by Titikoma
Chapter 4
Mobilnya sudah siap dijemput hari ini. Kami bersyukur karena kami bisa melanjutkan perjalanan ke Bali. Dua hari sudah kami berleha-leha di rumah kosong ini. Jay pergi sendiri menjemput blazernya di bengkel dengan ojek, dan kembali ke sini untuk menjemput kami. Karena agak repot jika kami harus bersama-sama ke bengkel yang jaraknya lumayan jauh dari rumah ini.
Setelah bersiap-siap, aku sengaja membersihkan kamar yang Vega dan aku tempati semalam. Sementara Vega dan yang lainnya mengobrol di ruang depan.
"Vie..." sebuah suara yang menggema terdengar di telingaku.
"Vie..." suara seorang wanita, sayup tapi menggema. Tidak, bukan menggema, tapi memantul seperti suara jika kita sedang berada dalam sebuah goa.
Aku terdiam meresapi suara yang menyebut namaku. Ia tak hanya menyebut namaku, tapi juga melontarkan kalimat-kalimat lirih yang tak jelas.
"Vie..." kali ini darah yang mengalir dalam tubuhku terasa beku. Udara dingin pun berhembus di belakang telingaku.
"Vie..." gemanya sekali lagi. Aku beranjak keluar kamar untuk memastikan adakah seseorang yang memanggil namaku? Tak mungkin Vega yang memanggilku karena aku begitu hafal suara si cerewet yang satu itu.
"Vega... Ga!" panggilku untuk Vega.
Kulihat tak ada siapapun di ruang dekat kamar. Biasanya kami berkumpul di ruangan ini. Ada sebuah sofa tempat bersantai dan meja panjang di sini. Dan di ruangan inilah kami bermain uno tadi malam.
"Frisky, Gilang!" aku memanggil yang lainnya, tapi tak ada sahutan.
Baru kali ini aku pergi ke dapur, selama dua hari di sini aku hanya bergerak sebatas ruang tempat kami berkumpul. Kami tak butuh dapur karena kami selalu membeli makanan di luar.
Kupandangi dapur yang tak terlalu berdebu. Mungkin para pria membersihkannya juga kemarin. Kulirik ke arah tangga yang menuju lantai dua. Gelap. Sangat gelap. Aku bergidik dan kembali ke ruang depan.
"Vie." Seseorang menyebut namaku.
"Aaargh!" Aku terpekik.
"Ini Frisky, hei. Lo kenapa?"
Leganya hatiku ketika tahu bahwa Frisky yang berdiri di depanku.
"Lo ngagetin aja. Ah ya ampun, lo dimana sih tadi kan gue panggil-panggil lo, masa lo ga dengar?" kataku kesal.
Ia mendengus. "Gue tadi di kamar mandi. Panggilan alam," ujarnya santai.
"Vega sama Gilang mana?" Cecarku.
"Tadi kan mereka ikut sama Jay jemput mobil," jawabnya santai.
"Apa?" Ucapku tak percaya.
"Jay pergi sendirian, lo ngigau ya? Tadi gue yang ngantar Jay sampai depan pintu. Lagian ngapain mereka pergi bertiga, kan Jay naik ojek ke bengkel," lanjutku mencecar.
"Lo kali yang ngigo. Gue sendiri yang nutup pintu ketika mereka pergi tadi, sebelum gue boker. Mereka akan pergi naik taksi katanya," ujar Frisky dengan penuh penekanan.
Lalu dimana Vega dan Gilang? Apa yang Frisky maksud? Aku jelas-jelas mengantarkan Jay sampai depan pintu tadi, tapi dia bilang dia yang menutup pintu untuk mereka.
"Oke, daripada kita ribut, mending kita telepon Jay aja," usul Frisky.
Tuut,tuut, tuut.. telepon yang anda hubungi sedang sibuk. Begitu sahutan operator.
"Ah sial banget, hapenya nggak aktif!" Frisky panik.
"Ya sudah,kita tunggu sampai Jay pulang. Aku berharap aku yang salah. Akhir-akhir ini aku sering mengalami hal aneh, apalagi di rumah ini."
Frisky mendengarkan semua ceritaku selama di rumah ini dengan sabar. Menurutku ini teror, menurutnya ini hanya halusinasiku saja.
"Kenapa sih nggak ada yang percaya sama gue?" gerutuku kesal.
Diin, diin, diin
Terdengar suara klakson blazer Jay di luar pagar. Aku berlari keluar menghampirinya. Frisky mengikutiku.
"Let's go!" Serunya melalui kaca jendela.
"Turun dulu, Yang. Vega dan Gilang mana? Tadi katanya mereka ikut sama kamu ngambil mobil," ujarku celingukan di kaca mobil mencari mereka berdua.
"Apa maksudmu?"
***
Dua jam sudah kami mengelilingi rumah ini mencari mereka yang tidak juga diketemukan.
"Jadi siapa yang tadi sama gue? Lo jangan bohong Jay. Ini bukan lelucon, tadi lo pergi sama mereka. Lo bertiga keluar dari rumah ini untuk menjemput mobil kita." Frisky menekankan setiap kata yang ia ucapkan.
Aku menangis menyerah. Kemana Vega? Mungkinkah mereka berdua keluar dari rumah? Tak mungkin mereka berada di lantai dua yang keadaannya gelap gulita.
"Ngapain gue bohong? Untuk apa?" tanya Jay dengan nada tinggi.
Tapi kami tetap berusaha mencari ke lantai dua. Tak ada penerangan di atas sana. Kami harus menggunakan senter agar dapat melihat keadaan di lantai dua. Tak ada juga jendela yang memberikan sedikitpun cahaya.
"Aww!" lagi-lagi aku harus memekik, tapi karena kesakitan kali ini.
Sesuatu menusuk telapak kakiku hingga berdarah. Jay membawaku turun untuk mengobati luka di kakiku yang ternyata lumayan lebar.
"Lumayan dalam, Yang. Sakitkah?" tanyanya khawatir. Tangannya sibuk membalut lukaku dengan perban.
Aku menggeleng. "Udah enggak, Yang. Terimakasih ya." Aku lebih mengkhawatirkan kedua sahabatku ketimbang kakiku yang terluka. Sudah lima jam lebih dan mereka belum kembali. Seandainya mereka pergi jalan-jalan mencari angin ke luar, apakah selama ini?
Tiba-tiba Frisky menyerang Jay. Matanya merah menyala. Ia datang dan menarik kerah baju Jay.
"Apa-apaan ini?" Ujar Jay emosi dan berdiri mengikuti tarikan kerahnya oleh Frisky.
"Jangan main-main lagi. Dimana lo sembunyikan mereka? Cepat katakan!" teriak Frisky di depan wajah Jay.
"Apa maksud lo, ha? Gue baru pulang ngambil mobil di bengkel dan lo tuduh gue menyembunyikan mereka? Gue pergi sendirian tadi. Vie yang mengantar gue sampai depan pintu." Emosi Jay menggelegak, ia bangkit melawan Frisky.
Aku yang ketakutan mencoba menengahi mereka.
"Enggak. Lo berdua udah gila. Tadi jelas-jelas gue yang antar lo, Vega, dan Gilang ke depan pintu." Frisky menggeram.
"Sudaah... Apa yang kalian lakukan?" Seruku histeris.
Frisky berpaling menghadapiku. "Lo yang sembunyikan mereka, atau lo berdua sekongkol menyembunyikan mereka agar mereka jauh dari gue dan bisa berdua-duaan?" Kecam Frisky.
"Lo ngomong apa heh? Buat apa gue jauh-jauhkan mereka dari lo? Toh, selama ini kita selalu berlima." Jay balas berteriak.
"Alasan!"
Bukk!
Frisky menonjok wajah Jay. Aku menjerit sekencang-kencangnya.
Jay tak terima diperlakukan seperti itu. Ia membalas perlakuan Frisky dan memberinya tendangan di perut jingga Frisky terpental.
Kulihat darah mengucur di sudut bibir Jay. "Dengar, seburuk apapun kita bersahabat, gue nggak akan pernah mengkhianati sahabat gue sendiri," ujar Jay bergetar.
Frisky masih terpojok dan memegangi perutnya yang nyeri. "Lo berdua pasti sengaja membuat mereka menghilang dari rumah ini agar gue nggak mengganggu hubungan diam-diam mereka kan? Satu lagi, gue sangat mencintai Vega. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, akan gue bunuh kalian bertiga." Ancamnya.
Kemudian ia beringsut meninggalkan aku dan Jay. "Ky..." aku coba untuk menahannya., tapi Jay menarikku dalam pelukannya.
"Biarkan dia pergi. Itu bukan Frisky. Frisky sahabat kita nggak seperti itu." Bisiknya padaku.
Aku mengobati luka di sudut bibir Jay pelan- pelan. Ia meringis. Kukompres dahinya yang biru lebam akibat tonjokan Frisky dengan es batu yang kudapat dari ibu tetangga sebelah.
"Sakit, Yang."Jay mengeluh kesakitan.
"Sabar ya, Yang. Biar cepat sembuh. Kita nggak bisa meninggalkan tempat ini sebelum Vega dan Gilang kita ketemukan," ucapku lirih. Kuperas handuk kecil yang kurendam air es untuk mengompres ulang luka di bibirnya.
"Ya, aku setuju denganmu. Tapi kemana ya mereka? Aneh banget bisa tiba-tiba hilang. Apa jangan-jangan apa yang Frisky katakan ada benarnya? Apa mungkin mereka mengambil kesempatan untuk berduaan?" Jay menerka-nerka.
Itu adalah hal mustahil. Sebenarnya aku sudah tahu sejak lama bahwa Vega diam-diam menyimpan rasa untuk Frisky, namun ia tak pernah memperlihatkannya karena tak ingin merusak persahabatan di antara kami semua. Jadi sungguh tak mungkin Vega pergi berduaan dengan Gilang lalu mereka menghilang.
"Kalaupun mereka mau berduaan, kenapa harus di saat darurat seperti ini? Bukankah masih banyak waktu lainnya?" tuturku pada Jay yang selalu mendengarkanku dengan setia.
"Lalu apa?" Jay mulai frustasi.