Dream Analyst

Reads
147
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

Chapter 2

Pelan-pelan kami memasuki rumah tak berpenghuni nomor 14, Gang Wahyu Kuncoro, Desa Cemani, Solo. Rumah ini merupakan rumah tua walaupun kondisi bagian luarnya masih tampak bagus. Hanya catnya terkelupas dimana-mana. Bangunannya masih kokoh, kayu-kayu pintu dan jendelanya belum rapuh. Rumah ini berada di bagian dalam gang yang berkelok-kelok, dan diapit oleh beberapa rumah yang berpenghuni. Namun karena kami tiba di sini jam empat pagi, maka semuanya tampak gelap dan sangat sepi.
"Silakan masuk! Ini kuncinya. Kalau ada apa-apa hubungi saya saja ya," ujar Pak Suryamin mempersilakan kami.
Tadi kami diantar olehnya dengan taksi yang ia gunakan untuk mencari makan. Ia sempat bercerita bahwa rumah yang kami tempati ini adalah rumah ibunya dulu, tapi ibunya sudah pindah ikut adikknya di Jogja, hingga rumah ini menjadi kosong. Setibanya di sana, kami langsung ditinggal oleh Pak Suryamin karena ia harus pulang ke rumahnya yang terletak tidak jauh dari rumah ini.
Kesan pertamaku menginjakkan kaki di rumah ini adalah seram. Sebenarnya tidak begitu seram, namun rumah ini memiliki hawa tidak enak. "Mungkin karena tak lagi ditinggali," kata Gilang.
"Aaaaaa!" Vega menjerit ketika lampu pertama kami nyalakan.
Sebuah sarang laba-laba menyambut kami di depan pintu rumah paling depan.
"Cuma laba-laba. C'mon kita masuk. Aku sudah terlalu lelah." Frisky menyambangi sarang laba-laba tersebut dan menyeruak ke dalam dengan kedua tangannya. Memberi jalan bagi kami masuk tanpa hambatan.
"Aku geli," ucap Vega lirih.
"Adventourist nggak boleh takut pada apapun kecuali pada penciptaNya, manis," ujar Gilang menggoda.
Walaupun Vega adalah petualang sejati, ia phobia laba-laba dan sarangnya. Ia bisa saja mual saat memandangi sarang laba-laba. Jangankan sarang laba-laba berdebu di rumah tak berpenghuni, laba-laba dengan jaring putih di pepohonan saja ia takut.
"Oh ya? Bagaimana dengan sesuatu yang abstrak, tampan? Apakah kau tak takut juga?" Cibir Vega terang-terangan.
Bagaimanapun mereka berteman sejak kecil. Ia tahu betul bahwa Gilang pernah lari terbirit-birit saat mendengar rumor tentang nenek gayung di belakang pekarangan rumahnya dulu.
"Itu gue masih kecil, nona manis. Baiklah, sampai dimana kita? Kamar yang itu untuk nona-nona manis ini ya? Yang sebelahnya bagian kita." Gilang berkilah dengan mengalihkan topik pembicaraan.
Aku dan Vega mendapat kamar yang letaknya di bagian depan. Sementara para pria tidur di kamar sebelah kami yang hanya dibatasi oleh sebuah kamar mandi. Model rumah ini mengingatkanku pada model rumah lamaku dulu. Bedanya di halaman depan rumahku terdapat taman hidup nan indah, sedangkan rumah ini tak memiliki pekarangan, dan gersang. Ada satu lantai lagi di atas, aku tahu itu karena aku sempat melihat tangga di ujung ruang makan. Namun karena gelap semuanya terlihat samar-samar saja. Kami baru berhasil menyalakan lampu sekitar ruangan yang kami tempati.
"Besok pagi kita akan kelilingi rumah ini. Sekarang tidurlah!" Kata Gilang sambil menutup pintu kamar mereka.
Vega ragu-ragu untuk masuk ke kamar 'kita sementara'. Anehnya, kamar ini tidak berdebu sama sekali seperti ruangan lainnya yang sempat kami lihat tadi. Ada sebuah tempat tidur beralaskan seprai berwarna putih bersih, dengan sebuah meja rias bercermin di sisi kanannya. Sebuah lemari kayu jati berdiri kokoh di dekat jendela.
Aku dan Vega berpandangan sejenak, lalu menghambur ke atas kasur yang ternyata empuk.
"Kamar sebelah bagus juga nggak ya? Kamar ini bagus banget, katanya rumah nggak ditinggali," komentar Vega. Tangannya sibuk memoles berbagai krim di wajahnya.
"Mungkin belum lama ditinggal kali ya? Tidur yuk. Hoaaahm." Ujarku kemudian terlelap.
***
Vega bangun lebih dulu. Ia sudah mandi di kamar mandi samping kamar, karena memang tak ada kamar mandi di masing-masing kamar tidur. Para telletubbies pria pun sudah rapi dan duduk-duduk santai di ruang depan.
"Jam berapa ini?" Tanyaku malas-malasan.
Aku berusaha membuka kedua mataku yang masih lengket.
"Jam sepuluh." Tangannya sibuk memoles bebe krim di wajah ayunya.
Aku pun beranjak ke kamar mandi dengan malas. "Eh, Ibu kapolda baru bangun," ledek Jay menyeringai.
Aku hanya balas melempar cengiran padanya, lalu menutup pintu kamar mandi. Ritual mandiku tak pernah serumit ritual mandi para artis ibukota. Sepuluh menit cukup bagiku. Hal pertama yang biasa aku lakukan jika tidak sedang berada di rumah sebelum mandi adalah meperhatikan kamar mandi yang akan kugunakan. Semakin bagus kamar mandinya, semakin lama waktuku mandi, begitupun sebaliknya.
Dan kamar mandi ini termasuk dalam kriteria waktu singkat. Ada banyak sarang laba-laba yang tak ingin kutoleransi. Memang airnya bersih, kamar mandinya pun tidak berbau, namun sarang laba-laba yang bergelantungan di atap dan dindingnya membuatku mual. Ada benarnya kata Vega, sarang laba-laba itu menjijikkan dan memberi kesan angker.
Aku siap dalam waktu lima menit. Begitu kagetnya aku saat melihat segumpal rambut yang terletak di wastafel kamar mandi ini. Aku mengingat-ingat apakah rambutku rontok? tidak. Rambut Vega kah? Ya, ia memang pernah mengeluh tentang kerontokan rambutnya. Namun rambut Vega tak sepanjang ini. Rambut ini panjangnya tidak normal. Aku bergidik dan cepat-cepat keluar dari sana.
"Bagaimana tidurmu semalam, nona?" Tanya Jay manis seperti biasanya.
Aku menghenyakkan tubuhku di sisinya. Bagiku tempat paling nyaman selain pelukan ibu, pangkuan ayah, dan rumah adalah berada di sisi Jay.
"I slept well, hunny. Oh iya, tadi waktu kamu mandi, apa kamu lihat ada rambut di wastafelnya?"
"Enggak. Rambut Vega kali," jawabnya singkat.
Aku termenung, mana mungkin rambut Vega.
"Kalian curang deh dapat kamar yang bagus. Kamar kami kayak gudang," lapor Gilang yang baru bergabung dengan kami.
Ia baru saja melihat-lihat keadaan rumah ini, dan keluar dari kamar yang kutempati semalam. Terang saja aku tak percaya karena kondisi kamar yang kutempati bagus, mana mungkin kamar sebelahnya seperti gudang.
"Lihat saja kalau tak percaya!" Imbuh Frisky.
“Vega, rambut lo rontok ya?” todongku tanpa basa-basi saat ia melintas di hadapanku..
"Ih, sejak kapan rambut princess rontok? Kapan mobil kita selesai?" Desak Vega manja.
"Tadi gue udah telepon orang bengkel, katanya sih besok pagi. Jadi mau nggak mau kita masih akan di sini sampai besok," jelas Jay, membuatku jengah.
Entah mengapa ada perasaan janggal di rumah ini. Aku ingin segera pergi dari sini.
"Udah, anggap aja kita lagi liburan di villa. Biasanya kan kita liburan di camp gunung," kata Gilang berusaha membuat suasana cair kembali.
Kami sepakat untuk berbagi tugas di rumah ini untuk mengisi waktu. Aku dan Vega kebagian tugas untuk mencari makanan di luar rumah. Sementara mereka bertiga bertugas membersihkan seluruh lantai satu agar kami nyaman tinggal di sana sampai hari yang belum dapat dipastikan mengingat sparepart blazer agak susah di cari.
Lantai dua tak kami sentuh sama sekali. Menatap tangganya saja membuatku merinding, apalagi kalau harus naik ke atas sana. Ruangan pertama yang mereka bersihkan adalah kamar mandi.
"Permintaan khusus ibu-ibu Negara," kekeh Frisky dengan sebatang sikat wc di tangannya.
"Laba-labanya ya yang penting!" seru Vega di ambang pintu.
Mencari makan siang di daerah orang tak semudah yang kami kira. Aku dan Vega harus berjalan ke luar Gang Wahyu Kuncoro untuk menemukan orang berjualan makanan. Jalanan di dalam gang ini berkelok-kelok membuatku pusing, dan hampir nyasar. Kalau bukan Vega si GPS handal, mungkin aku sudah tersesat.
Suasananya tampak sepi, hanya ada beberapa orang ibu-ibu sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Tapi tak ada keramahan sedikitpun yang terpancar dari wajah mereka saat aku atau Vega menyapa. Raut wajah mereka terlihat sangar, dengan mata yang melirik tajam ke arah kami. Merasa tak enak hati, kamipun berlalu dengan langkah seribu.
"Nasi bungkusnya lima ya, Bu!" Pinta Vega pada ibu penjual nasi padang.
"Tinggal dimana, Mbak? Saya belum pernah lihat kalian kayaknya." tanya si ibu ramah.
"Kami pendatang, Bu. Sementara kami tinggal di Gang Wahyu Kuncoro nomer 14," jawab Vega.
Si ibu hanya menanggapinya dengan 'oh', kemudian ia cepat-cepat membereskan pesanan kami.
"Terimakasih, Bu." Kataku.
Namun ia tak menjawab. Wajahnya pun tak seramah tadi. Kami tak ambil hati, kemudian beranjak dari sana dan membeli bahan makanan lain untuk persiapan makan malam nanti.
***
Kondisi rumah nomor 14 ini sudah bersih di seluruh lantai satunya. Seharian kami membenahinya, hitung-hitung ucapan terimakasih pada Pak Suryamin karena telah meminjamkan rumah ini secara cuma-cuma. Kamar mandinya pun sudah bersih dari segala macam sarang laba-laba. Rencananya besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan ke Bali.
Tak terasa malam telah menyapa kembali. Baru pukul tujuh malam, namun suasana di lingkungan ini terasa seperti sudah sangat larut malam. Tak ada satupun orang berkeliaran seperti di komplek rumah kami di Jakarta. Tak ada kumpulan anak muda, anak- anak, ibu-ibu atau bapak-bapak pengajian. Sepi. Tapi kami tahu betul bahwa ada kehidupan di sekitar sini. Lampu-lampu warga yang temaram sudah menyala sejak magrib tadi, namun pintunya tertutup rapat.
"Bahkan gue nggak dengar azan di sini," tukas Frisky.
Kami semua hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Gilang mengajak kami bermain uno seperti yang kami lakukan di dalam tenda ketika mendaki gunung. Langsung saja kami menyetujuinya.Di tengah permainan, kami mendengar suara hiruk pikuk dari luar rumah.
Suara derap kaki melangkah, bahkan berlari. Suara jeritan banyak orang, dan deru mobil bersirine. Serentak kami berlari keluar rumah untuk mengecek apa yang terjadi.
"Innalillahi!" Seru Jay di depan pagar.
"Kebakaran!" Seru warga sekitar sambil panik mencari sumber air untuk membantu polisi dan warga lainnya memadamkan api.
Jay, Frisky, dan Gilang bergegas membantu mereka memadamkan api.
"Hati-hati!" Seruku pada mereka bertiga.
Aku dan Vega hanya bisa menunggu semuanya kembali menjadi tenang.
"Siapa yang barusan melintas di dekat kita?" tanya Vega tiba-tiba, membuat bulu kudukku berdiri karena memang tak ada siapapun di dekat kami berdiri saat ini.
"Nggak ada, dan jangan mengada-ada," ketusku.
"Lo nyium bau gosong nggak?" Tanyanya lagi.
Aku mengendus-endus bau di sekitarku. “Ya iyalah, bau asap gosong. Rumah yang kebakaran itu letaknya hanya berselang empat rumah dari rumah ini.
"Oh, iya juga sih," kata Vega akhirnya.
Tak lama kudengar tangisan meraung seorang anak laki-laki menyebut nama ayahnya, sungguh menyayat hati. Tangisannya diiringi suara decit kereta pengangkut jenazah yang berjalan di atas jalanan berdebu dan berbatu. Mereka melintas tepat di depanku dan Vega yang kini berdiri di luar pagar.
"Innalillahi, ada korban jiwa," ucapku lemas.
Angin bertiup kencang malam ini. Kencang sekali hingga menerbangkan kain putih yang menutupi tubuh si mayat yang sedang didorong melintas di hadapan kami.
"Aaaaaaa..." terpampanglah mayat di pemilik rumah yang mengenaskan. Tak ada darah, tak ada patah-patah, hanya luka bakar di sekujur tubuhnya yang membuatku mual. Seluruh tubuhnya tidak lagi gosong hitam namun putih kemerah-merahan karena kulitnya terbakar. Hanya matanya yang masih tegas terbelalak seakan tak rela jasadnya termakan api.
Gubrak! Kereta yang membawanya terjatuh, menggelindingkan si mayat tepat di bawah kakiku. Mataku berkunang-kunang, gelap, dan lenyap.
"Yang, bangun. Yang." Sayup-sayup kudengar suara Jay membangunkanku.
Kupeluk ia erat-erat saat aku berhasil membuka mata. "Aku mau pulang aja, Yang."
Aku tak ingin berada di rumah ini, aku ingin pulang sekarang juga. Aku takut dan masih terbayang-bayang penampakan mayat korban kebakaran tadi.
"Besok kita pulang, Sayang. Sekarang aku temani kamu dan Vega tidur di sini. Tidurlah, aku di sini." Perkataan Jay cukup membuatku tenang.
Pukul dua malam aku terbangun. Kulihat Jay tengah tidur di sofa. Vega terlelap di sisiku. Aku ingin sekali buang air kecil. Karena terlalu kebelet, aku nekat ke luar kamar sendirian dan menuju kamar mandi yang letaknya tepat di samping kamar.
Kupandangi pintu kamar Frisky dan Gilang tertutup rapat. Pasti mereka juga terlelap, pikirku. Buru-buru aku masuk kamar mandi dan menyelesaikan hajatku. Setelah itu aku mencuci tangan di wastafel. Aku teringat dengan rambut panjang yang kutemukan tadi pagi, sekarang sudah tak ada karena kami membersihkannya tadi siang.
Ckrek
Aku menoleh, suara knop pintu yang dibuka barusan membuat jantungku berdegup kencang. Aku menunggu dan berharap Vega menyusulku ke sini, tapi tak ada siapapun di sana. Kulanjutkan mencuci mukaku di wastafel, dan saat aku menghadap ke cermin di depanku, sesosok bayangan hitam dan putih berkelebat. Jantungku berdetak, membawa kakiku berlari kembali ke kamar.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices