahan.
“Heeem, sorry ya Pen aku jadi tidur sih ....” jawab Renata malu, wajahnya memerah.
“Gak apa-apa, yang penting kamu gak ngilerin jaket aku kan?” lagi-lagi Supeno melucu menetralisirkan rasa malu Renata.
“Hmmm enggak kok, udah aku liat lagi,” Renata tersenyum.
“Ya udah sampai besok, istirahat. Ren kerja yang rajin ya biar gak dipecat,” Supeno memperingatkan Renata.
“Iya, aku akan berusaha sebaik-baiknya Pen. Dahh! Sampai besok ya,” Renata bergegas masuk ke kostan jam sudah menunjukan pukul 21.30.
Dan sepertinya malam itu menjadi malam yang paling lelap karena kelelahan setengah hari ini harus berapa kali menggosok kloset, mengepel lantai, mengisi botol sabun cuci tangan, dan mencuci alat pelnya.
Setelah mandi membersihkan badannya, membuka buku kuliah untuk besok sebentar, pukul 22.30 Renata sudah terlelap dalam indahnya mimpi.
***
Tak terasa hampir dua minggu Renata bekerja menjadi Office Girl, dan masih merasa aman belum bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya dia bekerja sebagai Office Girl.
Tapi sial! Hari Minggu ini dia harus bertemu dengan teman-teman kostan lama yang sepertinya habis jalan-jalan di mall Malioboro dan masuk ke toilet.
“Ya ampuuuun ini kamu Renata! Kamu jadi apa sekarang? Gak salah liat nih ....” ternyata suara Silva teman kostan lama yang memang sirik karena dianggap Renata anak orang paling kaya di kostan lama.
Dan sialnya lagi ternyata Silva adalah sepupu Marreta yang sekarang menjadi pacar Bernard.
“Hah ya ampun mantannya Bernard pacarku! Renata ya ampuuuuuun hihihi kok bisa kamu pakai seragam Mbak Office Girl tukang bersih kloset lagi. Hahahahahaha .... Bernard harus tahu, ini lucu banget!” Marreta tertawa puas sekali mengejek Renata yang tetap dianggap rival karena mantannya Bernard.
Renata hanya bisa menahan air matanya yang sudah mau meluncur begitu saja, terlebih Bernard cuma hanya tersenyum kecut dari kejauhan melihat dirinya bawa-bawa pel. Ditambah tiba-tiba ada anak kecil yang pup nya sembarangan berceceran kemana-mana menambah kegaduhan karena mamanya meneriakin Renata untuk segera membersihkan lantai kamar mandi.
“Hai Mbak Office Girl! Jangan ngelamun saja kerjanya! Ini loh anak saya pup-nya berceceran kemana-mana tolong dibersihin!” bentak nyonya-nyonya yang terus mengangkat anaknya kembali untuk pup di kloset.
“Ya ampuun Bu, gimana kok putrinya bisa pup berantakan gini sih!” tak urung Renata emosi karena baru saja menahan amarah atas pelakuan Silva, Marreta, dan Bernard. Ini ditambah diomelin seorang ibu karena dirinya lengah cepat-cepat membersihkan kloset dan lantainya yang jadi sangat jorok ulah putrinya yang pup sambil berlarian. Lara yang harusnya jadi partner hari Minggu ini izin tak masuk. Renata menyanggupi bisa jaga sendiri, gak nyangka Minggu sangat ramai dan orang ke luar masuk toilet banyak.
“Ahhhhh Si Mbak ini gak becus banget sih! Bersihin kotoran anak aja lelet dan pakai acara jijik gitu!” gerutu salah satu pengunjung kloset.
Memang Renata merasa agak jijik, maklum ini pertama kali harus membersihkan dengan pup yang berceceran banyak.
Renata menahan air matanya yang tetap saja menetes sambil menahan mual, membereskan pup yang belum semuanya dibersihkan.
“Huh! Makanya kalau gak bisa jadi Office Girl jangan sok jadi Office Girl! Kasihan deh!” Silva dan Marreta tertawa dan berlalu.
Dan beberapa pengunjung juga memandang antara sebal dan kasihan pada Renata yang susah payah menahan mual, mau tak mau harus membersihkan dengan segera sebelum dikomplain keras pengunjung dan melaporkan ke HRD.
Tapi dasar Silva dan Marreta tak puas mengerjain Renata, mereka berdua sengaja ke bagian manajemen dan pas ada pak Rudi yang sedang lembur. Berdua melaporkan kerja Renata yang lambat dan sepertinya jijik dengan pup yang berceceran sehingga banyak membuat pengunjung lain marah.
Dan sebelum pulang sore harinya Renata ditahan oleh Pak Rudi dan mendapat Surat Peringatan ke-satu.
“Ini gak adil!” Renata meremas kertas teguran pertama dengan tangannya.
Supeno yang sudah mendengarkan panjang lebar penjelasan Renata penyebab awal hingga dia jadi lengah bekerja ditambah memang keterlaluan ibu-ibu yang membiarkan anaknya pup berlarian karena tengah asik menelepon entah dengan siapa menurut penglihatan Renata yang gak mungkin bohong.
Supeno memang melihat dari kejauhan, saat Bernard, Silva, dan Marreta menertawakan Renata. Tidak hanya mereka bertiga, juga beberapa teman-teman di kostan elite lama Renata yang ikutan menertawakan Renata dengan baju Office Girl.
“Makan yuk, aku lapar,” ajak Supeno.
“Gak berminat aku masih ingat joroknya tadi anak kecil itu membuat kamar mandi berantakan dalam sekejap!” Renata meradang.
“Udah, gak usah dipikirin. Aku mau traktir soto enak sekali di deket stasiun Malioboro. Kamu pasti suka,” jawab Supeno santai.
“Hmmm kamu lagi yang traktir?” Renata gak enak hati.
“Udah santai, murah kok sotonya kebelilah buat level kacung kampret sekelas aku,” Supeno seperti biasa selalu ingin membuat Renata tersenyum.
“Sesama kacung kampret dilarang saling merendah!” Renata menjawab ketus.
“Hahahaha kamu mah Kacung Kampret Tercantik!” teriak Supeno.
“Mau tercantik kata kamu, tetap aja kacung kampret!” Renata tetap saja sengit.
“Sudahlah, psssst kita sudah sampai! Kita nikmati soto terlezat malam ini, ayo kamu pasti suka,” Supeno menarik tangan Renata.
Jam menunjukan pukul 19.00 dan memasuki sebuah pelataran yang cukup luas, beberapa motor sudah parkir. Kedatangan pengunjung disambut dengan suara petikan gitar, biola, dan kecapi. Grup musik empat orang laki-laki, dengan satu sebagai penyanyi tengah menyanyikan lagu Yogyakarta.
“Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu, merintih sendiri ditelan deru kotamu ....”
“Ih keren, enak suaranya ...,” ujar Renata.
Dan tak berapa lama soto ayam dua mangkuk dengan suguhan telur puyuh, tempe tahu goreng, ati, dan usus melengkapi sajian.
“Ayo lupakan kesedihan, nikmati kesederhanaan,” bisik Supeno.
Renata menyantap soto ayam kampung yang memang enak banget, entah enak banget atau memang lapar yang mendera sejak penghinaan Silva dan Marreta tadi sore. Masa bodo amat di depan Supeno gak penting jaga imej.
“Hmmm aku aja yang traktir kamu ya,” setelah selesai menghabiskan dua mangkuk soto ayam kampung plus teh manis hangat.
“Emang kamu udah gajian?” tanya Supeno meledek.
“Ya belumlah kan baru dua minggu aku kerja,” jawab Renata polos.
“Ya udah, aku aja yang bayar. Entar kamu gajian ganti traktir aku ya,” jawab Supeno santai.
“Hmmm baiklah,” jawab Renata lega.
***
Hari Senin yang padat, Renata tergopoh-gopoh akan masuk ke kelas tapi sepertinya ada yang aneh karena semua orang menertawakan kedatangannya.
“Hahahaha lucu sekali ya Renata pakai baju Office Girl dan bawa-bawa pel!” seru Bano dan Hendrik yang ternyata semakin hari, semakin akrab saja.
“Pssst! Pssst! Bano! Ada orangnya di belakang kamu!” Diaz mengingatkan.
Ternyata ada foto-foto Renata yang memakai baju Office Girl dan tengah membawa pel terpampang besar-besar. Entah kerjaan siapa?
Tapi siapa lagi kalau bukan Marreta dan kroninya yang merasa masih menganggap dirinya saingan, padahal jelas-jelas Bernard sudah menjauhinya. Tapi entah kenapa rasa tidak suka Marreta terhadap dirinya masih ada saja.
Rindu melintas dan melihat semua kejadian, tak urung merasa iba juga dengan Renata yang berbalik lari tak jadi kuliah menuju arah pintu gerbang belakang seperti biasa jalan keluar masuk saat akan kuliah.
Rindu menyobek semua foto-foto yang memasang gambar Renata dan menatap tajam yang masih saja tertawa.
“Kalian ya! Memang kurang kerjaan!” ucap Rindu geram dan membuang semua kertas ke tong sampah tak tersisa. Semua mendadak bubar dan masuk ke kelas karena pelajaran Metodologi Penelitian akan dimulai.
Supeno tidak mengikuti pelajaran Metodologi Penelitian di hari Senin pukul 08.00 karena mendadak harus menggantikan Pak Saputera meeting dengan beberapa supplier.
Sepanjang meeting perasaan Supeno tidak tenang apalagi membaca SMS Rindu yang menceritakan peristiwa penghinaan terhadap Renata dan dirinya sudah mengamankan semua foto yang memasang Renata dengan baju Office Girl ke tong sampah.
Selesai meeting Supeno segera menuju ke kostan Renata yang tampak lenggang dan sepi.
Perasaan Supeno tidak enak dan benar, membuka kamar Renata ternyata Renata tengah mencoba meminum cairan pembersih kloset dan lantai yang dua minggu lalu dirinya beli di warung sebelah.
“Plak!”
Gelas kaleng dan isinya jatuh mengotori karpet kayu kamar Renata.
“Ren! Kamu apa-apaan sih! Mau pakai acara tenggak cairan pembersih lagi! Iya kalau kamu langsung mati masuk surga! Enak! Kalau kamu sekarat, terus papa dan mama menanyakan keadaan kamu ke aku, aku harus bertanggung jawab apa?” Supeno marah terhadap Renata, tapi tak berani membentak keras gadis yang tengah rapuh.
Renata tak kuasa menahan air mata.
“Kenapa mereka jahat sekali ke aku? Aku tak pernah merugikan mereka? Yang korupsi papaku kenapa aku yang dianggap seperti koruptor dan apa yang aku kerjakan sepertinya hina di mata orang?” isak Renata.
“Hai! Jangan pedulikan orang! Yang penting kamu sudah berusaha dengan baik! Dengar aku salut ke kamu, kamu banyak berubah! Kamu bukan lagi Renata yang sombong dan angkuh seperti waktu lalu. Aku suka! Kamu berubah Renata. Kamu harus buktikan kalau kamu bisa berdiri dengan dua kaki kamu sendiri dalam kesulitan. Ayoooolah jangan coba-coba melakukan hal paling bodoh! Tolong! Hargai aku yang juga tengah memegang amanat papa dan mama kamu!” Supeno memohon kali ini.
Renata luluh melihat begitu Supeno menguatkan dirinya ....