Aku Bukan Pilihan

Reads
170
Votes
0
Parts
11
Vote
by Titikoma

2. Lover Sick

Shinta lulusan dari S1 Ekonomi Manajemen diterima bekerja di bagian administrasi support. Dia awalnya ditempatkan di PT. Elektronik Globes Jakarta, tetapi ada perjanjian tertulis dalam kontrak kerja… siapapun karyawan dan bagian manapun harus siap dimutasikan ke mana saja apabila ada bagian yang kosong dan membutuhkan.
Di Kota Purwokerto ini Shinta sekarang ditempatkan. Sudah seminggu Shinta menjadi karyawan baru di kantor cabang PT. Elektronik Globes. Seminggu ini juga Rama berusaha untuk bisa dekat dengan gadis metropolitan yang menghadirkan harapan baru dalam hatinya.
Rama memang tidak ingin melepaskan rasa yang hadir setelah setahun ini mati rasa sepeninggalnya Santi. Demi mengejar rasa yang ingin Rama kejar dengan terang-terangan memang dia ingin membuat Shinta menjadi miliknya.
***
“Sebenarnya gue nggak boleh sama nyokap tugas di sini, apalagi selama ini gue nggak pernah pisah sama nyokap. Setelah bokap bercerai dengan nyokap gue dua belas tahun lalu, di rumah tinggal gue berdua saja sama nyokap makanya kita selalu berdua ke manapun dan sampai akhir hayat pun nyokap akan selalu dengan gue,” Shinta bercerita pada Rama sepulang kantor yang nekat mengantar Shinta ke asramanya.
“Oh...” Rama tidak menduga kalau Shinta berasal dari keluarga broken home. Tiba-tiba rasa kasihan menjalari hatinya melihat sosok berparas ayu tengah bercerita akan keadaan dirinya. Shinta tampak berusaha menyimpan kesedihan di masa lalunya.
Entahlah apa yang dirasakan gadis kecil berusia sepuluh tahun saat sosok ayah yang seharusnya menjadi panutan telah berlalu, bukan karena kematian tapi karena wanita ketiga seperti yang Shinta ceritakan.
Keributan papa mamanya saat saling memaki dan melempari barang-barang hingga pecah mewarnai keseharian Shinta kecil. “Aku masih kelas lima Sekolah Dasar, bila mereka berkelahi dengan membanting semua barang-barang di sekitar, aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Aku ketakutan dan menangis tapi mereka tidak peduli.”
Tiba-tiba air mata Shinta mengembun, setiap ingat masa lalunya menyisakan perih di hatinya. Rama bingung harus bagaiamana dan tiba-tiba tangannya hanya bisa mengelus punggung Shinta untuk menenangkan. Kenapa sore ini Shinta terlihat begitu rapuh.
Padahal seminggu ini dia tampak baik-baik saja dan tenang di kantor. Bahkan gadis metropolitan ini tampak tegar dan mandiri. Rama mulai sedikit demi sedikit memasuki relung hati Shinta. Rama sendiri tidak menduga bisa mulai dekat dengan Shinta.
Karena tampaknya sekilas Shinta tidak gampang untuk didekati. Apalagi perkenalan di awal Shinta sempat kesal dengan pertanyaan Rama tentang asal-usul yang dianggapnya SARA. Tapi mengingat di perantauan jauh dari nyokap yang selalu bersamanya sepertinya sosok teman adalah seseorang yang dibutuhkan untuk dijadikan tempat curhat dan dimintai pertolongan.
Terkadang dua hati yang merasa sepi di tempat perantauan membuat perbedaan yang ada terabaikan, dan memilih untuk saling mengisi.
“Kita makan dulu ya sebelum sampai asrama, di Purwokerto ini ada soto yang terkenal lho, namanya soto Jalan Bank dikenal dengan soto Pak Loso. Tempat ini kerap kali didatangi para selebritis dan tokoh politik. Soto dengan ayam kampung dan bumbu kacang pedas. Sajian yang sedang dan rasanya yang gurih membuat soto Jalan Bank terkenal sebagai salah satu tempat untuk berkuliner,” Rama berpromosi soto kesukaannya selama tinggal di sini.
“Oh ya?” mata bulat Shinta berbinar.
“Aku suka berkuliner dan aku khusus menuliskan makanan kuliner di blog aku,” kata Shinta bersemangat seakan melupakan kesedihannya.
Dan senja ini membawa Rama dan Shinta ke Jalan Bank untuk menikmati soto ayam kampung.
“Tunggu-tunggu, aku mau foto dulu...” Shinta menepis tangan Rama yang akan mengacak-acak sotonya, baru saja bagian atasnya diberi sambal kacang cukup banyak jadi tampak mencolok sambal kacang di foto handphone-nya. Sementara soto milik Shinta sedikit sekali taburan sambal kacangnya karena dia memang tidak suka rasa pedas.
“Siiip… siap makan,” Shinta puas mengambil gambar soto ayam milik Rama yang mengundang selera dengan sambal kacang melumer menyatu dengan kecap dan suwiran ayam kampung.
“Hmmm… perpaduan rasa gurih dan manisnya pas banget! Mantap Mas Ram sotonya! Aku bakalan ketagihan nih sepertinya,” Shinta menikmati dengan mengunyah pelan-pelan.
“Nih tambahin klanthing biar tambah mantap!” Rama memberikan klanthing di plastik kecil.
“Iya, duh enak mantap! Maknyus!”
Rama senang Shinta melupakan kesedihannya sesaat. Entah kenapa hatinya begitu tertarik untuk tahu banyak dan dekat dengan Shinta.
***
“I saw the sign and it opened my mind and I am happy now living without you I’ve left you ...I saw the sign and it opened my eyes I saw the sign no one’s gonna drag you up to get into the light where you belong...” (Ace of Base_The Sign)
Ringtone handphone Shinta berbunyi nyaring. Shinta segera mengangkat telepon yang ternyata dari nomor rumah asramanya.
“Hai Rani, ada apa?”
“Mbak Shinta… belum pulang kantor ya?” tanya suara di seberang telepon.
“Iya ini sudah mau balik sih... kenapa Ran?” tiba-tiba nada suara Shinta agak cemas.
“Lover Mbak... tadi siang sih mau makan tapi ini sore dimuntahin... mungkin masuk angin Mbak, sekarang Lover tampak lemas. Tak kasih susu juga nggak mau.”
“Waduh, ya sudah deh habis ini Mbak langsung bawa ke dokter saja! Maturnuwun ya Ran,” Shinta menutup telepon genggamnya.
“Siapa yang sakit Shin?” Rama ikutan khawatir.
“Lover Mas Ram,” Shinta berkata pelan.
“Lover tuh siapa?”
“Kucing Anggora-ku... kucing yang sudah lima tahun aku rawat. Kucing pemberian sahabat nyokap. Jadi teman di rumah kalau pas nyokap kerja namanya Lover,” terang Shinta polos.
“Ohh kirain Lover itu orang,” Rama sedikit lega.
Shinta tersenyum tipis.
“Ya sudah ayo kita bawa Lover ke dokter hewan, ada kok praktik dokter hewan yang dekat. Yuk!” Rama mengajak Shinta pulang ke asrama.
“Mas Rama nggak keberatan ikut nganterin Lover?” jujur Shinta merasa lega apalagi baru seminggu di Purwokerto belum tahu apa-apa.
“Ayolah tapi nanti kita naik becak saja ya, kasihan kalau Lover dibonceng naik motor... yang ada tambah sakit.”
“Iya, makasih ya Mas,” Shinta memberikan senyum manisnya.
***
Rama menjinjing Lover yang diam meringkuk di kandangnya. Berdua memilih naik becak ke dokter hewan yang tidak jauh dari asrama putri tempat Shinta tinggal.
“Lover nggak apa-apa, dia seperti juga manusia lagi adaptasi. Seperti Mbak Shinta juga di kantor baru ini selama hampir seminggu ini pasti masih banyak penyesuaian. Penyesuaian lingkungan baru, udara baru, kebiasaan baru, makanan baru. Kucing juga sama dengan kita, Lover seperti agak kaget saja, bagaimanapun keadaan Jakarta dan Purwokerto berbeda,” terang dokter hewan Budi sambil senyum-senyum setelah memeriksa Lover.
“Ini saya kasih vitamin dicampur saja di air minumnya. Insya Allah Lover akan cepat menyesuaikan diri dengan tempat barunya.”
“Syukurlah... terima kasih Dok,” jawab Shinta lega.
“Nih Mas kucingnya,” Dokter hewan Budi menyerahkan Lover yang masih tampak lemas pada Rama.
Ternyata Lover jinak dengan Rama. Bahkan tidak niat berontak apalagi mencakar yang seperti biasa dilakukan terhadap beberapa mantan-mantan Shinta di waktu lalu yang berusaha akrab dengan Lover.
Shinta tersenyum geli sembari mengelus Lover, “Lover kok kamu mau sih sama Mas Rama? Biasanya kamu mencakar cowok yang dekat dengan aku. Apa gara-gara kamu lagi sakit jadi nggak galak?”
Ternyata Lover semakin nyaman dibopong Rama dengan sembari mengelus punggungnya yang berbulu tebal dan wangi.
Sosok Shinta mengingatkan pada Asih, adik terkecilnya yang sekarang kuliah semester pertama yang sama-sama gadis penyayang kucing. Meskipun bukan kucing Anggora yang mahal seperti milik Shinta, tapi di Yogyakarta ada tiga ekor kucing belang milik Asih yang dipelihara dengan kasih sayang.
Rama jadi terbiasa juga dengan kucing karena Asih adiknya kerap minta bantuan Rama mengurus kucing-kucingnya. Makanya berurusan dengan Lover, kucing Anggora milik Shinta jadi tidak canggung lagi.
Setelah menyelesaikan administrasi… Rama, Shinta dan Lover meninggalkan tempat praktik dokter hewan Budi yang ramah.
***
“Hmmm… Purwokerto suasananya sepi ya,” Shinta mengedarkan tatapan matanya ke setiap sudut jalan yang terlewati becak yang mereka tumpangi.
“Yah lumayan tenang untuk menenangkan hati Shin...” Rama menjawab penuh arti.
“Sepertinya ada yang sengaja melarikan diri kemari?” Shinta balik bertanya.
Tak urung hati Shinta berdebar juga, dalam becak ukuran sempit dengan Lover di kandang besi terletak di antara kaki Shinta dan Rama membuat ruang gerak semakin terbatas. Pundak Shinta jadi bersentuhan dengan pundak Rama.
Dalam remang lampu, wajah Rama yang di awal menurut Shinta biasa saja ternyata semakin hari dilihat semakin manis juga.
“Aduuh jangan sampai deh aku suka sama cowok ini!” rutuk hati Shinta yang di awal sangat sebal dengan pertanyaan dia yang dianggap SARA. Walau sebenarnya Rama hanya mau mengatakan dirinya memiliki wajah ayu tapi kenapa harus muter-muter dirinya lebih cocok berasal dari Yogyakarta atau Surakarta, apalagi jelas-jelas dia anak Betawi. Nggak penting banget deh.
Tapi semakin kemari Mas Rama ternyata asyik juga diajak ngobrol, mungkin di awal Mas Rama bingung memulai mau ngobrol apa. Apalagi sekarang dia tidak keberatan juga menolong dirinya membawa Lover yang sakit ke dokter hewan.
Ternyata adik Mas Rama juga suka dengan kucing, tidak heran saat memegang Lover tidak canggung. Cowok yang pernah dekat dengannya tak satu pun bisa taklukan Lover. Tadi malah Lover keenakan di tangan Rama.
“Memang Mas Rama kenapa kok sampai perlu menenangkan hati segala? Seperti sedang lari dari kenyataan saja?” tanya Shinta ragu tapi juga ingin tahu banyak tentang Rama.
“Hmmm... kota ini secara tidak langsung memang menenangkan hati dan nyaman untuk bekerja. Ceritanya setelah mantanku menerima perjodohan orang tuanya dan terbang dengan suaminya ke Singapura, aku diterima kerja di PT. Elektronik Globes tapi penempatannya di sini, padahal aku berharap bisa tetap di Yogyakarta biar bisa jagaian ibu dan bapak. Tak terasa sudah setahun aku sendiri di sini,” kata Rama menatap Shinta.
“Hoi kok bengong sih...” Rama mengibas-ngibaskan tangan ke muka Shinta yang tersadar lalu tersenyum.
“Kamu sendiri Shin, sudah punya pacar?” Rama balik bertanya. Jujur dalam hatinya berharap Shinta bisa menjadi pengganti Santi.
“Hmmm… nyokap sangat pemilih, beberapa kali dekat dengan cowok akhirnya bubaran karena nyokap tiba-tiba tidak setuju. Aku anak tunggal dan tergantung semuanya pada nyokap.”
“Wah! Kasihan sekali mantan-mantan yang kamu putusin karena nyokap! Bukan karena kamu yang tidak cocok dengan mereka?” tanya Rama dengan nada menyesalkan.
“Hmmm… pasti kamu berpendapat nyokap orangnya sadis banget ya! Tapi sebenarnya seiring waktu aku selalu merasa beruntung juga mengikuti saran nyokap putus dengan A, B, C... dan D juga. Seiring waktu A, B, C dan D memang tidak terlalu bagus dalam beberapa hal,” Shinta bicara tanpa beban.
“Wah kasihan A, B, C dan D itu... kamu tidak menyesal atau merasa bersalah sudah putusin mereka begitu saja? Menurutku kita harus punya prinsip dan pilihan! Apakah kamu akan selamanya menuruti kemauan nyokap meskipun suatu saat menemukan lelaki yang kamu anggap cocok jadi pendampingmu? Apakah kamu akan berjuang demi cinta kamu dengan lelaki itu bila nyokap kamu tidak setuju?” Rama mencecar Shinta dengan pertanyaan yang dianggap hal penting.
Menyakitkan! Empat mungkin lebih cowok yang telah disingkirkan begitu saja oleh Shinta demi memenuhi kemauan nyokapnya yang sangat pemilih.
Rama menjadi penasaran, adakah seorang ibu yang memang bersikap seperti itu terhadap anak gadisnya? Pernah membaca sebuah buku kalau feeling ibu tajam saat anak gadisnya memperkenalkan lelaki yang dekat dengannya itu, bagus atau tidak buat masa depan putrinya. Rasa ingin melindungi dan menginginkan sesuatu yang terbaik maka kadang seorang ibu tidak menyetujui siapa yang menjadi pilihan anaknya.
Bahkan kerap menjadikan keributan karena sang anak tetap bertahan dengan pilihannya sementara ibu bertahan dengan perasaannya. Untuk meyakinkan perasaannya sang ibu biasanya akan mencari fakta-fakta akan sosok pilihan anaknya tersebut.
Dan kayanya Shinta sosok yang penurut, tidak mungkin bisa menentukan pilihan sendiri sesuai kata hatinya.
“Sayang sekali Shin kalau di antara A, B, C dan D itu sebenarnya ada yang terbaik tapi batal karena nyokap kamu putuskan begitu saja,” Rama masih berpendapat dengan egonya. Andai dirinya yang jadi salah satu korban tidak jadi pilihan mamanya pasti merasa sakit hati. Rasa sakit yang pernah dirasakan saat dirinya diabaikan begitu saja oleh orang tua Santi.
“Yah aku selalu tidak ada pilihan...” Shinta berkata lemah. Ingatannya kembali pada waktu lalu beberapa cowok yang sebenarnya tidak bermasalah dengan hatinya tapi cintanya harus kandas.
“Bukan kamu tidak punya pilihan Shinta. Ya itulah pilihan kamu! Kamu memilih mengikuti kemauan nyokap! Tetap itu adalah sebuah pilihan!” Rama menegaskan kalau Shinta mengikuti kemauan nyokap namanya tetap sebuah pilihan.
“Iya benar juga sih...” Shinta membenarkan pelan dan tersenyum tipis.
Shinta sadar selama ini memang dirinya tidak pernah bisa membantah kemauan nyokapnya yang telah membesarkan dengan single fighter.
Dalam hati Shinta selalu percaya apabila yang terbaik di hati nyokap pasti terbaik juga buat dirinya di masa datang. Keputusan nyokap tak akan pernah terbantahkan.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices