by Titikoma
Chapter 8
Aku terbangun di tempat yang sama sekali tak kukenal. Kupaksakan tubuh ini duduk dan menyapu pandangaku ke sekeliling. Tempat apa ini? batinku bertanya-tanya. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terakhir kali menimpaku semalam, atau entah kapan.
Setelah berhasil bangkit dengan segenap tenaga, samar-samar mataku menangkap cahaya yang berasal tak jauh dari tempatku berdiri tertatih. Seorang berambut panjang mengenakan gaun putih cantik mendekat ke arahku. Aku memicingkan mata untuk melihatnya lebih jelas.
“Liana?” ucapku tak percaya.
Ia tersenyum picik di hadapanku. Liana, mantan Fadil yang sempat mengacaukan hubunganku dengan Fadil dulu. Betapa murkanya aku saat harus mengenang kembali apa yang pernah ia lakukan hingga hubunganku dengan pria itu berakhir. Ia tak pernah lelah mencari akal untuk memisahkan aku dan Fadil. Perempuan licik ini mengaku telah hamil oleh Fadil, hingga mau tak mau kedua orang tua mereka memaksa untuk menikahkan mereka berdua.
“Vega Aulia.” Bibir tipisnya menyebutkan namaku dengan lancar.
“Ngapain lo di sini?” sergahku kasar.
“Minta kamu temani aku untuk hidup selama-lamanya di sini. Di rumah tua ini,” ujarnya santai.
Sorot matanya sama dengan sorot mata piciknya beberapa tahun silam yang sempat ia lemparkan padaku.
“Apa lo bilang? Kalau ngomong jangan sok bener deh. Liana.. Liana, hidup lo kurang apa sih? Lo bahkan udah dapetin semua yang lo mau. Termasuk Fadil yang sesungguhnya nggak pernah cinta sama lo,” balasku geram.
Ya, sangat geram. Aku bahkan tak pernah lagi mengusik kehidupan mereka semenjak kabar pernikahan mereka dua tahun lalu dilayangkan padaku.
“Tapi kamu akan temani aku selamanya di sini,” ujarnya lagi, namun kali ini dengan nada yang lebih memaksa.
Aku menggeleng sekuat tenaga. Otakku tak lagi dapat berpikir saat ini aku sedang berada dimana, mengapa tiba-tiba ada Liana, dan entah apalagi yang ada dalam benakku saat ini bercampur aduk tak karuan. Hanya emosiku yang masih menggelegak bagai air kawah yang mendidih dalam hitungan ratusan bahkan ribuan celcius. Ingin rasanya aku menampar wajah mulusnya itu, agar mata biru blasteranya menjadi tambah biru. Namun baru saja aku ingin maju selangkah, tiba-tiba Liana mengeluarkan sebuah pisau dari balik gaun putihnya.
“Tapi dia akan kembali menerormu, Vega. Berhati-hatilah.” ucapan Frisky di mobil dua hari yang lalu kembali terngiang jelas dalam pikiranku.
Inikah arti dari mimpiku digigit monyet malam itu? Hatiku berkecamuk, pikiranku serasa diaduk-aduk.
Mata pisau tajam itu nyaris mengenai wajah cantikku jika aku terlambat sedetik saja untuk menghindar. Melihatku lolos, Liana makin geram. Matanya yang jalang makin garang menatapku. Keringat dingin mengucur di dahiku. Kulihat sebuah balok panjang tergeletak di lantai, segera aku meraihnya dan mengayunkan balok tersebut ke arah Liana, namun anehnya balok itu menembus tubuh Liana begitu saja.
Jantungku berhenti berdetak sejenak. Bablas. Benakku. Siapa dia sebenarnya? Rasanya baru kali ini aku bagaikan tersadar dari mimpi yang terlalu panjang. Ini bukan mimpi, Vega. Ini bukan mimpi. Kataku mengingatkan diri sendiri.
Sedetik kemudian aku terperangah atas apa yang kusaksikan. Sosok Liana berubah menjadi sosok menyeramkan yang tak dapat lagi kugambarkan dengan kata-kata. Tidak. Satu katapun tidak. Dalam situasi seperti ini yang aku ingat hanyalah satu ayat. Ayat kursi yang dulu selalu kuhapalkan saat duduk di bangku TPA. Cepat-cepat kurapal ayat tersebut.
“Aaaaaaargggghhh!” jerit jelmaan Liana tersakiti. Tubuhnya menggeliat bagai terbakar. Lalu perlahan menghilang begitu saja.
Aku berlari mencari jalan keluar dari rumah tua berdinding papan, berlantai keramik putih ini. Ternyata pintunya tak jauh dari tempatku tergeletak tadi. Baru kusadari bahwa rasanya aku dan Gilang mengikuti Jay ke dalam rumah ini semalam. Lalu dimana mereka berdua?
“Jay… Gilang!” seruku memanggil mereka berdua sambil terus mendekati pintu.
Namun rasanya pintu yang sangat dekat tersebut jadi tampak sangat jauh bagiku. Tiba-tiba tubuhku melemah, mataku berputar hebat, berkunang-kunang. Bayangan sosok setan tadi tiba-tiba bermain lagi di kepalaku, membuat perutku mendadak mual tak karuan.
Brakk! Pintu terbuka dari luar, kulihat seorang pria tergopoh-gopoh menghambur ke dalam rumah mendekatiku.
“Frisky!” seruku lemah, terjatuh tepat dalam pelukannya dan semua kembali jadi gelap.
***
HEADLINE NEWS
Lagi, seorang warga Gang Wahyu Kuncoro ditemukan tewas mengenaskan secara misterius. Sebilah pisau menancap di perutnya, namun anehnya tak ditemukan sidik jari siapapun pada pisau yang membunuh lelaki korban pembunuhan misterius tersebut.
Data warga menyebutkan bahwa korban adalah penghuni lama rumah bernomor 14 tersebut. Diketahui bahwa korban, Suryamin, 55 tahun, lima belas tahun sudah tidak tinggal di rumah tersebut, dan kembali untuk menemui ajalnya di sana. Dugaan sementara korban tewas bunuh diri. Rhyu.
"Jay, Vie, Frisky. Lihat! Berita tentang rumah itu muncul di kabar berita hari ini!" Seru Vega menyodorkan selembar koran padaku dengan hebohnya.
Aku membaca headline news yang tercantum pagi ini. Berita tersebut cepat sekali mencuat di media, padahal kejadiannya baru semalam.
Masih terngiang dalam ingatanku semua yang terjadi semalam. Suryamin, lelaki kardus itu masuk dalam perangkap kami. Aku berhasil 'menyeretnya' kembali ke rumahnya sendiri dan mengantarkannya pada Liana.
Betapa terkejutnya Suryamin saat bertemu lagi dengan keponakan tercintanya, Liana.
"K..k..kau?" Ucapnya terbata-bata.
Selang beberapa saat aku keluar dari kamar itu, Liana menemuinya. Ia berdiri di ambang pintu demi menyambut paman terkasihnya
"Ya, aku. Liana. Hihihi." Katanya dengan tawa menggema yang mampu membuat siapapun yang mendengarnya kencing berdiri.
"Ba.. ba..bagaimana bisa? Kau sudah mati, Liana! Kau sudah mati!" Jeritnya histeris.
Liana yang cantik bergeming. Hanya sorot matanya yang berbicara pada Suryamin.
"Menurutmu, begitu?" Tanyanya dengan nada dingin.
"Ya, hahaha kau sudah mati dan kau tak akan bisa menyakitiku," kata Suryami lantang.
Ia berdiri dari duduknya. Tadi ia sempat terduduk di lantai saking kagetnya.
"Kalau begitu, ikutlah denganku, maka aku akan bebas untuk menyakitimu." ucap suara yang perlahan menjadi gelap.
Sosok Liana yang cantik kini berubah menyeramkan seperti apa yang kulihat di hadapan Jay kemarin malam. Bahkan kali ini seribu kali lebih seram.
"Aaarghh." Aku menutup mata ketakutan menyaksikan kuntilanak di hadapanku.
"Pergi dari sini sekarang juga!" Titah Frisky pada kami yang terpaku menyaksikan pergulatan antara Suryamin dan kuntilanak bernama Liana itu.
"Lahaulawala quwata illabillah." Bibirku bergetar mengucapkan doa.
Dan hal yang terakhir kali kulihat adalah muncratnya darah segar beserta seisi perut Suryamin, lelaki kardus pemerkosa Liana lima belas tahun silam.
Sedetik kemudian sosok kuntilanak itu menghilang.
***
"Gilang, alhamdulillah lo udah sadar!" Seru Frisky di sisi ranjang Gilang.
Kami bertiga buru-buru menghampiri mereka. Kondisi Gilang mulai membaik. Kami bersyukur sahabat kami, Gilang Ramadhan selamat dari apapun. Frisky menemukannya dan Vega terbaring di rumah kosong tempat aku menemukan mayat di atas atap malam itu. Gilang yang keadaannya syok parah malam itu segera dilarikan ke rumah sakit oleh Frisky dan Vega. Mayat yang kutemui malam itu adalah mayat korban kejahilan Liana. Wajah mayat itu memang mirip sekali dengan Gilang.
Pada akhirnya terungkap bahwa setiap laki-laki yang tinggal di Gang Wahyu Kuncoro pasti hilang atau mati mengenaskan akibat ulah Liana. Kuntilanak itu membalaskan dendamnya pada semua lelaki yang tinggal dalam gang itu.
"Beruntung kalian berhasil memecahkan misteri rumah nomor 14," tutur seorang ibu muda warga Gang Wahyu Kuncoro pada kami ketika kami kembali untuk membantu polisi melakukan olah TKP.
"Bukan apa-apa, Bu. Itu semua berkat ketidaksengajaan kami," sahut Gilang penuh hormat.
Kematian Suryamin membuat suasana Gang Wahyu Kuncoro kembali normal dan damai. Tidak ada lagi terror pada penduduk gang, khususnya terror kematian pria. Aku dan telletubbies memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Bali yang tertunda.
“Kalian jahat memvonis gue udah mati,” ujar Gilang di belakang kemudi. Kali ini ia yang akan menyetir sampai Bali. Kami mentertawainya.
“Ya maaf, habisnya mayat yang gue lihat waktu itu benar-benar mirip sama lo.” Aku bergidik mengingat kondisi mayat yang mengenaskan itu. Dalam hati aku benar-benar bersyukur Gilang selamat, karena setidaknya saat itu aku benar-benar tahu bagaimana rasanya kehilangan sahabat.
Setelah mendengar cerita Vega waktu dia menghilang, aku baru tahu bahwa Liana adalah nama samaran Liana. Sebelum Liana dibunuh oleh Suryamin, ia cinta mati dengan Fadil. Bahkan dia sudah hampir menikah dengan Fadil, namun takdir membuatnya berakhir di tangan Suryamin.
“Oke, setidaknya dream analyst kita sudah bekerja dengan baik kali ini, iya kan sayang?” ujar Vega manja bergelung di lengan Frisky.
Terimakasih Liana, berkat kamu, Frisky berani mengungkap isi hatinya yang sesungguhnya, ujar Vega dalam hati.
Aku, Jay, Vega dan Frisky duduk bersama dan bersempit-sempitan di bangku belakang. Membiarkan Gilang menyetir sendiri.
“Dan kalian kini tega membiarkan gue jomblo sendiri,” omelnya, mengundang tawa dari kami berempat.